• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna dan Fungsi Upacara Puak Poi pada Upacara Paisin dalam Budaya Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makna dan Fungsi Upacara Puak Poi pada Upacara Paisin dalam Budaya Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Melihat keberadaan manusia di dunia ini, maka kita akan dapat menemukan

berbagai keberadaannya yang kompleks. Mulai dari ia adalah makhluk hidup, tetapi

tidak dikategorikan sebagai hewan atau tumbuhan, sampai ia adalah makhluk yang

khas, yang dianugerahi Tuhan akal, pikiran, dan perasaan. Manusia terdiri dari unsur

fisik dan juga roh. Manusia merupakan makhluk yang semestinya menjadi pemimpin di

muka bumi ini, dan lain-lainnya.

Manusia di dalam kerangka menjalani kehidupannya melakukan usaha-usaha

ekonomis yang sering disebut sebagai mata pencaharian. Dalam hal ini, manusia

memberdayakan alam sekitarnya. Dalam konteks tersebut ia berdoa kepada Tuhan Yang

Maha Kuasa untuk memberikan rezeki, keberhasilan dalam hidup, memiliki keturunan

yang berguna bagi sesamanya, dan aspek-aspek lain, yang diekspresikan di dalam

sistem religi atau agama yang dianutnya. Manusia juga belajar dari sesama mereka dan

juga dari alam, dan membentuk sistem pendidikan. Selanjutnya manusia adalah

makhluk sosial yang membentuk ikatan-ikatan dan integrasi yang terwujud dalam

berbagai organisasi kemasyarakatan. Selain itu dalam rangka berkomunikasi

menggunakan ujaran-ujaran dengan sistem tertentu yang lazim disebut dengan bahasa.

Manusia juga dalam usahanya mempermudah kerja menghasilkan teknologi. Makhluk

(2)

Keseluruhan unsur-unsur budaya tersebut biasanya mengandung tiga wujud,

yaitu berupa: gagasan, kegiatan, dan benda-benda. Misalnya di dalam sistem organisasi

di Indonesia, dikenal konsep gotong-royong, yang mendasari semua orang Indonesia

selalu bekerjasama dalam bekerja terutama kerja komunal. Konsep ini kemudian

diterapkan dalam berbagai aktivitas seperti membuat jalan raya bersama, bekerja di

ladang bersama-sama secara bergiliran, dan lainnya. Konsep dan kegiatan dalam

kerangka gotong royong ini akan menghasilkan benda-benda atau artefak seperti

kentongan untuk berkumpul, balai desa tempat rapat dan musyawarah,

peralatan-peralatan pertanian (cangkul, sabit, tajak), alat-alat nelayan (jaring, perahu, jala, pukat,

sondong), dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam situasi yang demikianlah

manusia menghasilkan kebudayaan.

Kata budaya atau kebudayaan1

1

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat “perbedaan kecil” (nuansa) antara istilah budaya dan kebudayaan. Kata budaya (bu.da.ya) n. 1. pikiran, akal budi; 2. adat istiadat; 3. sesuatu mengenai kebudayaan yang telah berkembang (beradab, maju); 4. sesuatu yang menjadi kebiasaan yang telah sukar diubah. Di sisi lain, kebudayaan (ke.bu.da.ya.an), n. 1. hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; 2. dalam ilmu antropologi adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk dalam bahasa Indonesia, berasal dari bahasa

Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau

akal), yang lazim diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal

manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata

Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Dapat diartikan juga sebagai mengolah

tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam

bahasa Indonesia (Koentjaraningrat, 1982:9). Di sisi lain, Supartono berpendapat bahwa

kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur

(3)

jasmani, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia

(Supartono, 2001; Prasetya, 1998).

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem yang terbentuk dari

perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya

respon masyarakat terhadap budaya yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu,

sehingga akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan

masyarakat tersebut. Termasuk masyarakat yang ada di Indonesia.

Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa (etnik)2

Masyarakat Tionghoa ini didukung oleh kelompok-kelompok etnik seperti:

Tenglang (Hokkian), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka), Khek, Kwong Fu,

dan lain-lain. Orang-orang Hokkian adalah salah satu pendukung masyarakat Tionghoa

di Indonesia. Orang-orang Tionghoa ini, secara antropologi dapat dipandang sebagai yang sangat kaya dengan

beraneka ragam budaya yang menjadi bagian dari suku bangsa atau subsuku bangsa

tersebut. Kemajemukan kebudayaan tersebut tentunya akan melahirkan orientasi yang

majemuk pula, karena salah satu fungsi kebudayaan bagi masyarakat adalah sebagai

sumber nilai yang menjadi objek orientasinya (Bangun, 1981:12). Termasuk masyarakat

Tionghoa yang ada di Indonesia.

2

(4)

salah satu masyarakat yang didukung oleh beberapa kelompok etnik3

Berbicara masyarakat Tionghoa tidak lepas dari kebudayaan Tionghoa itu

sendiri, yang selalu berhubungan dengan simbol keberuntungan yang sangat kaya dan

terbentuk dari kebudayaan leluhur masyarakat Tionghoa sejak zaman prasejarah di Indonesia yang

berintegrasi dengan etnik-etnik dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Dalam bahasa Mandarin, orang Tionghoa disebut Tangren (Hanzi: 唐 人,

"orang Tang") atau lazim disebut Huaren (Hanzi Tradisional: 華人 ; Hanzi Sederhana :

华人) . Disebut Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa

di Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok selatan yang menyebut diri mereka

sebagai orang Tang, sementara orang Tiongkok utara menyebut diri mereka sebagai

orang Han (Hanzi: 漢 人, Hanyu Pinyin: Hanren, "orang Han"). Tionghoa atau

Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Tionghoa di

Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam

dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

3

Orang-orang Tionghoa yang terdapat di Indonesia dapat dikategorikan sebagai sebuah masyarakat yang memiliki asal-usul yang sama, yakni dari daratan Tiongkok, yang kini membentuk negara bangsa yang disebut dengan awalnya Republik Takyat China kini menjadi Republik Rakyat Tiongkok. Mereka ini terdiri dari berbagai suku bangsa, yang memiliki kebudayaan dan bahasa yang berbeda-beda. Namun mereka dapat disebuit sebagai orang-orang Tionghoa. Masyarakat yang dimaksud di dalam skripsi ini adalah sesuai dengan definisi dari Koentjaraningrat, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifiat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama

(1990:146-147). Definisi itu menyerupai suatu definisi yang diajukan oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin dalam buku mereka Cultural Sociology (1954:139), yang merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah: ... the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are

operative." Unsur grouping dalam definisi itu menyerupai unsur "kesatuan hidup" dalam definisi kita,

(5)

kemudian menjadi salah satu tulang punggung transformasi kebudayaan Tionghoa

selama ribuan tahun dalam sejarahnya. Simbol-simbol keberuntungan itu oleh orang

Tionghoa kemudian divisualisasikan dan dimaterialisasikan. Bentuk visual dan

materialnya dapat seperti dupa, kertas paisin, bahkan puak poi digunakan dalam upacara

paisin oleh masyarakat Tionghoa sebagai salah satu simbol.

Setiap kebudayaan memiliki sistem religi atau sistem kepercayaan, termasuk

dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di manapun mereka berada, termasuk di

Indonesia, juga lebih khusus di Pematangsiantar. Mereka selalu melestarikan

kebudayaan dari leluhur mereka terdahulu. Masyarakat Tionghoa ini mengembangkan

dan membangun sistem kepercayaan atau keyakinannya. Sistem keyakinan

mempengaruhi dalam kebiasaan bagaimana memandang hidup dan kehidupan.

Termasuk di dalamnya adalah menghormati leluhur atau moyangnya.

