• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII. PENUTUP

Peta 2.1 Kabupaten Karo

Gambar 2.1

Lambang Kabupaten Karo

Sumber: Pemerintah Kabupaten Karo, 2014

2.1 Geografis

Meskipun ada perbedaan antara wilayah budaya dan wilayah administratfi pemerintahan, tetapi pada bahagian ini dideskripsikan tentang wilayah geografis. Secara geografis, Kabupaten Karo berada pada ketinggian 400 sampai 1600 meter di atas permukaan laut, dengan luas wilayah seluruhnya kira-kira 2.127,25 km persegi, atau 27,9 % dari luas keseluruhan Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan klimatologi atau iklimnya Kabupaten Karo mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu berkisar 16-17 derajat Celcius. Kabupaten Karo terletak pada koordinat 2° 50' lintang utara sampai 3° 19' lintang utara dan 97° 55' bujur timur sampai 98° 38' bujur timur.

Kota Medan, yang memiliki hubungan sejarah dengan orang Karo. Selanjutnya, perjalanan dari Kota Medan menuju Kota Kabanjahe, dalam kondisi lalu lintas normal dapat ditempuh dalam waktu dua jam dengan kenderaan umum; dan satu setengah jam dengan kenderaan pribadi.

Selain itu, Kabupaten Karo merupakan salah satu kabupaten dari sejumlah 33 kabupaten dan kota di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan wilayah geografis, Kabupaten Karo berada pada posisi 2’50-3’19’ Lintang Utara, dan 97’35’-98’38’ Bujur Timur. Keseluruhan daerah Kabupaten Karo beriklim sejuk, berada di kisaran 14-26 derajat Celsius. Penggunaan lahan di Kabupaten Karo di dominasi oleh penggunaan lahan kering berupa perladangan dan perkebunan seluas 96.045 ha atau 41% dari luas wilayah. Selanjutnya diikuti oleh kawasan hutan seluas 77.142 ha. Tanah yang subur, udara yang sejuk, panorama yang indah, serta hutan lindung yang luas, sangat sesuai dengan usaha dibidang sektor pertanian (sumber: BPS Kabupaten Karo, 2012).

Pada sektor pertanian masyarakat Karo mengolah tanaman pangan, hortikultura (buah-buahan, sayur mayur, bunga-bungaan, dan biji-bijian). Sektor pariwisata mencakup : jalan hutan, gunung berapi, air panas, pemandangan yang indah, danau, air terjun, rumah tradisional, kebudayaan dan sebagainya. Sektor industri diharapkan mampu mendukung sektor pertanian, industri yang mengolah hasil pertanian dan industri yang mendukung sektor pariwisata seperti : cendera mata.

Pada saat dilakukan penelitian ini, Kabupaten Karo terdiri dari 17 kecamatan dan berpenduduk 350.960 jiwa. Rincian luas wilayah, jumlah

penduduk, dan kepadatan penduduk per kecamatan dapat dilihat pada rincian yang terdapat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Setiap Kecamatan di Kabupaten Karo

(Sumber: BPS Kabupaten Karo 2012).

Kabupaten Karo sebagai wilayah asal yang menjadi fokus kajian katoneng- katoneng ini, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara memiliki

Kecamatan Luas Wilayah (Km2) Penduduk Kepadatan Penduduk Tiap Km2 (1) (2) (3) (4) 01 Mardingding 267,11 17 062 63,88 02 Laubaleng 252,60 17 713 70,12 03 Tigabinanga 160,38 19 900 124,08 04 Juhar 218,56 13 244 60,60 05 Munte 125,64 19 686 156,69 06 Kutabuluh 195,70 10 586 54,09 07 Payung 47,24 10 837 229,40 08 Tiganderket 86,76 13 178 151,89 09 Simpang Empat 93,48 19 015 203,41 10 Naman Teran 87,82 12 796 145,71 11 Merdeka 44,17 13 310 301,34 12 Kabanjahe 44,65 63 326 1418,28 13 Berastagi 30,50 42 541 1394,79 14 Tigapanah 186,84 29 319 156,92 15 Dolat Rayat 32,25 8 296 257,24 16 Merek 125,51 18 054 143,85 17 Barusjahe 128,04 22 097 172,58 Jumlah/Total 2010 2 127,25 350 960 165,98

Langkat dan Kabupaten Deli Serdang, (ii) sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir, (iii) sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun, dan (iv) sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD).

