BAB II
TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN
DI KOTA MEDAN
2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau
Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan
kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti kerbau. Jadi kata minangkabau berarti “kerbau yang menang”. Menurut lagenda,
nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau
dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu.
Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mengusulkan
pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan
mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Sedangkan rakyat
setempat hanya mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan
diberikan pisau pada tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang kelaparan
dengan tidak sengaja menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar itu karena
ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya. Kerbau yang
ganas itu mati, dan rakyat setempat berhasil menyelesaikan pergelutan tersebut
dengan cara yang aman .
Keterkaitan masyarakat Minangkabau dengan hewan kerbau ini dapat dilihat
dari berbagai identitas budaya orang Minangkabau, seperti atap rumah adat mereka
yang berbentuk layaknya menyerupai tanduk kerbau. Begitu juga dengan pakaian
Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau
sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih
tepat sebelumnya adalah “Minangkabwa,” “Minangakamwa,” “Minangatamwan,”
dan “Phinangkabhu.” Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang
(sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan
Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada
Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana di situ
disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang
melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang
terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat
.
Menurut para ahli kebudayaan, suku bangsa Minangkabau ini merupakan
bagian dari bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda). Dimana mereka melakukan
migrasi dari dataran China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2500-2000 tahun yang
lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat Minangkabau ini masuk dari arah timur
pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang
disebut dengan darek (kampung halaman orang Minangkabau). Kemudian suku Minang menyebar ke daerah pesisir di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang
dari Barus bagian utara hingga Kerinci bagian selatan. Migrasi tersebut terjadi ketika
pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, saat
jatuh ke tangan Portugis.
Dalam buku Dasar-dasar adat Minangkabau (Idrus Hakimi, 1980), diebutkan bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Raja Iskandar
Zulkarnain. Keturunannya menyebar kemana-mana mencari tanah-tanah baru untuk
konfederasi yang disebut mereka dengan nama Luhak. Sesuai dengan pembagian kawasannya, Luhak tersebut disebut mereka menjadi Luhak Nan Tigo.
Luhak Nan Tigo ada tiga bagian di daerah Minangkabau yang membawahi daerah rantau, yaitu: (1) Luhak Agam berpusat di Bukittinggi dengan Rantau Pasaman, (2) Luhak Tanah Data berpusat di Batusangkar dengan Rantau Solok, dan (3) Luhak Lima PuluahKoto berpusat di Paya Kumbuh dengan Rantau Kampar.
Daerah rantau terbagi atas, ke utara Luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping,
dan Rao. Ke selatan dan tenggara Luhak Tanah Data; ada Solok, Silayo, Muaro
Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah Lunto
Sijunjung, sampai keperbatasan Riau dan Jambi. Selanjutnya rantau sepanjang
hiliran sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri, dan Batang
Hari. Sedangkan daerah pesisir terbagi atas, dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak
Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar
Sapuluh, Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang,
Ampiang Parak, Surantiah, Batang Kapeh, Painan (Bungo Pasang), dan seterusnya
Bayang nan Tujuah, Indrapura, Kerinci, Muko-muko, dan Bengkulu.
Tiap-tiap luhak dibentuk dari beberapa kelarasan, dan pada kelarasan dibentuk suku, dimana setiap suku Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu
(matrilineal). Untuk mengesahkan suku, ada harta pusaka dari nenek diwariskan
kepada ibu, dan dari ibu diwariskan kepada anak perempuan.
