• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki kekayaan kebudayaan etnik. Kebudayaan ini tersebar dari wilayah Aceh sampai Papua, atau dari Sabang di ujung barat sampai ke Merauke di ujung timur, dan dari Rote di ujung utaranya sampai Talaud di ujung selatan. Negara ini juga memiliki konsep kebudayaan multikultural yang diwadahi dalam filsafat kebangsaan bhinneka tunggal ika, biar berbeda-beda tetap satu juga. Keberadaan multikultural Indonesia ini juga tercermin di dalam kawasan Sumatera Utara.

Sumatera Utara1

1

Pada masa penjajahan Belanda, di Sumatera Utara yang dikenal sekarang terdapat dua provinsi (afdeeling), yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Ada perbedaan pengertian antara Sumatera Utara dengan Sumatera Timur. Wilayah Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra dalam Bahasa Belanda atau East Coast of Sumatra dalam Bahasa Inggeris) mencakup Provinsi Sumatera Utara sekarang di luar Tapanuli, ditambah daerah Bengkalis Provinsi Riau--secara budaya termasuk pula Tamiang Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lebih jauh lihat Blink, dalam bukunya Sumatra's Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest, (s'Gravenhage: Mouton & Co., 1918:1 dan 9). Kini Sumatera Utara adalah salah satu dari 34 Provinsi di Indonesia, yang mencerminkan budaya multikultural. Kawasan ini dihuni etnik natif: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias. Begitu juga etnik-etnik Nusantara seperti: Ageh Raya, Kluet, Simeulue, Alas, gayo, Aneuk Jamee, Melayu Tamiang, Minangkabau, Jawa, Sunda, Banjar, Bugis, Makasar, dan lainnya. Kawasan ini juga dihuni oleh etnik-etnik dunia yang datang dengan berbagai motif sosiobudaya seperti orang-orang: Hokkien, Kwong Fu, Hakka, Khek, Kanton, Tamil, Kerala, Sindi, Punjabi, Sikh, Arab, Eropa, dan lain-lainnya. Secara administratif provinsi yang beribu kota Medan ini, didukung pula oleh pemerintahan kabupaten dan kota, seperti: Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Batubara, Asahan, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan, Tapanuli Selatan, Madina, Padanglawas Utara, Padanglawas Selatan, Kota Sibolga, Tapanuli Tengah, Nias Utara, Nias Selatan, Kota Padangsidimpuan, Kota Binjai, Kota Tanjungbalai, Kota

(2)

heterogen, dengan berdasar kepada nilai-nilai multikulturalisme. Etnik-etnik yang mendiami kawasan Sumatera Utara ini, dalam konteks pemerintahan Republik Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan etnik setempat yang terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik pendatang dari Nusantara: Minangkabau, Aceh, Banjar, Jawa; serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil, Benggali, dan Eropa.

Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera Utara, menerima cara pembagian kelompok-kelompok etnik setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Keberadaan etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut.

The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan ... North Sumatrans often divide the indigenous (that is, non-immigrant) population of the province into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku). ... The broad Batak ethnic group is ussually divided into six main communities — Pakpak-Dairi Dairi, Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a broadly similar social organisation (patrilineal, exogamus dans) and related languages, but important social, religious and linguistic differences also divide them. The sharpest linguistic division is between the Karo/Pakpak-Dairi Dairi groups in the north and west and the Toba/Mandailing/ Angkola-Sipirok groups in the south. The Simalungun group falls between the two extreme points of contrast (Goldsworthy, 1979:6).

(3)

Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan populasi setempat (yaitu mereka yang bukan imigran), yang biasa disebut dengan suku-suku. Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi pada lima komunitas utama, yaitu: Pakpak-Dairi, Batak Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo, dan Simalungun. Keenam komunitas utama ini mempunyai organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang eksogamus.2 Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang berbeda. Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi di utara dan barat—dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara dua sistem linguistik ini.3

Sumatera adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang terdiri dari sekitar 3.000 pulau-pulau. Pulau Sumatera ini mencakup wilayah sebesar 473.606 km (Fisher, 1977:455-457). Pulau ini mempunyai panjang lebih dari 1.920 km yang membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar maksimum sebesar 384 km. Sumatera adalah pulau di sebelah barat

2Yang dimaksud klen eksogamus adalah sistem kemasyarakatan dalam sebuah suku,

yang norma pemilihan pasangan hidupnya berasal dari kelompok luar tertentu. Lihat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1993:400). Dalam konteks masyarakat Batak, klen yang sama dilarang kawin. Jika mereka melakukan pelanggaran terhadap norma yang telah ditetapkan secara adat ini, maka mereka biasanya dikenakan sanksi sosial dan budaya.

3

(4)

Indonesia, yang terentang dari 6º LU sampai 6º LS secara latitudinal dan 95º sampai 110º BT secara longitudinal (Whitington, 1963:203). Sumatera juga dikelilingi oleh pulau-pulau di sekitarnya, baik yang berdekatan dengan pantai barat ataupun timurnya. Pulau-pulau ini secara administratif ikut ke dalam pemerintahan daerah di Sumatera. Struktur geologis Pulau Sumatera didominasi oleh rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Rangkaian pegunungan ini sampai ke wilayah Selat Sunda. Sumatera dibagi menjadi lima Provinsi atau Daerah Tingkat I. Sumatera adalah kawasan yang sangat cocok untuk bidang pertanian dan perikanan (Whitington, 1963:539). Sebahagian besar penduduk Sumatera tergolong ke dalam ras proto-Mongoloid (Fisher, 1977:456), dan berbahasa sama dengan kelompok bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia (Howell, 1973:80-81).

(5)

Secara umum masyarakat Karo memiliki seni musik, baik itu musik instrumentalia, nyanyian, atau gabungan keduanya. Secara ensambel, di dalam kebudayaan Karo dikenal gendang lima sidalanen, gendang telu sidalanen, dan ensambel musik keyboard [ki.bod] Karo. Di antara musik vokal atau nyanyian Karo, yang paling terkenal dan menjadi induk dari semua lagu-lagu tradisional Karo adalah katoneng-katoneng.4

Katoneng-katoneng [ka.to.nêng-ka.to.nêng] merupakan nyanyian tradisional etnik5

4

Istilah katoneng-katoneng ini, dalam konteks bahasa Karo terjadi dua versi penyebutan. Yang pertama adalah katoneng-katoneng yang secara fonetis diucapkan ka.to.nêng-ka.to.nêng. Kemudian versi kedua ada yang menyebutnya kateneng-kateneng, yang secara fonetis diucapkan dengan ka.tê.nêng-ka.tê.nêng. Kedua versi penyebutan ini merujuk kepada genre seni yang sama dan memiliki makna yang sama. Keduanya hanyalah ekspresi dari dialek dan sosiolok di dalam kebudayaan Karo.

Karo yang sangat rumit, baik ditinjau dari aspek struktural maupun konteks sosialnya. Dari aspek struktural, di samping melodi lagunya yang sangat khas, teks nyanyiannya pun harus diciptakan dengan spontanitas sesuai dengan situasi yang berlangsung dalam konteks upacara apa ia digunakan. Secara fungsional, lagu-lagu katoneng-katoneng ini, difungsikan dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya di dalam masyarakat Karo, seperti: upacara mengket rumah mbaru (masuk ke rumah baru), cawir metua (kematian seseorang yang

5

(6)

dipandang sempurna di dalam masa kehidupannya), sampai juga pesta guro-guro aron, sebagai ekspresi masyarakat Karo yang agraris, kerja tahun, dan lain-lainnya.

