• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna dan Fungsi Upacara Puak Poi pada Upacara Paisin dalam Budaya Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makna dan Fungsi Upacara Puak Poi pada Upacara Paisin dalam Budaya Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

GLOSARIUM

Akulturasi: proses bercampurnya dua budaya atau lebih membentuk budaya baru dan mengandung kepribadian kebudayaan yang berbaur tersebut.

Asimilasi: proses sosiobudaya masuknya seseorang yang berasal dari satu kebudayaan ke dalam kebudayaan dominan

Buddha: adalah sebuah sistem religi (agama) yang dibawa oleh Sidharta Gautama dari India, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia. Cheng beng: ziarah kubur orang tua

Chuat guek pa: dibukanya pintu nereraka

Dao: adalah satu sistem religi, yang berpusat dari keberadaan Dao di dunia ini. Ajaran ini sering juga disebut dengan Tao atau Taoisme.

Etnik: kelompok manusia yang dipandang sebagai keturunan yang sama, memiliki bahsa yang sama, dan hidup pada wilayah budayanya. Gong Xi Fat Cai: ucapan yang berarti selamat dan sukses saat Imlek.

Huaqiao: China perantauan Huaren: Tionghoa sebagai etnik Huen tong: surge

King ang: guci

Konghucu (Konfusius): adalah sebuah sistem religi yang berasal dari ajaran-ajaran religi dan filsafat Konfusius atau Kon Fu Tse.

Kuomintang: Partai Nasionalis China

Masyarakat: kesatuan hidup manusia, yang memiliki berbagai tujuan social dan kebudayaan yang sama.

Migrasi: proses perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain secara permanen

Paisin: adalah aktivitas sembahyang pada umumnya yang dilakukan umat Tao, Buddha, dan Konghucu, biasanya memohon dan menanyakan sesuatu kepada Tuhan/Dewa-Dewi, nenek moyang di Alam Baka, atau makhluk-makhluk gaib lainnya.

Puak Poi: sebuah artefak religi pada masyarakat Tionghoa yang lazim digunakan sebagai sarana komunikasi baik terhadap Alam Langit maupun Alam Baka, biasanya menanyakan dan mengharapkan sesuatu melalui petanda jawabannya, yaitu tiga jawaban: sengpoi, jipoi, dan kampoi. San chiao wei yi: Tiga agama yaitu Tao, Budha, dan Konfutse adalah satu Se shio: nama-nama binaatang untuk tahun China

She: nama keluarga yang ditarik secara patrilineal Sia hwe: kamar dagang Tionghoa

Tang cek: musim salju

Tenglang: dari kata Tangren, laki-laki dari Dinasti Tang

Tengsua: dari kata Tangsan, Gunung Timur, Tionghoa perantauan Tiong chiu: bulan 8 hari 15 penyembahan Dewi Bulan

Tionghoa: orang-orang yang berasal dari Tiongkok (Kerajaan Langit) Tuan yang: hari raya bulan 5 menghormati penyair Chin Yen

Tui lien: kain merah saat Imlek.

(2)

Xin ke: pendatang baru Yang lek: tahun Msehi

Zangguo Xuetong: keturunan Tionghoa

(3)

DAFTAR INFORMAN DAN PELAKU PAISIN

YANG MENGGUNAKAN PUAK POI DI PEMATANGSIANTAR

A. Informan Kunci (Key Informant)

(1) Nama: Susanto Wijaya (Akiong)

Agama: Buddha.

Profesi: Saikong (pemimpin upacara orang meninggal, upacara ini lazim

disebut dengan tua pi ciu) dan pemilik kelenteng.

Umur: 68 tahun.

(2) Nama: Aliang

Agama: Buddha

Pekerjaan: Wiraswasta. Ia dipandang oleh masyarakat Tionghoa di

Pematangsiantar sebagai sesepuh kebudayaan Tionghoa, yang banyak

menegetahui tentang agama Buddha, Konghucu, dan Tao. Ia juga

memahami tata cara upacara paisin dan makna-makna di balik upacara

tersebut.

Umur: 75 tahun.

B. Para Pelaku Paisin yang Menggunakan Puak Poi

(1) Juli

(2) Candra

(3) Fitri

(4) Nita

(4)

DAFTAR PERTANYAAN

1. Siapa nama Anda?

2. Apa profesi Anda?

3. Telah berapa lama anda tinggal di daerah ini?

4. Apakah Anda mengetahui apa itu Puak poi?

5. Menurut Anda apakah Puak poi itu?

6. Seberapa sering Anda menggunakan Puak poi?

7. Bagaimana tata cara penggunaan Puak poi?

8. Bagaimana bentuk Puak poi menurut Anda?

9. Apa fungsi Puak poi menurut Anda?

10.Apa Makna Puak poi menurut Anda?

11.Bagaimana cara Anda agar fungsi dan makna Puak poi dapat lebih

dipahami oleh masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar yang masih belum

(5)

DAFTAR PUSTAKA a. Buku dan Artikel

Abdurrahmat, H. Fathoni, 2006. Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: Rhineka Cipta.

Adler, Mortimer J. et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII). Chicago: Helen Hemingway Benton.

Akim, Stafanus, 2002. Memahami Budaya Tionghoa. Jakarta: Gramedia.

Ali, Mukti, 1988. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Press.

Anderson, John, 1971. Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxford University Press.

Ardianto dan Lukiah Komala, 2004. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Simbiosa Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Azra, Azyumardi, 2007a. Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation. Bandung: Mizan.

Azra, Azyumardi, 2007b. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Jakarta: Kanisius.

Bangun, Payung, 1981. Kebudayaan Batak & Pariwisata IV. Medan: Yayasan Kebudayaan Batak.

Barthes, R., 1967. Elementss of Semiology. London: Jonathan Cape.

Barthes, Roland. 1972. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa. Jakarta: Jalasutra. Bascom, William R., 1965. “The Forms of Folklore: Prose Narratives.” Journal of

American Folklore. Volume 78, nomor 307, Januari-Maret 1965.

Badan Pusat Statistik Pemerintah Kota Pematangsiantar, 2015. Pematangsiantar dalam Angka. Pematangsiantar: BPS.

Benny, H. Hoed, 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.

Castles, Lance. 1972. The Political Life of A Sumatra Resiency: Tapanuli 1915-1940. Yale: Yale University. Disertasi Doktoral.

Damanik, Jahutar, 1974. Jalannya Hukum Adat Simalungun. Medan: P.D. Aslan.

