• Tidak ada hasil yang ditemukan

Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual"

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)

KATONENG-KATONENG PADA UPACARA

CAWIR METUA DALAM BUDAYA KARO:

KAJIAN FUNGSI, STRUKTUR MELODI,

DAN MAKNA TEKSTUAL

Tesis

Program Studi Magister (S.2)

Penciptaan dan Pengkajian Seni Pertunjukan

Oleh

USAHA GINTING NIM 107037003

Kepada

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI

(2)

PESETUJUAN

Judul Tesis : KATONENG-KATONENG PADA UPACARA CAWIR METUA DALAM BUDAYA KARO: KAJIAN FUNGSI, STRUKTUR MUSIK, DAN MAKNA TEKSTUAL

Nama : USAHA GINTING

Nomor Pokok : 1070 37003

Program Studi : Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Ketua, Anggota,

Drs. Irwansyah, M.A. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

NIP 196512211991031001 NIP 195812131986011002

Program Studi:

Magister (S.2) Penciptaan dan

Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya

Ketua, Dekan,

Drs. Irwansyah, M.A. Dr. Syahron Lubis, M.A.

(3)

ABSTRACT

This magister thesis entitled Katoneng-Katoneng in Cawir Metua Ceremony at Karonese Culture: Analysis of Function, Music Structure, and Textual Meaning. The aims of this research are anAlyze and reach the goal about three aspect of katoneng-katoneng (Karonese traditional ceremony song genre): (a) uses and functions, (b) melodic musical structure; and (c) the meaning of song text.

To analyze the three aspects in katoneng-ketoneng I uses field works metodhs, as a participant observer, interview works, and recording data in the audiovisual formats. This research project also use qualitative method, which choose the key informant (as traditional Karonese singer called in Karo terminology perkolong-kolong) Siti Aminah (Sumpit) br Ginting. To study about katoneng-katoneng functions in Karo cultural generally or specially in cawir metua ceremony (“grand” die ceremony), I use functionalism theory both in cultural anthropology and ethnomusicology disciplines. Then, to analyze musical structure in the focus for melody aspect which singing by Sumpit br Ginting, I use weighted scale theory. After that, to studied the meaning of katoneng-katoneng, I use semiotic theory which based on both emic and ethic approaches.

In this research discover some scientific results as follows. Generally, katoneng-katoneng use in the context of mengket rumah mbaru (coming to the new house ceremony in Karonese culture), pesta tahun (yearly fiesta), and cawir metua (“grand “ die ceremony). These three contexs link to the thanks expression to the God with Her blessing. Especially in cawir metua ceremony, this songs functioned as: honorably to ancestor which die; thanks to the God about die as the complete human; ritual legitimation; emotional expression; continuity of culture; and social integration.

Then the melodic structure of katoneng-katoneng is using scales hexatonic (six-tone), using prime perfect intervals until major sixth, it’s ambitus in one octave, and strophic melodic formulas. Textual meanings contained in katoneng-katoneng is stressed to counsel and consolation to the raccoon rakut sitelu to sukut (host) and gratitude at implementation of the party, with the use of diction and style language that is motivated by concepts of culture Karo.

(4)

INTISARI

Tesis ini berjudul Katoneng-Katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji dan mendapatkan hasil penelitian dari tiga aspek nyanyian tradisional Karo katoneng-katoneng, yaitu: (a) fungsi (dan penggunaan), (b) struktur musik dengan fokus pada melodi, dan (c) makna tekstual.

Untuk mengkaji ketiga aspek tersebut penulis menggunakan metode-metode: penelitian lapangan yang bertindak sebagai pengamat partisipan, dengan melakukan wawancara, perekaman data dalam bentuk audiovisual. Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif dengan memilih informan kunci yaitu perkolong-kolong (penyanyi) Siti Aminah (Sumpit) br Ginting. Untuk mengkaji fungsi katoneng-katoneng baik dalam konteks budaya Karo yang luas maupun secara khusus pada upacara cawir metua, digunakan teori fungsionalisme dari disiplin antropologi budaya dan etnomusikologi. Selanjutnya untuk mengkaji struktur musik dengan fokus pada melodi yang dilantunkan Sumpit br Ginting, penulis menggunakan teori weighted scale. Seterusnya untuk mengkaji makna tekstual katoneng-katoneng ini digunakan teori semiotik yang berbasis kepada penafsiran secara emik dan etik sekaligus.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Katoneng -katoneng umum digunakan pada konteks upacara mengket rumah mbaru (memasuki rmah baru), pesta tahun, dan cawir metua. Ketiga konteks ini berkait erat dengan ungkapan syukur kepada Tuhan atas berkat-Nya. Khusus dalam upacara cawir metua, fungsinya adalah: sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia, sebagai ekspresi bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya; sebagai pengabsahan upacara; sebagai pengungkapan emosional; sebagai kesinambungan kebudayaan; dan sebagai integrasi sosial. Kemudian struktur melodi katoneng-katoneng adalah menggunakan tangga nada heksatonik (enam nada), dengan menggunakan interval prima murni sampai sekta mayor, ambitus satu oktaf, dan formula melodik yang strofik. Makna-makna tekstual yang terkandung di dalam katoneng-katoneng adalah menekankan kepada nasihat dan penghiburan pihak rakut sitelu kepada sukut (tuan rumah) dan rasa syukur ats terselenggaranya pesta, dengan menggunakan diksi dan gaya bahasa yang dilatarbelakangi oleh konsep-konsep kebudayaan Karo.

Kata kunci: katoneng-katoneng, cawir metua, fungsi, struktur music, makna tekstual.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah

ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.

Medan, Februari 2015

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena

berkat rahmat Tuhan tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Tesis ini bertajuk

Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi,

Struktur Musik, dan Makna Tekstual.

Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan jenjang

S-2 dan memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) pada Program Magister (SS-2)

Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara,

Medan. Tesis ini adalah hasil penelitian mengenai eksistensi katoneng-katoneng dalam

kebudayaan masyarakat Karo, terutama yang digunakan dalam konteks upacara cawir

metua. Perlu diketahui bahwa katoneng-katoneng juga digunakan pada upacara

mengket rumah mbaru dan juga pesta tahun di Tanah Karo Simalem. Ada tiga pokok

masalah yang penulis kaji di dalam tesis magister ini, yaitu tentang fungsi, struktur

musik, dan makna tekstual katoneng-katoneng.

Secara kelembagaan, pertama sekali penulis mengucapkan terima kasih

kepada Rektor Universitas Sumatera Utara dan segenap jajarannya atas segala

kebijakan pengelolaan studi magister seni penulis selama ini. Ucapan terima kasih juga

kepada Bapak Dekan FIB USU, Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. dan segenap

jajarannya yang juga memberikan banyak pelajaran terutama dalam konteks studi

penulis selama ini. Arahan-arahan mereka tersebut membuat penulis semakin

termotivasi dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

Selama proses penyusunan tesis, penulis mendapatkan bimbingan dan arahan

(7)

Bapak Bapak Drs Torang Naiborhu, M.Hum., dan Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A.

Terima kasih atas segala saran-saran konstruktif keilmuan dari mereka ini, yang dapat

memberikan pencerahan dan tambahan wawasan keilmuan bagi penulis. Tim

pembimbing dan penguji ini sungguh banyak membantu penulis terutama kesabaran

dan ketelatenan dalam penulisan tesis ini. Begitu pula ucapan terima kasih kepada

seluruh dosen yang mengajar di Program Studi Magister Penciptaan dan pengkajian

Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Mereka itu adalah:

Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si.; Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.; Dr. Muhizar Muchtar,

M.S.; Dr. Ridwan Hanafiah, M.A.; Dra. Rithaony, M.A.; Yusnizar Heniwaty, SST,

M.Hum.; Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.; Drs. Perikuten Tarigan, M.A., dan

lain-lainnya.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. Ponisan

selaku pegawai pada Program studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni,

yang telah memberikan banyak bantuan dan kemudahan administratif dan lainnya

kepada penulis sejak awal duduk di bangku perkuliahan hingga menyelesaikan tesis

ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis.