Pada umumnya, mereka yang mampu melakukan aspek estetis, fungsional, spontanitas tersebut adalah perkolong-kolong6 (penyanyi dan penari profesional Karo); terutama perkolong-kolong yang mengkhususkan dirinya untuk tugas itu. Dalam kenyataan sosial, pada kebudayaan Karo, beberapa di antara mereka, menurut pengamatan penulis adalah: Jenni br Sembiring, Sumpit br Ginting, Ngalemisa br Ginting, Ramlah br Karo, Arus Perangin-angin, Sabar br Sitepu, Unjuk br Ginting, dan lain sebagainya.7

Ada juga perkolong-kolong lain yang tidak mengkhususkan diri untuk tugas profesional itu. Menurut pengamatan penulis adalah: Anita br Sembiring, Samuel Sembiring, Nana br Sitepu, Keleng Barus, Ardin Ginting, dan lain sebagainya. Nama-nama yang disebutkan terakhir ini, adalah mereka yang menerima tugas hanya untuk acara-acara hiburan; misalnya acara gendang guro-guro aron, kerja tahun, dan acara-acara hiburan lainnya. Pada acara-acara hiburan

6

Dalam kebudayaan musik Karo, perkolong-kolong ini dapat dipahami sebagai seorang penyanyi profesional, yang dibayar untuk bernyanyi dalam sebuah aktivitas budaya tertentu karena keahliannya tersebut. Perkolong-kolong ini bisa saja perempuan dan boleh juga laki-laki. Di sisi lain, dalam persepsi pemusik tradisional Karo penyanyi dengan pemain musik dibedakan istilahnya. Untuk penyanyi tersebut disebut perkolong-kolong, sementara pemusik secara umum disebut dengan si erjabaten [si ér.ja.ba.tên]. Kemudian kelompok pemusik atau pemain musik ini dibagi lagi kepada peranannya dalam gendang lima sedalanen atau telu sedalanen. Kalau ia bermain gung disebut si malu gung, kalau ia pemain sarune [sa.ru.né] disebut panarune [pa.na.ru.né]pemain gendang disebut si malu gendang, dan seterusnya.

7

(7)

sejenis ini, nyanyian katoneng-katoneng dilantunkan hanya sekedarnya; yakni pada saat pembukaan acara.

Menurut keterangan perkolong-kolong Arus Perangin-angin, lagu

katoneng-katoneng merupakan indung (induk) dari lagu-lagu Karo. Artinya bahwa seseorang yang telah menguasai secara teknis nyanyian katoneng-katoneng, dengan sendirinya dianggap menguasai lagu-lagu Karo lainnya. Selanjutnya, menurut keterangan bapak Timbangen Perangin-angin yang juga merupakan seorang perkolong-kolong yang dipandang sebagai senior dalam kebudayaan Karo, bahwa ada setidaknya enam kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang perkolong-kolong agar mampu menyajikan lagu katoneng-katoneng

dengan baik. Kriteria-kriteria tersebut adalah: (1) Memahami bahasa Karo dengan baik.

(2) Memiliki pengetahuan yang luas tentang adat atau peradatan Karo. (3) Mampu memproduksi rengget (ornamen) dengan sempurna. (4) Tidak terlalu sering menyanyikan syair secara berulang-ulang.

(5) Mengerti akan makna dari melodi sarune, serta mampu melaksanakannya dengan baik.

(6) Mampu mengungkapkan teks dengan menggunakan anding-andingen

Karo.8

8

Anding-andingen adalah perumpamaan dalam tradisi lisan pada kebudayaan Karo. Perumpamaan ini bisa saja dinyanyikan, dituturkan, didongengkan, dan berbagai jenis enkulturasi tradisi lisan lainnya. Lebih jauh lagu pengungkapanm teks anding-andingen ini juga berarti bahwa perkolong-kolong tersebut memahami dan menghayati filsafat kebudayaan Karo pada umumnya, serta dapat menerapkannya dalam perilaku musikal.

(8)

Nyanyian katoneng-katoneng biasanya ditampilkan dalam upacara mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), upacara cawir metua (meninggal dunia), maupun acara adat lainnya, seperti: pembukaan pada acara guro-guro aron, pesta

kerja tahun (pesta tahunan), dan lain sebagainya. Dengan demikian sebagai sebuah genre nyanyian tradisional, penggunaan katoneng-katoneng ini cukup luas di dalam kebudayaan Karo.

Namun demikian, dalam realitas sosial, kehadiran perkolong-kolong

terutama pada upacara mengket rumah mbaru dan upacara cawir metua bukanlah suatu keharusan, karena banyak pelaksanaan upacara dimaksud di atas tanpa menghadirkan perkolong-kolong. Hal itu terjadi disebabkan pertimbangan ekonomi, karena untuk mendatangkan seorang perkolong-kolong saja, pihak sukut

(penyelenggara upacara adat) harus mengeluarkan biaya berkisar 2 sampai 3 juta. Meskipun jumlah itu kadang-kadang masih dapat dirundingkan oleh kedua belah pihak (sukut dan perkolong-kolong). Selain pertimbangan ekonomi, alasan lain juga adalah karena pertimbangan adat. Karena apabila pihak sukut mendatangkan perkolong-kolong, maka harus melibatkan kaum kerabat lebih banyak untuk pelaksanaan upacara adatnya.

Pada acara guro-guro aron dan kerja tahun, perkolong-kolong

(9)

lagu-lagu tradisional lainnya, seperti misalnya: lagu-lagu Sada Perarih, Diding-diding,

Rimo Malem, Olakisat, dan lain sebagainya. Selain itu, perkolong-kolong juga menampilkan atraksi lain yang sangat digemari oleh orang Karo, yakni adu perkolong-kolong (berupa perlombaan atau pertandingan kemahiran dan keterampilan estetika mereka).

Pada pesta perkawinan adat karo, lagu katoneng-katoneng berisikan nasehat dan doa kepada kedua mempelai agar rukun dan damai dalam rumah tangga yang baru. Dalam upacara mengket rumah mbaru (masuk rumah baru) lagu katoneng-katoneng berisikan doa agar keluarga yang memasuki rumah yang baru, sehat-sehat dan dikaruniai rejeki yang berlimpah. Sedangkan dalam upacara

cawir metua (kematian), lagu katoneng-katoneng berisikan tentang doa dan penghiburan kepada keluarga yang berduka, karena ditinggalkan salah seorang kerabatnya ke alam kubur.

Pada acara guro-guro aron teks nyanyian katoneng-katoneng juga berisikan doa dan apresiasi terhadap kerja panitia penyelenggara, sedangkan pada acara kerja tahun teks nyanyian katoneng-katoneng berisikan tentang ucapan syukur terhadap panen yang berhasil untuk tahun ini, serta harapan dan doa agar masa-masa yang akan datangpun aktifitas pertanian mendapat hasil yang berlimpah, sehingga acara seperti ini dapat dilaksanakan lagi pada tahun depan.

(10)

mempunyai pola tersendiri dalam penyajian melodi maupun teks nyanyian

katoneng-katoneng dalam berbagai upacara yang diikutinya. Sehingga, pola tersebut dapat dianggap sebagai ciri khas dari perkolong-kolong yang bersangkutan.

Meskipun perkolong-kolong memiliki kebebasan untuk membentuk struktur teks dan melodi lagu, namun teks nyanyian katoneng-katoneng pada umumnya memiliki struktur yang tetap dan baku. Ketiga struktur itu terdiri dari: (1) pembukaan, (2) isi, dan (3) penutup.

Bagian pertama, nyanyian katoneng-katoneng adalah pembukaan yang mana teksnya merupakan sebuah pengantar bagi seorang perkolong-kolong untuk memperkenalkan diri kepada mereka yang terlibat di dalam upacara berkenaan.

Perkolong-kolong akan menyatakan merga/beru (klen) apa yang disandangnya, menyebutkan darimana ianya berasal, menetapkan posisi adatnya dengan pihak

sukut (yang punya hajatan). Kesempatan ini juga digunakan perkolong-kolong

untuk memperkenalkan teman-temannya yang lain dari kelompok si erjabaten

(pemain musik tradisional). Bagian selanjutnya dari teks pembukaan nyanyian

katoneng-katoneng melukiskan situasi, alasan atau tujuan dari pelaksanaan upacara tersebut.