Walaupun berdasarkan administratif, etnik Karo bermukim di wilayah Kabupaten Karo, akan tetapi sejak awal mereka telah menempati beberapa wilayah kabupaten lainnya di Provinsi Sumatera Utara, terutama di kabupaten yang berbatasan langsung dengan kabupaten Karo seperti: Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Dairi, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Simalungun, Kota Medan dan ke sebelah barat Kabupatan Karo yaitu Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD).

Berdasarkan perbedaan wilayah domisili, pada akhirnya memunculkan sebutan atau julukan bagi masyarakat Karo karena telah membaur dengan kebudayaan etnik lain di kawasan pemukimannya. Kemudian etnik Karo dikenal dengan berbagai julukan seperti, Karo Kenjulu, Karo Singalor Lau, Karo Baluren, Karo Langkat, Karo Timur, dan Karo Dusun. Selain wilayah pemukiman etnik Karo di luar Kabupaten Karo tersebut, masih terdapat wilayah yang dianggap penting yang menjadi tempat tinggal atau domisili orang Karo yaitu wilayah Kota Medan. Biasanya orang-orang karo yang tinggal di Medan tidak memiliki sebutan tertentu sebagaimana dikemukakan di atas.

2.2 Sistem Kekerabatan

Setiap suku bangsa mempunyai sistem kekerabatan sendiri dan merupakan ciri khas dari setiap suku bangsa. Setiap upacara adat tidak terlepas dari sistem kekerabatan yang ada. Begitu juga dengan suku Batak Karo yang juga memiliki sistem kekerabatan sendiri. Kerabat (kade-kade) memiliki pengertian yang sangat luas, baik atas dasar hubungan darah maupun hubungan yang disebabkan oleh terjadinya sebuah pernikahan, sehingga terjadilah hubungan kekerabatan baik antara pihak wanita dan pihak pria yang menikah.

Menurut Pritchard (1986:154) tiap-tiap masyarakat, walaupun dalam bentuk yang sederhana sekali, akan dapat menemui suatu bentuk kehidupan keluarga, pengakuan mengenai ikatan kekeluargaan, sistem ekonomi dan politik, status sosial, ibadah agama, cara menyelesaikan konflik dan hukuman terhadap penjahat dan lain-lain disamping kebudayaan material, suatu kumpulan pengerahuan mengenai alam semesta, teknik dan tradisi. Demikian halnya dengan masyarakat Karo memiliki memiliki sistem kekerabatan yang diwariskan secara turun-temurun yang mencakup bentuk ikatan kekeluargaan, sistem sosial dan politik, penyelesaian konflik, dan berbagai hal yang terkait dengan sistem kekerabatan.

Setiap individu pada masyarakat Karo baik yang bermukim di kawasan kabupaten Karo maupun di luar kabupaten Karo kendati telah membaur dengan etnik lain di sekitarnya, pada umumnya mengetahui sistem kekerabatan yang berlaku yang menjadi pedoman dari sistem kekerabatan. Paling tidak setiap individu mengetahui posisi dirinya sebagai salah satu dari

Kelompok merga tersebut terdiri dari lima merga induk yaitu, (1) Karo-karo. (2) Ginting, (3) Tarigan, (4) Sembiring, dan (5) Perangin-angin,. Kelima merga induk ini disebut, merga silima. Setiap merga terdiri dari cabang- cabang merga. Istilah merga merupakan sebutan pada laki-laki, dan beru untuk perempuan. Kelima-lima merga dalam peradaban masyarakat karo tersebut dibentuk oleh merga-merga kecilnya, yang sepenuhnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.2:

Induk Merga dan Sub Merga dalam Konteks Merga Silima

Induk Merga Sub Merga

I. Ginting 1. Ajar Tambun 2. Babo 3. Beras 4. Capah 5. Garamata 6. Gurupatih 7. Jadibata 8. Jawak 9. Juhar 10.Manik 11.Munte 12.Pase 13.Seragih 14.Sinusinga 15.Sugihen 16.Suka 17.Tumangger

II. Karo-Karo 1. Barus 2. Bukit 3. Gurusinga 4. Jung 5. Kaban 6. Kacaribu 7. Karosekali 8. Kemit 9. Ketaren 10. Purba 11. Samura 12. Sinubulan 13. Sinuhaji 14. Sinukaban 15. Sinuraya

16. Sinulingga 17. Sitepu 18. Surbakti

III. Perangin-angin 1. Bangun 2. Benjerang 3. Kacinambun 4. Keliat 5. Laksa 6. Mano 7. Namohaji 8. Pencawan 9. Penggarun 10. Perbesi 11. Pinem 12. Sebayang 13. Singarimbun 14. Sinurat 15. Sukatendel 16. Tanjung 17. Ulujandi 18. Uwir

