• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna dan Fungsi Upacara Puak Poi pada Upacara Paisin dalam Budaya Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makna dan Fungsi Upacara Puak Poi pada Upacara Paisin dalam Budaya Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, setelah menyelidiki atau mempelajari (KBBI, 2003:912). Pustaka adalah kitab-kitab, buku, buku primbon (KBBI, 2003:912). Dalam skripsi sarjana ini, yang dimaksud tinjauan pustaka adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat setelah menyelidiki atau mempelajari pokok masalah seperti atau yang dekat secara tematik maupun keilmuan dengan yang penulis lakukan ini oleh para penulis terdahulu, baik berupa skripsi sarjana dan makalah. Pustaka yang penulis maksudkan di dalam skripsi ini adalah berupa buku-buku atau kitab yang berkaitan pokok masalah yang penulis kerjakan, yaitu mencakup: puak poi, paisin, kebudayaan Tionghoa, masyarakat Tionghoa, kosmologi orang-orang Tionghoa, Buddha, Konghucu, dan lain-lainnya. Hasil yang penulis peroleh dalam tinjauan pustaka ini adalah sebagai berikut.

(2)

Skripsi sarjana ini menjadi bahan pustaka penulis dalam mengkaji sistem kosmologi terutama penyembahan leluhur pada masyarakat Tionghoa.

Syeelwem Wilton S., yang juga menulis skripsi sarjana pada Program Studi Sastra China, FIB USU, pada tahun 2014, yang bertajuk Struktur dan Makna Upacara Cheng Beng bagi Masyarakat Tionghoa di Berastagi. Di dalam penelitian ini Syeelwem menjelaskan tentang struktur dan makna paisin sebagai perilaku dan ideologi keagamaan masyarakat Tionghoa, dengan studi kasus yang ada di Kota berastagi, di dalam wilayah budaya Karo Gugung. Skripsi sarjana ini menjadi bahan pustaka untuk kajian penulis dalam mengkaji ritual paisin pada masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

Sebuah skripsi sarjana, yang ditulis oleh Yudhistira Siahaan pada tahun 2012 bertajuk Kajian Musikal dan Pertunjukan Barongsai dalam Perayaan Cap Go Meh Masyarakat Tionghoa di Maha Vihara Maitreya, Kompleks Perumahan Cemara Asri Medan. Di dalam skripsi ini dianalisis pertunjukan barongsai dan musik pengiringnya. Sebagai sebuah pertunjukan masyarakat Tionghoa, di dalamnya juga terkandung komunikasi kepada Alam Langit dan Alam Baka dalam sistem kepercayaan Buddha, Tao, dan Konfusius. Skripsi ini menjadi salah satu bahan pustaka penulis dalam mengkaji fungsi dan makna puak poi dalam konteks upacara paisin masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

(3)

perpindahan manusia dari alam dunia ke alam baka. Ritus-ritus yang dilakukan mencakup persiapan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan upacara. Di dalam penelitian ini juga dibahas tentang sistem kosmologi di dalam kebudayaan Tionghoa. Melalui laporan penelitian ini, penulis menggunakan data-datanya untuk mengkaji puak poi dalam ritual paisin di dalam kebudayaan masyarakat Pematangsiantar.

Yoan Silviana, pada tahun 2012 menulis sebuah skripsi sarjana di Departemen Sastra China FIB USU. Tajuk skripsinya adalah Fungsi dan Makna Penyambutan Imlek pada Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Di dalam skripsi ini dibahas secara detil tentang hari raya Imlek dalam kebudayaan Tionghoa, termasuk di Kota Pematangsiantar. Ia juga membahas fungsi dan makna benda-benda yang lazim digunakan di dalam konteks penyambutan tahun baru China ini, seperti: lampion, kue keranjang, ikan, ayam, bakmi, dan lain-lainnya. Skripsi ini menjadi bahan pustaka penulis dalam mengkaji puak poi di dalam kebudayaan Tionghoa. Kami juga sama-sama melakukan penelitian budaya Tionghoa di Pematangsiantar. Namun perbedaannya Silviana mengkaji fungsi dan makna Imlek, sedangkan penulis mengkaji puak poi.