(11)

tertentu (terutama kerabat dekat/saudara kandung yang meninggal dunia) sampai menitikkan air mata ketika mendengarkan nyanyian dari perkolong-kolong. Pada bagian ini juga adakalanya perkolong-kolong memposisikan diri sebagai orang yang sudah meninggal itu, seolah-olah sedang menyampaikan kata-kata nasehatnya kepada keluarganya maupun kerabat lainnya.

Bagian ketiga, adalah teks penutup adalah bagian akhir dari nyanyian

katoneng-katoneng. Teksnya berisikan permohonan maaf perkolong-kolong

kepada pihak-pihak yang diwakilkannya maupun kepada pihak-pihak lain yang menjadi tujuan nyanyiannya, jika seandainya ada kata-kata yang kurang berkenan. Dengan rendah hati perkolong-kolongakan menyatakan bahwa ianya tidak bermaksud lancang berkata-kata, namun karena hanya sedemikian kemampuan yang dimilikinya.

Penyajian lagu katoneng-katoneng pada pola di atas ini biasanya dilakukan pada sesi pertama perkolong-kolong menyampaikan nyanyiannya. Namun, pada penyajian sesi kedua dan seterusnya, perkolong-kolong sering tidak lagi menggunakan struktur yang pertama tetapi langsung menuju struktur yang kedua, dan dilanjutkan dengan struktur yang ketiga.

Bahasa yang dipergunakan dalam nyanyian katoneng-katoneng

menggunakan strata tertentu dalam bahasa Karo yang disebut dengan cakap lumat

(12)

falsafah-falsafah tertentu dari orang Karo. Di antara falsafah hidup orang karo yang tercermin di dlam teks katoneng-katoneng itu adalah dalam frase bahasa

tambar malem mergana (artinya Perangin-angin marganya, dengan segala kelebihan klen ini); tinebus Ginting mergana (istri dari marga Ginting dan segala kelebihan kultural dan historis dari perempuan Karo ini), dan lain sebagainya.

Dalam penyajian lagu katoneng-katoneng sering juga digunakan majas

(figurative language), yang merupakan bahasa kias atau gaya bahasa. Pemakaian gaya bahasa metafora terutama ditujukan kepada pihak kalimbubu untuk menunjukkan penghormatan pihak lain kepada kelompok ini. Misalnya untuk pemakaian bahasa dibata idah kami (artinya tuhan kami yang nampak). Hal itu untuk menunjukkan bahwa pihakkalimbubu ditempatkan pada posisi yang tinggi dan agung. Gaya bahasa simbolisme terutama ditujukan kepada anak beru, untuk menunjukkan tanggung jawab dan kesetiannya kepada pihak kalimbubu kepada kelompok ini. Pemakaian bahasa kuda dalan kami, piso ntelap kami, pergani-ganin kami, dan lain sebagainya menunjukkan hal itu.

(13)

suatu ornamen digunakan dalam sebuah lagu, dengan demikian ornamen merupakan bagian yang intrinsik dari penyanyi, namun tidak terlepas dari melodi lagu itu sendiri.

Donington (1980) memberikan defenisi ornamen dalam musik dalam sebuiah kalimat sebagai berikut:

That element in music which is decorative rather than structural, and which in particular includes both free ornamentation and specific ornaments, whether indicated by notes or signs in the notation or left to be improvised at the discretion of the performer.

Artinya adalah bahwa elemen di dalam musik yang lebih bersifat dekoratif (hiasan saja) ketimbang struktural, dan yang menjadi bahagiannya termasuk ornamentasi bebas dan ornamen khusus; apakah ditandai dengan nada-nada atau tanda-tanda dalam notasinya atau l;ebih jauh dilakukannya improvisasi ol;eh para seniman musik.

Ornamen dalam musik vokal Karo termasuk katoneng-katoneng disebut dengan istilah rengget. Ornamen ini dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu:

rengget gedang (ornamen panjang) dan rengget peltep (ornamen pendek).

(14)

Ada beberapa pola melodi nyanyian katoneng-katoneng yang disajikan

perkolong-kolong, di antaranya: Simelungun Rayat, Jungut-jungut, Tangis-tangis, dan lain-lain. Lagu-lagu ini akan terasa lebih kontekstual dan memiliki makna yang dalam ketika disertai dengan pola-polanya.

Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa katoneng-katoneng ini, mendasarkan garapannya kepada dua hal yaitu, melodi dan teks. Teks yang mendapatkan peran di sini, membuat musik Karo ini masuk ke dalam kategori logogenik. Istilah logogenik ini adalah untuk menjelaskan sebuah genre musik atau komposisi musik yang penekanan utamanya adalah pada teks nyanyian, sementara struktur melodi dan ritme mengiringinya. Logogenik selalu dikaitkan dengan musik vokal atau nyanyian, tidak dikaitkan dengan musik instrumentalia. Dalam musik yang berkategori logogenik ini, maka hubungan musik dengan bahasa menjadi sangat penting untuk dilihat dan dikaji. Bagaimanapun ada hubungan yang erat antara bahasa, sastra, dan musik, termasuk di dalam kebudayaan Karo yang menjadi topik dalam kajian ini, terutama di dalam konteks

katoneng-katoneng yang dinyanyikan perkolong-kolong dan diiringi gendang lima sidalanenatau telu sidalanen.

(15)

Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua anaknya telah menikah, dihargai sebagai sebuah prestasi tersendiri yang disebut dengan cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak

kalimbubunya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas (pakaian adat lengkap) yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhan emas), bulang-bulang,

dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan). Semuanya ini nanti akan dipakai pada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum (suami istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum).

(16)

Latar belakang katoneng-katoneng seperti diurai di atas, sangat relevan untuk dikaji secara etnomusikologis sebagai bidang keilmuan yang penulis geluti selama ini. Apa yang dimaksud etnomusikologi itu adalah seperti diuraikan berikut ini.

Ethnomusicology is the study of music in its cultural context. Ethnomusicologists approach music as a social process in order to understand not only what music is but why it is: what music means to its practitioners and audiences, and how those meanings are conveyed

Ethnomusicology is highly interdisciplinary. Individuals working in the field may have training in music, cultural anthropology, folklore, performance studies, dance, cultural studies, gender studies, race or ethnic studies, area studies, or other fields in the humanities and social sciences. Yet all ethnomusicologists share a coherent foundation in the following approaches and methods: 1) Taking a global approach to music (regardless of area of origin, style, or genre). 2) Understanding music as social practice (viewing music as a human activity that is shaped by its cultural context). 3) Engaging in ethnographic fieldwork (participating in and observing the music being studied, frequently gaining facility in another music tradition as a performer or theorist), and historical research.

Ethnomusicologists are active in a variety of spheres. As researchers, they study music from any part of the world and investigate its connections to all elements of social life. As educators, they teach courses in musics of the world, popular music, the cultural study of music, and a range of more specialized classes (e.g., sacred music traditions, music and politics, disciplinary approaches and methods). Ethnomusicologists also play a role in public culture. Partnering with the music communities that they study, ethnomusicologists may promote and document music traditions or participate in projects that involve cultural policy, conflict resolution, medicine, arts programming, or community music. Ethnomusicolo-gists may work with museums, cultural festivals, recording labels, and other institutions that promote the appreciation of the world’s musics

org/?page=whatisethnomusicology).

(17)

budaya di mana musik itu tumbuh dan berkembang. Para ahli etnomusikologi yang dalam bahasa Indonesia lazim disebut etnomusikolog, biasanya melakukan pendekatan musik sebagai proses sosial untuk memahami tidak hanya apa musik tapi mengapa: apa artinya praktik musik dan khalayak, dan bagaimana makna yang disampaikan musik tersebut.

