• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII. PENUTUP

Bagan 2.1 Hubungan Rakut Sitelu, Merga Silima dan Tutur Siwaluh

Hubungan Rakut Sitelu, Merga Silima, dan Tutur Siwaluh dalam Kebudayaan Karo

Sistem kekerabatan etnik Karo dan sistem interaksi sosial yang dibangun berdasarkan filsafat yang dianut suku Karo seperti diuraikan di atas, juga diterapkan nilai-nilainya di dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau. Upacara ini tetap berlandas pada system kekerabatan. Mereka juga berbahasa Karo dan menerapkan tutur siwaluh bagi sesama pengikut upacara dan pemusik. Dengan demikian, upacara ini berdasar pada sistem kekerabatan etnik Karo, yang terus mereka pertahankan sampai saat ini.

2.3Sistem Kepercayaan

Kepercayaan yang paling tua di Tanah Karo adalah dinamisme dan animisme (roh). Dalam kepercayaan ini dilakukan pemujaan atau penyembahan kepada roh-roh yang dianggap suci dan berkuasa; pada tempat-tempat dan waktu-waktu tertentu (E.P. Ginting,1999).

Dalam kepercayaan dinamisme dan animisme, hidup orang Karo dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan kosmis; ia memakai mitos-mitos untuk memahami hidup dan lingkungannya. Kepercayaan tradisional tersebut di atas disebut dengan perbegu. Karena istilah perbegu berkonotasi negatif, yang artinya orang yang berteman dengan begu (hantu), maka komunitas mereka menamai diri pemena, yang artinya kepercayaan paling awal; kepercayaan pemula.

Masuknya pengaruh Hindu sejak zaman pra-historis memperkenalkan orang Karo kepercayaan kepada dibata. Kepercayaan tersebut percaya bahwa segala yang ada di dunia ini, yang tampak maupun yang tak tampak, diciptakan oleh dibata, yang biasa juga disebut dengan sebutan dibata kaci-kaci. Kaci-kaci adalah dewi wanita yang maha pengasih (H.G. Tarigan, 1998). Ianya menguasai seluruh wilayah kosmologi Karo.

Menurut kosmologi Karo, wilayah dunia ini dibagi atas tiga wilayah, yaitu wilayah dunia atas, wilayah dunia tengah dan wilayah dunia bawah. Ketiga bagian dunia ini menjadi tempat kedudukan dibata. Setiap bagian wilayah diperintah oleh seorang dibata sebagai wakil dibata kaci-kaci.

Wilayah dunia atas diperintah oleh seorang dibata yang disebut dibata ni atas yang dikenal dengan sebutan batara guru. Dibata ni atas menguasai

alam semesta dan ruang angkasa. Wilayah dunia tengah atau bumi diperintah oleh dibata tengah yang digelari tuan padukah ni aji. Dibata tengah menguasai seluruh bumi yang didiami oleh manusia. Sedangkan wilayah dunia bawah atau bawah bumi diperintah oleh dibata ni teruh yang dikenal dengan sebutan tuan banua koling. Ketiga dibata yang merupakan satu kesatuan itu dalam bahasa Karo disebut dibata si telu (tuhan yang tiga).

Di samping dibata si telu yang telah disebut di atas, masih terdapat dua unsur penguasa lain yang memberi kekuatan, yaitu: sindarmataniari dan si beru dayang. Sindarmataniari adalah penguasa yang bertempat tinggal di matahari; ianya mengikuti perjalanan matahari dari mulai terbit sehingga tenggelam. Sindarmataniari mempunyai kuasa memberi penerangan atau sinar yang sumbernya dari matahari; dan tugasnya adalah menjadi penghubung antara butara guru, tuan padukah ni aji dan tuan banua koling. Sindarmataniari bertugas menjaga agar keseimbangan kosmis tetap terjaga.

Sedangkan si beru dayang adalah penguasa yang bertempat tinggal di bulan, yang tugasnya membuat agar dunia tengah tetap kuat serta tak dapat diterbangkan angin taufan. Si beru dayang juga dipercayai terlihat pada saat terjadinya pelangi. Menurut mitologi Karo, si beru dayang ini berasal daribegu (hantu, roh) seorang perempuan yang pernah berbuat cabul atau sumbang dengan ibu kandungnya sendiri.

