• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN DI KOTA MEDAN 2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau - Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Per

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN DI KOTA MEDAN 2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau - Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Per"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN

DI KOTA MEDAN

2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau

Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan

kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti kerbau. Jadi kata minangkabau berarti “kerbau yang menang”. Menurut lagenda,

nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau

dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu.

Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mengusulkan

pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan

mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Sedangkan rakyat

setempat hanya mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan

diberikan pisau pada tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang kelaparan

dengan tidak sengaja menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar itu karena

ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya. Kerbau yang

ganas itu mati, dan rakyat setempat berhasil menyelesaikan pergelutan tersebut

dengan cara yang aman .

Keterkaitan masyarakat Minangkabau dengan hewan kerbau ini dapat dilihat

dari berbagai identitas budaya orang Minangkabau, seperti atap rumah adat mereka

yang berbentuk layaknya menyerupai tanduk kerbau. Begitu juga dengan pakaian

(2)

Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau

sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih

tepat sebelumnya adalah “Minangkabwa,” “Minangakamwa,” “Minangatamwan,”

dan “Phinangkabhu.” Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang

(sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan

Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada

Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana di situ

disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang

melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang

terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat

.

Menurut para ahli kebudayaan, suku bangsa Minangkabau ini merupakan

bagian dari bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda). Dimana mereka melakukan

migrasi dari dataran China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2500-2000 tahun yang

lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat Minangkabau ini masuk dari arah timur

pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang

disebut dengan darek (kampung halaman orang Minangkabau). Kemudian suku Minang menyebar ke daerah pesisir di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang

dari Barus bagian utara hingga Kerinci bagian selatan. Migrasi tersebut terjadi ketika

pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, saat

jatuh ke tangan Portugis.

Dalam buku Dasar-dasar adat Minangkabau (Idrus Hakimi, 1980), diebutkan bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Raja Iskandar

Zulkarnain. Keturunannya menyebar kemana-mana mencari tanah-tanah baru untuk

(3)

konfederasi yang disebut mereka dengan nama Luhak. Sesuai dengan pembagian kawasannya, Luhak tersebut disebut mereka menjadi Luhak Nan Tigo.

Luhak Nan Tigo ada tiga bagian di daerah Minangkabau yang membawahi daerah rantau, yaitu: (1) Luhak Agam berpusat di Bukittinggi dengan Rantau Pasaman, (2) Luhak Tanah Data berpusat di Batusangkar dengan Rantau Solok, dan (3) Luhak Lima PuluahKoto berpusat di Paya Kumbuh dengan Rantau Kampar.

Daerah rantau terbagi atas, ke utara Luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping,

dan Rao. Ke selatan dan tenggara Luhak Tanah Data; ada Solok, Silayo, Muaro

Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah Lunto

Sijunjung, sampai keperbatasan Riau dan Jambi. Selanjutnya rantau sepanjang

hiliran sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri, dan Batang

Hari. Sedangkan daerah pesisir terbagi atas, dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak

Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar

Sapuluh, Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang,

Ampiang Parak, Surantiah, Batang Kapeh, Painan (Bungo Pasang), dan seterusnya

Bayang nan Tujuah, Indrapura, Kerinci, Muko-muko, dan Bengkulu.

Tiap-tiap luhak dibentuk dari beberapa kelarasan, dan pada kelarasan dibentuk suku, dimana setiap suku Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu

(matrilineal). Untuk mengesahkan suku, ada harta pusaka dari nenek diwariskan

kepada ibu, dan dari ibu diwariskan kepada anak perempuan.

Dalam etnik Minangkabau terdapat banyak klan, dimana mereka sendiri yang menyebutnya dengan istilah suku. Awalnya sebagai suku mereka ada empat suku,

yaitu suku Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Sekarang seiring jalannya waktu,

berkembang sampai sudah mencapai ratusan suku, diantaranya suku Gudam,

(4)

2.2 Masuknya Masyarakat Minangkabau di Kota Medan

Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi tujuan perantau

beberapa suku di Indonesia. Pada tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di

luar Jawa. Terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan

secara besar-besaran. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua

gelombang migrasi besar ke kota Medan. Gelombang pertama kedatangan dari orang

Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Gelombang kedua ialah

kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Kedatangan merea ke Kota

Medan dan sekitarnya bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi

umumnya untuk berdagang, menjadi guru dan alim ulama (https://id.wikipedia. org/wiki/Kota Medan