Danandjaja, Djames, 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.

(6)

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.

Fiske, John. Cultural and Communication Studies SebuahPengantar Paling Komprehensif. Bandung: Jalasutra

Hadari dan Martini, 1994. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia.

Harahap, H.M.D., 1986. Adat-Istiadat Tapanuli Selatan. Jakarta: Grafindo-Utama.

Harsojo, 1977. Pengantar Antropologi Budaya. Jakarta: Bina Cipta.

Herkovits, Melville J., 1948. Man and His Work. New York: Alfred A. Knopft.

Herskovits, Melville J. dan Frances S., 1958. Dahomean Narrative: A Cross-cultural Analysis.Northwestern University African Studies, No. 1. Evanston, III.: Northwestern Univ. Press.

Ihromi, T.O.2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor.

Jhuenhyie, 2000. Budaya China. Jakarta: Salemba

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Versi Elektronik Luar Jaringan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kartodirdjo, Sartono, 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1973. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1982. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cistra.

Koentjaraningrat (ed.), 1991. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1986. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).

Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.

(7)

Littlejohn, Stephen W, 2009.Theories of Human Communication edisi 9. Jakarta. Salemba Humanika.

Malinowski, 1948 Man and His Works: The Science of Cultural Anthropo-logy. New York: Knopf.

Malinowski, 1955 Cultural Anthropology. New York: Knopf. (An abridged revision of) Man and His Works, 1948.

Malinowski, 1944. “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I Koentjaraningrat (ed.), 1987. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Roskarya.

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Dedi dan Jalaluddin Rakhmat, 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nababan, P.W.J., 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Narroll, R. 1964. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Ong Hok Kam, 2005. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu

Poerwadarminta (ed.), 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: balai Pustaka.

Poerwadarminta (ed.), 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Purba, Setia Dermawan, 1994. Penggunaan, Fungsi, dan Perkembangan Nyanyian Rakyat Simalungun bagi Masyarakat Pendukungnya: Studi Kasus di Desa Dolok Meriah, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Jakarta: Tesis Magister Antropologi Universitas Indonesia.

Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press.

Sangti, Batara [Ompu Buntilan], 1977. Sejarah Kebudayaan Batak. Balige: Karl Sianipar.

(8)

Kompleks Perumahan Cemara Asri Medan. Medan: Skripsi Sarjana Program Studi Etnomusikologi FIB USU.

Silviana, Yoan, 2012. Fungsi dan Makna Penyambutan Imlek pada Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Medan: Skripsi Sarjana Program Studi Sastra China FIB USU.

Sinar, Tengku Luckman, 1988. Sejarah Deli Serdang. Lubuk Pakam: Badan Penerbit Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang.

Sou`yb, Joesoef, 1996. Agama-agama Besar didunia, Jakarta: Al-Hussna Dzikra.

Suryadinata, Leo, 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES. Juga dalam versi Inggris: Leo Suryadinata, 1997. Chinese and National-Building in Souteast Asia. Asian Studies Monograph No. 3. Singapore: Singapore Society of Asian Studies.

Suryadinata, Leo, 1992. Pribumi Indonesians: The Chinese Minorities and China A Study of Perceptions and Politics. Singapore: Heinemann Asia.

Suryanto, Pdt. Markus T., 1996. Mengenal Adat Istiadat Tionghoa. Jakarta: Pelkrindo (Pelayanan Literatur Kristen Indonesia).

Syafrida, Reny. 2012. Fungsi dan Makna Penyembahan Leluhur Pada Masyarakat Tionghoa. Skripsi Sarjana Sastra China, Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.

Wang Gungwu, 1981. Community and Nation: Essays on Southeast Asia and the Chinese. Kuala Lumpur: Heinemann.

Wilton, Syeelwem S., 2014. Struktur dan Makna upacara Cheng Beng bagi Masyarakat Tionghoa di Berastagi. Skripsi Saraja Sastra China, Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.

Tambunan, Netor Rico, 1996. “Dr. I.L. Nommensen: Missionaris Besar, Penguakl Kegelapan Tanah Batak,” dalam Kartini, nomor 601. Desember 1996.

Takari, Muhammad, 1997. Struktur Musik Tua Pi Ciu yang Dipergunakan oleh Masyarakat Tionghoa di Kota Medan pada Upacara Tiau Sang. (Laporan Penelitian) Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.

Tanggok, M. Ikhsan, 2005. Mengenal Lebih Dekat “Agama Konghucu di Indonesia. Jakarta: Pelita Kebajikan.

Tong, Daniel.2010. Tradisi dan Kepercayaan China. Jakarta: Pustaka Sorgawi

(9)

Widyosiswoyo, Supartono. 2001. Sejarah Seni Rupa di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

b. Internet

www.baiduwenhua.cn

http:/etnis_Tionghoa_reformasi

www.wikipedia.com www.sumut.go.id. www.google.com

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu#Intisari_ajaran_Khong_Hu_Cu http://www.g-excess.com/136/pengertian-agama-konghucu/

http://misi.sabda.org/konfusianisme

(10)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian Kualitatif

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu frase penelitian kualitatif di Kota

Siantar, maka sepenuhnya penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian analisis

fungsi dan makna tradisi puak poi dalam etnik Tionghoa di kota Siantar melalui

antropologi budaya dengan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan secara tepat sifat-sifat

individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi

adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala yang lain dalam

masyarakat. Dalam hal ini mungkin telah ada hipotesis-hipotesis, mungkin juga

belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah

bersangkutan (Koentjaningrat,1991:29).

Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang

bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau

informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi

aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak

mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan

dan menganalisis suatu keadaan atau status fenomena secara sistematis dan akurat

(11)

Tionghoa. Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penyelidikan

kualitatif sebagai berikut.

QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1995:1).

Menurut Denzin dan Lincoln seperti kutipan di atas, yang dimaksud

dengan penelitian kualitatif adalah adalah suatu metode yang telah lama

dikembangkan di dalam ilmu pengetahuan manusia. Di dalam ilmu sosiologi

karya-karya penelitian kualitatif dihasilkan oleh aliran-aliran para ilmuwan dari

Universitas Chichago, terutama pada dekade 1920-an dan 1930-an. Hasil

penelitian ini merupakan kajian terhadap kehidupan manusia dalam

kebudayaannya. Dalam disiplin ilmu antropologi, dalam periode yang sama, para

ilmuwannya mendisain penelitian dengan cara mengamati dan meneliti adat

istiadat dan kebudayaan di luar kebudayaan sang peneliti, artinya studi lintas

budaya. Penelitian kualitatif ini biasanya dilakukan dengan menggunakan lintas

disiplin, lapangan kajian, dan bidang kajian. Peristilahan yang digunakan dalam

pendekatan penelitian ini juga melibatkan seperangkat konsep dan asumsi yang

kompleks dan saling terjalin.