Yang pertama adalah ibunda almarhum C. br Pinem, juga ayahanda P. Ginting yang

telah mendidik penulis sejak sekolah dasar, menangah, kemudian sampai pula di

Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, dan kini pada Program Studi Magister

Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Dalam rangka studi ini, sebagai seorang anak, maka penulis juga mengabadikan

(8)

dituliskan ini menjadi semangat ananda untuk mengabdi kepada masyarakat Karo,

serta bangsa Indonesia pada umumnya.

Kepada Teman-teman kuliah angkatan 2010 Magister (S-2) Penciptaan dan

Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, diucapkan

terimakasih untuk kebaikannya. Demikian pula angkatan 2009, 2011, 2012, 2013, dan

2014, semoga ilmu yang kita peroleh dapat kita abdikan kepada kepentingan nusa dan

bangsa Indonesia ini.

Penulis mengucapkan beribu-ribu maaf bila ada kata yang kurang berkenan,

mohon jangan disimpan di dalam hati. Akhir kata, penulis berterima kasih kepada

seluruh pihak yang sudah membantu penyusunan tesis ini. Semoga hasil penelitian dari

tesis ini dapat berguna bagi dunia penelitian seni pada umumnya dan bagi kebudayaan

musikal masyarakat Karo pada khususnya. Terkahir kali, semoga Tuhan Yang Maha

Kuasa selalu memberkati bangsa ini menjadi bangsa yang maju, damai, sentosa, dan

bertakwa.

Medan, 10 Februari 2015 Penulis,

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR PETA, GAMBAR, TABEL, BAGAN, DAN DIAGRAM ... xii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xiii

PERNYATAAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 20

1.3 Pembatasan Masalah ... 21

1.4 Tujuan dan Manfaat ... 22

1.4.1 Tujuan penelitian ... 22

1.4.2 Manfaat penelitian... 22

1.5 Konsep dan Teori ... 23

1.5.2.1 Teori fungsionalisme ... 30

1.5.2.2 Teori weighted scale ... 39

1.7.4 Metode Transkripsi dan Analisis ... 57

1.8 Organisasi Tulisan ... 58

BAB II. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO DAN KEBUDAYAANNYA ... 60

2.1 Geografis ... 63

2.2 Sistem Kekekrabatan ... 67

2.3 Sistem Kepercayaan ... 76

2.4 Sistem Pemerintahan Tradisional ... 78

2.5 Kesenian ... 80

2.5.1 Seni sastra ... 81

(10)

2.5.3.2.1 Musik vokal ... 87

2.5.3.2.2 Musik instrumental ... 88

2.5.3.3 Ensambel musik tradisional Karo... 89

2.5.3.3.1 Gendang lima sidalanen ... 89

2.5.3.3.2 Gendang telu sidalanen ... 97

2.5.3.3.3 Solo instrumen ... 98

2.5.4 Seni tari ... 101

2.5.4.1 Tari berkaitan dengan adat ... 102

2.5.4.2 Tari berkaitan dengan ritual keagamaan ... 104

BAB III. DESKRIPSI UPACARA CAWIR METUA, SERTA PENGGUNAAN GENDANG DAN KATONENG-KATONENG ... 109

3.1 Siklus Hidup Manusia dalam Konsep Kebudayaan Karo ... 109

3.2 Kematian dalam Konsep Tradisional Karo ... 114

3.3 Pengertian Cawir Metua ... 117

3.4 Tujuan Upacara Cawir Metua ... 119

3.5 Proses Upacara Cawir Metua ... 120

BAB IV. PENGGUNAAN DAN FUNGSI KATONENG-KATONENG ... 137

4.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi ... 137

4.2 Penggunaan Katoneng-katoneng dalam Budaya Karo ... 142

4.2.1 Penggunaan pada upacara mengket rumah mbaru ... 143

4.2.2 Penggunaan pada upacara cawir metua ... 146

4.2.3 Penggunaan pada pesta tahun ... 149

4.2 Fungsi Katoneng-katoneng dalam Upacara Cawir Metua ... 154

4.2.1 Fungsi sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia ... 154

4.2.2 Fungsi sebagai ekspresi bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya ... 156

4.2.3 Fungsi sebagai pengabsahan upacara ... 157

4.2.4 Fungsi sebagai pengungkapan emosi ... 158

4.2.5 Fungsi sebagai kesinambungan kebudayaan ... 160

4.2.6 Fungsi sebagai integrasi sosial ... 161

BAB V. KAJIAN STRUKTUR MELODI LAGU KATONENG-KATONENG .. 165

5.1 Proses Transkripsi dan Hasil Notasi ... 163

5.2 Tangga Nada ... 168

BAB VI. MAKNA TEKS LAGU KATONENG-KATONENG ... 181

6.1 Seputar Studi teks Nyanyian ... 181

6.2 Katoneng-katoneng oleh Sumpit br Ginting ... 182

6.3 Makna Teks Katoneng-katoneng untuk Sembuyak ... 183

6.4 Makna Teks Katoneng-katoneng untuk Kalimbubu ... 187

(11)

7.2 Saran-saran ... 195

DAFTAR PUSTAKA ... 196 DAFTAR INFORMAN ... 197

(12)

DAFTAR PETA, GAMBAR, TABEL, BAGAN, DAN DIAGRAM

Peta 2.1 Kabupaten Karo ... 65

Gambar 2.1 Lambang Kabupaten Karo ... 66

Tabel 2.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Setiap Kecamatan di Kabupaten Karo ... 68

Tabel 2.2 Induk Merga dan Sub Merga dalam Konteks Merga Silima ... 65

Bagan 2.1 Hubungan Rakut Sitelu, Merga Silima dan Tutur Siwaluh dalam Kebudayaan Karo ... 78

Gambar 2.2 Penarune ... 93

Gambar 2.3 Pemain Musik Gendang Lima Sidalanen ... 94

Gambar 2.4 Sarune ... 96

Gambar 2.5 Gendang Singindungi ... 98

Gambar 2.6 Gendang Singanaki ... 98

Gambar 2.7 Penganak dan Palu-palu ... 100

Gambar 2.8 Gung dan Palu-palu ... 101

Bagan 3.1 Daur Hidup dan Jenis Kematian dalam Persepsi Kebudayaan Karo ... 122

Gambar 3.1 Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting Sedang Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng ... 132

Gambar 3.2 Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting Sedang Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng Diiringi Landek ... 133

Gambar 3.3 Foto Kelompok Kalimbubu Diwakili Laki-laki Sedang Menyampaikan Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting ... 136

Gambar 3.4 Kelompok Kalimbubu Diwakili Perempuan Sedang Menyampaikan Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting ... 137

Gambar 3.5 Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan Kata Pengalo-ngalo Penyambutan kepada Sangkep Nggeluh (Kerabat Adat) ... 138

Gambar 3.6 Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan Kata Pengalo-ngalo Penyambutan kepada Sangkep Nggeluh ... 138

(13)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Drs. Usaha Ginting

Alamat : Jln. Letjen Jamin Ginting 177 B Medan

Agama : Katholik

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan : - Tamat dari Sekolah Dasar (SD) Negeri Taneh Pinem pada tanggal 14

Desember 1973.

- Tamat dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Swasta Harapan

Taneh Pinem pada tanggal 4 Desember 1976.

- Tamat dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta Garuda Medan

pada tanggal 28 April 1981.

- Tamat Strata Satu (S-1) Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra,

Universitas Sumatera Utara pada tanggal 3 September 1988.

(14)

ABSTRACT

This magister thesis entitled Katoneng-Katoneng in Cawir Metua Ceremony at Karonese Culture: Analysis of Function, Music Structure, and Textual Meaning. The aims of this research are anAlyze and reach the goal about three aspect of katoneng-katoneng (Karonese traditional ceremony song genre): (a) uses and functions, (b) melodic musical structure; and (c) the meaning of song text.