Keinginan masyarakat Minangkabau untuk merantau sangatlah tinggi, hal ini

dilihat dari hasil studi yang pernah dilakukan tahun 1973 lalu. Pada tahun 1961

terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, tetapi

pada tahun 1971, jumlahnya semakin meningkat menjadi 44% yang berdomisili di

luar Sumatera Barat. Dalam hal ini berarti lebih dari separuh orang Minang berada di

luar Sumatera Barat. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa keinginan

merantau orang Minangkabau begitu besarnya. Dibanding dengan suku lainnya

yang ada di Indonesia, keinginan merantau orang Minangkabau cukup besar. Sebab

menurut sensus pada tahun 1930, suku perantau tertinggi di Indonesia adalah suku

Bawean (35,9%), kemudian suku Batak (14,3%), selanjutnya suku Banjar (14,2%),

setelah itu suku Minang sebesar 10,5% (Ahmad Yunus, 1985:4).

).

Ada beberapa faktor yang menjadi alasan masyarakat Minangkabau merantau,

baik itu faktor budaya maupun ekonomi. Salah satu penyebab terhadap fenomena

(5)

penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum wanita, sedangkan kaum lelaki cukup

kecil. Selain itu, setelah masa akil balik laki-laki tidak lagi dapat tidur di rumah

orang tuanya, karena rumah hanya diperun tukkan untuk kaum wanita beserta

suaminya, dan anak-anaknya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan banyaknya

kaum laki-laki semangat untuk mengubah nasib dengan merantau untuk mencari

kekayaan dengan berdagang dan meniti karir, serta melanjutkan pendidikan. Begitu

juga pada penjelasan pada faktor ekonomi dimana pertumbuhan penduduk yang tidak

diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah mereka, yang

menyebabkan tidak cukup memenuhi keperluan bersama. Faktor-faktor inilah yang

mendorong orang Minang pergi merantau.

Masyarakat Minangkabau mendorong para pemuda dan anak-anak mereka

untuk merantau dan membawa sesuatu sebagai tanda bahwa mereka telah mengadu

nasib di negeri orang. Semua itu akan digunakan untuk membangun dan

memperbaiki masing-masing rumah mereka di kampung halaman mereka, membeli

tanah, ataupun memberikan pemikiran-pemikiran mereka demi kemajuan daerah

mereka.

Kota Medan sendiri memiliki penduduk yang heterogen, baik itu dari segi

budaya, agama, profesi, dan lain-lain. Masuknya berbagai suku masyarakat

membawa budaya tradisi asal mereka masing-masing. Begitu juga masyarakat

Minangkabau yang merupakan salah satu suku yang merantau ke kota Medan ini

memberikan keberagaman seni dan budaya yang ada di Kota Medan dari budaya

tradisi yang dibawa oleh mereka sendiri.

Di kota Medan sendiri, kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir

(6)

banyak bermukim di Medan Denai dan Sukaramai. Dimana lokasi-lokasi ini juga

merupakan daerah strategis dalam melakukan kepentingan perdagangan.

Menurut data statistik kota Medan tahun 2000, suku Minangkabau di Sumatera

Utara berjumlah 306.550 jiwa, seperti yang dilihat pada Tabel 1. Meskipun jumlah

suku Minangkabau berada pada urutan ke-9, akan tetapi suku Minangkabau dan

kebudayaannya cukup dikenal umum, karena kemampuan mereka memperkenalkan

diri dari segi perdagangan, seperti banyaknya usaha rumah makan Minang, pedagang

sate Padang, dan lain-lainnya.

Tabel 2.1:

Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Suku

Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000

Suku Persentase Jumlah Penduduk

Melayu 5,89% 674.112 jiwa

Karo 5,09% 585.173 jiwa

Simalungun 2,04% 234.515 jiwa

Toba 25,62% 2.948.264 jiwa

Mandailing 11,27% 1.296.518 jiwa

Pakpak 0,73% 83.866 jiwa

Nias 6,36% 731.620 jiwa

Jawa 33,40% 3.843.602 jiwa

Minang 2,66% 306.550 jiwa

Cina 2,71% 311.779 jiwa

Aceh 0,97% 111.686 jiwa

Lainnya 3,29% 379.113 jiwa

(7)

2.3 Sistem Agama dan Kepercayaan

Awal sebelum agama Islam masuk di Minangkabau, agama Hindu dan Budha

telah muncul di Minangkabau. Tetapi kedua agama ini hanya berkembang di sekitar

istana saja. Diperkirakan sekitar pertengahan abad ke tujuh agama Islam masuk

dibawa oleh para pedagang, akan tetapi mulai berkembang sekitar abad ke tiga belas.