Agama Islam masuk ke Dataran Tinggi Karo melalui Nanggroe Aceh Darussalam dan pesisir pantai Sumatera. Sedangkan agama Nasrani diperkenalkan oleh misionaris Belanda yang bernama NZG (Nederlandch

J.T.H. Gremers, Direktur Perkebunan Tembakau Deli Maatschappij pada saat itu. Agama Nasrani masuk melalui desa Buluh Awar, kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

2.4 Sistem Pemerintahan Tradisional

Seperti yang dituturkan oleh para orang tua,keadaan masyarakat Karo pada dahulu kala adalah tidak stabil. Keadaan ini disebut dengan ermusuh; yang mengandung arti berperang. Perang antara desa, antar urung, dan antar kelompok ini terjadi terus menerus dan berlangsung cukup lama. Keadaan ini membuat rakyat menderita karena hidup tanpa rasa aman. Dalam pada itu, banyak anggota masyarakat yang pergi merantau mencari ilmu-ilmu bela diri, dan kemudian kembali lagi ke desanya untuk membela desa maupun membela kelompoknya. Keadaan ini berlangsung sehingga kedatangan utusan Sultan Aceh yang dilengkapi dengan persenjataan ke Tanah Karo.

Utusan Sultan Aceh selanjutnya kemudian menobatkan raja-raja atau sebayak di Karo. Raja-raja Karo yang dinobatkan ketika itu adalah sebayak Lingga; sebayak Suka; sebayak Sarinembah, sebayak Barus Jahe. Sedangkan sebayak Kutabuluh karena begitu terkenal dengan sendirinya diakui orang Karo sebagai sebayak.

Tercatat dalam sejarah Karo bahwa pada akhirnya terdapat 5 (lima) kerajaan besar di dataran tinggi Karo. Ke lima kerajaan tersebut adalah: kerajaan Lingga yang berkedudukan di Lingga, kerajaan Barus Jaheberkedudukan di Barus Jahe, kerajaan Sarinembah di Sarinembah, kerajaan

Suka berkedudukan di Suka, dan kerajaan Kutabuluh berkedudukan di Kutabuluh.

Kerajaan-kerajaan tadi dipimpin oleh seorang raja atau sebayak. Sebuah kerajaan terdiri dari beberapa urung (daerah) yang dipimpin oleh seorang Raja Urung, sedangkan sebuah urung terdiri dari beberapa kuta (desa/kampung) yang masing-masing dipimpin oleh seorang pengulu kuta.

Kerajaan Linggamempunyai 6 (enam) kerajaan urung, yaitu urungTelu Kuta berkedudukan di Lingga, urung Tigapancur di Tigapancur, urung Empat Teran di Naman, urung Lima Senina di Batu Karang, dan urung Tiganderket berkedudukan di Tiganderket.

Kerajaan Barus Jahe mempunyai 2 (dua) kerajaan urung, yaitu urung Sipitu Kuta berkedudukan di Barusjahe, dan urung Sinaman Kuta berkedudukan di Sukanalu.

Kerajaan Sarinembah mempunyai 4 (empat) kerajaan urung, yaitu urung Sepuluhpitu Kuta berkedudukan di Sarinembah, urung Perbesi di Perbesi, urung Juhar di Juhar, dan urung Kuta Bangun berkedudukan di Kuta Bangun.

Kerajaan Suka mempunyai 4 (empat) kerajaan urung, yaituurung Suka di Suka, urung Sukapiring/Seberaya di Seberaya, urung Ajinembah di Ajinembah, dan urung Tongging berkedudukan di Tongging. Serta kerajaan Kuta Buluh mempunyai 2 (dua) kerajaan urung yaitu urung Namo Haji berkedudukan di Kutabuluh, dan urung Liang Melas di Samperaya.

Sebelum kedatangan pemerintah kolonial Belanda ke Tanah Karo, 4 (empat) kerajaan di Tanah Karo kecuali kerajaan Kutabuluh, tunduk dibawah

kedatangan pemerintah kolonial Belanda ke Tanah Karo pada tahun 1890. Raja berempat tertakluk di bawah kekuasaan Belanda. Sedangkan sebayak Kutabuluh tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda, yang akhirnya sebayak tersebut ditangkap dan dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) (Darwan & Darwin Prinst: 1985).

Ketika pendudukan Jepang di Tanah Karo pada tahun 1942, pemerintahan pribumi masih efektif, namun pengawalan administrasi dipegang oleh pemerintahan militer Jepang. Untuk wilayah Karolanden pemerintahan di kepalai pejabat militer dengan nama Gunseibu (Bunsyutyo) yang berkedudukan di Berastagi.