Lebih jauh Nelson mengkonsepkan mengenai apa itu penelitian kualitatif

itu menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang

(12)

Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg, 1992:4, dalam Denzin dan Lincoln, 1995).

Menurut Nelson dan Grossberg seperti dikemukakan di atas, penelitian

kualitatif adalah kajian keilmuan yang bersifat interdisiplin, transdisiplin, dan

kadangkala kounterdisiplin. Pendekatannya selalu melibatkan ilmu-ilmu

kemanusiaan, sosial, dan eksakta. Penelitian kualitatif melibatkan berbagai bahan

kajian pada saat yang sama. Penelitian ini menggunakan multiparadigmatik. Para

pendukung metode ini sangat peka terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat

yang diteliti, serta berbagai metode pendekatan. Para penelitinya sangat

mendukung perspektif alamiah atau seperti apa adanya. Begitu juga dengan

menafsirkan apa yang terjadi dalam pengalaman manusia. Kadangkala penelitian

kualitatif ini inheren dengan politik yang dibentuk oleh berbagai posisi etika dan

politik.

Dalam rangka penelitian terhadap fungsi dan makna tradisi puak poi pada

masyarakat Tionghoa di kota Pematangsiantar, maka metode penelitian yang

penulis pergunakan adalah metode kualitatif, yaitu dengan cara mengkaji kegiatan

ritual (upacara) ini apa adanya. Kemudian menginterpretasikan kegiatan tersebut

berdasarkan etika penelitian yang didasari oleh multidisiplin ilmu. Dalam hal ini

ilmu yang digunakan adalah mencakup ilmu kemanusiaan (antropologi, sosiologi,

(13)

Untuk menginterpretasikan makna-makna yang terjadi, maka penulis

melakukan pendekatan wawancara kepada informan kunci. Selanjutnya untuk

menguraikan fungsi sosiobudaya penulis merenungkan dan mengkaji dalam

perspektif holistik dan mendalam. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini

akan mengungkapkan kebenaran realita yang ada serta hal-hal yang

melatarbelakangi kegiatan puak poi dalam upacara paisin ini.

3.2 Data dan Sumber Data

Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi

setiap penulils untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada upacara

paisin masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Data-data yang digunakan

diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer

adalah berasal dari informan kunci sebagai berikut:

Sumber Data Primer : 1. Susanto Wijaya (Akiong)

Profesi : Saikong (pemimpin upacara orang meninggal)

dan pemilik kelenteng.

Sumber Data Primer :2. Aliang

Profesi : Wiraswasta

Yang dimaksud dengan informan kunci atau informan pangkal, juga

disebut narasumber kunci (key informant) adalah seorang pemberi data yang

memiliki kapasitas dan kapabilitas terhadap permasalahan yang diajukan dalam

(14)

utama dalam penelitian kualitatif. Dengan demikian, penelitian kualitatif sangat

bergantung dari data yang diperoleh dari informan kunci.

Selanjutnya sumber data sekunder adalah sebagai berikut.

Sumber Data Sekunder : Sekilas Budaya Tionghoa

Halaman : 120 hlm

Percetakan : Gramedia

Penerbit : PT Bhuana Ilmu Komputer

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Langkah dalam teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan

mengumpulkan data: wawancara, observasi lapangan, dan studi kepustakaan.

Kegiatan wawancara penulis lakukan kepada informan kunci. Observasi lapangan

adalah dengan cara mengamati langsung proses paisin dan pelemparan puak poi.

Studi kepustakaan adalah membaca berbagai sumber keilmuan seperti skripsi,

makalah, buku, jurnal, dan sebagainya serta sumber-sumber dari internet seperti

blog, situs, dan lain-lainnya.

Sebelum teknik wawancara dilakukan, penulis membuat pedoman sesuai

wawancara yang diberikan kepada beberapa tokoh masyarakat Tionghoa. Untuk

mengumpulkan data pertama penulis menemui informan yaitu seorang pengusaha.

Penulis datang dan bertanya langsung tentang religi tradisional ini. Kemudian

sang informan menjelaskan secara keseluruhan tentang religi tradisonal ini. Dari

hasil wawancara ini diperoleh keterangan tentang religi tradisional budaya

(15)

Penulis juga menemui seorang pemuka adat Tionghoa yang bernama

Bapak Aliang yang merupakan salah satu keturunan etnik Tionghoa. Secara

langsung penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan objek

penelitian penulis. Akan tetapi penulis mendapatkan data yang sangat sedikit dari

Bapak Aliang ini.

Untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian skripsi ini

penulis mengunjungi ke Vihara Maitreya Pematangsiantar. Penulis bertemu

dengan Bapak Akiong, salah seorang pengurus vihara, pemilik kelenteng dan

sebagai saikong (pemimpin upacara kematian). Melalui wawancara dengan

beliaulah penulis memperoleh informasi tentang religi-religi tradisional

masyarakat Tionghoa serta sistem kosmologi Tionghoa. Bapak Akiong dengan

senang hati menceritakan religi-religi tersebut, dan mereka sangat senang saat

penulis menanyakan tentang kebudayaan mereka, karena bagi mereka kebudayaan

Khas Tionghoa adalah kebudayaan yang sangat tua, dan hingga kini masih banyak

orang yang ingin mengetahui tentang kebudayaan Tionghoa.

3.3.1 Observasi

Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan

pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berarti tidak

melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69). Dalam mengumpulkan

data salah satu teknik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan

secara langsung/observasi terhadap subyek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini

penulis mengadakan tujuh kali pengamatan/observasi secara langsung terhadap

(16)

3.3.2 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah teknik

wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung

kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat

Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “…kegiatan wawancara secara

umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, teknik

bertanya dan pencatat data hasil wawancara.”

Dalam studi ini penulis melakukan penelitian terhadap beberapa rumah

pada keluarga etnik Tionghoa, Pemuka Adat, Kelenteng dan Vihara yang ada

dikota Siantar. Penulis menggunakan metode wawancara terutama dengan

informan kunci yaitu orang yang banyak mengetahui dan mengerti tentang Tradisi

Puak poi.