To analyze the three aspects in katoneng-ketoneng I uses field works metodhs, as a participant observer, interview works, and recording data in the audiovisual formats. This research project also use qualitative method, which choose the key informant (as traditional Karonese singer called in Karo terminology perkolong-kolong) Siti Aminah (Sumpit) br Ginting. To study about katoneng-katoneng functions in Karo cultural generally or specially in cawir metua ceremony (“grand” die ceremony), I use functionalism theory both in cultural anthropology and ethnomusicology disciplines. Then, to analyze musical structure in the focus for melody aspect which singing by Sumpit br Ginting, I use weighted scale theory. After that, to studied the meaning of katoneng-katoneng, I use semiotic theory which based on both emic and ethic approaches.

In this research discover some scientific results as follows. Generally, katoneng-katoneng use in the context of mengket rumah mbaru (coming to the new house ceremony in Karonese culture), pesta tahun (yearly fiesta), and cawir metua (“grand “ die ceremony). These three contexs link to the thanks expression to the God with Her blessing. Especially in cawir metua ceremony, this songs functioned as: honorably to ancestor which die; thanks to the God about die as the complete human; ritual legitimation; emotional expression; continuity of culture; and social integration.

Then the melodic structure of katoneng-katoneng is using scales hexatonic (six-tone), using prime perfect intervals until major sixth, it’s ambitus in one octave, and strophic melodic formulas. Textual meanings contained in katoneng-katoneng is stressed to counsel and consolation to the raccoon rakut sitelu to sukut (host) and gratitude at implementation of the party, with the use of diction and style language that is motivated by concepts of culture Karo.

(15)

INTISARI

Tesis ini berjudul Katoneng-Katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji dan mendapatkan hasil penelitian dari tiga aspek nyanyian tradisional Karo katoneng-katoneng, yaitu: (a) fungsi (dan penggunaan), (b) struktur musik dengan fokus pada melodi, dan (c) makna tekstual.

Untuk mengkaji ketiga aspek tersebut penulis menggunakan metode-metode: penelitian lapangan yang bertindak sebagai pengamat partisipan, dengan melakukan wawancara, perekaman data dalam bentuk audiovisual. Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif dengan memilih informan kunci yaitu perkolong-kolong (penyanyi) Siti Aminah (Sumpit) br Ginting. Untuk mengkaji fungsi katoneng-katoneng baik dalam konteks budaya Karo yang luas maupun secara khusus pada upacara cawir metua, digunakan teori fungsionalisme dari disiplin antropologi budaya dan etnomusikologi. Selanjutnya untuk mengkaji struktur musik dengan fokus pada melodi yang dilantunkan Sumpit br Ginting, penulis menggunakan teori weighted scale. Seterusnya untuk mengkaji makna tekstual katoneng-katoneng ini digunakan teori semiotik yang berbasis kepada penafsiran secara emik dan etik sekaligus.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Katoneng -katoneng umum digunakan pada konteks upacara mengket rumah mbaru (memasuki rmah baru), pesta tahun, dan cawir metua. Ketiga konteks ini berkait erat dengan ungkapan syukur kepada Tuhan atas berkat-Nya. Khusus dalam upacara cawir metua, fungsinya adalah: sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia, sebagai ekspresi bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya; sebagai pengabsahan upacara; sebagai pengungkapan emosional; sebagai kesinambungan kebudayaan; dan sebagai integrasi sosial. Kemudian struktur melodi katoneng-katoneng adalah menggunakan tangga nada heksatonik (enam nada), dengan menggunakan interval prima murni sampai sekta mayor, ambitus satu oktaf, dan formula melodik yang strofik. Makna-makna tekstual yang terkandung di dalam katoneng-katoneng adalah menekankan kepada nasihat dan penghiburan pihak rakut sitelu kepada sukut (tuan rumah) dan rasa syukur ats terselenggaranya pesta, dengan menggunakan diksi dan gaya bahasa yang dilatarbelakangi oleh konsep-konsep kebudayaan Karo.

Kata kunci: katoneng-katoneng, cawir metua, fungsi, struktur music, makna tekstual.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki kekayaan kebudayaan

etnik. Kebudayaan ini tersebar dari wilayah Aceh sampai Papua, atau dari Sabang

di ujung barat sampai ke Merauke di ujung timur, dan dari Rote di ujung utaranya

sampai Talaud di ujung selatan. Negara ini juga memiliki konsep kebudayaan

multikultural yang diwadahi dalam filsafat kebangsaan bhinneka tunggal ika, biar

berbeda-beda tetap satu juga. Keberadaan multikultural Indonesia ini juga

tercermin di dalam kawasan Sumatera Utara.

Sumatera Utara1

1

Pada masa penjajahan Belanda, di Sumatera Utara yang dikenal sekarang terdapat dua provinsi (afdeeling), yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Ada perbedaan pengertian antara Sumatera Utara dengan Sumatera Timur. Wilayah Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra dalam Bahasa Belanda atau East Coast of Sumatra dalam Bahasa Inggeris) mencakup Provinsi Sumatera Utara sekarang di luar Tapanuli, ditambah daerah Bengkalis Provinsi Riau--secara budaya termasuk pula Tamiang Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lebih jauh lihat Blink, dalam bukunya Sumatra's Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest, (s'Gravenhage: Mouton & Co., 1918:1 dan 9). Kini Sumatera Utara adalah salah satu dari 34 Provinsi di Indonesia, yang mencerminkan budaya multikultural. Kawasan ini dihuni etnik natif: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias. Begitu juga etnik-etnik Nusantara seperti: Ageh Raya, Kluet, Simeulue, Alas, gayo, Aneuk Jamee, Melayu Tamiang, Minangkabau, Jawa, Sunda, Banjar, Bugis, Makasar, dan lainnya. Kawasan ini juga dihuni oleh etnik-etnik dunia yang datang dengan berbagai motif sosiobudaya seperti orang-orang: Hokkien, Kwong Fu, Hakka, Khek, Kanton, Tamil, Kerala, Sindi, Punjabi, Sikh, Arab, Eropa, dan lain-lainnya. Secara administratif provinsi yang beribu kota Medan ini, didukung pula oleh pemerintahan kabupaten dan kota, seperti: Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Batubara, Asahan, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan, Tapanuli Selatan, Madina, Padanglawas Utara, Padanglawas Selatan, Kota Sibolga,

adalah salah satu provinsi di dalam wilayah Negara

(17)

heterogen, dengan berdasar kepada nilai-nilai multikulturalisme. Etnik-etnik yang

mendiami kawasan Sumatera Utara ini, dalam konteks pemerintahan Republik

Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan etnik setempat yang

terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Batak Toba,

Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik pendatang dari Nusantara: Minangkabau,

Aceh, Banjar, Jawa; serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil,

Benggali, dan Eropa.

Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera Utara,

menerima cara pembagian kelompok-kelompok etnik setempat ke dalam

delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia.

Keberadaan etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut.

The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan ... North Sumatrans often divide the indigenous (that is, non-immigrant) population of the province into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku). ... The broad Batak ethnic group is ussually divided into six main communities — Pakpak-Dairi Dairi, Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a broadly similar social organisation (patrilineal, exogamus dans) and related languages, but important social, religious and linguistic differences also divide them. The sharpest linguistic division is between the Karo/Pakpak-Dairi Dairi groups in the north and west and the Toba/Mandailing/ Angkola-Sipirok groups in the south. The Simalungun group falls between the two extreme points of contrast (Goldsworthy, 1979:6).