Dalam etnik Minangkabau terdapat banyak klan, dimana mereka sendiri yang menyebutnya dengan istilah suku. Awalnya sebagai suku mereka ada empat suku,
yaitu suku Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Sekarang seiring jalannya waktu,
berkembang sampai sudah mencapai ratusan suku, diantaranya suku Gudam,
2.2 Masuknya Masyarakat Minangkabau di Kota Medan
Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi tujuan perantau
beberapa suku di Indonesia. Pada tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di
luar Jawa. Terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan
secara besar-besaran. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua
gelombang migrasi besar ke kota Medan. Gelombang pertama kedatangan dari orang
Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Gelombang kedua ialah
kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Kedatangan merea ke Kota
Medan dan sekitarnya bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi
umumnya untuk berdagang, menjadi guru dan alim ulama (https://id.wikipedia. org/wiki/Kota Medan
Keinginan masyarakat Minangkabau untuk merantau sangatlah tinggi, hal ini
dilihat dari hasil studi yang pernah dilakukan tahun 1973 lalu. Pada tahun 1961
terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, tetapi
pada tahun 1971, jumlahnya semakin meningkat menjadi 44% yang berdomisili di
luar Sumatera Barat. Dalam hal ini berarti lebih dari separuh orang Minang berada di
luar Sumatera Barat. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa keinginan
merantau orang Minangkabau begitu besarnya. Dibanding dengan suku lainnya
yang ada di Indonesia, keinginan merantau orang Minangkabau cukup besar. Sebab
menurut sensus pada tahun 1930, suku perantau tertinggi di Indonesia adalah suku
Bawean (35,9%), kemudian suku Batak (14,3%), selanjutnya suku Banjar (14,2%),
setelah itu suku Minang sebesar 10,5% (Ahmad Yunus, 1985:4).
).
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan masyarakat Minangkabau merantau,
baik itu faktor budaya maupun ekonomi. Salah satu penyebab terhadap fenomena
penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum wanita, sedangkan kaum lelaki cukup
kecil. Selain itu, setelah masa akil balik laki-laki tidak lagi dapat tidur di rumah
orang tuanya, karena rumah hanya diperun tukkan untuk kaum wanita beserta
suaminya, dan anak-anaknya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan banyaknya
kaum laki-laki semangat untuk mengubah nasib dengan merantau untuk mencari
kekayaan dengan berdagang dan meniti karir, serta melanjutkan pendidikan. Begitu
juga pada penjelasan pada faktor ekonomi dimana pertumbuhan penduduk yang tidak
diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah mereka, yang
menyebabkan tidak cukup memenuhi keperluan bersama. Faktor-faktor inilah yang
mendorong orang Minang pergi merantau.
Masyarakat Minangkabau mendorong para pemuda dan anak-anak mereka
untuk merantau dan membawa sesuatu sebagai tanda bahwa mereka telah mengadu
nasib di negeri orang. Semua itu akan digunakan untuk membangun dan
memperbaiki masing-masing rumah mereka di kampung halaman mereka, membeli
tanah, ataupun memberikan pemikiran-pemikiran mereka demi kemajuan daerah
mereka.
Kota Medan sendiri memiliki penduduk yang heterogen, baik itu dari segi
budaya, agama, profesi, dan lain-lain. Masuknya berbagai suku masyarakat
membawa budaya tradisi asal mereka masing-masing. Begitu juga masyarakat
Minangkabau yang merupakan salah satu suku yang merantau ke kota Medan ini
memberikan keberagaman seni dan budaya yang ada di Kota Medan dari budaya
tradisi yang dibawa oleh mereka sendiri.
Di kota Medan sendiri, kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir
banyak bermukim di Medan Denai dan Sukaramai. Dimana lokasi-lokasi ini juga
merupakan daerah strategis dalam melakukan kepentingan perdagangan.
Menurut data statistik kota Medan tahun 2000, suku Minangkabau di Sumatera
Utara berjumlah 306.550 jiwa, seperti yang dilihat pada Tabel 1. Meskipun jumlah
suku Minangkabau berada pada urutan ke-9, akan tetapi suku Minangkabau dan
kebudayaannya cukup dikenal umum, karena kemampuan mereka memperkenalkan
diri dari segi perdagangan, seperti banyaknya usaha rumah makan Minang, pedagang
sate Padang, dan lain-lainnya.
Tabel 2.1:
Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Suku
Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000
Suku Persentase Jumlah Penduduk
Melayu 5,89% 674.112 jiwa
Karo 5,09% 585.173 jiwa
Simalungun 2,04% 234.515 jiwa
Toba 25,62% 2.948.264 jiwa
Mandailing 11,27% 1.296.518 jiwa
Pakpak 0,73% 83.866 jiwa
Nias 6,36% 731.620 jiwa
Jawa 33,40% 3.843.602 jiwa
Minang 2,66% 306.550 jiwa
Cina 2,71% 311.779 jiwa
Aceh 0,97% 111.686 jiwa
Lainnya 3,29% 379.113 jiwa
2.3 Sistem Agama dan Kepercayaan
Awal sebelum agama Islam masuk di Minangkabau, agama Hindu dan Budha
telah muncul di Minangkabau. Tetapi kedua agama ini hanya berkembang di sekitar
istana saja. Diperkirakan sekitar pertengahan abad ke tujuh agama Islam masuk
dibawa oleh para pedagang, akan tetapi mulai berkembang sekitar abad ke tiga belas.