Metode wawancara yang penulis gunakan adalah:

1. Wawancara tak berencana atau unstandardized interview. Walaupun

dalam wawancara masalah-masalah yang dipertanyakan tidak

menggunakan daftar pertanyaan, namun penulis menggunakan suatu

pedoman yang berisikan garis besar pokok masalah yang ingin penulis

peroleh informasinya.

2. Wawancara sambil lalu atau casual interview. Bentuk wawancara ini

penulis gunakan juga terhadap beberapa pengurus vihara, kelenteng dan

(17)

3.3.3 Studi Kepustakaan

Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan

berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan.

Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan, guna

melengkapi apa yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari

hasil wawancara. Sumber bacaan atau literatur ini dapat berasal dari penelitian

yang telah pernah dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi. Selain itu sumber

bacaan yang menjadi tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa

buku, jurnal, makalah, artikel dan berita-berita dari situs internet.

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam

atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh

pertanyaan.

Adapun proses yang dilakukan adalah:

1. Mewawancarai beberapa keluarga Tionghoa dan beberapa tokoh

masyarakat Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk mengerjakan

tulisan ini, serta mendapatkan informasi tentang tradisi puak poi pada

masyarakat Tionghoa Siantar .

2. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat

mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling

penting dan penyusunannya secara sistematis.

3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat

kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya membuat

(18)

4. Data yang di analisis dengan menggunakan teori fungsionalisme adalah

data yang sudah terkumpul kemudian di tafsirkan oleh penulis. Sedangkan,

data yang di analisis yang menngunakan teori semiotik adalah data yang

(19)

BAB IV

GAMBARAN UMUM SISTEM RELIGI MASYARAKAT TIONGHOA DAN TERAPANNYA DI PEMATANGSIANTAR

Mengkaji puak poi sebagai sebuah artefak budaya, jelas tidak dapat

dipisahkan dari sistem religi yang menyebabkan timbul dan berkembangnya

artefak ini. Kemudian membahas puak poi ini tidak cukup hanya pada benda itu

sendiri, tetapi lebih jauh dalam konteks upacara sembahyang yang lazim disebut

paisin. Secara lebih luas lagi, mengkaji puak poi dalam rangka paisin ini, tidak

dapat dilepaskan dari latar belakang sistem religi yang mendasarinya, terutama

Konghucu, Tao, dan Buddha.

Pada Bab IV ini dikaji mengenai gambaran umum sistem religi [agama]

masyarakat Tionghoa yang berkaitan erat dengan keberadaan puak poi ini, yaitu:

Konghucu, Tao, dan Buddha. Kemudian mendeskripsikan ketiga sistem religi ini

dalam kehidupan masyarakat pendukungnya yaitu masyarakat Tionghoa yang

menganut ketiga sistem religi tersebut di Kota Pematangsiantar. Apakah ada

terapan-terapan yang berbeda dengan masyarakat Tionghoa pada umumnya di

seluruh dunia, atau tidak banyak perbedaan terapannya, terutama dalam konteks

puak poi dan upacara paisin ini.

Hal ini penulis lakukan untuk dapat memetakan keberadaan fungsi dan

makna puak poi baik secara luas dalam konteks kebudayaan Tionghoa di seluruh

dunia, maupun secara rinci dan detil khusus masyarakat Tionghoa di sebuah kota

(20)

mendeskripsikan sistem religi dan terapannya di Pematangsiantar dalam mengkaji

keberadaan puak poi.

4.1 Berbagai Sistem Religi Masyarakat Tionghoa

Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai sistem religi,1

Karena sejarah dan asal-usul tempat yang sama ini, maka banyak

ditemukan kesamaan antara agama Buddha dan Hindu. Bahkan, jika seseorang baik yang berasal

dari kawasan setempat, yaitu daratan China maupun dari luar, terutama India

dengan agama Buddha. Sebagai permulaan, agama Buddha ternyata bukanlah

agama asli masyarakat Tionghoa, melainkan “diadopsi” dari India. Namun

demikian ajaran-ajaran Tao dan Konfusius memang diakui tumbuh dan

berkembang di daratan China. Kedua ajaran ini mengembangkan filsafat

kebajikan untuk hidup di dunia ini, dan menyembah kepada Tuhan (Thien).

Mereka harus berbuat baik kepada semua manusia dan makhluk di dunia ini.

1

(21)

mengunjungi Laos, sebuah negara yang didominasi agama Buddha, dan

mengamati beberapa monumen di sana, akan ditemukan gambar-gambar Buddha

yang sangat meyerupai gambar-gambar pada cerita kepahlawanan agama Hindu,

yaitu Ramayana dan Mahabarata. Dengan demikian diingkinkan adanya Dewa

Monyet dalam mitologi China kuno adalah memiliki hubungan persamaan dengan

Hanoman, si raja monyet dalam mitologi Hindu.

Selanjutnya, suatu penelitian atas ajaran sistem religi yang disebut Dao

menunjukkan bahwa ajaran itu tidak dimulai sebagai suatu agama, tetapi sebagai

suatu sistem pemikiran filosofis. Begitu juga dengan agama Konghucu. Pada

dasarnya, sistem religi yang awal kali menguasai orang-orang Tionghoa adalah

sistem religi rakyat atau suku. Setiap suku menyembah Dewa-dewa yang berasal

dari provinsi, kota, ataupun desa mereka sendiri. Dewa-dewa ini menjadi lebih

dihormati lagi di masa Dinasti Shang.

4.1.1 Konghucu

Penemu dari sistem religi ini adalah Kung Fu Tze (551-479 BC) atau

dikenal juga dengan Konghucu dalam bahas Latin. Dalam ajaran-ajarannya,

Konghucu menekankan aspek kemanusiaan dalam menjalani kehidupan. Hal ini

timbul dari pandangannya jika seseorang tidak dapat mengurusi kehidupan

duniawi, dia seharusnya tidak menghiraukan kehidupan surgawi. Suatu pribahasa

yang sering dikaitkan dengan sistem religi Konghucu adalah: “Jika kita tidak

mengenal kehidupan, mengapa kuatir tentang kematian.” Konghucu pada

dasarnya adalah seorang humanis yang percaya akan kecakapan dan kemampuan

(22)

Khong Hu Cu (Konghucu) hidup 2.500 tahun lalu, tetapi hingga akhir

abad ke-16 ia belum dikenal orang di belahan dunia Barat, yaitu ketika namanya

dilatinkan menjadi Konfucius. Namun kita tidak pernah dapat berharap seperti apa

sebenarnya Khong Hu Cu itu dan apa saja yang terkandung dalam ajarannya.