Orang-orang Tionghoa, sejak awal nenek moyang mereka ada di daratan China,

mereka tetap memegang teguh kepercayaan tradisional ini namun dengan polarisasi

sosial dan budaya yang berbeda-beda, terutama ketika orang tersebut manganut

agama-agama di luar Konghucu, Buddha, dan Tao. Dalam kepercayaan tradisional ini dikenal

konsep tiga alam sebagai inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang

Tionghoa percaya bahwa, tiga alam ini mempunyai peranannya masing-masing dalam

menjaga keseimbangan alam semesta. Ketiga alam tersebut tidak dapat dipisahkan dan

berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya. Ketiga alam ini terdiri atas:(1) Alam Langit,

(2) Alam Bumi, dan (3) Alam Baka.

Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa

(6)

manusia di dunia ini. Dalam perkembangannya, terutama bagi orang Tionghoa yang

beragama Buddha, kepercayaan mengenai Alam Baka ini kemudian menyelaraskannya

dengan konsep dan kepercayaan terhadap reinkarnasi dalam agama Buddha. Ini

ditandai dengan kepercayaan roh yang hidup di Alam Baka dan akan terlahir kembali ke

dunia sebagai manusia atau makhluk apapun, tetapi mereka lupa dengan kehidupan

sebelumnya. Perbedaan yang mendasar adalah kepercayaan tradisional ini menganggap

manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk

lainnya. Tiga alam ini mempunyai hubungan antar satu sama lain dan dapat berinteraksi

(Reny, 2012).

Di dalam agama Buddha, istilah reinkarnasi (diserap dari bahasa Latin untuk

memaknai sebagai "lahir kembali" atau "kelahiran semula") atau t(um)itis (bahasa Jawa)

yang merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan

kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu bukanlah wujud fisik

sebagaimana keberadaan kita saat ini. Yang lahir kembali itu adalah jiwa orang tersebut

yang kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil perbuatannya terdahulu.

Terdapat dua aliran utama reinkarnasi ini. Pertama, mereka yang mempercayai

bahwa manusia akan terus menerus lahir kembali. Kedua, mereka yang mempercayai

bahwa manusia akan berhenti lahir semula pada suatu ketika apabila mereka melakukan

kebaikan yang mencukupi, atau apabila mendapat kesadaran agung (nirvana) atau

menyatu dengan Tuhan (moksha).

Kelahiran kembali adalah suatu proses penerusan kelahiran pada kehidupan

sebelumnya. Dalam agama Hindu dan Buddha, kepercayaan kepada reinkarnasi

(7)

bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Selama manusia terikat

pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya tidak luput dari dukha. Selama jiwa terikat pada

hasil perbuatan yang buruk, maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu

duka. Dalam ajaran Hindu dan Buddha, proses reinkarnasi memberi manusia

kesempatan untuk menikmati kebahagiaan yang tertinggi. Hal tersebut terjadi jika

manusia tidak terpengaruh oleh kenikmatan maupun kesengsaraan duniawi sehingga

tidak pernah merasakan duka, dan apabila mereka mengerti arti hidup yang sebenarnya

(wawancara dengan informan Aliang di Pematangsiantar 21 Januari 2015).

Masa roh manusia di Alam Baka ketika dalam proses reinkarnasi juga dapat

berkomunikasi dengan manusia khususnya kerabat yang hidup di dunia. Cara

berkomunikasi itu adalah sembahyang (paisin) dan juga melalui artefak kultural yang

disebut puak poi.

Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa (termasuk Tao, Konghucu, dan

Buddha), mementingkan ritual penghormatan kepada leluhur. Hal ini dikarenakan

pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk

leluhur jauh. Leluhur orang Tionghoa sebelum mengenal agama dan filsafat, telah

terlebih dahulu mengenal penghormatan pada leluhur. Penghormatan leluhur ini

kemudian menjadi titik tolak dan dasar dari kepercayaan tradisional Tionghoa yang

muncul lebih dahulu ada, dibandingkan daripada semua agama yang ada di Tiongkok.