Hingga saat ini agama Islam menjadi satu-satunya agama yang berkembang di
Minangkabau dan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari identitas
masyarakat Minangkabau. Pengaruh agama Islam kuat di dalam adat Minangkabau,
seperti yang tercatat di dalam pepatah mereka, adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah, yang artinya, adat (Minangkabau) bersendi hukum Islam dan hukum Islam bersendi Al Qur’an. Sehingga nyata bahwa antara adat Minangkabau dengan
agama Islam memiliki suatu kesatuan yang saling menunjang dalam membina
masyarakatnya.
Setiap orang yang menjalankan adat Minangkabau haruslah beragam Islam
karena adat mereka sejalan dengan agama Islam. Terdapat banyak persamaan di
antara paham Islam dengan paham orang Minangkabau. Ciri-ciri Islam begitu
mendalam dalam adat Minangkabau, sehingga mereka yang tidak mengamalkan
agama Islam dianggap telah terkeluar dari masyarakat Minangkabau.
2.4 Sistem Kekerabatan
Masyarakat Minangkabau menggunakan sistem matrilineal, baik itu di Medan
ataupun daerah perantauan mereka lainnya maupun di kampung halaman mereka
sendiri Sumatera Barat. Dimana yang artinya keluarga yang menganut prinsip
silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Dalam sistem kekerabatan
“menurut garis ibu.” Kedua, perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar
kelompok sendiri, yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal.
Ketiga, ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan
kesejahteraan keluarga.
Dalam perkawinan masyarakat Minangkabau menganut sistem eksogami,
dimana yang artinya adalah sistem perkawinan di luar batas suatu lingkungan
tertentu, atau dengan kata lainnya perkawinan di luar kelompoknya. Serta matrilokal
dimana suami tinggal di sekitar rumah kerabat isterinya, atau di dalam lingkungan
kekerabatan isterinya. Semua harta dan tanah yang dimiliki diwariskan kepada anak
perempuan.
Masyarakat Minangkabau memiliki kelompok kekerabatan, dimana ikatan
kekerabataan tersebut terbentuk berdasarkan paruik, kampueng, dan suku. Paruik
adalah kelompok kerabat seketurunan menurut garis keturunan ibu yang merupakan
kelompok keluarga terkecil yang terdiri dari ibu, anak laki-laki dan perempuan,
saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, serta anak-anaknya dan cucu-cucu dari
anak perempuannya. Dimana dulunya mereka tinggal dirumah yang disebut dengan
Rumah Gadang (rumah besar). Kumpulan dari paruik membentuk klen besar, yaitu
kampueng yang dipimpin oleh seorang penghulu andiko atau datuek kampueng. Kemudian gabungan kampueng membentuk sukuyang merupakan satu keturunan yang sama berdasarkan prinsip matrilineal dan dipimpin oleh seorang penghulu suku.
Dalam keluarga Minangkabau, ayah tidak termasuk dalam anggota keluarga
istri dan anaknya, akan tetapi ia tetap menjadi anggota kaum warganya
masing-masing, yaitu ibunya. Ayah dipandang sebagai pemberi keturunan. Dimana ayah
atau laki-laki yang menikahi seorang perempuan dari satu paruik atau kampueng lain
dalam sistem kekeluargaan Minangkabau yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak
meskipun tidak begitu dikenal, mengingat ibu dan ayah akan tetap menjadi anggota
dan terlibat dalam keluarga asalnya, yaitu ibunya.
Pada dasarnya anak laki-laki di Minangkabau telah diajarkan untuk hidup
berpisah dengan orangtua dan sudara-saudara perempuannnya. Mereka tidak lagi
tinggal di rumah gadang dengan ibunya, melainkan hidup berkelompok di
surau-surau (mushola atau mesjid). Disana mereka belajar mengaji, silat, dan bergaul
dengan kelompok pria dengan segala tingkatan usia.