Secara keilmuan etnomusikologi sangat interdisipliner. Artinya para ilmuwan yang bekerja di lapangan etnomusikologi ini mungkin saja berasal dari pelatihan musik, atau ilmuwan antropologi budaya, cerita rakyat, kajian pertunjukan, tari, studi budaya, studi gender, stuis ras atau etnik, studi kawasan, atau bidang lainnya di bidang ilmu-ilmu humaniora dan sosial. Namun semua etnomusikolog berbagi landasan yang koheren dalam pendekatan dan metodenya, seperti berikut: (1) Mengambil pendekatan global untuk musik (terlepas dari daerah asal, gaya, atau genre). (2) Memahami musik sebagai praktik sosial (melihat musik sebagai aktivitas manusia yang dibentuk oleh konteks budaya). (3) Melakukan penelitian lapangan etnografi (berpartisipasi aktif dalam mengamati musik yang sedang dipelajari, mengkaji tradisi musik baik sebagai pemain atau ahli teori sekeligus), dan penelitian sejarah musik.

(18)

disiplin ilmu dan metode). Etnomusikolog juga berperan di dalam budaya masyarakat. Bekerjasama dengan komunitas musik yang mereka pelajari, etnomusikolog dapat mempromosikan dan mendokumentasikan musik tradisi atau berpartisipasi dalam proyek-proyek yang melibatkan kebijakan budaya, penyelesaian konflik, pengobatan (melalui media musik), pemrograman seni, atau komunitas musik. Etnomusikolog dapat bekerja pada museum, festival budaya, rekaman label, dan lembaga lain yang mempromosikan apresiasi musik dunia.

Berdasarkan sejarah keilmuan etnomusikologi, secara dasar terjadi gabungan (fusi) dua disiplin ilmu yaitu musikologi dan etnologi. Musikologi selalu digunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri—sedangkan etnologi memandang musik sebagai bahagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bahagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut.

(19)

sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4).

(20)

etnologisnya. Di sini, penekanan etnologi yang dilakukan oleh para sarjana ini tidak seluas struktur komponen suara musik sebagai suatu bahagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Dengan demikian, kerja keilmuan yang penulis lakukan adalah sesuai dengan uraian mengenai apa itu etnomusikologi seperti tersebut di atas.

Berdasarkan latar belakang katoneng-katoneng di dalam kebudayaan Karo, dan disertai kajiannya secara etnomusikologis dalam konteks interdisipliner keilmuan, maka penulis membuat penelitian ini dalam tajuk: Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Kebudayaan Karo: Kajian Fungsi, Struktur

Melodi, dan Makna Tekstual Sesuai dengan judul tersebut di atas, maka berikutnya adalah menentukan pokok masalah, atau lazim disebut juga dengan pertanyaan penelitian, atau masalah penelitian.

1.2 Pokok Permasalahan

Uraian pada bagian sebelumnya menyebutkan bahwa nyanyian katoneng-katoneng adalah nyanyian yang sangat rumit, karena teks nyanyiannya diciptakan oleh perkolong-kolongsesuai dengan konteks penyajiaannya. Di samping itu, teks nyanyian katoneng-katoneng harus disesuaikan dengan melodi lagunya.

Sampai saat ini, belum ditemukan penelitian tentang teks dan melodi

(21)

dalam konteks budaya masyarakatnya, seperti contohnya: penelitian terhadap aspek historis, fungsi musik, dan sekilas penyajiannya.

Oleh karena itu, penelitian yang lebih komprehensif terhadap nyanyian

katoneng-katoneng perlu dilakukan untuk mengetahui dan memahami dengan lebih mendalam tentang struktur melodi dan makna dari nyanyian katoneng-katoneng. Maka dalam tesis ini, penulis menentukan dua pokok masalah, yaitu:

(1) Bagaimana fungsi katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo?

(2) struktur melodis lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo?

(3) Bagaimana makna tekstual lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo?

(22)

Untuk mengkaji pokok masalah penelitian ketiga yaitu bagaimana makna teks lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua

dalam kebudayaan masyarakat Karo, maka unsur yang dibahas meliputi aspek-aspek: makna denotatif (makna yang sebenarnya) dari kata per kata dan kalimat per kalimat atau larik. Seterusnya, yang dikaji adalah makna-makna semiosis yang lebih dalam seperti nilai-nilai, filsafat hidup, dan aspek-aspek sejenis. Namun sebelumnya dideskripsikan juga struktur bahasa yang membangun

katoneng-katoneng ini.

1.3 Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan yang berhubungan dengan katoneng-katoneng, peneliti membatasi pembahasan kajian ini terhadap fenomena yang berlangsung pada saat penyajian katoneng-katoneng dalam konteks upacara cawir metua. Oleh karena itu, penelitian ini ini akan menganalisis tentang makna teks dan struktur melodi yang membentuk penyajiannya melalui analisis semiotik.

1.4Tujuan dan Manfaat 1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, adalah:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fungsi katoneng-katoneng

(23)

Karo, untuk memberikan pemahaman tentang konteksnya di dalam kebudayaan.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur melodi katoneng-katoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo, untuk memberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip keindahan penyajiannya.

3. Penelitian ini juga bertujuan mengkaji makna teks katoneng-katoneng

yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini merupakan salah satu usaha untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Karo pada umumnya dan juga kepada para ilmuwan seni tentang fungsi, struktur melodi, dan makna teks katoneng-katoneng dalam konteks cawir metua.

2. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk pengembangan fungsional dan struktural penyajian katoneng-katoneng untuk masa-masa yang akan datang.

(24)

dalam kebudayaan Karo, yang disesuaikan pula dengan perkembangan zaman.

4. Penelitian yang kemudian ditulis dalam bentuk tesis ini dapat bermanfaat sebagai salah satu bentuk kajian yang dapat mengembangkan disiplin ilmu-ilmu seni khususnya etnomusikologi, baik untuk sumbangan teoretis maupun teknis.

5. Penelitian ini bermanfaat untuk mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan yang terdapat di dalam pikiran masyarakat Karo secara umum, dan secara khusus di dalam pikiran seniman musik Karo, dalam konteks mempertahankan tradisinya pada era globalisasi dan perubahan zaman.

1.5 Konsep dan Teori 1.5.1 Konsep

Untuk memperjerlas makna-makna peristilahan yang penulis gunakan dan berhubungan dengan tajuk tesis ini, maka penulis akan menjelaskan konsep-konsep dan teori. Oleh karena itu dijelaskan terlebih dahulu apa itu konsep-konsep dan teori, yang penulis gunakan agar tidak terjadi pembiasan (dikotomi) makna.

(25)

argumentasi (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:1177).

Untuk mendapatkan pengertian yang mendasar tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini maka diperlukan konsep. Adapun konsep-konsep yang perlu dijelaskan dalam konteks penelitian ini adalah: (a) katoneng-katoneng, (b) cawir metua, (c) kebudayaan, (d) struktur melodi, (e) makna teks. Seterusnya konsep tentang lima istilah di atas dapat diuraikan sebagai berikut ini.

1.5.1.1Katoneng-katoneng

Dalam kamus bahasa Karo karangan Darwin Prints (2002) disebutkan bahwa katoneng-katoneng adalah nyanyian tradisional Karo yang berisikan nasehat, doa, dan sebagainya. Lagukatoneng-katoneng biasanya dilantunkan oleh seorang perkolong-kolong dalam upacara cawir metua (kematian), mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), dan lain sebagainya.

Katoneng-katoneng berasal dari kata toneng yang artinya tenang atau damai. Dengan kata lain, bahwa katoneng-katoneng adalah sejenis lagu yang syairnya memberikan ketenangan, kedamaian, nasehat, doa, dan lain sebagainya; yang sangat menggugah perasaan orang lain ketika mendengarkannya. Dalam terminologi musik Barat, lagu katoneng-katoneng yang disajikan dalam upacara

(26)

1.5.1.2Cawir metua

Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua anaknya telah menikah,dihargai sebagai prestasi tersendiri yang disebut dengan

cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak

kalimbubunya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas(pakaian adat lengkap)yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhen emas), bulang-bulang

dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan); yang manasemuanya ini nanti akan dipakaipada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum (suami istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum).

(27)

1.5.1.3 Kebudayaan

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9). Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin

Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.

Kebudayaan dapat didefenisikan sebagai suatu sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat.