Demikian juga setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada bulan Agustus 1945, pemerintahan pribumi Karo masih tetap diakui oleh pemerintahan pusat. Namun setelah revolusi sosial Karo pada bulan Maret 1946, pemerintahan pribumi dihapuskan dan diganti dengan pemerintahan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekalipun kekuasaan sebayak tidak lagi eksis, namun kedudukan keluarga sebayak tetap dihormati masyarakat Karo.

2.5 Kesenian

Masyarakat Karo mempunyai beberapa genre kesenian yang diwariskan oleh nenek moyang sejak dahulu kala. Jenis-jenis kesenian tersebut antara lain adalah: seni ukir/ornamen, seni drama, seni tari, dan seni musik. Jenis kesenian yang paling berkembang pada masyarakat Karo adalah seni musik; baik musik vocal maupun musik instrumental. Musik sangat diperlukan dalam berbagai

aktivitas orang Karo; baik acara yang bersifat hiburan, seperti: pesta guro-guro aron (pesta muda-mudi); acara yang bersifat ritual, seperti: erpangir ku lau (membersihkan diri), maupun acara yang bersifat adat, seperti: acara cawir metua (kematian), mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), kerja erdemu bayu (pesta perkawinan), dan lain sebagainya.

2.5.1 Seni sastra

Untuk menjadi perkolong-kolong yang profesional dan diberi kedudukan tersendiri di tengah-tengah masyarakat, sebagai seorang yang dipandang memiliki keahlian dan keterampilan dalam berkesenian, maka ia harus mempelajari seni sastra yang terdapat di dalam kebudayaan Karo. Perkolong-kolong ini kemudian menyajikannya secara musikal dalam berbagai bentuk seni suara termasuk di dalam penyajian katoneng-katoneng. Berikut ini dideskripsikan seni sastra tradisi yang terdapat di dalam kebudayaan Karo.

Pada umumnya, dalam berkomunikasi dengan sesamanya orang Karo mempergunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan sehari-hari, penggunaan bahasa Karo tidak memerlukan susunan yang teratur sekali, yang penting apa yang dikehendaki atau yang perlu disampaikan dapat difahami oleh yang mendengar. Namun untuk keperluan tertentu contohnya: ungkapan keluh kesah, pembicaraan adat, bersenandung (bernyanyi), dan lain sebagainya; dilakukan pemilihan kosa kata yang dianggap paling sesuai. Kosa kata tersebut adalah apa yang disebut oleh orang Karo sebagai cakap lumat (bahasa halus). Untuk memperindah dan membuat lebih menarik, pemakaian cakap lumat ini

cakap lumat ini sering dipergunakan dalam upacara adat seperti perkawinan, memasuki rumah baru, maupun dalam pergaulan muda-mudi (ungkapan percintaan).

Seni sastra Karo dapat dibedakan atas beberapa kategori, di antaranya adalah seperti yang diuraikan berikut ini.

1. Tabas-Tabas (mantra), adalah jenis mantera yang diucapkan atau dilantunkan yang berisikan mantera untuk mengobati orang yang sakit. Tabas biasanya diucapkan oleh seorang guru sibaso (bomoh). Contoh:

Mari me kam ku iap, kupanggil, kukunci Alu beras telge-telge, tinaruh manuk, Belo raja mulia, belo sinuntum, Belo berkis-berkisen, tagan kinukut, Kalakati penjabat, cincin pijer. (Terjemahan:

Marilah kamu ku lambai, ku panggil, ku kunci, dengan beras yang baik, telur ayam,

sirih raja mulia, sirih yang rata,

sirih yang berikat-ikatan, empat kapur istimewa,

penjepit yang kuat, cincin yang baik. (H.G. Tarigan: 1988))

2. Kuning-kuningan, adalah sejenis teka-teki yang dipergunakan oleh anak-anak, muda-mudi maupun orang tua di waktu-waktu luang sebagai permainan untuk mengasah otak. Contoh:

Nguda-ngudana erbaju ratah, Tua-tuana erbaju gara, kai e?

[Terjemahan:

Pada waktu muda berbaju hijau,

pada waktu tua berbaju merah, Apakah itu?] (Sarjani Tarigan: 2008). Adi itaka jumpa kuling, itaka kuling jumpa tulan.

Itaka tulan jumpa jukut, itaka jukut jumpa lau, kai e? [Terjemahan:

Kalau dibelah jumpa kulit, dibelah kulit jumpa tulang,

dibelah tulang jumpa daging, dibelah daging jumpa air, apakah itu?