Evolusi kepercayaan tradisional Tionghoa ini kemudian mempercayai bahwa

manusia setelah meninggal akan menuju ke Alam Baka, namun bagi manusia yang

dianggap mempunyai kontribusi dan jasa besar bagi masyarakat mendapat pengecualian

(8)

mempunyai pemerintahan, kehidupan interaksi masyarakat yang mirip dengan alam

manusia. Atas dasar kepercayaan inilah, uang emas (kim cua) dan uang perak (gin cua)

diciptakan. Uang emas adalah diperuntukkan bagi Dewa dan Dewi di Alam Langit.

Uang perak diperuntukkan bagi roh manusia di Alam Baka. Uang perak juga

diperuntukkan bagi roh manusia yang gentanyangan di alam manusia (hantu). Dalam

konteks komunikasi kepada Dewa dan Dewi serta roh-roh nenek moyang di Alam Baka

tersebut, masyarakat Tionghoa (terutama yang beragama Buddha, Tao, dan Konfusius)

melakukan ritual yang disebut dengan paisin.

Budaya sistem kosmologi masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu,

Buddha, dan Tao juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ajaran kepercayaan terhadap

Dao. Ajaran dari sistem kosmologi mengenai Dao adalah mempercayai bahwa semua

bagian dari kosmos adalah milik satu organik yang menyeluruh (Dao). Dengan

demikian, kerukunan (harmoni) dan keteraturan harus dipelihara setiap saat di dalam

jiwa individu, di dalam setiap aspek kehidupan sosial dan di dalam seluruh kosmos agar

semua ciptaan hidup dan berfungsi secara sempurna. Semua yang ada, termasuk

manusia, berasal dari Dao dan masing-masing mempunyai tempat yang tepat di

dalamnya. Inti dari Dao adalah mengajarkan bahwa ketidakharmonisan batin kita

dengan Dao adalah bahan penting yang hilang dari agama dan kehidupan yang benar.

Untuk menjalani kehidupan yang baik dan berdamai dengan alam semesta, seseorang

perlu hidup harmonis dengan Dao.

Dao dianggap sebagai sumber utama dan sifat dasar semua ciptaan. Segala

sesuatu adalah hasil dari Dao dan segala sesuatu menuju kepada Dao. Setiap mahluk

(9)

membuat setiap mahluk hidup, baik hewan atau tumbuhan, tanpa terelaknya

berhubungan dengan Dao. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat melawan aliran

harmonis dari alam. Jika seseaorang melakukannya akan menciptakan chaos di dalam

keseluruhan Dao dan menyebabkan ketidakseimbangan yang hebat. (Tong, 2010:23)

Begitu juga dengan puak poi di mana dipercayai bahwa artefak ritual ini

mengandung Dao, yang menjadi media penyalur keseimbangan hubunguan harmonis

antara manusia dengan Tuhan, Dewa dan Dewi, roh-roh leluhur, makhluk gaib, dan

lainnya. Manusia hanya dapat berkomunikasi dengan unsur-unsur tersebut melalui puak

poi. Itu sebabnnya di dalam setiap ritual masyarakat Tionghoa yang berhubungan

dengan komunikasi kepada Tuhan, Dewa dan Dewi, roh-roh leluhur, makhluk gaib,

selalu ditemukan puak poi sebagai media perantara. Keseluruhan ritual ini lazim disebut

sebagai paisin.

Paisin adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya

hubungan dengan Tuhan (Thien), Dewa, Dewi, roh-roh nenek moyang, atau kekuatan

gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Paisin dapat dilakukan

secara bersama-sama atau perseorangan. Dalam beberapa tradisi agama yang dianut

masyarakat Tionghoa, paisin dapat melibatkan nyanyian berupa himne, tarian,

pembacaan naskah agama dengan dinyanyikan atau disenandungkan, pernyataan formal

kredo, atau ucapan spontan dari orang yang berdoa (www.wikipedia.com Tradisi

Masyarakat Tionghoa).

Agama Buddha juga selalu menggunakan ritual paisin. Kegiatan berpaisin ini

ada yang mengaturnya dengan cara dapat dilakukan kapan saja dan oleh siapa saja.