Dalam masyarakat Minangkabau, di beberapa daerah ada terdapat sebutan atau
nama panggilan yang digunakan keluarga. Panggilan ini juga berlaku pada sebagian
besar masyarakat Minangkabau di kota Medan, seperti seorang adik memanggil
kakak perempuannya dengan panggilan uni, dan panggilan uda untuk kakak laki-laki. Panggilan mande untuk panggilan ibu, paman atau saudara laki-laki ibu dipanggil mamak, dan orang yang lebih tua memanggil upiak kepada anak perempuannya, dan buyuang untuk anak laki-laki. Anak memanggil mak adang
kepada saudara perempuan ibu yang lebih tua dan mak etek kepada yang lebih muda dari ibu. Semua laki-laki dalam pesukuan dan dalam suku yang serumpun yang
menjadi kakk atau adik dari ibu kita, disebut juga dengan mamak. Jadi mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua laki-laki yang segenerasi dengan ibu
dalam suku yang serumpun.
Dalam keluarga Minangkabau, mamak memiliki peranan dan tanggung jawab yang penting. Mamak yang merupakan saudara laki-laki ibu berkewajiban membimbing kemenakan (keponakan), mengatur, dan mengawasi penggunaan harta
kesepakatan yang dilakukan. Jika terjadi ingkar janji, maka mamak-lah yang harus membayar semua hutang tersebut bukan kemenakan yang akan dikawinkan.
Di dalam setiap kelompok orang saparuik (seperut) yang disebut satu suku dalam sistem kekerabatan Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang
diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada keponakan laki-lakinya. Gelar ini yang nantinya diberikan turun-temurun kepada para laki-laki yang akan
berumah tangga. Mereka akan lebih dihargai dan dihormati dengan pemberian gelar
tersebut. Gelar yang diberikan kepada laki-laki yang akan menikah di Minangkabau
dapat diberikan kepada siapa saja tanpa suatu acara khusus. Lain halnya dengan
gelar yang harus disandang oleh seorang penghulu (kepala kaum) yang merupakan
warisan adat yang hanya bisa diturunkan pada kemenakannya dalam upacara adat
dengan kesepakatan kaum setelah penghulu meninggal dunia.
Perkawinan yang dilakukan menimbulkan tali kekerabatan yang baru, yaitu
kerabat perempuan dari pihak laki-laki disebut pasumandan. Saudara perempuan dari
ayah bagi anak-anaknya disebut bako atau induak bako, sedangkan anak-anak dari saudara laki-laki bagi saudara perempuannya disebut anak pisang.
Di kota Medan sendiri, sistem kekrabatan ini masih digunakan oleh masyarakat
Minangkabau yang merantau ke kota Medan ini. Akan tetapi peranan datuek kampueng dan penghulu suku tidak ditemukan di sini.
2.5 Sistem Kesenian
Kesenian merupakan ekspresi manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan
suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraningrat,
1982:395-397). Kesenian Minangkabau pada mulanya merupakan permainan rakyat
maka menjadi milik suatu komunitas yang mudah berubah. Pengertian berubah
dalam hal ini yakni dalam konteks sosiobudaya masyarakat Minangkabau yang dapat
diartikan sebagai berkembang, memperkaya, dan memperbanyak aspek-aspeknya
(Nerosti Adnan, 2008). Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam bentuk
kesenian, yakni seni bangunan, semi rupa, seni suara, dan seni tari.
Seni bangunan, dilihat dari rumah adat Minangkabau yang disebut dengan
rumah gadang. Dimana rumah gadang ini terdiri atas biliek sebagai ruang tidur, dan
didieh sebagai ruang tamu. Ciri utama rumah ini adalah bentuk lengkung atapnya yang disebut dengan gonjong yang artinya tanduk kerbau.
Seni rupa adalah suatu bentuk kesenian yang dapat dinikmati melalui
penglihatan. Pada masyarakat Minangkabau, hal ini dapat dilihat dari ukiran-ukiran
pada rumah gadang. Dimana biasanya ada motif gambar tumbuh-tumbuhan dan binatang yang menghiasi tiang-tiang dan dindingnya.
Seni musik dan suara merupakan suatu bentuk karya seni yang dapat dinikmati
manusia melalui pendengaran, seperti seni vokal, seni instrumental, dan seni sastra.