(Sarjani Tarigan, 2008).

3. Ndung-dungen, yaitu sejenis pantun Karo yang terdiri dari empat baris. Dua baris terdiri dari sampiran, dan dua baris berikutnya merupakan isi. Contoh:

Adi langge si Kuta Buluh,

Pia-pia sanggar langge bakanta, Adi lalap kita la beluh,

Sia-sia nggalar nande bapanta. [Terjemahan:

Jika pohon keladi daripada Kutabuluh, rumput yang tinggi di dalam bakul kita. Jika kita tetap tidak pandai,

sia-sia membayar ibu bapa kita] (H.G.Tarigan: 1988). Cike lambang bungana,

Ise pe lalit gunana, Sada kena nomor satuna. (Terjemahan:

Cike simbol bunganya, lada jera gula batunya. Siapapun tidak ada gunanya,

hanya engkaulah nomor satunya.) (H.G. Tarigan: 1988).

4. Bilang-bilangadalah dendang duka yang merupakan ratapan seseorang yang mengalami duka nestapa. Contohnya karena teringat akan ibunya yang telah meninggal dunia; ataupun meratapi kekasih idaman hati yang telah meninggalkan dirinya, karena pergi merantau ke negeri orang. Contohnya sebagai berikut.

Emaka hio kute ndube bilang-bilang kin pe, bilang-bilang anak Tarigan mergana, sinitubuhken nande beru Karo si melias lanai teralang, kuta Lingga Julu ... dan seterusnya.

(Terjemahan:

Sehingga hio kute dahulu bilang-bilang nya, bilang-bilang anak merga Tarigan,

yang dilahirkan oleh ibu beru Karo yang sangat baik, di desa Lingga Julu ... dan seterusnya (Sarjani Tarigan, 1985)

5. Turi-turin, adalah cerita yang berbentuk prosa yang isinya tentang asal-usul marga, asal usul kampung, cerita tentang orang sakti, cerita lucu, dan lain sebagainya. Turi-turin biasanya diceritakan orang-orang tua kepada anak atau cucunya pada malam hari menjelang tidur. Beberapa contoh turi-turin

berkenaan, antara lain: Beru Patimar dan PawangTernaler, Panglima Cimpa Gabor-gabor, Gosing si Aji Bonar, Beru Rengga Kuning dan lain sebagainya.

Di dalam konteks katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong, termasuk dalam konteks upacara kematian cawir metua, maka bahasa yang digunakan para perkolong-kolong biasanya adalah bahasa Karo yang dikategorikan secara adat sebagai cakap lumat (bahasa halus). Artinya di dalam bahasa yang dinyanyikan perkolong-kolong tersebut mempunyai diksi tertentu dan tata aturan mengikuti sastra lisan Karo, yang penuh dengan nilai-nilai dan makna kebudayaannya.

2.5.2 Seni ukir

Meskipun tradisi seni ukir dan patung di Tanah Karo sudah sangat lama hidup, namun perkembangannya tidak seperti yang diharapkan; khususnya seni patungnya. Hanya beberapa orang Karo saat ini yang menekuni hidupnya dalam bidang berkenaan diatas. Di antaranya yang masih hidup boleh dicatatkan disini, adalah : Pauzi Ginting di Lingga, Joker Barus di Barusjahe, Kora Sembiring di Seberaya, Bangun Tarigan di Kabanjahe, A.G. Sitepu di Medan, dan lainnya. Mereka yang dicatatkan disini hanya seorang saja yang menekuni bidang seni patung; yaitu A.G. Sitepu, selebihnya menggeluti seni ukir.

Seni ukir tradisional Karo memiliki berbagai bentuk, yaitu berupa ragam hias dan benda-benda kerajinan. Beberapa dari jenis-jenis ragam hias yang terdapat di Karo, antara lain : Tapak Raja Sulaiman, Pengeretret, Embun

(A.G. Sitepu: 1980). Jenis ukiran berkenaan dapat ditemukan pada alat-alat upacara, perkakas rumah tangga, alat-alat musik, hiasan dinding, Ayorumah siwaluh jabu2

Sedangkan seni patung pada orang Karo disebutgana-gana. Patung yang sangat terkenal di Tanah Karo adalah gana-gana saringitgit. Bentuk gana-gana saringgitgit sangat menyeramkan sehingga orang yang menciptakannya pun menjadi takut melihatnya. Namun, dari penelusuran yang penulis sudah lakukan, seni patung Karo saat ini sudah tidak ditemukan lagi; baik itu di museum-museum pemerintah dan swasta, maupun di toko-toko yang menjual cenderamata dan benda-benda antik Karo.