China adalah sebuah Negara yang memiliki sejarah cukup panjang, yang

konon dimulai sekitar tahun 2.700 S.M. China memiliki tiga agama besar yaitu

Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme. Beberapa sumber kuno seperti

Sje-Tsing (Buku Puji-pujian), dan Shu Ching (Buku Sejarah). Memberi kesan bahwa

bangsa China purba menganut faham monoteis, yaitu percaya pada satu Tuhan,

nama yang diberikan untuk Tuhan mereka adalah Shang-Ti (Penguasa Tertinggi),

dan Thien (Sorga).

Akan tetapi dalam perkembangan sejarah China, kepercayaan yang semula

pada satu Tuhan menjadi kacau karena bangsa China mulai mempercayai roh-roh

halus dan roh-roh nenek moyang, yang semuanya itu mereka puja dalam

upacara-upacara pengorbanan. Kira-kira pada abad VI S.M., kehidupan serta moral bangsa

China mulai merosot.

Dalam situasi seperti ini lahirlah Konfusius, atau Kong Hu Tzu atau Kong

Fu Tze, yang kemudian ajaran-ajarannya kemudian sangat berpengaruh besar

dalam kehidupan bangsa China. Selama hampir 25 abad Konfusius dianggap

sebagai guru pertama oleh orang-orang China. Hal ini tidak berarti bahwa

sebelum Konfusius tidak ada guru di China, melainkan merupakan pengakuan dari

bangsa China bahwa Konfusius berada pada tingkat paling atas dari semua guru

tersebut.

Agama Konghucu, atau biasa dibunyikan dengan Kong Hu Cu, di kaitkan

(23)

menilai bahwa ajaran Kung Fu Tze bukanlah suatu agama melainkan hanyalah

ajaran tentang nilai-nilai (etika) saja, karena Kung Fu Tzu sendiri menghindarkan

diri untuk berbicara tentang alam gaib. Akan tetapi R.E. Hume dalam bukunya

edisi 1950 menjelaskan bahwa sistem ajaran Kung Fu Tzu itu mengenal

pengakuan terhadap kodrat Maha Agung (Supreme Being), serta mempercayai

pemujaan terhadap arwah nenek moyang, juga mengajarkan tata tertib kebaktian.

dengan landasan inilah seiring perkembangan zaman ajaran Konfusius termasuk

kepada ajaran keagamaan.

Bagi Konghucu, anugerah yang menyelamatkan terletak pada kenyataan

bahwa sifat kita pada dasarnya adalah baik. Jika dipikirkan hal-hal yang benar,

maka seseorang tersebut akan melakukan tindakan yang baik dan diselamatkan.

Karena itu, penekanan sistem religi ini adalah pada pendidikan di masa lalu, dan

kebijaksanaannya dalam konteks hubungan kemanusian dan sosial yang universal

di dunia ini. Adapun inti ajaran dari sistem religi ini adalah empat kebijakan

utama dan lima hubungan utama. Empat kebijakan utama itu adalah: (1) taat

kepada pemimpin atau negara; (2) sayang kepada orang tua; (3) baik kepada

sesama; dan (4) setia kepada teman. Selanjutnya konsep lima hubungan utama itu

adalah: (i) antara pemimpin (negara) dan warga negara; (ii) antara ayah dan anak;

(iii) antara suami dan istri; (iv) antara kakak dan adik, dan (v) antara teman.

Ajaran sistem religi Konfusius mengenai empat kebijakan utama dan lima

(24)

Tabel 4.1:

Empat Kebijakan Utama dan Lima Hubungan Utama

dalam Sistem Religi Konfusius

Ajaran Konfusius dalam Membina Hubungan Sosial Empat Kebajikan Utama Lima hubungan Utama

1. Taat pada pemimpin atau negara 2. Sayang kepada orang tua 3. Baik kepada sesama 4. Setia kepada teman

1. Antara pemimpin (negara) dan warga negara

2. Antara ayah daan anak 3. Antara suami dan istri 4. Antara kakak dan adik 5. Antara teman

4.1.2 Taoisme (Dao)

Penemu sistem religi Dao yang dikenal addalah Lao Tze (604-524 S.M.)

dan Zhuang Tze (369-286 S.M.). Lao Tze mendirikan aliran filosofis dari

pemikiran Dao Jia, yang menekankan kebijaksanaan dan senioritas. Aliran

pemikiran ini difokuskan pada dimensi sosial kehidupan, yaitu percaya bahwa

seseorang dapat mencapai keabadian melalui pengejatan kebijaksanaan. Karena

itu, senioritas sangat dihargai, dan orang tua dihormati karena banyaknya

pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah dimiliki seumur hidup mereka.

Sistem religi Dao mempercayai bahwa semua bagian dari kosmos adalah

milik satu organik yang menyeluruh (yaitu Dao). Dengan demikian, kerukunan

(harmoni) dan keteraturan harus dipelihara setiap saat di dalam jiwa individu, di

dalam setiap aspek kehidupan sosial dan di dalam seluruh kosmos, agar semua

ciptaan hidup dan berfungsi secara sempurna.

Dao dianggap sebagai sumber utama dan sifat dasar semua ciptaan. Hal itu

tidak dapat dinamai, dijelaskan, dan diajarkan. Praktisi dari Shen percaya bahwa

(25)

oleh kegiatan manusia. Roh-roh yang lebih kuat dianggap memiliki kemampuan

untuk mempengaruhi kehidupan manusia dan mengendalikan kegiatan manusia.

Ajaran Dao itu mencakup roh di surga, roh di bumi, Dewa-dewa pada rumah

tangga, Dewa-dewa di kuil, dan roh-roh baik dan jahat. Kepercayaan seperti ini

dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2:

Kepercayaan terhadap Makhluk Gaib pada Sistem Religi Dao (Taoisme)

Jenis Makhluk Gaib Contoh Makhluk Gaib

Roh di surga Misalnya, Tien gong; roh bintang; angin; hujan; guntur; dan roh yang bercahaya Roh di bumi Misalnya, Tu Di Gong; dewa kayu dan

api; jalan air atau roh air Dewa-dewa rumah tangga Misalnya, dewa dapur; dewa

kemasyhuran; dewa kemakmuran; dewa umur panjang

Dewa-dewa kuil Misalnya, Na Cha; dewa monyet; dewa-dewa sembilan kaisar

Roh-roh baik dan jahat Roh-roh baik dipercaya sebagai dewa daerah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari, sementara roh-roh jahat dipercaya sebagai roh orang-orang yang telah mati yang tidak mau melepaskan kehidupan dunia.