IV. Sembiring 1. Brahmana 2. Bunuhaji 3. Busuk 4. Colia 5. Depari 6. Gurukinayan 7. Keling 8. Keloko 9. Kembaren 10.Maha 11.Meliala 12.Muham 13.Pandebayang 14.Pandia 15.Pelawi 16.Sinukapar 17.Sinulaki 18.Sinupayung 19.Tekang V. Tarigan 1. Bondong 2. Gana-gana 3. Gerneng 4. Gersang 5. Jompang 6. Pekan 7. Purba 8. Sibero 9. Silangit 10. Tambak 11. Tambun

12. Tegur 13. Tua

Sumber: informasi yang diperoleh dari para narasumber (2014)

Selanjutnya, hubungan yang lebih luas dari perwujudan merga-merga pada masyarakat Karo adalah rakut sitelu (ikat yang tiga). Rakut sitelu ini mirip dengan pengertian dalihan natolu pada masyarakat Batak Toba dan Mandailing- Angkola. Rakut sitelu pada masyarakat Karo merupakan suatu istilah untuk menyatakan sistem kekerabatan yang saling mengikat antara sesama anggota masyarakat. Sistem tersebut didapat melalui kelahiran dan perkawinan. Rakut sitelu dapat dipandang sebagai pembagian kelompok berdasarkan adat istiadat Karo.

Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah (a) senina, (b) anak beru, dan (c) kalimbubu. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat Karo masing-masing sadar dan mengetahui poisisinya dalam sistem kekerabatan dalam adat-istiadat Karo dalam kaitannya antara merga silima dengan rakut sitelu. Sehingga dalam pelaksanaan sebuah upacara adat masing-masing individu (keluarga) telah mengetahui posisinya sebagai bagian dari upacara tersebut.

Pemahaman mengenai sistem kekerabatan ini oleh masing-masing individu terutama pada usia yang beranjak dewasa pada masyarakat Karo, didapat dari para orang tua yang kesehariannya cenderung menjelaskan sistem kekerabatan tersebut kepada generasi yang lebih muda pada berbagai kesempatan, misalnya ketika berkumpul di warung sambil minum kopi, atau di celah pembicaraan lainnya. Kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada

umumnya khawatir dan malu jika anaknya atau generasi yang lebih muda tidak memahami sistem kekerabatan. Oleh karena itu selalu disarankan agar para remaja yang menjelang dewasa supaya rajin mendengar cerita-cerita orang tua yang menyangkut nasihat dan sistem kekerabatan.

Bahwa orang tua akan merasa malu jika anaknya tidak memahami sistem kekerabatan yang menyangkut merga silima dan rakut sitelu. Jika hal ini tidak diwariskan secara lebih dini, maka dikhawatirkan generasi penerus tidak memahami dengan jelas tentang merga silima dan rakut sitelu yang penerapannya sangat jelas terlihat pada berbagai upacara adat dimana setiap keluarga harus memahami posisinya apakah ia berada pada kelompok senina, anak beru, atau kalimbubu.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada umumnya merasa khawatir jika anak-anak mereka sebagai generasi penerus, tidak tahu atau tidak memahami sistem kekerabatan masyarakat Karo sebagai sebuah identitas yaitu, mengetahui posisi klennya dalam konteks merga silima, dan posisinya saat pelaksanaan sebuah ritual adat dalam pemahaman rakut sitelu.

Selain merga dan beru, setiap individu dalam etnik Karo juga sekaligus mewarisi beru dari ibu kandungnya yang disebut dengan bere-bere atau bebere. Dengan demikian sistem kekerabatan pada etnik Karo mengikuti garis-garis keturunan merga ayah dan beru ibu sekaligus. Dengan demikian etnik Karo tidak murni menganut sistem patrineal (garis keturunan ayah) melainkan parental (bilatreral) yang merupakan percampuran dari sistem

patrineal dan matrilineal yaitu menarik garis keturunan ayah dan garis keturunan ibu sekaligus (Bangun, 1989).

Sistem kekerabatan masyarakat Karo juga mengenal istilah rakut sitelu atau daliken sitelu, yang mengandung pengertian adanya tiga unsur kelengkapan hidup dalam suatu keluarga luas. Adapun ketiga unsur dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Senina, adalah hubungan bersaudara antara orang-orang yang berasal dari satu merga (clan) yang sama tetapi tupang atau sub merga yang berbeda. Contohnya: Ginting Suka dengan Ginting Jawak. Tetapi di samping itu hubungan seseorang dengan orang lain dapat menjadi senina atau ersenina sekalipun clan atau merga berbeda, hal itu karena: isterinya adik beradik; suaminya adik beradik; ataupun ibunya adik beradik.