Hingga saat ini agama Islam menjadi satu-satunya agama yang berkembang di

Minangkabau dan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari identitas

masyarakat Minangkabau. Pengaruh agama Islam kuat di dalam adat Minangkabau,

seperti yang tercatat di dalam pepatah mereka, adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah, yang artinya, adat (Minangkabau) bersendi hukum Islam dan hukum Islam bersendi Al Qur’an. Sehingga nyata bahwa antara adat Minangkabau dengan

agama Islam memiliki suatu kesatuan yang saling menunjang dalam membina

masyarakatnya.

Setiap orang yang menjalankan adat Minangkabau haruslah beragam Islam

karena adat mereka sejalan dengan agama Islam. Terdapat banyak persamaan di

antara paham Islam dengan paham orang Minangkabau. Ciri-ciri Islam begitu

mendalam dalam adat Minangkabau, sehingga mereka yang tidak mengamalkan

agama Islam dianggap telah terkeluar dari masyarakat Minangkabau.

2.4 Sistem Kekerabatan

Masyarakat Minangkabau menggunakan sistem matrilineal, baik itu di Medan

ataupun daerah perantauan mereka lainnya maupun di kampung halaman mereka

sendiri Sumatera Barat. Dimana yang artinya keluarga yang menganut prinsip

silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Dalam sistem kekerabatan

(8)

“menurut garis ibu.” Kedua, perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar

kelompok sendiri, yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal.

Ketiga, ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan

kesejahteraan keluarga.

Dalam perkawinan masyarakat Minangkabau menganut sistem eksogami,

dimana yang artinya adalah sistem perkawinan di luar batas suatu lingkungan

tertentu, atau dengan kata lainnya perkawinan di luar kelompoknya. Serta matrilokal

dimana suami tinggal di sekitar rumah kerabat isterinya, atau di dalam lingkungan

kekerabatan isterinya. Semua harta dan tanah yang dimiliki diwariskan kepada anak

perempuan.

Masyarakat Minangkabau memiliki kelompok kekerabatan, dimana ikatan

kekerabataan tersebut terbentuk berdasarkan paruik, kampueng, dan suku. Paruik

adalah kelompok kerabat seketurunan menurut garis keturunan ibu yang merupakan

kelompok keluarga terkecil yang terdiri dari ibu, anak laki-laki dan perempuan,

saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, serta anak-anaknya dan cucu-cucu dari

anak perempuannya. Dimana dulunya mereka tinggal dirumah yang disebut dengan

Rumah Gadang (rumah besar). Kumpulan dari paruik membentuk klen besar, yaitu

kampueng yang dipimpin oleh seorang penghulu andiko atau datuek kampueng. Kemudian gabungan kampueng membentuk sukuyang merupakan satu keturunan yang sama berdasarkan prinsip matrilineal dan dipimpin oleh seorang penghulu suku.

Dalam keluarga Minangkabau, ayah tidak termasuk dalam anggota keluarga

istri dan anaknya, akan tetapi ia tetap menjadi anggota kaum warganya

masing-masing, yaitu ibunya. Ayah dipandang sebagai pemberi keturunan. Dimana ayah

atau laki-laki yang menikahi seorang perempuan dari satu paruik atau kampueng lain

(9)

dalam sistem kekeluargaan Minangkabau yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak

meskipun tidak begitu dikenal, mengingat ibu dan ayah akan tetap menjadi anggota

dan terlibat dalam keluarga asalnya, yaitu ibunya.

Pada dasarnya anak laki-laki di Minangkabau telah diajarkan untuk hidup

berpisah dengan orangtua dan sudara-saudara perempuannnya. Mereka tidak lagi

tinggal di rumah gadang dengan ibunya, melainkan hidup berkelompok di

surau-surau (mushola atau mesjid). Disana mereka belajar mengaji, silat, dan bergaul

dengan kelompok pria dengan segala tingkatan usia.

Dalam masyarakat Minangkabau, di beberapa daerah ada terdapat sebutan atau

nama panggilan yang digunakan keluarga. Panggilan ini juga berlaku pada sebagian

besar masyarakat Minangkabau di kota Medan, seperti seorang adik memanggil

kakak perempuannya dengan panggilan uni, dan panggilan uda untuk kakak laki-laki. Panggilan mande untuk panggilan ibu, paman atau saudara laki-laki ibu dipanggil mamak, dan orang yang lebih tua memanggil upiak kepada anak perempuannya, dan buyuang untuk anak laki-laki. Anak memanggil mak adang

kepada saudara perempuan ibu yang lebih tua dan mak etek kepada yang lebih muda dari ibu. Semua laki-laki dalam pesukuan dan dalam suku yang serumpun yang

menjadi kakk atau adik dari ibu kita, disebut juga dengan mamak. Jadi mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua laki-laki yang segenerasi dengan ibu

dalam suku yang serumpun.