(10)

mengaturnya dengan cara meritualkan kegiatan ini dengan berdasarkan waktu, tata cara,

dan urutan. Ada juga yang menerapkan aturan ketat mengenai apa saja yang harus

disediakan, misalnya benda persembahan (sesaji), serta kapan ritual itu harus dilakukan.

Puak poi adalah salah satu benda yang sering dijadikan tanda jawaban dari

Tuhan, Dewa, Dewi, roh-roh nenek moyang, dan makhluk alam gaib di dalam upacara

paisin orang-orang Tionghoa, terhadap pertanyaan-pertanyaan para pelaku upacara

paisin. Puak poi juga menjadi sarana bertanya kepada Tuhan dan Dewa untuk

mengobati orang yang sedang sakit, dengan obat apa ia disembuhkan. Dengan

demikian, secara umum, puak poi ini juga adalah ekspresi budaya rakyat, yang dapat

dijadikan sarana bertanya untuk berbagai hal kepada Tuhan/Dewa, roh leluhur, dan

mahkluk gaib, yang tidak dapat dijawab oleh manusia pada umumnya. Di dalam semua

yang berkaitan dengan puak poi.

Secara harfiah puak poi juga memiliki arti sebagai berikut : puak adalah meminta

petunjuk dengan melemparkan; sedangkan poi memiliki arti jadi atau terjadilah.

Menurut penjelasan Susanto Wijaya (informan penulis) puak poi dalam budaya China

telah ada sejak ribuan tahun lalu yang digunakan sebagai petunjuk mengenai apapun

kehidupan mereka. Puak poi merupakan salah satu benda dan sarana yang digunakan

untuk menanyakan hal yang ingin ditanyakan pada para Dewa atau roh leluhur, yang

telah diwariskan oleh nenek moyang dan perlu dilestarikan. Menurut pengamatan dan

pengalaman penulis puak poi ini dijumpai pada sebahagian besar upacara paisin

masyarakat Tionghoa.

Puak poi terbuat dari dua potong batang bambu, masing-masing berbentuk

(11)

Pada masa sekarang boleh dibuat dari bahan kayu (apa saja jenisnya). Zaman dahulu

puak poi berwarna seperti warna asli bambu, sedangkan pada saat sekarang ini puak poi

sebahagian besar terbuat dari kayu yang keseluruhan permukaan luarnya dicat warna

merah. Dalam kebudayaan Tionghoa, warna merah merupakan simbol keagungan atau

kehokian.

Adapun cara menggunakan puak poi dalam konteks upacara paisin tersebut

adalah sebagai berikut. Sebelum melemparkannya ke atas secara vertikal, terlebih

dahulu puak poi tersebut diasapi terlebih dahulu pada hio pada dupa yang telah dibakar,

sehingga ujungnya mengeluarkan asap. Kemudian puak poi tersebut diputar kedua

telapak tangan orang yang melakukan ritual paisin, mengelilingi hio dari arah kiri ke

kanan kemudian orang tersebut melemparkan puak poi ke lantai. Kegiatan ritual

menggunakan puak poi seperti itu juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di

Pematangsiantar.

Pematangsiantar sebagai salah satu kota di Sumatera Utara yang dimukimi

orang-orang Tionghoa. Mereka ini ada yang beragama Buddha, Konghucu, Kristen,

Islam, dan lainnya. Umumnya yang beragama Buddha, Konghucu (yang bersatu dengan

Tao) masih menjalankan ritual paisin secara rutin dan masih memegang kepercayaan

terhadap para leluhur dan Dewa. Masyarakat Tionghoa di kota ini ada yang percaya

fungsi dan makna dari puak poi tersebut. Mereka percaya bahwa puak poi tersebut

merupakan sarana komunikasi kepada Tuhan, Dewa dan roh leluhur yang dapat

memberikan petunjuk atas apa yang ingin ditanyakan seseorang pada saat paisin.