2. Anak beru, adalah kelompok/golongan penerima anak dara atau wife taker. Kelompok anakberu mempunyai kedudukan penting sebagai pembawa kerukunan dan kedamaian dalam keluarga kalimbubu. Dalam pelaksanaan upacara-upacara adat anak beru yang memegang peranan sangat penting, baik menyangkut menyiapkan keperluan-keperluan pelaksanaan upacara adat, melakukan musyawarah dan pembicaraan-pembicaraan mengenai pelaksanaan upacara adat, sampai kepada pertanggungjawaban pelaksanaan upacara adat. Dalam pelaksanaan upacara adat, salah seorang anak beru bertugas sebagai protokol; yang tugasnya lebih luas daripada tugas juru acara di dalam sesebuah acara yang bersifat formal.

3. Kalimbubu, adalah pihak pemberi anak dara; merupakan kelompok yang harus dihormati. Karena unsur kalimbubu dianggap sebagai sumber

kehidupan dan berkat. Masyarakat Karo menyebut kalimbubu sebagai dibata ni idah yang secara harafiah mengandungi pengertian tuhan yang nampak. Di dalam pelaksanaan adat, kalimbubu merupakan pihak yang selalu menjadi penggurun (yang dimintai pendapatnya, yang diikuti). Apabila pihak kalimbubu melihat ada sesuatu yang berlaku tidak sepatutnya, maka kalimbubu berhak ngembarisa (meluruskannya, memperbaikinya).

Rakut si telu dalam ego adalah senina (saudara kandung atau saudara semerga), kalimbubu (saudara laki-laki dari ibu), anak beru (saudara perempuan dari ayah). Dengan demikian, setiap ego orang Karo akan mempunyai senina, kalimbubu, dan anak beru. Selanjutnya, dalam suatu kegiatan adat atau upacara adat ketiga unsur rakut si telu tersebut mengacu kepada orang yang melaksanakan kegiatan adat yang dikenal dengan istilah sukut. Sukut juga dapat disebut sebagai ego, namun dalam satu kegiatan adat, sukut tidak hanya satu orang atau satu ego merupakan keluarga, dan sukut juga terdiri dari dua kelompok. Sebagai contoh dalam adat perkawinan, yang menjadi sukut adalah ayah ibu dan saudara kandung ayah kedua penganten (laki-laki dan wanita), dan dalam upacara tersebut terdapat dua sukut yakni sukut sinereh (kelompok pengantin wanita) dan sukut si empo (kelompok pengantin laki-laki). Jadi, rakut si telu dalam upacara adat mengacu pada kedua hal tersebut di atas. Jadi ketiga unsur dalam rakut si telu bermuara pada dua hal yakni pada diri atau ego dan kelompok dalam satu upacara adat yang disebut sukut.

Berdasarkan uraian singkat diatas dapat dikatakan bahwa, setiap orang dalam masyarakat Karo memiliki kerabat sebagai senina, kalimbubu, dan anak

hubungan darah. Selanjutnya, setiap orang Karo juga secara otomatis mempunyai peran sebagai senina, kalimbubu, dan anak beru dari orang kerabatnya. Jadi rakut si telu dalam masyarakat karo berfungsi sebagai melingkar (sirkular). Sistem kekerabatan yang tercakup dalam rakut si telu tersebut selanjutnya berkembang menjadi delapan sub kekerabatan yang di sebut dengan tutur si waluh (kedudukan yang delapan) yaitu: (1) puang kalimbubu, (2) kalimbubu, (3) senina, (4) senina siparibanen, (5) senina sipemeren, (6) senina sipengalon sedalanen, (7) anak beru, dan (8) anak beru menteri.

Jika merga dan beru disandingkan atau dicantumkan sekaligus di belakang nama bere-bere tidak pernah dicantumkan. Kendati demikian bere- bere juga berperan penting dalam sistem kekerabatan pada etnik Karo. Setiap perkenalan (ertutur) antara sesame etnik Karo senantiasa menanyakan dan menyebut merga/beru dan bere-bere.

Dalam kehidupan masyarakat Karo ada beberapa prinsip atau dasar yang merupakan landasan kehidupan adat yang disebut dengan, palas kegeluhen ibas adat. Landasan ini menggambarkan karakteristik kehidupan masayarakat Karo yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup aspek-aspek adat.

Dokumen terkait