4.1.3 Agama Buddha

Agama Buddha dimulai dari India dan menyebar ke seluruh China sekitar

abad peertama sebelum Masehi. Awalnya Siddhartha Gautama (563-483 S.M.),

seorang pangeran, yang pada saat lahir diramalkan akan menjadi penyelamat

dunia. Ayahnya, sang raja, karena takut ramalan itu benar, sengaja mengasingkan

Siddhartha Gautama dari dunia di luar istana.

Pada suatu hari ketika Siddhartha Gautama dewasa, dia berhasil

(26)

penderitaan yang dilihatnya di antara rakyat biasa. Dihadapkan dengan hal ini dan

juga ketidakmampuan untuk mengubah kenyataan, Siddhartha Gautama

meninggalkan istana, dia tinggal di bawah sebuah pohon untuk bermeditasi

tentang kehidupan. Dipercayai bahwa melalui masa meditasinya, dia mendapatkan

pencerahan mengenai kehidupan dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan.

Itulah awal kali kelahiran agama Buddha di dunia ini.

Adapun inti ajaran agama Buddha ini adalah sebagai berikut. Buddha

diagungkan bukan karena kekayaan, keindahan, atau lainnya. Beliau diagungkan

karena kebaikan, kebijaksanaan, dan pencerahan-Nya. Inilah alasan mengapa

umat Buddha, menganggap ajaran Buddha sebagai jalan hidup tertinggi.

Berikut ini adalah keunggulan-keunggulan yang menumbuhkan

kekaguman umatnya terhadap ajaran Buddha, sebagai hasil wawancara dengan

dua narasumber penulis, yaitu Pak Susanto Wijaya dan Pak Aliang (selama kurun

waktu 2014) .

1. Ajaran Buddha tidak membedakan kelas (kasta). Buddha mengajarkan bahwa

manusia menjadi baik atau jahat bukan karena kasta atau status sosial, bukan

pula karena percaya atau menganut suatu ajaran agama. Seseorang baik atau

jahat karena perbuatannya. Dengan berbuat jahat, seseorang menjadi jahat, dan

dengan berbuat baik, seseorang menjadi baik. Setiap orang, apakah ia raja,

orang miskin atau pun orang kaya, dapat masuk surga atau neraka, atau

mencapai Nirvana, dan hal itu bukan karena kelas atau pun kepercayaannya.

2. Agama Buddha mengajarkan belas kasih yang universal. Buddha mengajarkan

umatnya untuk memancarkan metta (kasih sayang dan cinta kasih) kepada

(27)

bangsa. Terhadap hewan, janganlah membedakan jenisnya. Metta harus

dipancarkan kepada semua hewan termasuk yang terkecil seperti serangga. Hal

ini berbeda dengan beberapa agama lain yang mengajarkan bahwa hewan

diciptakan Tuhan untuk kepentingan kelangsungan hidup manusia, sehingga

membunuh makhluk selain manusia bukanlah kejahatan. Beberapa agama

bahkan membenarkan membunuh orang bersalah yang menentang agamanya.

3. Dalam ajaran Buddha, tidak seorang pun diperintahkan untuk percaya Sang

Buddha tidak pernah memaksa seseorang untuk mempercayai ajaran-Nya.

Semua adalah pilihan sendiri, tergantung pada hasil kajian masing-masing

individu. Buddha bahkan menyarankan, “Jangan percaya apa yang Ku katakan

kepadamu sampai kamu mengkaji dengan kebijaksanaanmu sendiri secara

cermat dan teliti apa yang Kukatakan.” Hal ini pun berbeda dengan agama lain

yang melarang pengikutnya mengkritik ajarannya sendiri. Ajaran Buddha tidak

terlalu dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dan kritik-kritik terhadap

ajaran-Nya. Jelaslah bagi umat Buddha bahwa ajaran Buddha memberikan

kemerdekaan atau kebebasan berpikir.

4. Agama Buddha mengajarkan diri sendiri sebagai pelindung. Buddha bersabda,

“Jadikanlah dirimu pelindung bagi dirimu sendiri. Siapa lagi yang menjadi

pelindungmu? Bagi orang yang telah berlatih dengan sempurna, maka dia

telah mencapai perlindungan terbaik.” Ini dapat dibandingkan dengan pepatah

bahasa Inggris, “God helps those who help themselves,” maksudnya Tuhan

menolong mereka yang menolong dirinya sendiri. Inilah ajaran Buddha yang

menyebabkan umat Buddha mencintai kebebasan, kemerdekaan, dan

menentang segala bentuk perbudakan dan penjajahan. Buddha tidak pernah

(28)

Nibbana; karena semua itu tergantung akibat dari perbuatan tiap-tiap orang,

sementara Buddha hanyalah guru atau pemimpin. Seperti tertulis dalam

Dhammapada, “Semua Buddha, termasuk Saya, hanyalah penunjuk jalan.”

Pilihan untuk mengikuti jalan-Nya atau tidak, tergantung pada orang yang

bersangkutan. Hal ini pula yang membedakan dengan agama lain yang percaya

Tuhan dapat menghukum orang ke neraka atau mengirimnya ke surga. Tatkala

orang melakukan segala jenis dosa, jika dia memuja, berdoa, dan menghormati

Tuhan, maka Tuhan akan menunjukkan cinta-Nya dan mengampuni orang

tersebut. Hal ini membuat orang menjadi terdorong untuk tidak peduli, sebesar

apapun dosanya, jika dia memuja Tuhan, dia akan diampuni. Karena ini

pulalah, dia akan terbiasa menunggu bantuan orang lain daripada berusaha

dengan kemampuan sendiri.