Contohnya mengenai pertanyaan tentang: karir, rezeki, nasib, kesehatan, pengobatan,

(12)

Puak poi juga banyak digunakan dalam upacara paisin, yang salah satunya pada

saat Ceng Beng. Pada saat Ceng Beng ini seluruh masyarakat Tionghoa akan ziarah ke

makam dan banyak sesajian yang disediakan. Biasanya puak poi juga digunakan untuk

menanyakan apakah para roh leluhur telah datang untuk makan, telah selesai makan,

dan telah mengizinkan para keluarga yang berziarah untuk pulang kembali ke rumahnya

masing-masing. Puak poi dalam konteks ini menjadi media perantara untuk

menfasilitasi komunikasi antara manusia dengan arwah leluhur. Dipercayai bahwa roh

leluhur akan menjawab melalui puak poi melalui tanda-tanda pada hasil lemparan di

depan kuburan ataupun meja persembahan yang telah dipenuhi oleh berbagai jenis

sesajian.

Keberadaan puak poi dalam upacara paisin, seperti diurai di atas sangat relevan

dikaji dari sisi ilmu budaya dan linguistik sekaligus sebagai ilmu yang penulis pelajari

dalam beberapa tahun belakangan ini. Untuk itu perlu dijabarkan sekilas mengenai dua

ilmu ini, yaitu ilmu antropologi budaya dan linguistik.

Pada prinsipnya, antropologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia

dan budaya yang dihasilkan oleh manusia tersebut. Antropologi budaya membantu kita

memahami berbagai adat dan tingkah laku yang dianut oleh masyarakat yang berbeda.

Di Inggris, bidang antropologi budaya awalnya disebut sebagai antropologi sosial.

Bidang ini berkaitan dengan kajian budaya yang berhubungan dengan struktur sosial,

agama, politik, dan berbagai faktor lainnya. Ruang lingkup bidang antropologi sangat

luas. Berbagai perubahan yang terjadi di dalam masyarakat akan tercermin dalam adat,

(13)

mengungkapkan gambaran terhadap budaya masyarakat tertentu, yang disebut sebagai

budaya.

Antropologi budaya adalah cabang antropologi yang mempelajari variasi budaya

manusia. Antropologi budaya mempelajari fakta tentang pengaruh politik, ekonomi, dan

faktor-faktor lain, dari budaya lokal yang terdapat di suatu daerah tertentu. Para

ilmuwan yang bekerja di bidang ini, dikenal sebagai antropolog budaya. Fakta dan data

budaya biasanya diperoleh melalui berbagai metode seperti survei, wawancara,

observasi, perekaman data, pengamatan terlibat (partisipant observer), pendekatan

emik dan etik, dan lainnya.

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, penelitian di bidang antropologi budaya

dimulai pada abad ke-19. Antropologi budaya mulai berkembang dengan bantuan upaya

yang dilakukan oleh ilmuwan antropologi Edward Tylor, J.G Frazen, dan Edward Tylor.

Mereka menggunakan bahan-bahan etnografis yang dikumpulkan oleh para pedagang,

penjelajah, dan misionaris untuk tujuan referensi. Dengan demikian, antropologi budaya

adalah cabang ilmu antropologi yang khusus mempelajari berbagai variasi budaya

manusia.

Dalam kaitannya dengan penulis skripsi sarjana ini, ilmu antropologi budaya

digunakan untuk mengkaji struktur dan makna puak poi pada upacara paisin, dalam

konteks kebudayaan masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha dan Konghucu

(bersatu dengan Tao) di Kota Pematangsiantar. Ilmu ini juga digunakan untuk

membantu mengkaji sejauh apa fungsi sosiobudaya artefak puak poi ini di dalam

kebudayaan masyarakat Tionghoa baik itu yang etniknya: Hokkian, Kwong Fu, Hakka,

(14)

Selanjutnya yang dimaksud bahasa dan ilmu bahasa adalah sebagai berikut. Ilmu

bahasa dinamakan linguistik. Kata linguistik berasal dari kata Latin lingua. Lingutsik

modern berasal dari sarjana Swiss Ferdinand de Saussure. De Saussure membedakan

langue dan langage. Ia membedakan juga parole dari kedua istilah tersebut. Bagi de