(28)

1.5.1.4 Fungsi

Kata fungsi yang digunakan dalam tajuk tesis ini merujuk kepada pengertian yang diajukan oleh Bronislaw Malinowski. Menurutnya, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena pada awalnya manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam keinginan manusia (human need) itu. Dengan pengertian seperti ini, maka seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.9

Sesuai dengan pendapat Malinowski, nyanyian katoneng-katoneng pada masyarakat Karo di Sumatera Utara timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat Karo secara umum. Lagu ini timbul dan berkembang, karena masyarakat pengamalnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh dari itu,

9

(29)

akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya, perlambangan, komunikasi, dan lainnya.

A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal.

Sejalan dengan pandangan Radcliffe-Brown, lagu katoneng-katoneng

dalam budaya Karo bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat Karo. Nyanyian ini adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya yaitu masyarakat Karo. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan

(30)

1.5.1.5 Struktur melodi

Yang dimaksud dengan struktur melodi, adalah terdiri dari dua kata yaitu struktur dan melodi. Yang dimaksud struktur dalam tulisan ini adalah bangunan (teoretis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan. Struktur ini bisa dikaitkan dengan pengertian struktur sosial atau struktur masyarakat. Begitu juga dengan struktur gedung atau bangunan. Struktur juga bermakna sebagai bangunan bisa saja bangunan musik, bangunan sejarah, bangunan tari, bangunan atom, dan lain-lain. Atau bisa juga sebagai kerangka yang membentuk bidang-bidang apa saja. Misalnya kerangka karangan, kerangka layang-layang, dan seterusnya (Poerwadarminta, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Dalam kaitannya dengan tulisan ini, struktur yang dimaksud adalah merujuk kepada struktur melodi. Struktur ini terdiri dari unsur-unsur: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, interval yang digunakan, nada yang digunakan, pola-pola kadensa, dan kontur melodi.

1.5.1.6 Makna teks

(31)

yang disebut katoneng-katoneng. Lirik lagu ini memiliki makna-maknanya yang dapat diungkap melalui latar belakang kebudayaan Karo. Makna-makna tersebut ada yang bersifat makna sesungguhnya yaiu makna denotatif, tetapi juga mengandung makna yang lebih dalam dan holistik, yaitu makna konotatifnya. Makna-makna inilah yang kemudian dianalisis dan ditafsir dalam tesisi ini.

1.5.2 Teori

Teori yang dijadikan sebagai landasan dalam kerja ilmiah adalah suatu upaya yang dilakukan peneliti untuk menerangkan, menggambarkan, dan menganalisis suatu fenomena tertentu atau suatu pemikiran untuk menerangkan bagaimana suatu peristiwa baiik alam atau kemasyarakatan terjadi. Teori merupakan seperangkat pernyataan atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang menerangkan fenomena tertentu (Lauer, 2001:35).

Dalam kaitannya dengan fokus penelitian ini yaitu, analisis terhadap struktur melodi dan makna teks katoneng-katoneng dalam upacara cawir metua

dalam kebudayaan Karo, maka dibutuhkan landasan teori yang tepat, sesuai dengan fenomena yang diamati. Adapun teori-teori yang digunakan dalam rangka penelitian yang kemudian dituliskan dalam bentuk tesis ini, dapat diuraikan sebagai berikut.

1.5.2.1 Teori fungsionalisme

(32)

antropologi yang disebut fungsionalisme. Teori ini dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (hidup tahun1884-1942). Malinowski lahir di Cracow, Polandia, sebagai putra keluarga bangsawan Polandia. Ayah beliau adalah seorang profesor dalam ilmu sastra Slavik. Olehkarena itu tidaklah mengherankan jikalau Malinowski mendapatkan pendidikan yang kelak memberikannya suatu kerja akademis juga. Pada tahun 1908 beliau lulus dari Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama kajiannya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Dia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman.

(33)

dunia pertama pada tahun 1918, dia pergi ke Inggris karena mendapat pekerjaan sebagai pembantu ahli di London School of Economics.

Dia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Dia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ditawari untuk menjadi profesor antropologi di University Yale pada tahun 1942. Namun pada tahun itu juga dia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya, H. Cairns, dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski, 1944).

Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan institusi-institusi sosial menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Kaberry, 1957:82), yaitu:

(1) Fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau kesannya terhadap adat, perilaku manusia dan institusi sosial yang lain dalam masyarakat; (2) Fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial, atau unsur kebudayaan pada

(34)

keperluan suatu adat atau institusi lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat;

(3) Fungsi sosial dari suatu adat atau institusi sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu. Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhadap ilmu psikologi juga tampak ketika dia mengunjungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana dia bertemu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yang ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, dasar dari proses belajar adalah tidak lain adalah ulangan-ulangan kepada reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau learning theory, ini sangat menarik perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi dasar pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan.

(35)

manusia. Dengan demikian, dengan menggunakan learning theory sebagai dasar, Malinowski mengembangkan teori fungsionalismenya, yang baru terbit sesudah ia meninggal dunia. Bukunya yang berjudul A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944). Dalam buku ini Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks. Namun inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala kegiatan kebudayaan itu sebenarnya bermaksud

memuaskan satu rangkaian keperluan naluri makhluk manusia yang berhubungan

dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh salah satu usur kebudayaan, terjadi karena manusia ingin memuaskan keperluan nalurinya akan keindahan. Ilmu juga timbul karena keperluan naluri manusia untuk ingin tahu. Namun banyak juga kegiatan kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam keperluan itu. Dengan pemahaman ini, kata Malinowski, seseorang peneliti bisa mengkaji dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.

(36)

suatu masyarakat, yang memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menuurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa keperluan dasar atau beberapa keperluan yang timbul dari keperluan dasar yaitu keperluan sekunder dari satu entitas kepada sebuah masyarakat. Keperluan pokok atau dasar manusia adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak, dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi keinginan-keinginan dasar itu. Untuk memenuhi keinginan dasar ini, maka muncul keinginan jenis kedua (derived needs), keinginan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Misalnya unsur kebudayaan yang memenuhi keinginan terhadap makanan menimbulkan keinginan sekunder yaitu keinginan untuk kerjasama dalam mengumpulkan makanan atau untuk produksi makanan. Untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang akan menjamin kelangsungan kewajiban kerjasama itu. Sehingga menurut pandangan Malinowski mengenai kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi keinginan dasar para warga masyarakat.

(37)

ragam, bagaimana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu dengan yang lainnya, bagaimana harus dihadapi oleh para penyiar agama, oleh penguasa kolonial, dan oleh mereka yang secara ekonomi mengeksploitasi perdagangan dan tenaga orang-orang masyarakat primitif (Malinowski, 1927:40-41).10

Selain Malinowski, pakar teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi yang lain ialah Arthur Reginald Radcliffe-Brown. Seperti Malinowski, dia mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Namun berbeda dengan Malinowski, Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial sebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada (Radcliffe-Brown, 1952).

Sebuah contoh nyata pendekatan yang bersifat struktural-fungsional dari Radcliffe-Brown adalah kajiannya mengenai cara penanggulangan ketegangan sosial yang terjadi di antara orang-orang yang terikat karena faktor perkawinan, yang terdapat dalam berbagai masyarakat yang berbeda. Untuk mengurangi kemungkinan ketegangan di antara orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkahwinan, misalnya orang beripar atau berbesanan. Dia

10

(38)

menjelaskan bahwa masyarakat bisa melakukan satu dari dua cara sebagai berikut: pertama dibuat peraturan yang ketat yang tidak membuka kesempatan bertemu muka antara orang yang mempunyai hubungan ipar atau mertua seperti halnya pada suku Indian Navajo di Amerika Serikat, yang melarang seorang menantu laki-laki bertemu muka dengan mertua perempuannya. Kemudian, yang kedua, hubungan itu dianggap sebagai hubungan berkelakar seperti yang terdapat pada orang-orang Amerika kulit putih yang mengenal banyak lelucon tentang ibu mertua. Dengan begitu, konflik di antara anggota keluarga dapat dihindarkan— dan norma budaya, yaitu aturan ketat pada orang Navaho dan lelucon pada orang kulit putih Amerika, berfungsi dalam menjaga kesatuan sosial masyarakatnya.