Dalam keluarga Minangkabau, mamak memiliki peranan dan tanggung jawab yang penting. Mamak yang merupakan saudara laki-laki ibu berkewajiban membimbing kemenakan (keponakan), mengatur, dan mengawasi penggunaan harta

(10)

kesepakatan yang dilakukan. Jika terjadi ingkar janji, maka mamak-lah yang harus membayar semua hutang tersebut bukan kemenakan yang akan dikawinkan.

Di dalam setiap kelompok orang saparuik (seperut) yang disebut satu suku dalam sistem kekerabatan Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang

diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada keponakan laki-lakinya. Gelar ini yang nantinya diberikan turun-temurun kepada para laki-laki yang akan

berumah tangga. Mereka akan lebih dihargai dan dihormati dengan pemberian gelar

tersebut. Gelar yang diberikan kepada laki-laki yang akan menikah di Minangkabau

dapat diberikan kepada siapa saja tanpa suatu acara khusus. Lain halnya dengan

gelar yang harus disandang oleh seorang penghulu (kepala kaum) yang merupakan

warisan adat yang hanya bisa diturunkan pada kemenakannya dalam upacara adat

dengan kesepakatan kaum setelah penghulu meninggal dunia.

Perkawinan yang dilakukan menimbulkan tali kekerabatan yang baru, yaitu

kerabat perempuan dari pihak laki-laki disebut pasumandan. Saudara perempuan dari

ayah bagi anak-anaknya disebut bako atau induak bako, sedangkan anak-anak dari saudara laki-laki bagi saudara perempuannya disebut anak pisang.

Di kota Medan sendiri, sistem kekrabatan ini masih digunakan oleh masyarakat

Minangkabau yang merantau ke kota Medan ini. Akan tetapi peranan datuek kampueng dan penghulu suku tidak ditemukan di sini.

2.5 Sistem Kesenian

Kesenian merupakan ekspresi manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan

suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraningrat,

1982:395-397). Kesenian Minangkabau pada mulanya merupakan permainan rakyat

(11)

maka menjadi milik suatu komunitas yang mudah berubah. Pengertian berubah

dalam hal ini yakni dalam konteks sosiobudaya masyarakat Minangkabau yang dapat

diartikan sebagai berkembang, memperkaya, dan memperbanyak aspek-aspeknya

(Nerosti Adnan, 2008). Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam bentuk

kesenian, yakni seni bangunan, semi rupa, seni suara, dan seni tari.

Seni bangunan, dilihat dari rumah adat Minangkabau yang disebut dengan

rumah gadang. Dimana rumah gadang ini terdiri atas biliek sebagai ruang tidur, dan

didieh sebagai ruang tamu. Ciri utama rumah ini adalah bentuk lengkung atapnya yang disebut dengan gonjong yang artinya tanduk kerbau.

Seni rupa adalah suatu bentuk kesenian yang dapat dinikmati melalui

penglihatan. Pada masyarakat Minangkabau, hal ini dapat dilihat dari ukiran-ukiran

pada rumah gadang. Dimana biasanya ada motif gambar tumbuh-tumbuhan dan binatang yang menghiasi tiang-tiang dan dindingnya.

Seni musik dan suara merupakan suatu bentuk karya seni yang dapat dinikmati

manusia melalui pendengaran, seperti seni vokal, seni instrumental, dan seni sastra.

Dimana seni vokal yang berkembang pada masyarakat Minangkabau, yaitu berupa

dendang (nyanyian), indang, dan dikie (zikir). Sedangkan seni suara melalui instrumen, ada saluang, bansi, talam, rabano, gandang, talempong, dan lainnya. Seni sastra terutama sastra lisan, yaitu berupa pantun yang berupa nasihat dan syair

yang paling banyak dikuasai oleh masyarakat Minangkabau.

Seni tari dan gerak merupakan gabungan antara seni rupa dan seni suara yang

dapat dinikmati oleh manusia melalui penglihatan dan pendengaran. Seni tari yang

(12)

2.6 Sanggar Tigo Sapilin

Sanggar Tigo Sapilin merupakan salah satu sanggar kesenian Minangkabau

yang berdiri sendiri tanpa dibawahi naungan organisasi manapun. Sanggar ini

berdiri pada tahun 1987 oleh Bapak H. Abu Bakar Siddiq, S.H., yang juga

merupakan Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Sumatera Utara.

Sanggar ini terletak di Jalan Gurilla Gg. Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah

Hilir II, Kecamatan Medan Perjuangan, Medan.