(4)

Ernst Cassirer, seorang penulis budaya internasional ternama, tahun 1987, menulis buku yang berjudul Manusia dan Kebudayaan. Satu hal yang menarik dalam konteks penelitian ini, di dalam buku ini dijelaskan bahwa kebudayaan sangat berkaitan erat dengan tradisi dan bahasa. Melalui buku ini penulis melihat bahwa manusia umumnya memiliki tradisi dan bahasa dalam kebudayaannya yang memperjelas identitas manusia tersebut. Demikian pula puak poi jelas mempertegas identitas masyarakat Tionghoa di mana pun di dunia ini, termasuk di Kota Pematangsiantar.

Jhuenhyie, seorang penulis kebudayaan masyarakat Tionghoa, pada tahun 2000, menulis sebuah buku yang berjudul Kebudayaan China. Di dalam buku ini dijelaskan tentang konsep hidup masyarakat Tionghoa, kebudayaan, agama, dan ritual. Buku ini menjadi bahan pustaka penulis dalam rangka penelitian puak poi ini.

2.2 Konsep

(5)

kebudayaan, (2) upacara, (3) paisin, (4) tradisi puak poi, dan (5) masyarakat Tionghoa.

2.2.1 Kebudayaan

Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengumpulkan berpuluh-puluh defenisi yang dibuat ahli-ahli antropologi dan membaginya atas 6 golongan, sebagai berikut. (1) Deskriptif, yang menekankan unsur-unsur kebudayaan,

(2) Historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyara-katan,

(3) Normatif, yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku,

(4) Psikologis, yang menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup,

(5) Struktural, yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur,

(6) Genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia (P.W.J. Nababan, 1984:49).

(6)

Menurut Mulyana dan Rakhmat, budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari diri manusia, sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosiobudaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia (Mulyana dan Rakhmat, 2006:25).

Definisi lainnya adalah dari Melville Jean Herskovits (1895-1963) yang merupakan seorang antropolog Amerika. Dua poin penting dalam memahami konsepsi tentang antropologi: pertama, dia adalah seorang humanis yang bersangkutan dengan totalitas perilaku budaya dan, kedua, dia percaya bahwa metode induktif adalah satu-satunya metodologi berlaku untuk antropologi. Dalam keduanya dia mengungkapkan pengaruh meresap Franz Boas, gurunya di Columbia University.

(7)

pada kepentingan dalam individu, yang dianggapnya sebagai peserta aktif dalam membentuk budaya. Sebagai individu itu penting dalam pandangannya tentang budaya, sejarah juga penting dalam mengkaji ide perubahan budaya. Akulturasi, reinterpretasi, retensi, dan sinkretisme adalah konsep yang dia kemukakan dalam membantu merumuskan dan masing-masing memiliki dimensi historisnya.

Oposisi Herskovits yang diterapkan antropologi adalah berbasis pada relativisme budaya. Dia bersikeras bahwa konsep relativisme memiliki relevansi untuk semua pembelajaran budaya dan meminta perhatian pada pengaruh budaya pada persepsi. Dia merasa bahwa penting untuk membedakan antara istilah "absolut" yang bervariasi dari budaya yang satu ke budaya yang lain, dan istilah "universal," yang merupakan konsekuensi dari kondisi manusia; dan dia menyimpulkan bahwa tidak ada kriteria mutlak nilai atau moral, atau bahkan, psikologis untuk waktu atau ruang, dalam konteks nilai-nilai universal dalam budaya manusia" (1948:76). Relativisme budaya membuatnya menolak istilah "primitif," meskipun oleh para antropologi telah digunakan secara luas.