(18)

Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir,

dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan

populasi setempat (yaitu mereka yang bukan imigran), yang biasa disebut

dengan suku-suku. Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi

pada lima komunitas utama, yaitu: Pakpak-Dairi, Batak Toba, Angkola-Sipirok,

Mandailing, Karo, dan Simalungun. Keenam komunitas utama ini mempunyai

organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen

yang eksogamus.2 Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang

berbeda. Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan

Pakpak-Dairi di utara dan barat—dengan kelompok Toba, Mandailing,

Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara dua sistem

linguistik ini.3

Sumatera adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang terdiri dari

sekitar 3.000 pulau-pulau. Pulau Sumatera ini mencakup wilayah sebesar

473.606 km (Fisher, 1977:455-457). Pulau ini mempunyai panjang lebih dari

1.920 km yang membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar

maksimum sebesar 384 km. Sumatera adalah pulau di sebelah barat

2Yang dimaksud klen eksogamus adalah sistem kemasyarakatan dalam sebuah suku,

yang norma pemilihan pasangan hidupnya berasal dari kelompok luar tertentu. Lihat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1993:400). Dalam konteks masyarakat Batak, klen yang sama dilarang kawin. Jika mereka melakukan pelanggaran terhadap norma yang telah ditetapkan secara adat ini, maka mereka biasanya dikenakan sanksi sosial dan budaya.

3

(19)

Indonesia, yang terentang dari 6º LU sampai 6º LS secara latitudinal dan 95º

sampai 110º BT secara longitudinal (Whitington, 1963:203). Sumatera juga

dikelilingi oleh pulau-pulau di sekitarnya, baik yang berdekatan dengan

pantai barat ataupun timurnya. Pulau-pulau ini secara administratif ikut ke

dalam pemerintahan daerah di Sumatera. Struktur geologis Pulau Sumatera

didominasi oleh rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Rangkaian pegunungan ini

sampai ke wilayah Selat Sunda. Sumatera dibagi menjadi lima Provinsi atau

Daerah Tingkat I. Sumatera adalah kawasan yang sangat cocok untuk bidang

pertanian dan perikanan (Whitington, 1963:539). Sebahagian besar penduduk

Sumatera tergolong ke dalam ras proto-Mongoloid (Fisher, 1977:456), dan

berbahasa sama dengan kelompok bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia

(Howell, 1973:80-81).

Seperti terurai di tas, salah satu etnik natif Sumatera Utara adalah etnik

Karo. Berdasarkan wilayah budayanya etnik Karo ini mendiami kawasan

Kabupaten Karo, sampai juga ke Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan

lainnya. Ditambah juga berbagai kawasan perantauannya di zaman Indonesia

merdeka, seperti Riau, Riau Kepulauan, Jakarta, Bandung, dan berbagai tempat di

kawasan Indonesia. Secara budaya, orang-orang Karo ini membagi wilayah

budaya mereka, ke dalam dua kategori yaitu Karo Gugung, yang wilayahnya

berada pada dataran tinggi Bukit Barisan, dan Karo Jahe [Ka.ro Ja.hê] yang

(20)

Secara umum masyarakat Karo memiliki seni musik, baik itu musik

instrumentalia, nyanyian, atau gabungan keduanya. Secara ensambel, di dalam

kebudayaan Karo dikenal gendang lima sidalanen, gendang telu sidalanen, dan

ensambel musik keyboard [ki.bod] Karo. Di antara musik vokal atau nyanyian

Karo, yang paling terkenal dan menjadi induk dari semua lagu-lagu tradisional

Karo adalah katoneng-katoneng.4

Katoneng-katoneng [ka.to.nêng-ka.to.nêng] merupakan nyanyian

tradisional etnik5

4

Istilah katoneng-katoneng ini, dalam konteks bahasa Karo terjadi dua versi penyebutan. Yang pertama adalah katoneng-katoneng yang secara fonetis diucapkan ka.to.nêng-ka.to.nêng. Kemudian versi kedua ada yang menyebutnya kateneng-kateneng, yang secara fonetis diucapkan dengan ka.tê.nêng-ka.tê.nêng. Kedua versi penyebutan ini merujuk kepada genre seni yang sama dan memiliki makna yang sama. Keduanya hanyalah ekspresi dari dialek dan sosiolok di dalam kebudayaan Karo.

Karo yang sangat rumit, baik ditinjau dari aspek struktural

maupun konteks sosialnya. Dari aspek struktural, di samping melodi lagunya

yang sangat khas, teks nyanyiannya pun harus diciptakan dengan spontanitas

sesuai dengan situasi yang berlangsung dalam konteks upacara apa ia digunakan.

Secara fungsional, lagu-lagu katoneng-katoneng ini, difungsikan dalam berbagai

aktivitas sosial dan budaya di dalam masyarakat Karo, seperti: upacara mengket

rumah mbaru (masuk ke rumah baru), cawir metua (kematian seseorang yang

5

(21)

berbeda-dipandang sempurna di dalam masa kehidupannya), sampai juga pesta guro-guro

aron, sebagai ekspresi masyarakat Karo yang agraris, kerja tahun, dan

lain-lainnya.

Pada umumnya, mereka yang mampu melakukan aspek estetis, fungsional,

spontanitas tersebut adalah perkolong-kolong6 (penyanyi dan penari profesional

Karo); terutama perkolong-kolong yang mengkhususkan dirinya untuk tugas itu.

Dalam kenyataan sosial, pada kebudayaan Karo, beberapa di antara mereka,

menurut pengamatan penulis adalah: Jenni br Sembiring, Sumpit br Ginting,

Ngalemisa br Ginting, Ramlah br Karo, Arus Perangin-angin, Sabar br Sitepu,

Unjuk br Ginting, dan lain sebagainya.7

Ada juga perkolong-kolong lain yang tidak mengkhususkan diri untuk

tugas profesional itu. Menurut pengamatan penulis adalah: Anita br Sembiring,

Samuel Sembiring, Nana br Sitepu, Keleng Barus, Ardin Ginting, dan lain

sebagainya. Nama-nama yang disebutkan terakhir ini, adalah mereka yang

menerima tugas hanya untuk acara-acara hiburan; misalnya acara gendang

guro-guro aron, kerja tahun, dan acara-acara hiburan lainnya. Pada acara-acara hiburan

6

Dalam kebudayaan musik Karo, perkolong-kolong ini dapat dipahami sebagai seorang penyanyi profesional, yang dibayar untuk bernyanyi dalam sebuah aktivitas budaya tertentu karena keahliannya tersebut. Perkolong-kolong ini bisa saja perempuan dan boleh juga laki-laki. Di sisi lain, dalam persepsi pemusik tradisional Karo penyanyi dengan pemain musik dibedakan istilahnya. Untuk penyanyi tersebut disebut perkolong-kolong, sementara pemusik secara umum disebut dengan si erjabaten [si ér.ja.ba.tên]. Kemudian kelompok pemusik atau pemain musik ini dibagi lagi kepada peranannya dalam gendang lima sedalanen atau telu sedalanen. Kalau ia bermain gung disebut si malu gung, kalau ia pemain sarune [sa.ru.né] disebut panarune

[pa.na.ru.né]pemain gendang disebut si malu gendang, dan seterusnya.

7

(22)

sejenis ini, nyanyian katoneng-katoneng dilantunkan hanya sekedarnya; yakni

pada saat pembukaan acara.

Menurut keterangan perkolong-kolong Arus Perangin-angin, lagu

katoneng-katoneng merupakan indung (induk) dari lagu-lagu Karo. Artinya

bahwa seseorang yang telah menguasai secara teknis nyanyian

katoneng-katoneng, dengan sendirinya dianggap menguasai lagu-lagu Karo lainnya.

Selanjutnya, menurut keterangan bapak Timbangen Perangin-angin yang juga

merupakan seorang perkolong-kolong yang dipandang sebagai senior dalam

kebudayaan Karo, bahwa ada setidaknya enam kriteria yang harus dipenuhi oleh

seorang perkolong-kolong agar mampu menyajikan lagu katoneng-katoneng

dengan baik. Kriteria-kriteria tersebut adalah:

(1) Memahami bahasa Karo dengan baik.

(2) Memiliki pengetahuan yang luas tentang adat atau peradatan Karo.

(3) Mampu memproduksi rengget (ornamen) dengan sempurna.

(4) Tidak terlalu sering menyanyikan syair secara berulang-ulang.

(5) Mengerti akan makna dari melodi sarune, serta mampu melaksanakannya

dengan baik.