5. Agama Buddha adalah agama yang suci. Yang dimaksudkan di sini adalah

agama tanpa pertumpahan darah. Dari awal perkembangannya sampai

sekarang, lebih dari 2500 tahun –agama Buddha tidak pernah menyebabkan

peperangan. Bahkan, Buddha sendiri melarang penyebaran ajaranNya melalui

senjata dan kekerasan. Di lain pihak, banyak pemimpin agama yang sekaligus

juga menjadi raja dari kerajaannya, dan pada saat yang sama menjadi diktator

dari agamanya. Meskipun ada beberapa agama yang tidak disebarkan melalui

senjata atau kekerasan, tetapi mereka telah menyebabkan terjadinya perang

antar agama. Hal ini menyebabkan agama tersebut tidak dapat dianggap

sebagai agama yang suci atau bebas dari pertumpahan darah.

6. Agama Buddha adalah agama yang damai dan tanpa monopoli kedudukan.

Dalam Dhammapada, Buddha bersabda, “Seseorang yang membuang pikiran

(29)

sama, Beliau memuji upaya menaklukkan diri sendiri. Beliau berkata,

“Seseorang yang menaklukkan ribuan orang dalam perang bukanlah penakluk

sejati. Tetapi seseorang yang hanya menaklukkan seorang saja yaitu dirinya

sendiri, dialah pemenang tertinggi.” Di sini, menaklukka n diri sendiri terletak

pada bagaimana mengatasi kilesa (kekotoran batin). Andaikan semua orang

menjadi umat Buddha, maka diharapkan manusia akan beroleh perdamaian dan

kebahagiaan. Buddha mengatakan bahwa semua makhluk harus dianggap

sebagai sahabat atau saudara dalam kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian.

Beliau juga mengajarkan semua umat Buddha untuk tidak menjadi musuh

orang-orang tak seagama atau pun menganggap mereka sebagai orang yang

berdosa. Beliau mengatakan bahwa siapa saja yang hidup dengan benar, tak

peduli agama apapun yang dianutnya, mempunyai harapan yang sama untuk

beroleh kebahagiaan di kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang.

Sebaliknya, siapapun yang menganut agama Buddha tetapi tidak

mempraktikkannya, hanya akan beroleh sedikit harapan akan pembebasan dan

kebahagiaan.

Dalam agama Buddha, setiap orang memiliki hak yang sama untuk

mencapai kedudukan yang tinggi. Dengan kata lain, setiap orang dapat

mencapai Kebuddhaan. Dalam agama lain, tiada siapapun dapat menjadi Tuhan

selain Tuhan sendiri, tidak peduli sebaik apapun pengikutnya bertindak.

Seseorang takkan pernah mencapai tingkat yang sama dengan Tuhan. Bahkan

pemimpin agama pun takkan pernah mencapai ketuhanan.

7. Agama Buddha mengajarkan hukum sebab dan akibat. Buddha mengajarkan

bahwa segala sesuatu muncul dari suatu sebab. Tiada suatu apapun yang

(30)

kegembiraan, kerugian, penghinaan, celaan, penderitaan –semua adalah akibat

dari keadaan-keadaan yang memiliki sebab. bAkibat-akibat baik muncul dari

keadaan-keadaan yang baik, dan akibat buruk muncul dari penyebab-penyebab

buruk pula. Kita sendiri yang menyebabkan keberuntungan dan

ketidakberuntungan kita sendiri. Tidak ada Tuhan atau siapapun yang dapat

melakukannya untuk kita. Oleh karena itu, kita harus mencari keberuntungan

kita sendiri, bukan membuang-buang waktu menunggu orang lain

melakukannya untuk kita. Jika seseorang mengharapkan kebaikan, maka dia

hanya akan berbuat kebaikan dan berusaha menghindari pikiran dan perbuatan

jahat.

Prinsip-prinsip sebab dan akibat, suatu kondisi yang pada mulanya sebagai

akibat akan menjadi sebab dari kondisi yang lain, dan seterusnya seperti mata

rantai. Prinsip ini sejalan dengan pengetahuan modern yang membuat agama

Buddha tidak ketinggalan zaman daripada agama-agama lain di dunia.2

2

(31)
[image:31.595.124.490.122.466.2]

Gambar 4.1:

Peta Wilayah Persebaran Agama Buddha di Dunia

Sumber:

4.2 Terapan Ketiga Sistem Religi pada Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar

Orang-orang Tionghoa yang menganut sistem religi Konghucu, Tao, dan

Budha di Kota Pematangsiantar, secara dasar mengacu kepada sistem religi yang

ada di era China Kuno. Ketiga-tiga umat yang menganut sistem religi yang telah

diuraikan di atas, yaitu Tao (Dao), Konghucu, dan Buddha dalam konteks

berkomunikasi, terutama untuk bertanya kepada Tuhan, Dewa, roh leluhur, atau

makhluk gaib selalu menggunakan puak poi sebagai “media.”

Hal ini menarik bahwa ketiga sistem religi tersebut pada prinsipnya

(32)

mata, tumbuhan, hewan, dan manusia, masih ada lagi Dewa dan Dewi, roh

leluhur, makhluk gaib, dan tentu saja Tuhan itu sendiri. Dalam membina

komunikasi denganNya, manusia dapat menggunakan artefak religi yang disebut

dengan puak poi. Demikian pula yang terjadi di dalam masyarakat Tionghoa

beragama Buddha dan Konghucu (bersama Tao) di Pematangsiantar.

4.3 Hari-hari Raya dan Upacara Orang Tionghoa di Pematangsiantar

Hari raya dan upacara bagi masyarakat Tionghoa telah menjadi adat

kebiasaan secara turun temurun. Dalam setahun, yang teramai adalah upacara

Imlek di bulan satu China. Di samping itu hari raya yang disertai upacara lainnya

adalah chang beng di bulan ketiga, tuan yang ciek di bulan kelima, chit guek pua

di bulan ketujuh, tiong chiu di bulan kedelapan, dan tang cek di bulan kesebelas.

Dalam konteks menentukan hari-hari raya ini baik secara kultural maupun religi,

masyarakat Tionghoa menggunakan sistem penanggalan yang berdasarkan kepada

sistem penanggalan China. Dalam sub bab ini dideskripsikan beberapa hari raya

dan upacara yang lazim dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di seluruh dunia,

termasuk di Kota Pematangsiantar.