Dimana seni vokal yang berkembang pada masyarakat Minangkabau, yaitu berupa
dendang (nyanyian), indang, dan dikie (zikir). Sedangkan seni suara melalui instrumen, ada saluang, bansi, talam, rabano, gandang, talempong, dan lainnya. Seni sastra terutama sastra lisan, yaitu berupa pantun yang berupa nasihat dan syair
yang paling banyak dikuasai oleh masyarakat Minangkabau.
Seni tari dan gerak merupakan gabungan antara seni rupa dan seni suara yang
dapat dinikmati oleh manusia melalui penglihatan dan pendengaran. Seni tari yang
2.6 Sanggar Tigo Sapilin
Sanggar Tigo Sapilin merupakan salah satu sanggar kesenian Minangkabau
yang berdiri sendiri tanpa dibawahi naungan organisasi manapun. Sanggar ini
berdiri pada tahun 1987 oleh Bapak H. Abu Bakar Siddiq, S.H., yang juga
merupakan Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Sumatera Utara.
Sanggar ini terletak di Jalan Gurilla Gg. Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah
Hilir II, Kecamatan Medan Perjuangan, Medan.
Sanggar Tigo Sapilin ini bergerak dalam bidang musik dan tari kesenian
tradisional Minangkabau, seperti tari Galombang. Sanggar ini di bentuk awalnya karena bapak ini senang dengan dunia kesenian, dari masa mudanya beliau hobi
dengan dunia seni. Dia ingin memperkenalkan kepada masyarakat Medan akan
kesenian Minangkabau, serta memajukan dan melestarikan kebudayaan adat
Minangkabau.
Sanggar Tigo Sapilin ini memiliki anggota ada yang memang keluarga sendiri
dan ada juga beberapa orang dari luar keluarga. Sekitar ada 22 orang jumlah anggota
sanggar Tigo Sapilin ini, ada perempuan dan ada laki-laki, serta terbagi atas
anak-anak dan orang dewasa. Keseluruhannya tersebut sudah termasuk penari dan
pemusik.
Kelompok sanggar ini biasanya melakukan latihan rutin setiap hari Sabtu
sekitar pukul 15.30-17.30 wib. Dimana waktu untuk latihan ini disesuaikan karena
besok harinya hari minggu libur untuk anak sekolah, kuliah, dan beberapa yang
bekerja. Akan tetapi, anggota sanggar ini juga melakukan latihan di hari-hari lainnya
tergantung keinginan para anggota. Begitu juga jika ada job atau panggilan
lebih diperbanyak dari biasanya, dan jadwal latihannya di buat tergantung hari apa
dan jam berapa yang bisa di berikan anggota dan disesuaikan bersama.
Sistem pelatihan dilakukan dengan menggunakan latihan bersama. Dimana
pertamanya para penari dulu yang berlatih, baik itu mengulang gerakan lama maupun
membentuk gerakan-gerakan yang baru. Setelah dalam beberapa hari para penari
sudah mahir dan kompak, selanjutnya dipanggillah para pemusik agar saling
menyesuaikan. Hal ini dikarenakan dalam tari Galombang ini sistemnya gerakan tari mengikuti musik.
Dalam pembagian honorium jika ada melakukan pertunjukan pada sanggar,
yaitu dengan membagi rata pada setiap anggota dan menyisakan sekitar 20% dari
penghasilan setiap pertunjukan. Sisihan tersebut digunakan untuk biaya menambah
inventaris sanggar agar lebih baik dan kebutuhan sanggar lainnya. Dalam penentuan
harga untuk sekali pertunjukan yang dilakukan sanggar ini, mereka memberikan
harga lebih murah kepada keluarga atau kerabat dibandingkan kepada orang lain.
Patokan harga yang diberikan oleh sanggar ini kepada masyarakat umum sekitar Rp.
3.000.000 – Rp.4.000.000.
Sanggar Tigo Sapilin ini telah banyak melakukan pertunjukan berbagai tari
tradisional di kota Medan, dari semuanya paling banyak pertunjukan tari Galombang
untuk upacara perkawinan. Sanggar ini menyajikan tari Galombang dengan bentuk yang sudah dikreasikan sama seperti sanggar-sanggar lainnya, yaitu gerakan baku
dari gerakan ini yakni mancak ataupun bungo silek yang dikreasikan kembali dalam pola geraknya. Sanggar ini juga masih rajin ikut serta dalam ajang silahturahmi ke