(39)

kita berhasil menilai apakah sebuah kebiasaan tertentu berfungsi, namun orientasi teoretis ini tidak akan berhasil memberikan penjelasan mengapa suatu masyarakat memilih cara pemenuhan keperluan struktural sosial yang tertentu sifatnya. Tentu saja sebuah masalah tertentu tidak semestinya dipecahkan menuurut cara tertentu namun masih diperlukan penjelasan mengapa dipilih satu cara dari sekian cara atau alternatif yang ada.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, khususnya yang mengkaji fungsi

katoneng-katoneng yang digunakan pada upacara cawir metua dalam budaya Karo, maka teori fungsionalisme digunakan untuk mengkaji bagaimana fungsi tersebut memenuhi keinginan masyarakat Karo.

Berdasar kepada teori fungsionalisme Malinowski, katoneng-katoneng

timbul dan berkembang karena diinginkan oleh masyarakatnya, untuk menyampaikan berbagai-bagai keperluan sosial, seperti pengabsahan upacara, memberikan hiburan, menunjukkan status sosial, integrasi masyarakat dan lainnya. Katoneng-katoneng ini memiliki fungsi-fungsi sosiobudaya.

(40)

yang tua dan muda, begitu juga pertuturan yang disebut tutur siwaluh, serta sistem klen yang disebut merga silima.

1.5.2.2 Teori weighted scale

Dalam rangka menganalisis struktur melodi katoneng-katoneng yang digunakan dalam upacara kematian cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo, penulis menggunakan teori weighted scale (bobot tangga nada), yang ditawarkan oleh Malm (1977).

Pada intinya teori weighted scale ini adalah bertujuan untuk menganalisis delapan unsur yang terdapat dalam melodi seuatu musik, yaitu: (1) tangga nada, (2) nada dasar, (3) interval, (4) pola-pola kadens, (5) formula melodi, (6) kontur, (7) wilayah nada, dan (8) distribusi nada. Tangga nada yang dimaksud dalam teori ini adalah nada-nada yang digunakan, termasuk juga oktaf-oktafnya dalam rangka membangun sebuah melodi. Selanjutnya yang dimaksud dengan nada dasar, adalah pusat dari tonalitas atau modalitas melodi tersebut dengan berbagai cirinya. Kemudian yang dimaksud dengan interval adalah jarak antara nada-nada dalam rangka membangun suatu melodi utuh nyanyian, yang di dalam etnomusikologi biasanya disebut dengan berbagai istilah seperti: prima murni, sekunde minor, sekunde mayor, kuart murni, kuint murni, sekata minor, sekta mayor, septim minor, septim mayor, oktaf, kuint diminished, dan lain-lainnya.

(41)

yang dimaksud dengan formula melodi, adalah bagaimana komposisi melodi tersebut dibangun oleh motif, frase, dan bentuknya. Ini dapat dideskripsikan sebagai benmtuk tunggal, binari, ternari, dan seterusnya. Kemudian yang dimaksud dengan kontur adalah garis lintasan melodi baik secara umum maupun rinci, yang dapat dideskripsikan dengan istilah-istilah sseperti: pendulum, berjenang, menaik, menurun, rata, dan sejenisnya. Kemudian yang dimaksud dengan wilayah nada adalah jarak yang diukur dengan satuan laras atau sent antara nada terendah dengan nada tertinggi di dalam sebuah lagu. Selepas itu, yang dimaksud dengan distribusi nada adalah bagaimana masing-masing nada itu menyebar dan menyusun suatu melodi lagu secara utuh, biasanya dideskripsikan dengan cara kuatitatif, jumlah masing-masing nada tersebut disertai dengan jumlah durasinya. Demikian kira-kira unsur-unsur melodi yang dianalisis melalui teori weighted scale ini.

1.5.2.3 Teori semiotik

(42)

diberi arti atau ditempatkan pada ruang tertentu. Dikatakan demikian, karena tidak secara begitu saja segala sesuatu langsung menunjukkan suatu tanda tertentu. Sesuatu yang masih potensial sebagai tanda tentu saja belum menunjuk pada suatu pengertian. Bahwa sesuatu itu menjadi jelas-jelas tanda hanya sejauh ketika sesuatu itu dikomunikasikan (Tommy F Awuy, 2003).

Dengan demikian, apa yang ingin dimaksud dengan analisis semiotik di atas ini adalah yang berhubungan dengan dimensi komunikasi. Analisis semiotik komunikasi disini bermaksud untuk mencari proses pemahaman antara pihak yang memberi tanda dan pihak yang menerima tanda, dengan tidak atau melewati sebuah medium tertentu.

Semiotika atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang di gunakan dalam prilaku manusia. Dua tukoh perintis semiotika adalah Ferdinand De Sausurre seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders filosof dari Amerika Serikat. Menurut pakar linguistik, Ferdinand De Sausurre, semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.“ Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahsasa itu sendiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau

signifier yang berhubungan dengan konsep (signifed). Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dati dari 3 bagian yang saling berkaitan: (1) respresentatum, (2) pengamat (interpretant),

(43)

kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Sedangkan secara saintifik, istilah semiotika berasal dari perkataan Yunani semion.

Dalam kaitannya teori semiotika untuk mengkaji teks lagu katoneng-katoneng, maka penulis menutip pendapat van Zoest (1996:11). Menurutnya di dalam sebuah teks terdapat ikon, apaila adanya persamaan suatu tanda tekstual dengan acuannya. Segalanya mempunyai kemungkinan untuk dianggap sebagai suatu tanda. Penyusunan kalimat-kalimat dalam sajak (keteraturan suku kata, pengulangan fonetik, ataupun hanya wujud satu susunan tipografi tertentu) adalah tanda: penanda “ini adalah sebuah sajak.” Adanya kalimat yang panjang-panjang adalah tanda. Banyaknya kata sifat, pergantian vokalisasi dalam sebuah cerita, panjang pendeknya sebuah teks, semua itu bisa dianggap sebagai tanda. Semua yang dapat diamati dan diidentifikasikan dapat menjadi tanda, baik hal yang sangat kecil seperti atom, maupun yang bersifat kompleks karena terdiri atas sejumlah besar tanda lainnyayang lebih kecil. Pada kekhasan teks hanya tampak setelah dilakukan analisis struktural yang sangat mendalam.

(44)

dapat dipakainya sebagai alat heuristis. Maksudnya alat itu memungkinkannya mengenali suatu makna yang mungkin akan tetap tersembunyi kalau alat itu tidak dipergunakan.

1.6 Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari repetisi kajian yang sama, baik dalam waktu penelitian maupun fokus yang sama, maka perlu dilakukan serangkaian studi terdahulu. Studi ini adalah yang terkait dengan kebudayaan Karo secara umum, musik Karo, baik itu musik instrumental maupun musik vokalnya, tari Karo, sastra Karo, dan sejenisnya. Tulisan-tulisan tentang topik tersebut, sebahagian besar adalah berupa skripsi dan juga tesis di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra (kini menjadi Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam bentuk skripsi ditulis oleh para calon sarjana etnomusikologi, dan juga tesis oleh para dosen dan calon magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, baik itu berupa kajian tekstual, musikal, upacara, oraganoligis, di antaranya adalah sebagai berikut.

(45)

sendalanen Karo secara etnomusikologis dengan pendekatan fungsional dan struktural.

(2) Perikuten Tarigan, juga menulis sebuah skripsi sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun1986. Perikuten Tarigan mengkaji tentang gendang lima sedalanen sebagai musik Tradisi Karo. Agak berbeda dengan Kumalo Tarigan, penulis skripsi ini memfokuskan perhatian pada ensambel

gendang lima sendalanen yang jumlah alat musiknya lebih besar, namun dengan akar sejarah yang sama. Kedua ensambel tersebut memiliki hubungan fungsional dan struktural. Perikuten melihat ensambel gendang lima sendalanen juga melalui pendekatan fungsional dan struktural.