(8)

2.2.2 Upacara

Upacara menurut Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:1994) adalah 1. tanda-tanda kebesaran, 2. peralatan menurut adat istiadat, 3. rangkaian tindakan atau perbuatan yang terkait kepada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama, 4. perbuatan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting.

Istilah upacara selalu dikaitkan dengan budaya menjadi upcara budaya. Budaya atau kebudayaan adalah keseluruah yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Siklus hidup pada masyarakat Tionghoa adalah suatu konsep antropologi budaya yang berarti lingkaran hidup mulai saat kelahiran, kematian, dan alam setelah kematian. Melukiskan siklus hidup dari warga yang dianggap warga rata-rata, merupakan salah satu cara yang dapat mengungkapkan banyak keterangan mengenai suatu kebudayaan. Khususnya, diperhatikan kejadian-kejadian yang dianggap penting dalam kebudayaan yang bersangkutan, yaitu upacara-upacara yang menandakan perubahan kedudukan para warga masyarakat, atau upacara peralihan (Ihromi, 2006).

(9)

Festival China (2010), wanita profesional yang menekuni feng shui dan mengerti banyak tentang peradatan Tionghoa, dalam berbagai hal warna merah sangat memegang peranan dalam berbagai upacara dan peradatan masyarakat Tionghoa. Dalam penelitian ini warna merah juga digunakan pada puak poi yang terbuat dari kayu.

2.2.3 Paisin

Paisin adalah sebuah konsep religi orang-orang Tionghoa, baik itu yang beragama Buddha, Konghucu (Konfusius), maupun Tao, yang secara umum dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sembahyang. Istilah ini berasal dari bahasa etnik Hokkian. Paisin dapat dimaknai sebagai sembahyang, sebagai sarana komunikasi manusia kepada Tuhan (Thien), juga Dewa dan Dewi, termasuk juga kepada leluhur yang telah mendahului kematiannya dan meninggalkan semua keturunan di dunia ini. Intinya melalui paisin manusia berdoa dan memohon petunjuk kepada Tuhan dan para Dewa yang ada di Alam Langit dan leluhur yang berada di dalam kehidupan lain di Alam Baka.

(10)

kebudayaan masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, terutama yang menganut sistem religi Buddha, Konghucu, maupun Tao.

2.2.4 Tradisi Puak Poi

Semua aktivitas manusia yang berhubungan dengan religi didasarkan atas suatu getaran jiwa yang biasanya disebut dengan emosi keagamaan. Emosi keagamaan ini biasanya dialami setiap manusia, walaupun getaran emosi itu hanya berlangsung beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang kembali. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan bersifat religi.

Sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri khusus untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di antara pengikut pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur-unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain yaitu: sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang menganut religi itu.

Sejarah penggunaan puak poi dengan prinsip Yin Yang dan Sheng telah ada tercatat sejak zaman Musim Semi dan Gugur, yaitu kira-kira 600-an Seb. M. Tentunya dengan metode dan konsep yang berbeda, yaitu mereka menggunakan batang-batang bambu untuk menyusun garis Yang dan garis Yin dan konsepnya adalah mencari tahu atau memprediksi keadaan atau situasi dengan membaca gejala atau sinyal dari alam.

(11)

kegiatan ritual dan upacara penghormatan yang penulis amati, puak poi ini merupakan alat atau sarana berkomunikasi dengan alam lain.

Kehadiran puak poi itu sebenarnya untuk bertanya kepastian jawaban kepada Tuhan atau para Dewa. Puak poi itu tidak hanya untuk ciam si (pembakaran dupa dan aktivitas paisin) tetapi juga berkaitan dengan kegiatan membersihkan altar, mengangkat sajian, mengambil buah dan juga bertanya kepada Dewa atau roh leluhur. Jawaban Tuhan atau Dewa dan leluhur melalui puak poi itu adalah dimanifestasikan pada bagian terbuka dan bagian tertutup, sama seperti koin memiliki dua bagian, sisi muka dan sisi belakang yang terdiri dari dua buah seperti pisang yang dibelah dua.