(dinding muka rumah adat Karo) dan lain sebagainya. Berupa benda-benda kerajinan antara lain adalah piso tumbuk lada (pisau khas Karo), sertali(perhiasan yang terbuat dari perak), kalakati penjabat (alat untuk membelah pinang) dan lain sebagainya.

2.5.3 Seni musik

2.5.3.1 Pengertian musik

Musik pada masyarakat Karo diartikan sebagai gendang.Musik yang berkembang di kalangan kaum muda disebut dengan gendang si medanak (musik anak muda).Musik yang saat ini popular di tengah-tengah masyarakat dikatakan dengan gendang si gundari (musik yang popular sekarang ini). Sedangkan musik tradisional Karo yang menggunakan sarune (serunai) sebagai

2Rumah si waluh jabu mengandungi erti rumah yang di dalamnya terdapat lapan ruang. Rumah jenis ini masih boleh dijumpai di beberapa desa Karo, diantaranya: desa Lingga, desa

alat musik melodisnya disebut dengan gendang telu sendalanen lima sada perarih atau yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan gendang sarune.

2.5.3.2 Jenis-jenis musik

Secara umum musik tradisional Karo berdasarkan sumber bunyinya dibagi atas dua bagian, yaitu musik vocal dan musik instrumental.Musik vocal adalah musik yang dihasilkan dari suara atau mulut manusia, sedangkan musik instrumental adalah musik yang dihasilkan oleh alat-alat musik tertentu.

2.5.3.2.1 Musik vokal

Ada berbagai jenis musik vocal yang berkembang pada masyarakat Karo hingga saat ini.Dalam penyajiannya, musik vokal tersebut ada yang diiringi dengan alat musik tertentu, namun ada pula yang dimainkan tanpa iringan musik. Musik vocal yang diiringi dengan alat musik tertentu diantaranya adalah: kateneng-kateneng yaitu nyanyian yang dibawakan oleh perkolong-kolong (penyanyi dan penari professional Karo) dalam sebuah acara adat; ende-enden yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh seseorang (laki-laki atau perempuan) dalam sebuah acara. Sedangkan musik vocal tanpa diiringi alat musik adalah: mangmang yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang guru (dukun) pada pelaksanaan sebuah upacara ritual; nendong yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang guru (dukun) dalam sebuah proses pengobatan seseorang yang

sedang sakit; didong doah yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang perempuan dalam sebuah adat perkawinan; dan lain sebagainya3.

2.5.3.2.2 Musik instrumental

Musik instrumental Karo dihasilkan oleh alat musik solo (tunggal) maupun alat-alat musik yang tergabung dalam ensambel musik tertentu. Musik instrumental yang dimainkan dengan solo instrument, diantaranya: lebuh-lebuh; dilantunkan oleh surdam (alat musik tiup side blow); penganjak kuda si tajur; dimainkan oleh kulcapi (kecapi Karo), pingko-pingko; yang dimainkan dengan solo oleh alat musik belobat (alat musik tiup end blow), dan lain sebagainya.Musik instrumental yang dibawakan oleh ensambel tertentu biasanya tidak dinyanyikan tetapi hanya ditarikan, maupun hanya sekedar dilantunkan.Gendang perang 4 kali adalah musik yang hanya dilantunkan tanpa dinyanyikan maupun ditarikan.Gendang lima serangke (lima serangkai) adalah musik instrumental yang hanya ditarikan oleh penari khusus (biasanya oleh muda-mudi dengan cara berpasang-pasangan), dan lain sebagainya.

2.5.3.3 Ensembel Musik Tradisional Karo 2.5.4.4.1 Gendang Lima Sendalanen

Gendang Telu Sendalanen Lima Sada Perarih, yang sering juga disebut gendang sarune, merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam khasanah musik tradisional Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan dengan alat musik, limaberarti jumlah kuantitatif sebanyak lima buah, dan

3

sedalanen berarti sejalan. Dengan demikian gendang lima sedalanen mengandung pengertian lima buah alat musik, yaitu: sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung.