(3) Rini Rumiyanti, menulis sebuah skripsi sarjana pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU medan, tahun 1988. Beliau melakukan studi deskripsi pemakaian alat musik surdam bagi guru dalam pengobatan tradisional Karo. Skripsi ini selain melakukan pendekatan struktural juga mengkaji sistem kosmologi alam di dalam kebudayaan masyarakat Karo.

(46)

organologis yang digunakan adalah struktural dan fungsional alat-alat musik.

(5) Fariana, seorang etnomusikolog lulusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 1992 melakukan penelitian berupa deskripsi peranan gendang kulcapi dalam upacara erpangir ku lau di Berastagi. Di dalam skripsi ini, Fariana mendeskripsikan upacara erpangir ku lau yang terjadi di Berastagi pada tahun 1991. Selanjutnya ia mentranskripsi beberapa lagu dalam gendang kulcapi yang digunakan dalam upacara tersebut. Sama dengan para seniornya, Fariana melakukan pendekatan fungsionalisme dan struktural.

(6) Selain itu, etnomusikolog Sinar, Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1992, dalam skripsinya mengkaji tentang studi deskriptif musik vokal Gendang Keramat dalam upacara erpangir ku lau. Sinar melakukan pendekatan deskriptif terhadap upacara erpangir ku lau, dan menganalisis salah satu musik vokal yang disajikan oleh dukun di Tanah Karo yang disebut dengan Gendang Keramat.

(47)

mentranskripsi nyanyian erpola dan menganalisisnya dengan teori bobot tangga nada (weighted scale).

(8) Ivy Irawaty Daulay, menulis skripsi sarjana di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1995. Dalam skripsinya beliau mengkaji tentang studi organologis surdam rumaris pada masyarakat Karo di Berastagi. Pada skripsinya ini Ivy Irawaty Daulay banyak melakukan deskripsi organologi dan akustik terhadap salah satu alat musik tradisional Karo yang disebut dengan surdam rumaris.

(9) Perdata Peranginangin, saat menyelesaikan studi di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 1999 melakukan kajian organologis terhadap alat musik gung dan penganak pada masyarakat Karo, dengan studi kasus teknik pembuatan gung dan penganak oleh Lebut Sembiring. Skripsi ini amatlah menarik, karena biasanya mahasiswa etnomuskologi USU lebih senang mengkaji aspek musikal dan organologis alat-alat musik pembawa melodis dan ritmis. Sedangkan dalam skripsi ini, penulisnya melakukan kajian organologis terhadap alat musik yang membawa fungtuasi ritmik. Dari skripsi ini diketahui pula bahwa orang Karo masih memiliki pandai besi pembuat gung dan penganak yaitu Bapak Lebut Sembiring.

(48)

Empat Karo. Skripsi ini sebagai mana yang termaktub pada judulnya menitikberatkan kepada kajian ritual pajuhpajuhen nini lau tungkup

dengan pendekatan teori upacara dan fungsional.

(11) Seterusnya, Bahtiar Tarigan, ketika menyelesaikan studinya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun1999, beliau melakukan kajian tekstual dan musikal mangmang dalam upacara perumah begu di Desa Tanah Lapang, Kecamatan Bandar, Kabupaten Langkat. Skripsi ini juga memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana salah satu upacara tradisi Karo yang disebut perumah begu (yaitu berkaitan dengan alam gaib).

(12) Roy Jimny N. Sebayang, dalam menulis skripsi sarjananya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 2004, melakukan analisis tentang kendang keyboard dan hubungannya dengan perilaku sosial masyarakat Karo dalam upacara adat erdemu bayu di Kota Medan. Skripsi ini juga berisikan data etnografis tentang bagaimana perubahan kebudayaan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat Karo dari alam pedesaan ke alam perkotaan, dengan memfokuskan perhatian pada

gendang keyboard Karo dalam salah satu upacara adatnya yaitu erdemu bayu.

(49)

Skripsi ini berbentuk deskripsi perlombaan antara penyanyi tradisi Karo yang disebut perkolong-kolong dan upacara gendang guro-guro aron.

Deskripsinya detil dan menarik untuk dibaca dan menambah wawasan pembaca.

(14) Memasuki era dasawarsa 2010, Saidul Irfan Hutabarat, dalam rangka menyelesaikan studinya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2010, menulis skripsi yang berisi tentang peranan Jasa Tarigan dalam perkembangan ensambel musik tradisi Karo. Skripsi ini memfokuskan perhatian pada biografi musikal salah seorang pemusik kenamaan Tanah Karo yaitu Jasa Tarigan. Yang paling menonjol adalah peranan Jasa Tarigan sebagai tokoh perubahan musik Karo dari masa tradisi ke masa transisi. Jasa Tarigan jugalah yang awal membawa alat musik keyboard ke dalam kehidupan musik Karo.

(50)

akulturasu tersebut. Di sisi lain, masuknya kibod adalah sebagai rangka “pemodernan” musik Karo yang tidak anti kepada perubahan zaman. (16) Selain itu, Agus Tarigan pada Prodi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya

USU, tahun 2011, melakukan penelitian yang ditulis ke dalam bentuk skripsi yaitu tentang penggunaan dan fungsi gendang keyboard dalam

gendang guro-guro aron di Desa Suka Dame. Skripsi ini menurut penulis lebih menekankan kepada pendekatan fungsionalisme. Agus Tarigan menguraikan sejauh apa guna dan fungsi gendang keyboard dalam kebudayaan masyarakat Karo khususnya di Desa Suka Dame.

(17) Perikuten Tarigan, yang boleh dikatakan sebagai etnomusikolog dan pengkaji budaya Karo, dalam rangka menyelesaikan studinya, menulis tesis Program Magister, Program Studi Kajian Budaya Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, tahun 2004. Di dalam tesis ini, Perikuten Tarigan membahas tentang perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo. Tesis ini berisi kajian terhadap peubahan dan kontinuitas alat musik tradisional Karo dari masa ke masa. Perikuten Tarigan melihat perubahan ini dari sisi dalam dan luar budaya Karo yang mempengaruhinya. Selain itu, Perikuten Tarigan juga melihat perubahan musik yang terjadi juga selaras dengan perubahan konsep-konsep budaya dalam masyarakat Karo.

(51)

tesisnya Kumalo Tarigan menganalisis mangmang (salah satu genre nyanyian ritual Karo), baik itu teks (seni kata) maupun melodinya. Di dalam tesis ini banyak diuraikan tentang praktik-praktik perdukunan di Tanah Karo yang menggunakan aspek-aspek musikal. Fungsi utama nyanyian ritual ini adalah seperti memanggil roh mendiang dukun.

(19) Selain itu kajian yang juga dekat dengan focus kajian penulis adalah yang dilakukan oleh Yosherman Ginting, dalam skripsinya di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang berjudul Kateneng-kateneng Nyanyian Tradisional Masyarakat Karo Langkat, di Dusun Deleng Payong, Kecamatan Salapian, Kabupaten

Langkat: Suatu Kajian Tekstual dan Musikologis, tahun 1995. Dalam skripsi sarjana etnomusikologi ini, Yosherman Ginting menganalisis kateneng-kateneng dalam konteks upacara mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), khususnya di Dusun Deleng Payong Langkat. Ia mentranskripsi dan menganalisis teks serta melodi kateneng-kateneng yang utamanya dilantunkan oleh Bapak Ralinta Sitepu.

(20) Kajian yang paling dekat dengan fokus kajian penulis adalah penelitian dalam rangka penulisan skripsi sarjana oleh Yunika Margaretha Ginting, tahun 2012. Judul skripsinya adalah: Analisis Struktur Musikal dan Fungsi Katoneng-katoneng dalam Upacara Cawir Metua pada Masyarakat Karo

(52)

Katoneng-katoneng tersebut disajikan oleh perkolong-kolong Ramlah Sitepu dan Jaya Ginting.