2.2.5 Bentuk Puak poi

(12)

Gambar 2.1:

Puak poi yang Berwarna Merah Terbuat dari Kayu

(13)

Gambar 2.2:

Puak poi yang Terbuat dari Bambu

Sumber: Dokumentasi Sanni Tung, 2015

2.2.6 Tata Cara Upacara Paisin dan Makna Hio

(14)
(15)

Bagan 2.1:

Proses Upacara Paisin dan Penggunaan Puak Poi

KEBUDAYAAN TIONGHOA ORANG-ORANG TIONGHOA

(Tao, Konghucu, Buddha) Bertanya kepada Thien /

Dewa di Alam Langit

Bertanya kepada leluhur di Alam Baka

atau makhluk gaib Media Puak Poi

DUPA

hio, altar, sesajian, dll Sengpoi

( jawaban ya )

Jiupoi

( jawaban antara ya dan tidak )

Kampoi ( jawaban tidak ) dilakukan tiga kali

DIPEROLEH JAWABAN

(16)

Seterusnya kedua buah puak poi tadi mendarat di lantai, dan posisinya adalah indeks jawaban dari pertanyaan yang telah diajukan pada upacara paisin tersebut. Jawaban hanya tiga saja, yaitu: (a) sengpoi, (b) jiupoi, dan (j) kampoi. Seperti telah diuraikan sebelumnya, sengpoi adalah jawaban ya, kemudian jiupoi belum ada jawaban, dan kampoi adalah penolakan. Untuk merespons jawaban kedua dan ketiga, dapat diulang dua kali lagi dengan masa jedah 3 sampai 5 menit. Demikian kronologi paisin dalam konteks penggunaan puak poi ini. Namun secara kultural religius berdasarkan penelitian lapangan, diperoleh makna-makna mengenai pembakaran dupa, hio, jumlah hio, warna hio, tata cara atau aturan paisin, cara penghormatan kepada Tuhan, Dewa, dan para leluhur, arti pai, dan lain-lainnya seperti yang penulis uraikan berikut ini.

Hio artinya harum. Namun istilah hio ini sendiri mencakup keseluruhan dupa, yaitu bahan pembakar yang dapat mengeluarkan asap yang berbau sedap/harum. Dupa yang dikenal pada zaman Nabi Khonghucu berwujud bubuk atau belahan kayu. Membakar dupa mengandung makna sebagai berikut.

a. Jalan Suci itu berasal dari kesatuan hatiku ( Too Yu Siem Hap ), hatiku dibawa melalui keharuman dupa (Siem Ka Hiang Thwan).

b. Selain itu dupa juga untuk menentramkan pikiran, memudahkan konsentrasi, meditasi.

c. Dalam mitologi Tionghoa mitologi dupa ialah untuk menyampaikan atau mengirimkan doa kita melalui wewangian/ asap yang terus menjunjung tinggi hingga ke segala arah

(17)

(a) Semuanya menggunakan satu atau tiga batang hio.

(b) Susunan meja sembayang secara umum: teh, air putih, arak (ciri Taoisme dan Konfusianisme), lambang Taiji Yinyang, air putih lambang taichi, teh lambang yin, arak lambang yang.

(c) Lima macam buah atau lima warna, lambang lima unsur. Kalau agama Buddha, ada yang mengaitkan dengan 5 Dhyani Buddha.

(d) Tiga batang hio lambang San Cai/ Sanguan/ Taiji Liangyi, Triratna, dan Sanqing.

(e) Satu batang hio lambang Taiyi dalamm konsep religi Taoisme.

Cara penghormatan kepada Tuhan, Dewa, atau para leluhur adalah sebagai berikut.

(1) Kepalan yang membentuk delapan kebajikan dan orang tua, cara Konghucu.

(2) Kepalan yang membentuk bola Taiji adalah cara Tao.