(6) Mampu mengungkapkan teks dengan menggunakan anding-andingen

Karo.8

8Anding-andingen

adalah perumpamaan dalam tradisi lisan pada kebudayaan Karo. Perumpamaan ini bisa saja dinyanyikan, dituturkan, didongengkan, dan berbagai jenis enkulturasi tradisi lisan lainnya. Lebih jauh lagu pengungkapanm teks anding-andingen ini juga berarti bahwa perkolong-kolong tersebut memahami dan menghayati filsafat kebudayaan Karo pada umumnya,

(23)

Nyanyian katoneng-katoneng biasanya ditampilkan dalam upacara mengket

rumah mbaru (memasuki rumah baru), upacara cawir metua (meninggal dunia),

maupun acara adat lainnya, seperti: pembukaan pada acara guro-guro aron, pesta

kerja tahun (pesta tahunan), dan lain sebagainya. Dengan demikian sebagai

sebuah genre nyanyian tradisional, penggunaan katoneng-katoneng ini cukup luas

di dalam kebudayaan Karo.

Namun demikian, dalam realitas sosial, kehadiran perkolong-kolong

terutama pada upacara mengket rumah mbaru dan upacara cawir metua bukanlah

suatu keharusan, karena banyak pelaksanaan upacara dimaksud di atas tanpa

menghadirkan perkolong-kolong. Hal itu terjadi disebabkan pertimbangan

ekonomi, karena untuk mendatangkan seorang perkolong-kolong saja, pihak sukut

(penyelenggara upacara adat) harus mengeluarkan biaya berkisar 2 sampai 3

juta. Meskipun jumlah itu kadang-kadang masih dapat dirundingkan oleh kedua

belah pihak (sukut dan perkolong-kolong). Selain pertimbangan ekonomi, alasan

lain juga adalah karena pertimbangan adat. Karena apabila pihak sukut

mendatangkan perkolong-kolong, maka harus melibatkan kaum kerabat lebih

banyak untuk pelaksanaan upacara adatnya.

Pada acara guro-guro aron dan kerja tahun, perkolong-kolong

sepengetahuan penulis, secara budaya wajib dilibatkan. Biasanya mereka terdiri

dari 2 (dua) orang—seorang perkolong-kolong laki-laki dan seorang

perkolong-kolong perempuan (sepasang). Pada acara ini, peran perkolong-kolong tidak

(24)

lagu-lagu tradisional lainnya, seperti misalnya: lagu-lagu Sada Perarih, Diding-diding,

Rimo Malem, Olakisat, dan lain sebagainya. Selain itu, perkolong-kolong juga

menampilkan atraksi lain yang sangat digemari oleh orang Karo, yakni adu

perkolong-kolong (berupa perlombaan atau pertandingan kemahiran dan

keterampilan estetika mereka).

Pada pesta perkawinan adat karo, lagu katoneng-katoneng berisikan

nasehat dan doa kepada kedua mempelai agar rukun dan damai dalam rumah

tangga yang baru. Dalam upacara mengket rumah mbaru (masuk rumah baru)

lagu katoneng-katoneng berisikan doa agar keluarga yang memasuki rumah yang

baru, sehat-sehat dan dikaruniai rejeki yang berlimpah. Sedangkan dalam upacara

cawir metua (kematian), lagu katoneng-katoneng berisikan tentang doa dan

penghiburan kepada keluarga yang berduka, karena ditinggalkan salah seorang

kerabatnya ke alam kubur.

Pada acara guro-guro aron teks nyanyian katoneng-katoneng juga

berisikan doa dan apresiasi terhadap kerja panitia penyelenggara, sedangkan pada

acara kerja tahun teks nyanyian katoneng-katoneng berisikan tentang ucapan

syukur terhadap panen yang berhasil untuk tahun ini, serta harapan dan doa agar

masa-masa yang akan datangpun aktifitas pertanian mendapat hasil yang

berlimpah, sehingga acara seperti ini dapat dilaksanakan lagi pada tahun depan.

Perkolong-kolong memiliki kebebasan untuk membentuk struktur teks dan

melodi lagu tersebut sesuai dengan kemampuannya. Karena setiap

(25)

mempunyai pola tersendiri dalam penyajian melodi maupun teks nyanyian

katoneng-katoneng dalam berbagai upacara yang diikutinya. Sehingga, pola

tersebut dapat dianggap sebagai ciri khas dari perkolong-kolong yang

bersangkutan.

Meskipun perkolong-kolong memiliki kebebasan untuk membentuk

struktur teks dan melodi lagu, namun teks nyanyian katoneng-katoneng pada

umumnya memiliki struktur yang tetap dan baku. Ketiga struktur itu terdiri dari:

(1) pembukaan, (2) isi, dan (3) penutup.

Bagian pertama, nyanyian katoneng-katoneng adalah pembukaan yang mana

teksnya merupakan sebuah pengantar bagi seorang perkolong-kolong untuk

memperkenalkan diri kepada mereka yang terlibat di dalam upacara berkenaan.

Perkolong-kolong akan menyatakan merga/beru (klen) apa yang disandangnya,

menyebutkan darimana ianya berasal, menetapkan posisi adatnya dengan pihak

sukut (yang punya hajatan). Kesempatan ini juga digunakan perkolong-kolong

untuk memperkenalkan teman-temannya yang lain dari kelompok si erjabaten

(pemain musik tradisional). Bagian selanjutnya dari teks pembukaan nyanyian

katoneng-katoneng melukiskan situasi, alasan atau tujuan dari pelaksanaan

upacara tersebut.

Bagian kedua, merupakan teks isi yang biasanya berisi nasehat, dan

pengharapan, dan juga penghiburan kepada pihak yang berduka cita. Bagian ini

merupakan bagian yang sangat dramatis, karena merupakan inti dari keseluruhan

(26)

tertentu (terutama kerabat dekat/saudara kandung yang meninggal dunia) sampai

menitikkan air mata ketika mendengarkan nyanyian dari perkolong-kolong. Pada

bagian ini juga adakalanya perkolong-kolong memposisikan diri sebagai orang

yang sudah meninggal itu, seolah-olah sedang menyampaikan kata-kata

nasehatnya kepada keluarganya maupun kerabat lainnya.

Bagian ketiga, adalah teks penutup adalah bagian akhir dari nyanyian

katoneng-katoneng. Teksnya berisikan permohonan maaf perkolong-kolong

kepada pihak-pihak yang diwakilkannya maupun kepada pihak-pihak lain yang

menjadi tujuan nyanyiannya, jika seandainya ada kata-kata yang kurang berkenan.

Dengan rendah hati perkolong-kolongakan menyatakan bahwa ianya tidak

bermaksud lancang berkata-kata, namun karena hanya sedemikian kemampuan

yang dimilikinya.

Penyajian lagu katoneng-katoneng pada pola di atas ini biasanya

dilakukan pada sesi pertama perkolong-kolong menyampaikan nyanyiannya.

Namun, pada penyajian sesi kedua dan seterusnya, perkolong-kolong sering tidak

lagi menggunakan struktur yang pertama tetapi langsung menuju struktur yang

kedua, dan dilanjutkan dengan struktur yang ketiga.

Bahasa yang dipergunakan dalam nyanyian katoneng-katoneng

menggunakan strata tertentu dalam bahasa Karo yang disebut dengan cakap lumat

(bahasa halus). Kata-kata yang diucapkan tidak seluruhnya mengandung makna

denotatif, tetapi lebih cenderung kepada makna konotatif. Kata-kata yang

(27)

falsafah-falsafah tertentu dari orang Karo. Di antara falsafah hidup orang karo

yang tercermin di dlam teks katoneng-katoneng itu adalah dalam frase bahasa

tambar malem mergana (artinya Perangin-angin marganya, dengan segala

kelebihan klen ini); tinebus Ginting mergana (istri dari marga Ginting dan segala

kelebihan kultural dan historis dari perempuan Karo ini), dan lain sebagainya.