Saussure, langue adalah salah satu bahasa (misalnya bahasa Prancis, bahasa Inggris,

atau bahasa Indonesia) sebagai suatu sistem. Sebaliknya, langage berarti bahasa sebagai

sifat khas makhluk manusia, seperti dalam ucapan, "Manusia memiliki bahasa, binatang

tidak memiliki bahasa." Parole (tuturan) adalah bahasa sebagaimana dipakai secara

konkret. Ilmu linguistik sering disebut linguistik umum, artinya linguistik tidak hanya

menyelidiki salah satu bahasa saja, tetapi linguistik itu menyangkut bahasa pada

umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa linguistik

tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga langage, yaitu bahasa pada

umumnya. Objek kajian linguistik adalah bahasa. Yang dimaksud bahasa di sini adalah

bahasa dalam arti sebenarnya, yaitu bahasa yang digunakan oleh manusia sebagai alat

komunikasi, bukan bahasa dalam arti kias.

Sebagai objek kajian linguistik, parole merupakan objek konkret karena parole itu

berwujud ujaran nyata yang diucapkan oleh para bahasawan dari suatu masyarakat

bahasa. Langue merupakan objek yang abstrak karena langue itu berwujud sistem suatu

bahasa tertentu secara keseluruhan, sedangkan langage merupakan objek yang paling

abstrak karena dia berwujud sistem bahasa secara universal. Yang dikaji linguistik

secara langsung adalah parole itu, karena parole itulah yang berwujud konkret, nyata,

(15)

mendapatkan kaidah-kaidah suatu langue dan dari kajian terhadap langue ini akan

diperoleh kaidah-kaidah langage, kaidah bahasa secara universal.

Secara populer, orang sering menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu tentang

bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau lebih tepat lagi

telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Ilmu linguistik sering jugs disebut linguistik

umum (general linguistics). Artinya, ilmu linguistik itu tidak hanya mengkaji sebuah

bahasa saja, seperti bahasa Mandailing atau bahasa Arab, melainkan mengkaji seluk

beluk bahasa pada umumnya, bahasa yang menjadi alat interaksi sosial milik manusia,

yang dalam peristilahan Prancis disebut langage. Untuk jelasnya perhatikan contoh

berikut. Kata bahasa Indonesia perpanjang dapat dianalisis menjadi dua buah morfem,

yaitu morfem per- dan panjang. Morfem per- disebut sebagai morfem kausatif karena

memberi makna 'sebabkan jadi', perpanjang berarti 'sebabkan sesuatu menjadi panjang'.

Sekarang perhatikan bahasa Inggris (to) be friend yang berarti 'menjadikan sahabat'. Di

sini jelas ada morfem be- dan friend, dan morfem be- juga memberi makna kausatif.

Perhatikan pula kata bahasa Belanda vergroot 'perbesar'. Jelas di situ ada morfem

kausatif ver- dan morfem dasar groot yang berarti 'besar'. Dengan membandingkan

ketiga contoh itu, kita mengenali adanya morfem pembawa makna kausatif baik dalam

bahasa Indonesia, bahasa Inggris, maupun bahasa Belanda, ataupun dalam bahasa lain.

begitulah bahasa-bahasa di dunia ini meskipun banyak sekali perbedaannya, tetapi ada

pula persamaannya. Ada ciri-ciri yang universal. Hal seperti itulah yang diteliti

linguistik. Maka karena itulah linguistik sering dikatakan bersifat umum, dan karena itu

(16)

=definisi+ilmu+bahasa).