(3) Anjali atau merangkapkan kedua telapak tangan/ cara Buddha. Tiga arti Pai:

(a) Pai pertama membalas jasa Alam Langit dan Bumi (yi bai baoda tiandi en),

(b) Pai kedua membalas jasa orang tua (er zhai bai baodao fumu en), (c) Pai ketiga membalas jasa para guru (san bai baodao enshi en).

(18)

Ketika melangkah masuk ruang sembahyang juga harus kaki kiri dahulu yang maknanya adalah kita harus mengutamakan sifat-sifat kebajikan kita. Menancapkan hio dengan tangan kiri juga artinya kita akan selalu menancapkan kebajikan di alam langit dan alam bumi.

Namun demikian, di dalam masyrakat awam timbul keyakinan bahwa melangkah dengan kaki kiri akan membuat rezeki melimpah. Sebaliknya, jika dimulai dengan langkah kaki kanan adalah mengacaukan tatanan alam semesta dan mengundang bencana.

Pada umumnya orang Tionghoa (Buddha, Tao, dan Konfusius) melakukan sembahyang (paisin) mengunakan 1 atau 3 batang hio. Secara sosioreligius ketiga batang hio ini adalah indeks dari aspek-aspek berikut.

(a) Satu batang hio biasanya ditujukan dalam konteks berkomunikasi dengan Kauw Siu Thao, Para Dewa-Dewi di rumah untuk hari biasa, kecuali Ce It dan Cap Go setiap bulannya.

(b) Tiga batang hio umumnya untuk Pai Thien (Ti Kong) dan para Dewa-Dewi.

(c) Lima batang hio biasanya untuk usaha atau perniagaan (oleh karena itu khusus untuk Dewa Hok Tek Ceng Sin dan Dewa Cai Sen).

(d) Enam batang hio biasanya untuk keperluan orang lain.

(e) Tujuh batang hio biasanya untuk mohon khusus dan juga untuk sesuatu hal membalikan kepada orang lain.

(19)

(g) Sembilan batang hio, sebagai indeks puji-pujian untuk semua makhluk dan Dewa-Dewi (paling baik kalau melakukan paisin ini pada jam 9 malam di rumah).

(h) Dua belas batang hio sebagai ikon agar semua makluk dapat kebahagiaan. (i) Tiga puluh enam batang hio sebagai simbol kesuksesan dan keharmonisan. (j) Seratus delapan batang hio bila terdesak oleh keadaan atau ada permintaan

khusus sekali.

Norma-norma menempatkan hio dalam konteks upacara paisin.

(1) Usahakan saat menancapkan hio membentuk pola berjejer seperti kipas. (2) Tancaplah hio dengan hormat, jangan sembarangan.

(3) Khusus untuk 7 batang hio hanya digunakan bila terpaksa saja (keadaan terdesak).

(4) Khusus menggunakan 108 batang hio merah untuk sembahyang kepada Thien (Tuhan) tepat jam 12 malam. Lalu sampaikan permintaan atau permohonan. Berdoa harus dengan hati yang tulus pada Thien. Setiap habis melaksanakan upacara paisin (sembahyang), bakar Toa Kim satu kunci, tulis nama, umur, shio dan alamat permohonan lalu dibakar di tempat yang bersih. Lakukanlah 3 malam berturut-turut.

(5) Hio warna merah khusus mohon sesuatu. (6) Hio warna kuning untuk sembayang biasa.

(7) Hio warna hijau biasanya untuk orang meninggal.

(20)

kepada Thien dan harus dilakukan jam 12 malam karena saat itu suasana hening dan sunyi. Jam 12 malam dilakukan sembahyang (paisin) ini berkaitan dengan pergantian qi alam semesta, saat itu unsur Yang menguat dan unsur Yin melemah dan dalam satuan pengertian zi pada 12 cabang bumi adalah mulainya sesuatu yang baru. Artinya adalah berkaitan dengan perubahan waktu.