Dalam penyajian lagu katoneng-katoneng sering juga digunakan majas

(figurative language), yang merupakan bahasa kias atau gaya bahasa. Pemakaian

gaya bahasa metafora terutama ditujukan kepada pihak kalimbubu untuk

menunjukkan penghormatan pihak lain kepada kelompok ini. Misalnya untuk

pemakaian bahasa dibata idah kami (artinya tuhan kami yang nampak). Hal itu

untuk menunjukkan bahwa pihakkalimbubu ditempatkan pada posisi yang tinggi

dan agung. Gaya bahasa simbolisme terutama ditujukan kepada anak beru, untuk

menunjukkan tanggung jawab dan kesetiannya kepada pihak kalimbubu kepada

kelompok ini. Pemakaian bahasa kuda dalan kami, piso ntelap kami,

pergani-ganin kami, dan lain sebagainya menunjukkan hal itu.

Dalam musik vokal Karo, ornamen (hiasan) memainkan peranan penting.

Kualitas suatu penyajian musik vokal Karo tergantung kepada beberapa aspek.

Ornamen lagu merupakan aspek yang paling menonjol. Seorang penyanyi Karo

harus menguasai ornamen tersebut. Ornamen tidak bisa dipakai dengan bebas, ada

bagian-bagian tertentu dari lagu yang memerlukan ornamen. Misalnya ketika

mengakhiri frase sebuah lagu, ataupun dipakai bersamaan pada ketika gong

(28)

suatu ornamen digunakan dalam sebuah lagu, dengan demikian ornamen

merupakan bagian yang intrinsik dari penyanyi, namun tidak terlepas dari melodi

lagu itu sendiri.

Donington (1980) memberikan defenisi ornamen dalam musik dalam

sebuiah kalimat sebagai berikut:

That element in music which is decorative rather than structural, and which in particular includes both free ornamentation and specific ornaments, whether indicated by notes or signs in the notation or left to be improvised at the discretion of the performer.

Artinya adalah bahwa elemen di dalam musik yang lebih bersifat dekoratif

(hiasan saja) ketimbang struktural, dan yang menjadi bahagiannya termasuk

ornamentasi bebas dan ornamen khusus; apakah ditandai dengan nada-nada atau

tanda-tanda dalam notasinya atau l;ebih jauh dilakukannya improvisasi ol;eh para

seniman musik.

Ornamen dalam musik vokal Karo termasuk katoneng-katoneng disebut

dengan istilah rengget. Ornamen ini dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu:

rengget gedang (ornamen panjang) dan rengget peltep (ornamen pendek).

Rengget gedang adalah beberapa buah nada yang dinyanyikan dengan cepat

dengan menggunakan teknik slur (meluncur). Biasanya dilakukan pada akhir

sebuah kalimat lagu. Rengget peltep yang sering disebut sembeb adalah hampir

sama dengan rengget gedang, namun nada (bunyi) yang dihasilkan lebih pendek

dari renggetgedang, dan biasanya dilakukan bukan pada akhir sebuah kalimat

(29)

Ada beberapa pola melodi nyanyian katoneng-katoneng yang disajikan

perkolong-kolong, di antaranya: Simelungun Rayat, Jungut-jungut, Tangis-tangis,

dan lain-lain. Lagu-lagu ini akan terasa lebih kontekstual dan memiliki makna

yang dalam ketika disertai dengan pola-polanya.

Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa katoneng-katoneng ini,

mendasarkan garapannya kepada dua hal yaitu, melodi dan teks. Teks yang

mendapatkan peran di sini, membuat musik Karo ini masuk ke dalam kategori

logogenik. Istilah logogenik ini adalah untuk menjelaskan sebuah genre musik

atau komposisi musik yang penekanan utamanya adalah pada teks nyanyian,

sementara struktur melodi dan ritme mengiringinya. Logogenik selalu dikaitkan

dengan musik vokal atau nyanyian, tidak dikaitkan dengan musik instrumentalia.

Dalam musik yang berkategori logogenik ini, maka hubungan musik dengan

bahasa menjadi sangat penting untuk dilihat dan dikaji. Bagaimanapun ada

hubungan yang erat antara bahasa, sastra, dan musik, termasuk di dalam

kebudayaan Karo yang menjadi topik dalam kajian ini, terutama di dalam konteks

katoneng-katoneng yang dinyanyikan perkolong-kolong dan diiringi gendang

lima sidalanenatau telu sidalanen.

Kemudian ditinjau dari konteks sosialnya katoneng-katoneng selalu

digunakan dalam berbagai upacara,. Seperti mengket rumah mbaru, pesta

perkawinan, kerja tahun, guro-guro aron, dan juga kematian dalam hal ini

kematian cawir metua. Upacara yang terakhir ini pun di dalam kebudayaan Karo

(30)

Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua

anaknya telah menikah, dihargai sebagai sebuah prestasi tersendiri yang disebut

dengan cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak

kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila

ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak

kalimbubunya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas (pakaian adat

lengkap) yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhan emas), bulang-bulang,

dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan). Semuanya ini nanti akan

dipakai pada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum (suami

istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau yang

meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu

tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum).

Kematian cawir metua ini seharusnya tidak perlu ditangisi, karena

kematian seperti ini dianggap mulia dan sangat dihargai. Namun demikian, pada

kenyataannya kaum keluarga dan kerabat tetap saja larut dalam kesedihan pada

saat-saat tertentu maupun momen-momen tertentu. Meskipun selanjutnya,

kesedihan semakin berkurang dan upacara tersebut dapat berlangsung dengan

penuh suka ria. Dalam pelaksanaan upacara ini, maka salah satunya adalah

menggunakan nyanyian katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh

perkolong-kolong. Tema utamanya adalah tentang riwayat hidup yang meninggal serta

bagaimana kesedihan sekaligus kegembiraan kerabatnya karena telah mencapai

(31)

Latar belakang katoneng-katoneng seperti diurai di atas, sangat relevan

untuk dikaji secara etnomusikologis sebagai bidang keilmuan yang penulis geluti

selama ini. Apa yang dimaksud etnomusikologi itu adalah seperti diuraikan

berikut ini.

Ethnomusicology is the study of music in its cultural context. Ethnomusicologists approach music as a social process in order to understand not only what music is but why it is: what music means to its practitioners and audiences, and how those meanings are conveyed

Ethnomusicology is highly interdisciplinary. Individuals working in the field may have training in music, cultural anthropology, folklore, performance studies, dance, cultural studies, gender studies, race or ethnic studies, area studies, or other fields in the humanities and social sciences. Yet all ethnomusicologists share a coherent foundation in the following approaches and methods: 1) Taking a global approach to music (regardless of area of origin, style, or genre). 2) Understanding music as social practice (viewing music as a human activity that is shaped by its cultural context). 3) Engaging in ethnographic fieldwork (participating in and observing the music being studied, frequently gaining facility in another music tradition as a performer or theorist), and historical research.

Ethnomusicologists are active in a variety of spheres. As researchers, they study music from any part of the world and investigate its connections to all elements of social life. As educators, they teach courses in musics of the world, popular music, the cultural study of music, and a range of more specialized classes (e.g., sacred music traditions, music and politics, disciplinary approaches and methods). Ethnomusicologists also play a role in public culture. Partnering with the music communities that they study, ethnomusicologists may promote and document music traditions or participate in projects that involve cultural policy, conflict resolution, medicine, arts programming, or community music. Ethnomusicolo-gists may work with museums, cultural festivals, recording labels, and other institutions that promote the appreciation of the world’s musics

org/?page=whatisethnomusicology).

berdasarkan kutipan dalam situs web etnomusikologi.org tersebut, maka

(32)

budaya di mana musik itu tumbuh dan berkembang. Para ahli etnomusikologi

yang dalam bahasa Indonesia lazim disebut etnomusikolog, biasanya melakukan

pendekatan musik sebagai proses sosial untuk memahami tidak hanya apa musik

tapi mengapa: apa artinya praktik musik dan khalayak, dan bagaimana makna

yang disampaikan musik tersebut.