Gambar 2.2: Penarune

Sumber: Perikuten Tarigan (2008:53)

Masing-masing alat musik ini dimainkan oleh seorang pemain, dengan sebutan panarune untuk pemain sarune, penggual untuk sebutan pemain gendang singanaki dan gendang singindungi. Lebih spesifik lagi, pemain gendang singanaki disebut penggual singanaki dan pemain gendang

disebut simalu penganak, dan orang yang memainkan gung disebut simalu gung.Namun, pada saat sekarang ini, alat musik penganak dan gung sudah biasa dimainkan oleh hanya seorang pemain, dan sebutannya adalah simalu gung.

Gambar 2.3:

Pemain Musik Gendang Lima Sidalanen

Sumber: Perikuten Tarigan (2005: 56)

Ketika mereka bermain musik dalam satu upacara adat Karo, sebutan kepada mereka menjadi satu yaitu si erjabaten, yang artinya secara harfiah adalah orang yang memiliki jabatan.Sebutan penggual dan panarune tetap melekat pada diri mereka sepanjang mereka masih beraktivitas dalam bidang musik, sementara sebutan si erjabaten biasanya hanya muncul ketika mereka

bermain dalam satu konteks upacara adat Karo. Ensembel Gendang Telu Sendalanen Lima Sada Perarih atau biasa juga disebut Gendang Lima Sendalanen terdiri dari:

(i) Sarune, merupakan alat musik tiup yang memiliki lidah ganda (double reed aerophone).Tabung alat musik ini berbentuk konis, mirip dengan alat musik obo (oboe). Panjang sarune lebih kurang 30 cm. Instrumen ini terdiri dari lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan serta terbuat dari bahan yang berbeda pula yaitu: anak-anak sarune, tongkeh, ampang-ampang, batang sarune, dan gundal. Anak-anak sarune (reeds) terbuat dari dua helai kecil daun kelapa yang telah dikeringkan.Kedua helai daun kelapa itu diikatkan pada katir (pipa kecil yang terbuat dari perak) sebagai penghubung anak-anak sarune kepada bagian berikutnya.Tongkeh terbuat dari timah, bentuknya seperti pipa kecil yang berfungsi sebagai penghubung antara anak-anak sarune dengan batang sarune.Ampang-ampang yakni sebuah lempengan berbentuk bundar yang terbuat dari kulit binatang baning (trenggiling) diletakkan di tengah tongkeh.Ampang-ampang ini berfungsi sebagai penahan bibir pemain sarune ketika sedang meniup alat tersebut.Batang sarune terbuat dari kayu selantam, yang harus dibentuk menjadi konis, dan bagian dalamnya juga dilobangi agar bentuknya menjadi konis juga.

Pada batang sarune inilah terdapat lobang-lobang sebanyak delapan buah.Gundal juga terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini merupakan corong (bell) pada bagian ujung sarune. Perlu ditambahkan, ampang-ampang, anak-anak sarune, dan tongkeh biasanya

tersebut tidak tercecer atau terpisah maupun hilang karena ukurannya kecil-kecil.

Gambar 2.4: Sarune

sumber: dokumentasi penulis, 2014

(ii) Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi, Gendang singanaki dan gendang singindungi merupakan dua alat musik pukul yang memiliki membran yang terbuat dari kulit napuh (sejenis kancil), pada kedua sisi alat musik yang berbentuk konis ganda (doble headed double conical drums). Sisi depan/atas atau bagian yang dipukul disebut babah gendang, sisi belakang/bawah (tidak dipukul) disebut pantil gendang. Dibandingkan dengan alat musik gendang (drum) yang terdapat di Sumatera Utara, kedua gendang Karo memiliki ukuranyang kecil, panjangnya sekitar 44 cm, diameter babah

gendang 5 cm, diameter pantil gendang 4 cm. Kedua alat musik tersebut memiliki kesamaan dari sisi: bahan, bentuk, ukuran, dan cara pembuatannya.

Berbeda dengan gendang singindungi, pada gendang singanaki terdapat lagi sebuah gendang kecil, yang disebut gerantung (panjang 11,5 cm) posisinya biasanya diikat pada bahagian tengah gendang singanaki dengan menggunakan tali yang terbuat dari kulit lembu, sedangkan pada gendang singindungi tidak memiliki anak (gerantung).

Gendang singindungi dapat menghasilkan bunyi naik turun melalui teknik permainan tertentu, sedangkan bunyi gendang singanaki tidak bisa naik turun.Kedua alat musik ini terbuat dari pohon nangka, yang lobang atau rongga bagian dalamnya dibentuk mengikuti konstruksi bagian luar alat musik tersebut.Kulit yang direntangkan di kedua sisi muka alat musik tersebut berasal

Dokumen terkait