Ritual orang Tionghoa memiliki banyak nilai filsafatnya dan arti tersembunyi, seperti mengapa harus menaruh hio di antara ke dua alis, kenapa harus diletakkan di tengah dada dan sebagainya. Arti meletakkan hio di tengah dada adalah menyalakan hio hati dan api hio hati itu harus selalu dijaga, artinya adalah kita harus melakukan kebajikan dan biarlah kebajikan kita itu bagaikan asap hio yang harum dan memberikan kebahagian kepada sekitar kita. Untuk posisi di antara dua alis, ini berkaitan dengan titik jalan darah. Namun demikian, dapat juga diartikan penghubung antara langit, bumi, dan manusia.

2.2.7 Masyarakat Tionghoa

Orang-orang Tionghoa (biasa disebut China) di Indonesia adalah salah satu kelompok di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokien), Tenglang (Tiociu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari China Selatan yang menyebut diri mereka dengan orang Tang, sementara orang China Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han.

(21)

dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari China menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di China. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari China ke Nusantara dan sebaliknya.

Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganega-raan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia. Hal ini sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

2.3 Landasan Teori

Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan.

Sebagai pedomaan dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti teori yang akan diuraikan sebagai berikut.

2.3.1 Teori Fungsionalisme

(22)

menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud.

Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Malinowski lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karier akademik juga. Tahun 1908 Malinowski lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dri Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya Malinowski gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga Malinowski menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Malinowski kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).

Malinowski kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Malinowski kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika Malinowski menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayangnya tahun itu Malinowski juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski, 1944).

(23)

semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang telah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan.

Ahli teori fungsionalisme dalam disiplin antropologi lainnya, Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakatnya. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap waktu. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikan Radcliffe-Brown berikut ini.

(24)

a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

Sejalan pula dengan pandangan Radcliffe-Brown, artefak budaya puak poi dalam kebudayaan Tionghoa, dapat dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakatnya. Puak poi pada upacara paisin dalam budaya Tionghoa ini adalah salah satu artefak dan sekaligus sebahagian aktivitas yang dapat menyumbang kepada keseluruhan aktivitas masyarakat, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya dalam hal ini masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar, misalnya lingkungan yang heterogen secara etnik di Sumatera Utara, penguatan identitas dan kumpulan etnik di dalam masyarakat Tionghoa, masalah perubahan kebudayaan, transmisi nilai-nilai religi baru yang merubah nilai-nilai religi lama, dan masalah-masalah sosial dan kebudayaan lainnya.

2.3.2 Teori Semiotik

(25)

objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan dengan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merujuk pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung di mana istilah itu popular (Endaswara, 2008:64)

Menurut Barthes dalam (Kusumarini, 2006), “denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.”

Barthes adalah penerus pemikiran Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna. Di sisi lain, Barthes kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama dapat saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

(26)

penanda baru yang kemudian memiliki pertanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.

Gambar

Gambar 2.1:
Gambar 2.2:

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian makna tradisi Menyalakan lampion, makan malam bersama dan membakar petasan bagi masyarakat Tionghoa di Kota

Menurut Tylor (1871:1), kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,

Secara Teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap fungsi dan makna perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur masyarakat Tionghoa

Para makhluk yang berada di angkasa maupun di atas bumi, Para dewa dan para bijaksana yang berkuasa,.. Semoga mereka ikut serta mengenyam kebajikan kita Dan

Untuk mengkaji fungsi Tari Tibet dalam budaya masyarakat Tionghoa di Kota Medan, digunakan teori fungsionalisme dari disiplin ilmu budaya (antropologi budaya), khususnya

Etnik, kelompok etnik (ethnic group) atau dalam bahasa Indonesia suku bangsa atau suku menurut disiplin ilmu antropologi adalah (misalnya Narroll, 1964), sebagai populasi yang:

Skripsi Sarjana Sastra China, Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.. Community and Nation: Essays on Southeast Asia and the

Buddha: adalah sebuah sistem religi (agama) yang dibawa oleh Sidharta Gautama dari India, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.. Cheng beng: ziarah kubur