Secara keilmuan etnomusikologi sangat interdisipliner. Artinya para

ilmuwan yang bekerja di lapangan etnomusikologi ini mungkin saja berasal dari

pelatihan musik, atau ilmuwan antropologi budaya, cerita rakyat, kajian

pertunjukan, tari, studi budaya, studi gender, stuis ras atau etnik, studi kawasan,

atau bidang lainnya di bidang ilmu-ilmu humaniora dan sosial. Namun semua

etnomusikolog berbagi landasan yang koheren dalam pendekatan dan metodenya,

seperti berikut: (1) Mengambil pendekatan global untuk musik (terlepas dari

daerah asal, gaya, atau genre). (2) Memahami musik sebagai praktik sosial

(melihat musik sebagai aktivitas manusia yang dibentuk oleh konteks budaya). (3)

Melakukan penelitian lapangan etnografi (berpartisipasi aktif dalam mengamati

musik yang sedang dipelajari, mengkaji tradisi musik baik sebagai pemain atau

ahli teori sekeligus), dan penelitian sejarah musik.

Etnomusikolog aktif dalam berbagai bidang. Sebagai peneliti, mereka

belajar musik dari setiap bagian di dunia ini dan menyelidiki koneksi ke semua

elemen kehidupan sosial. Sebagai pendidik, mereka mengajar kursus musik dunia,

musik populer, studi budaya musik, dan berbagai kelas yang lebih khusus

(33)

disiplin ilmu dan metode). Etnomusikolog juga berperan di dalam budaya

masyarakat. Bekerjasama dengan komunitas musik yang mereka pelajari,

etnomusikolog dapat mempromosikan dan mendokumentasikan musik tradisi atau

berpartisipasi dalam proyek-proyek yang melibatkan kebijakan budaya,

penyelesaian konflik, pengobatan (melalui media musik), pemrograman seni, atau

komunitas musik. Etnomusikolog dapat bekerja pada museum, festival budaya,

rekaman label, dan lembaga lain yang mempromosikan apresiasi musik dunia.

Berdasarkan sejarah keilmuan etnomusikologi, secara dasar terjadi

gabungan (fusi) dua disiplin ilmu yaitu musikologi dan etnologi. Musikologi

selalu digunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai

hukum-hukum internalnya sendiri—sedangkan etnologi memandang musik

sebagai bahagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bahagian

yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh

Merriam sebagai berikut.

(34)

sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4).

Menurut pendapat Merriam seperti pada kutipan di atas, para pakar

etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada pembahagian bidang kajian

ilmu. Oleh karena pembahagian ini, maka selalu dilakukan percampuran dua

bagian keilmuan, yaitu musikologi dan etnologi. Dampaknya adalah

menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka

mencampurkan kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan

pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang

dihasilkannya. Seorang sarjana (ilmuwan) etnomusikologi menulis secara teknis

tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana

lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bahagian dari fungsi

kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan

kebudayaan ini. Pada saat yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara

luas oleh pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengandaikan

(35)

etnologisnya. Di sini, penekanan etnologi yang dilakukan oleh para sarjana ini

tidak seluas struktur komponen suara musik sebagai suatu bahagian dari

permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi

sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Dengan demikian, kerja

keilmuan yang penulis lakukan adalah sesuai dengan uraian mengenai apa itu

etnomusikologi seperti tersebut di atas.

Berdasarkan latar belakang katoneng-katoneng di dalam kebudayaan Karo,

dan disertai kajiannya secara etnomusikologis dalam konteks interdisipliner

keilmuan, maka penulis membuat penelitian ini dalam tajuk: Katoneng-katoneng

pada Upacara Cawir Metua dalam Kebudayaan Karo: Kajian Fungsi, Struktur

Melodi, dan Makna Tekstual Sesuai dengan judul tersebut di atas, maka

berikutnya adalah menentukan pokok masalah, atau lazim disebut juga dengan

pertanyaan penelitian, atau masalah penelitian.

1.2 Pokok Permasalahan

Uraian pada bagian sebelumnya menyebutkan bahwa nyanyian

katoneng-katoneng adalah nyanyian yang sangat rumit, karena teks nyanyiannya diciptakan

oleh perkolong-kolongsesuai dengan konteks penyajiaannya. Di samping itu, teks

nyanyian katoneng-katoneng harus disesuaikan dengan melodi lagunya.

Sampai saat ini, belum ditemukan penelitian tentang teks dan melodi

katoneng-katoneng secara mendalam dan menyeluruh. Beberapa penelitian yang

(36)

dalam konteks budaya masyarakatnya, seperti contohnya: penelitian terhadap

aspek historis, fungsi musik, dan sekilas penyajiannya.

Oleh karena itu, penelitian yang lebih komprehensif terhadap nyanyian

katoneng-katoneng perlu dilakukan untuk mengetahui dan memahami dengan

lebih mendalam tentang struktur melodi dan makna dari nyanyian

katoneng-katoneng. Maka dalam tesis ini, penulis menentukan dua pokok masalah, yaitu:

(1) Bagaimana fungsi katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam

upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo?

(2) struktur melodis lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukan dalam

upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo?

(3) Bagaimana makna tekstual lagu katoneng-katoneng yang

dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan

masyarakat Karo?

Untuk pokok masalah pertama yaitu fungsi katoneng-katoneng akan dikaji

berdasarkan dua titik pandang yaitu penggunaan dan fungsinya. Untuk struktur

melodi katoneng-katoneng ini, maka unsur yang akan dikaji mencakup: tangga

nada, wilayah nada, nada dasar, distribusi interval, formula melodi, pola-pola

kadensa, nada-nada yang digunakan, dan kontur. Selain itu, secara etnosains

Karo, dalam menganalisis struktur melodi ini, penulis menggunakan cara pandang

orang Karo seperti konsep dan terapan rengget (estetika improvisasi dalam

budaya musik Karo), bentuknya yang berkait dengan sastra Karo, dan

(37)

Untuk mengkaji pokok masalah penelitian ketiga yaitu bagaimana makna

teks lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua

dalam kebudayaan masyarakat Karo, maka unsur yang dibahas meliputi

aspek-aspek: makna denotatif (makna yang sebenarnya) dari kata per kata dan kalimat

per kalimat atau larik. Seterusnya, yang dikaji adalah makna-makna semiosis

yang lebih dalam seperti nilai-nilai, filsafat hidup, dan aspek-aspek sejenis.

Namun sebelumnya dideskripsikan juga struktur bahasa yang membangun

katoneng-katoneng ini.

1.3 Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan yang berhubungan dengan

katoneng-katoneng, peneliti membatasi pembahasan kajian ini terhadap fenomena yang

berlangsung pada saat penyajian katoneng-katoneng dalam konteks upacara cawir

metua. Oleh karena itu, penelitian ini ini akan menganalisis tentang makna teks

dan struktur melodi yang membentuk penyajiannya melalui analisis semiotik.

1.4Tujuan dan Manfaat

1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, adalah:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fungsi katoneng-katoneng

(38)

Karo, untuk memberikan pemahaman tentang konteksnya di dalam

kebudayaan.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur melodi

katoneng-katoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam

kebudayaan Karo, untuk memberikan pemahaman tentang

prinsip-prinsip keindahan penyajiannya.

3. Penelitian ini juga bertujuan mengkaji makna teks katoneng-katoneng

yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan

Karo.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini merupakan salah satu usaha untuk memberikan

pemahaman kepada masyarakat Karo pada umumnya dan juga

kepada para ilmuwan seni tentang fungsi, struktur melodi, dan

makna teks katoneng-katoneng dalam konteks cawir metua.

2. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian ilmiah yang dapat

digunakan sebagai bahan rujukan untuk pengembangan fungsional

dan struktural penyajian katoneng-katoneng untuk masa-masa yang

akan datang.

(39)

dalam kebudayaan Karo, yang disesuaikan pula dengan

perkembangan zaman.