(21) Tesis magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang bertemakan katoneng-katoneng adalah yang ditulis oleh Anton Sitepu pada tahun 2015 ini. Ia menulis tesis yang berjudul Nyanyian Katoneng-katoneng dalam Upacara Mengket Rumah pada Masyarakat Karo: Kajian Semiotik dan Musikologi. Tesis ini mengkaji katoneng-katoneng dalam konteks upcara mengeket rumah dengan dua kajian utama yaitu semiotik liriknya dan struktur musik, khusus melodinya.

Dua buah skripsi yaitu Yosherman Ginting (1995) dan Yunika Martgaretha Ginting (2012), serta satu tesis magister yaitu Anton Sitepu (2015) di atas, memiliki berbagai kesamaan kajian dan tentu saja perbedaan-perbedaan dengan yang penulis lakukan. Yang dilakukan Yosherman Ginting adalah pada tahun 1995, yang telah berjarak 20 tahun dengan masa studi yang penulis lakukan. Tentu saja banyak hal yang berubah dan berbeda dalam masa sekian lama itu. Selain itu, yang dilakukan Yosherman adalah pada masyarakat Karo Jahe di wilayah Kabupaten langkat, yang sedikit banyaknya berbeda dengan yang penulis lakukan ini, terfokus di wilayah Karo Gugung. Demikian pula

(53)

Kemudian yang diteliti dan ditulis dalam bentuk skripsi sarjana oleh Yunika Margaretha Ginting tahun 2012, adalah difokuskan kepada katoneng-katoneng pada upacara cawir metua di Pancurbatu, dari sisi fungsi dan struktur musikal. Persamaan dengan yang penulis kerjakan adalah, wilayah penelitian sama-sama pada kawasan Karo Gugung. Selain itu, katoneng-katoneng yang disajikan adalah dalam konteks upacara cawir metua. Namun yang berbeda dengan yang penulis kerjakan adalah tentu saja tingkat kedalaman kajian, yaitu apa yang ditulis Yunika Ginting baru tahapan skripsi untuk sarjana, sedangkan yang penulis lakukan adalah untuk peringkat magister, yang harus lebih dalam dan holistik. Selain itu perkolong-kolong yang dijadikan kajian adalah berbeda. Demikian juga tempat dan konteks diadakannya upacara cawir metua adalah beda tempat yaitu desa yang berbeda. Demikian pula kajian fungsi yang dilakukan Yunika Ginting lebih terfokus kepada penggunaan teori fungsi dari Merriam, sedangkan penulis lebih meluaskannya yaitu selain memakai teori fungsi Merriam, juga memakai teori Radcliffe-Brown dan Malinowski.

(54)

katoneng-katoneng ini di dalam kebudayaan Karo, dan fungsi music dalam masyarakat ini tidak menjadi pokok permasalahan penelitian belaiu. Sementara penulis sebagaimana arahan Merriam adalah menyeimbangkan kajian struktural dengan kontekstualnya. Itulah yang membedakan kajian kami.

Selain dari skripsi dan tesis, maka kajian kepustakaan lainnya adalah dengan membaca dan menerapkan berbagai isi buku-buku mengenai kebudayaan, kajian teks, dan semiotik. Di antara buku-buku itu adalah seperti yang diuraiakn berikut ini.

(55)

pada folklor Indonesia yang berupa nyanyian rakyat yang tertulis dalam buku ini untuk referensi tesis ini.

(23) Teori Interpretasi, Memahami Teks, Penafsiran, dan Metodologinya

karangan Paul Ricoeur (2012). Buku ini menekankan pentingnya interpretasi untuk dapat memahami realitas dengan segala kompleksitasnya. Buku ini juga membantu kita untuk menjelajahi makna bahasa dengan seperangkat teori interpretasi yang terangkum dalam filsafat wacana.

(24) Serba-Serbi Semiotika karangan Panuti Sudjiman dan Art van Zoest (1991). Buku ini berisi ulasan-ulasan tentang apa itu semiotika terutama yang digunakan di dalam disiplin ilmu linguistik dan sastra. Di dalamnya juga diberikan contoh analisis terhadap karya-karya satrawan Indonesia seperti Chairil Anwar.

(25) Semiotic for Beginners karangan Paul Cobley dan Litza Jansz (2002). Buku ini berisi tentang identifikasi para ahli semiotika yang terkemuka dan karya-karya mereka. Semiotika dalam buku ini dipaparkan dengan konsep-konsep sederhana yang sebelumnya merupakan istilah-istilah yang pelik. Buku ini penulis jadikan sebagai pijakan untuk memepelajari betapa pentingnya tanda-tanda dan sistem penandaan bagi keberadaan manusia. (26) Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna karangan

(56)

dihubungkan dengan perkembangan teori-teori dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu budaya.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Kirk dan Miller (1986) seperti yang dicatatkan oleh Lexy J Moleong (1996) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada perhatian pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.

Selanjutnya menurut Taylor dan Bogdan (1984) bahwa penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diperhatikan dari orang-orang atau subjek itu sendiri. Jadi penelitian ini lebih menekankan kepada apa-apa yang ada di dalam persepsi dan pikiran para informannya.

Selain itu, penelitian ini berusaha mendapatkan pandangan para pelaku seni terhadap konteks penelitian. Dalam memahami pemikiran itu, peneliti sepatutnya melakukan empati dalam kehidupan para pelaku seni sebagai subjek, serta menghayati kehidupan berdasarkan pengalaman dan pandangan mereka.

(57)

mewujudkan interaksi sosial secara intensif dan kondusif, yang memungkinkan peneliti mendalami dan memahami pandangan pelaku seni.

Sebagai orang yang berasal dari daerah Karo (yaitu insider), di mana asal topik penelitian yang akan diteliti, sedikit banyaknya peneliti mempunyai pengetahuan yang cukup baik mengenai adat-istiadat, etika, maupun bahasa Karo, sehingga hubungan rapport11

Prinsip kerja yang dilaksanakan dalam penelitian ini secara garis besar adalah dengan kegiatan pembacaan literatur, wawancara, dan pengamatan terutama pada persoalan yang ingin diteliti. Membaca literatur adalah untuk menambah wawasan, memecahkan masalah, dan membantu mengkaji pokok masalah penelitian. Wawancara adalah untuk mengumpulkan data, kemudian menganalisisnya, dan mendalami analisis, terutama tertuju kepada struktur melodi dan makna teks katoneng-katoneng. Pengamatan dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang pokok masalah dan kenyataan yang terjadi di lapangan, yang dapat dimasukkan ke dalam memori peneliti berupa memori auditif maupun visual. Selain itu, pengamatan ini menjadi bahagian yang integral dari kajian peneliti yang terlibat dalam ranah penelitiannya (partisipant observer).

dapat berlaku dengan para narasumber seperti yang disarankan oleh James Danandjaya (1984).

11

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis proses manajemen perubahan yang dilakukan PT TUV Rheinland Indonesia dalam upaya implementasi SMM ISO

pembangkit litrik tenaga mikrohidro (bertitik berat pada dimensi runner ).. Hartadi,

Dengan koleksi terbaru dari PAKAIAN online exclusive dan juga koleksi new arrival yang menarik, serta serangkaian acara menarik dan promosi, program ekslusif seperti mystery

Permulaan dari rasa bunyi, yang terungkap sebuah hasil pada suatu keutuhan yang d.ikatakan ungkap-. all j

Tingkat nyeri low back pain setelah dilakukan senam tai chi pada petani padi lansia yang dilakukan di Posyandu Lansia Desa Banjardowo Kecamatan Jombang

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP FUNGSI DHARMA WANITA FIP DALAM MENINGKATKAN.. KETERAMPllAN

Penelitian pada tikus telah menunjukkan bahwa kuantitatif spermatogenesis, seperti yang ditunjukkan oleh sejumlah germ cells dibandingkan dengan sel-sel Sertoli,

Rekan-rekan Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil angkatan 2013 khususnya yang berada di program Diploma III Sumber Daya Air, yang sudah membantu di dalam penyusunan