Sanggar Tigo Sapilin ini bergerak dalam bidang musik dan tari kesenian

tradisional Minangkabau, seperti tari Galombang. Sanggar ini di bentuk awalnya karena bapak ini senang dengan dunia kesenian, dari masa mudanya beliau hobi

dengan dunia seni. Dia ingin memperkenalkan kepada masyarakat Medan akan

kesenian Minangkabau, serta memajukan dan melestarikan kebudayaan adat

Minangkabau.

Sanggar Tigo Sapilin ini memiliki anggota ada yang memang keluarga sendiri

dan ada juga beberapa orang dari luar keluarga. Sekitar ada 22 orang jumlah anggota

sanggar Tigo Sapilin ini, ada perempuan dan ada laki-laki, serta terbagi atas

anak-anak dan orang dewasa. Keseluruhannya tersebut sudah termasuk penari dan

pemusik.

Kelompok sanggar ini biasanya melakukan latihan rutin setiap hari Sabtu

sekitar pukul 15.30-17.30 wib. Dimana waktu untuk latihan ini disesuaikan karena

besok harinya hari minggu libur untuk anak sekolah, kuliah, dan beberapa yang

bekerja. Akan tetapi, anggota sanggar ini juga melakukan latihan di hari-hari lainnya

tergantung keinginan para anggota. Begitu juga jika ada job atau panggilan

(13)

lebih diperbanyak dari biasanya, dan jadwal latihannya di buat tergantung hari apa

dan jam berapa yang bisa di berikan anggota dan disesuaikan bersama.

Sistem pelatihan dilakukan dengan menggunakan latihan bersama. Dimana

pertamanya para penari dulu yang berlatih, baik itu mengulang gerakan lama maupun

membentuk gerakan-gerakan yang baru. Setelah dalam beberapa hari para penari

sudah mahir dan kompak, selanjutnya dipanggillah para pemusik agar saling

menyesuaikan. Hal ini dikarenakan dalam tari Galombang ini sistemnya gerakan tari mengikuti musik.

Dalam pembagian honorium jika ada melakukan pertunjukan pada sanggar,

yaitu dengan membagi rata pada setiap anggota dan menyisakan sekitar 20% dari

penghasilan setiap pertunjukan. Sisihan tersebut digunakan untuk biaya menambah

inventaris sanggar agar lebih baik dan kebutuhan sanggar lainnya. Dalam penentuan

harga untuk sekali pertunjukan yang dilakukan sanggar ini, mereka memberikan

harga lebih murah kepada keluarga atau kerabat dibandingkan kepada orang lain.

Patokan harga yang diberikan oleh sanggar ini kepada masyarakat umum sekitar Rp.

3.000.000 – Rp.4.000.000.

Sanggar Tigo Sapilin ini telah banyak melakukan pertunjukan berbagai tari

tradisional di kota Medan, dari semuanya paling banyak pertunjukan tari Galombang

untuk upacara perkawinan. Sanggar ini menyajikan tari Galombang dengan bentuk yang sudah dikreasikan sama seperti sanggar-sanggar lainnya, yaitu gerakan baku

dari gerakan ini yakni mancak ataupun bungo silek yang dikreasikan kembali dalam pola geraknya. Sanggar ini juga masih rajin ikut serta dalam ajang silahturahmi ke

Gambar

Tabel 2.1:

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Modul Bimbel Kami selalu disesuikan dengan Kurikulum yang ada di sekolah, sehingga kegiatan Bimbingan tidak sia-sia karena soal-soal yang kita sediakan hampir sama dengan

2) Tim yang dikirim merupakan mahasiswa/siswa aktif, dan benar merupakan mahasiswa/siswa dari ( ). 3) Mentaati semua peraturan, sistem dan jadwal pertandingan yang

Adib Bahrul Huda MI Miftahul Mubtadiin Islamiyah III/b 6 Penata Muda Tk.. Ali Mahbub MI Sunan Giri III/b 8 Penata

Plant height, chlorophyll content index (CCI), number of trifoliate leaf per plant (LN), leaf area per plant (LA) and total dry matter per plant (TDM) significantly affected

Kapasitas resiliensi ada pada setiap individu sehingga mereka memiliki kemampuan untuk dapat bertahan ketika mengalami tantangan dalam hidupnya namun untuk menjadi

Untuk menguji hipotesis kedua ini, data yang digunakan adalah kedua data rata-rata harian return saham pada perusahaan yang terdaftar pada kedua Index pasar modal,

1) Kebutuhan akan kepercayaan dasar ( basic trust), kebutuhan ini secara terus- menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup adalah ibadah. 2) Kebutuhan akan