4. Penelitian yang kemudian ditulis dalam bentuk tesis ini dapat

bermanfaat sebagai salah satu bentuk kajian yang dapat

mengembangkan disiplin ilmu-ilmu seni khususnya

etnomusikologi, baik untuk sumbangan teoretis maupun teknis.

5. Penelitian ini bermanfaat untuk mengungkapkan nilai-nilai

kebudayaan yang terdapat di dalam pikiran masyarakat Karo

secara umum, dan secara khusus di dalam pikiran seniman musik

Karo, dalam konteks mempertahankan tradisinya pada era

globalisasi dan perubahan zaman.

1.5 Konsep dan Teori

1.5.1 Konsep

Untuk memperjerlas makna-makna peristilahan yang penulis gunakan dan

berhubungan dengan tajuk tesis ini, maka penulis akan menjelaskan

konsep-konsep dan teori. Oleh karena itu dijelaskan terlebih dahulu apa itu konsep-konsep dan

teori, yang penulis gunakan agar tidak terjadi pembiasan (dikotomi) makna.

Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari

peristiwa kongkret (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, 2005:588). Selanjutnya yang dimaksud dengan teori adalah pendapat

(40)

argumentasi (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, 2005:1177).

Untuk mendapatkan pengertian yang mendasar tentang istilah yang

digunakan dalam penelitian ini maka diperlukan konsep. Adapun konsep-konsep

yang perlu dijelaskan dalam konteks penelitian ini adalah: (a) katoneng-katoneng,

(b) cawir metua, (c) kebudayaan, (d) struktur melodi, (e) makna teks. Seterusnya

konsep tentang lima istilah di atas dapat diuraikan sebagai berikut ini.

1.5.1.1Katoneng-katoneng

Dalam kamus bahasa Karo karangan Darwin Prints (2002) disebutkan

bahwa katoneng-katoneng adalah nyanyian tradisional Karo yang berisikan

nasehat, doa, dan sebagainya. Lagukatoneng-katoneng biasanya dilantunkan oleh

seorang perkolong-kolong dalam upacara cawir metua (kematian), mengket

rumah mbaru (memasuki rumah baru), dan lain sebagainya.

Katoneng-katoneng berasal dari kata toneng yang artinya tenang atau

damai. Dengan kata lain, bahwa katoneng-katoneng adalah sejenis lagu yang

syairnya memberikan ketenangan, kedamaian, nasehat, doa, dan lain sebagainya;

yang sangat menggugah perasaan orang lain ketika mendengarkannya. Dalam

terminologi musik Barat, lagu katoneng-katoneng yang disajikan dalam upacara

cawir metua termasuk jenis lament song, yaitu sebuah lagu yang berhubungan

(41)

1.5.1.2Cawir metua

Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua

anaknya telah menikah,dihargai sebagai prestasi tersendiri yang disebut dengan

cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya

sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila ada

seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak

kalimbubunya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas(pakaian adat

lengkap)yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhen emas), bulang-bulang

dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan); yang manasemuanya ini

nanti akan dipakaipada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum

(suami istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau

yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai

suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal

(almarhum).

Kematian cawir metua ini seharusnya tidak perlu ditangisi, karena

kematian seperti ini dianggap mulia dan sangat dihargai.Namun demikian, pada

kenyataannya kaum keluarga dan kerabat tetap saja larut dalam kesedihan pada

saat-saat tertentu maupun momen-momen tertentu.Meskipun selanjutnya,

kesedihan semakin berkurang dan upacara tersebut dapat berlangsung dengan

(42)

1.5.1.3 Kebudayaan

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah,

yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai

hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9).

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin

Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah

tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur”

dalam bahasa Indonesia.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama

oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya

terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat

istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.

Kebudayaan dapat didefenisikan sebagai suatu sistem, dimana sistem itu

terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan

erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan

dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem

tersendiri dalam kumpulan masyarakat.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.

Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa, “segala sesuatu

yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh

(43)

1.5.1.4 Fungsi

Kata fungsi yang digunakan dalam tajuk tesis ini merujuk kepada

pengertian yang diajukan oleh Bronislaw Malinowski. Menurutnya, yang

dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu

sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan

naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.

Kesenian sebagai contoh salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena pada

awalnya manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu

pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun

banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa

macam keinginan manusia (human need) itu. Dengan pengertian seperti ini, maka

seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam

kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.9

Sesuai dengan pendapat Malinowski, nyanyian katoneng-katoneng pada

masyarakat Karo di Sumatera Utara timbul dan berkembang karena diperlukan

untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat Karo secara

umum. Lagu ini timbul dan berkembang, karena masyarakat pengamalnya ingin

memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh dari itu,

9

(44)

akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan,

kontinuitas budaya, perlambangan, komunikasi, dan lainnya.

A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat

dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus,

sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian,

Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu

masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian

aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya.

Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal.

Sejalan dengan pandangan Radcliffe-Brown, lagu katoneng-katoneng

dalam budaya Karo bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial

masyarakat Karo. Nyanyian ini adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa

menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi

bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya yaitu masyarakat

Karo. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan

konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai

kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Karo, misalnya respons terhadap

kepemilikan rumah baru, pesta panen atau kerja tahun, kematian cawir metua, dan

(45)

1.5.1.5 Struktur melodi

Yang dimaksud dengan struktur melodi, adalah terdiri dari dua kata yaitu

struktur dan melodi. Yang dimaksud struktur dalam tulisan ini adalah bangunan

(teoretis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam

satu kesatuan. Struktur ini bisa dikaitkan dengan pengertian struktur sosial atau

struktur masyarakat. Begitu juga dengan struktur gedung atau bangunan. Struktur

juga bermakna sebagai bangunan bisa saja bangunan musik, bangunan sejarah,

bangunan tari, bangunan atom, dan lain-lain. Atau bisa juga sebagai kerangka

yang membentuk bidang-bidang apa saja. Misalnya kerangka karangan, kerangka

layang-layang, dan seterusnya (Poerwadarminta, dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 2005). Dalam kaitannya dengan tulisan ini, struktur yang dimaksud

adalah merujuk kepada struktur melodi. Struktur ini terdiri dari unsur-unsur:

tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, interval yang digunakan,

nada yang digunakan, pola-pola kadensa, dan kontur melodi.

1.5.1.6 Makna teks

Kemudian yang dimaksud dengan teks atau lirik adalah naskah yang

berupa kata-kata asli dari pengarang, misalnya kutipan dari Kitab Suci untuk

pangkal ajaran atau alasan, serta bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran,

berpidato, dan sebagainya (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia 2005). Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka yang dimaksud

Gambar

Gambar 2.1 Lambang Kabupaten Karo
Tabel 2.1
Tabel 2.2:
Gambar 2.2:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Interelasi Budaya Musik Batak dan Melayu di Sumatera Utara dalam Pluralitas Musik Etnik Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun..

Untuk mengkaji fungsi Tari Tibet dalam budaya masyarakat Tionghoa di Kota Medan, digunakan teori fungsionalisme dari disiplin ilmu budaya (antropologi budaya), khususnya

landek, menganalisis fungsi landek sebagai media komunikasi dan kesinambungan budaya, makna landek dan proses landek ketika menari yang melibatkan sistem kekerabatan

Dinamika Orang Karo Budaya dan Modernisme, Tarigan, 2008: Kesenian merupakan satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Karo, salah satunya seperti tarian-tarian,

Pada awalnya perubahan tersebut dipengaruhi oleh penyebaran agama yang menjadikan upacara adat ngampeken tulan-tulan hanya menjadi sebuah upacara adat, tidak ada unsur religi,

Peranan Tari Simalungen Rayat Dalam Upacara Adat Pada Masyarakat Karo di Desa Rumah Berastagi Kecamatan Berastagi Kabuapaten Karo.. Dinamika orang

Tiga panah, Kaban Jahe Pekerjaan : Seniman dan Tokoh adat.. Umur : 62

Dalam etnik Minangkabau terdapat banyak klan , dimana mereka sendiri yang menyebutnya dengan istilah suku.. Awalnya sebagai suku mereka ada