Dengan latarbelakang seperti yang telah dideskripsikan di atas, maka penulis

tertarik untuk meneliti fungsi dan makna puak poi pada upacara paisin dalam

kebudayaan masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar, dengan pendekatan ilmu budaya

dan bahasa atau linguistik. Adapun judul skripsi sarjana ini adalah: “Fungsi dan Makna

Puak Poi pada Upacara Paisin dalam Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di

Pematangsiantar.” Latar belakang penelitian ini dapat digambarkan melalui Bagan 1.1

(17)

Bagan 1.1

Latar Belakang Penelitian Fungsi dan Makna Puak Poi dalam Upacara

Paisin dalam Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

Pematangsiantar, Indonesia

Kristen, Islam, dll

Etnik: Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, dll

Masyarakat Tionghoa dan Kebudayaan di Negeri Tiongkok / di Perantauan (Hua Ren)

Alam Baka (Roh Leluhur, Makhluk Gaib)

Alam Langit (Tuhan [Thien]

Dewa, Dewi) Alam Bumi

Model Penelitian Kualitatif

Manusia

Komunikasi

Semiotik Teori Fungsionalisme

Linguistik

Antropologi Fungsi

Makna Paisin ( Sembahyang) Artefak Puak Poi

(18)

1.2 Batasan Masalah

Setiap penulisan karya ilmiah pastilah bertitik tolak dari adanya masalah yang

dihadapi dan perlu untuk dipecahkan. Agar penulisan skripsi ini terhindar dari batasan

yang terlalu luas dan kesimpangsiuran dalam menafsirkan, maka penulis akan

membatasi permasalahan pada fungsi dan makna puak poi pada upacara paisin

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

1.3 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan dan diuraikan oleh penulis

diatas, maka, penulis membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana fungsi puak poi pada upacara paisin masyarakat Tionghoa di Kota

Pematangsiantar?

2. Bagaimana makna puak poi pada upacara paisin masyarakat Tionghoa di kota

Pematangsiantar?

1.4 Tujuan Penelitian

Melalui penelitian ini, penulis memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan

penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis fungsi puak poi pada upacara paisin dalam kehidupan

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

2. Menganalisis makna puak poi pada upacara paisin dalam kehidupan

(19)

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah

penulis bagi ke dalam dua jenis manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

Kedua manfaat ini dijabarkan sebagai berikut.

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk mengembangkan pengetahuan dan

pemahaman tentang makna puak poi pada masyarakat Tionghoa secara umum dan pada

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar secara khusus. Selain itu juga untuk

mengetahui fungsi dari puak poi dalam kehidupan sehari-hari.Penelitian ini juga

diharapkan dapat menjadi referensi ataupun dapat dijadikan sebagai bahan

perbandingan penelitian-penelitian yang akan datang.

1.5.2 Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat Tionghoa secara umum, maupun

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar khususnya dapat memahami fungsi dan

Referensi

Dokumen terkait

Temuan keilmuan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) puak poi pada upacara paisin dalam budaya masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar berfungsi

Adapun tugas akhir yang diberi judul “Fungsi dan Makna Perayaan Sembahyang Arwah pada Upacara Penghormatan Leluhur Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar” ini disusun

Hasil yang diperoleh secara keilmuan pada (1) fungsinya adalah sebagai perwujudan rasa cinta kasih dan bakti anak cucu kepada leluhurnya, penyampai doa dan harapan agar kehidupan

Untuk mengkaji fungsi perayaan sembahyang arwah pada penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa Kota Pematangsiantar, penulis menggunakan teori fungsionalisme

Para makhluk yang berada di angkasa maupun di atas bumi, Para dewa dan para bijaksana yang berkuasa,.. Semoga mereka ikut serta mengenyam kebajikan kita Dan

Untuk mengkaji fungsi Tari Tibet dalam budaya masyarakat Tionghoa di Kota Medan, digunakan teori fungsionalisme dari disiplin ilmu budaya (antropologi budaya), khususnya

Puak poi pada upacara paisin dalam budaya masyarakat Tionghoa berfungsi sebagai: (1) Sarana komunikasi kepada (Tuhan, Dewa, dan leluhur), (2) Menyelesaikan berbagai

Pematangsiantar, yaitu: (a) fungsi dan (b) makna (bahasa dan budaya).Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang ditulis secara