Yang pertama adalah hari raya dan upacara Cheng Beng adalah hari untuk

berziarah atau berkunjung ke kuburan orang tua ataupun leluhur. Orang-orang

Tionghoa ini kemudian membersihkan kuburan orang tua dan leleuhurnya dan

melakukan sembahyang (paisin) supaya arwah si meninggal mendapatkan

kebebasan dari siksaan. Bagi orang-orang Tionghoa yang memiliki kemampuan

ekonomi yang lebih dari orang kebanyakan, biasanya mereka meminta bantuan

bhiksu (bikhu) untuk melaksanakan upacara sembahyang (paisin) untuk

(33)

Di antara orang-orang Tionghoa tersebut, ada pula yang mengambil

kesempatan pada bulan tiga ini untuk melakukan upacara mengambil dan

membersihkan tulang belulang si meninggal untuk dipindahkan ke tempat lain.3

Dalam melaksanakannya pemindahan tersebut, terlebih dahulu harus

dipasang tenda supaya kerangka tidak menghadap ke langit. Setelah itu satu

persatu dari tulang belulang tersebut dibersihkan dan dicuci dengan samsu putih,

kemudian dikeringkan dan disusun dengan rapi lalu dimasukkan ke dalam king

ang (guci). Kemudian dikuburkan kembali ke tempat yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Untuk melaksanakan pemindahan tersebut harus dimintakan bantuan bhiksu untuk

mencari hari waktu yang baik.

Makna kultural dan religius dari pemindahan tulang belulang leluhur ini

adalah meningkatkan keberadaan tempat tinggal rohnya. Juga menghormati

leluhurnya. Selain itu juga sebagai pertanda bahwa keturunannya telah

mempunyai rezeki yang lebih baik dari masa sebelumnya.

Pada umumnya masyarakat Tionghoa di Kota Pematangsiantar, menurut

pengamatan penulis pada hari raya Cheng Beng ini banyak yang mengunjungi

keluarganya di Pulau Pinang, Penang, Malaysia. Mereka datang beramai-ramai ke

sana yang dipandang sebagai kampung halaman mereka juga. Mereka umumnya

3

(34)

pergi dan kembali dari Penang dengan menggunakan pesawat udara dari Bandara

Kualanamu Medan, dengan menumpang pesawat-pesawat komersial seperti Air

Asia, Lion Air, dan Malaysia Airlines System (MAS).

Kemudian hari raya dan upacara yang kedua adalah Tuan Yang, hari tuan

yang yang dilaksanakan pada bulan kelima ini adalah hari makan bak cang. Ini

dilaksanakan untuk memperingati seorang penyair dari China yang bernama Chi

Yen. Menurut sejarah China kuno, pada zaman perang tahun 403 sebelum Masehi

pada masa pemerintahan Raja Cou hiduplah seorang penyair bernama Chi Yen.

Beliau adalah seorang yang sangat dihormati dalam kalangan rakyat karena

sangat menjunjung tinggi raja dan negara. Akibatnya raja sendiri merasa terancam

kedudukannya kemudian mengusir beliau keluar dari kerajaan. Walau demikian,

Chi Yen tidak merasa putus asa, berikutnya beliau membuat syair-syair yang

ditujukan kepada raja dengan menyatakan bahwa beliau tidak merasa bersalah.

Sang raja tidak memperdulikan hal tersebut, sehingga akhirnya Chi Yen

putus asa dan melakukan bunuh diri, dengan cara mengikatkan sebuah batu besar

pada tubuhnya kemudian terjun ke sungai Yang Lo. Rakyat yang mengetahui hal

tersebut kemudian membuat kue yang terbuat dari tepung terigu yang dalamnya

diisi dengan daging (babi, lembu, atau kerbau). Kue ini disebut dengan bak cang.

Kemudian dilemparkan ke sungai agar binatang-binatang yang ada dalam sungai

tersebut tidak memakan tubuh Chi Yen melainkan memakan bak cang tersebut.

Sebahagian dari bak cang tersebut dimakan oleh mereka. Orang-orang

Tionghoa juga membuat perahu dengan lambang kepala naga dan membawa

genderang yang disebut ku. Selepas itu, sesampainya mereka di sungai, mereka

bolak-balik mengendarai perahu tersebut dan memukulkan genderang agar setan

(35)

dapat mereka temukan. Maknanya secara budaya adalah mereka berusaha agar

mayat Chi Yen sebagai pahlawan, tidak ditemukan oleh raja yang haus kekuasaan

tersebut, melalui pertolongan setan sehingga selamat menuju alam rohnya, dengan

keadaan jasad yang tak kurang sesuatu apapun.

Biasanya setiap tahun tepat pada bulan kelima hari tersebut diperingati dan

diadakan perlombaan perahu berbentuk naga. Namun pada umumnya masyarakat

Tionghoa di Pematangsiantar hanya memperingatinya dengan acara memakan bak

cang saja. Memakan bak cang ini berarti memperingati kepahlawanan Chi Yen.

Hari raya dan upacara berikutnya, yang ketiga, adalah Chit Guek Pua.

Dalam sistem kosmologi dan folklor China konon bulan tujuh adalah merupakan

hari kegelapan bagi masyarakat Tionghoa. Hari pertama bulan tujuh adalah

merupakan hari pembukaan pintu neraka, yang menurut mereka adalah

dibebaskannya arwah-arwah untuk berjalan-jalan ke dunia fana. Pada hari

tersebut, masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha dan Konghucu (atau juga

Dao) biasanya di kelenteng-kelenteng membuat lampion yang ditempatkan di atas

bambu yang tinggi, yang bertujuan untuk memanggil dan mengumpulkan

arwah-arwah. Kemudian bhiksu membacakan kitab suci untuk menolong arwah-arwah

tersebut supaya mereka dapat pulang ke surga.

Sampai kemudian pada hari yang kelima belas (chit guek pua) adalah

merupakan hari pulangnya arwah-arwah yang bergentayangan tersebut. Pada

setiap rumah penghuninya harus membuat sesajian berupa buah-buahan seperti:

jeruk, nenas, pisang, apel, dan sejenisnya untuk menyatakan perpisahan.

Hari ketiga puluh merupakan hari penutupan pintu neraka. Bagi arwah

(36)

neraka (te qek). Lampion yang dipasang di kelenteng harus diturunkan. Ini disebut

dengan sia teng kha (mengucapkan terima kasih).

Selanjutnya adalah hari raya dan upacara Tiong Chiu, yang dilaksanakan

pada setiap bulan delapan hari kelima belas (pada saat bulan purnama). Pada hari

tersebut di setiap rumah disediakan kue yang bernama tiong chiu pia yang

dimaksudkan untuk menyembah Dewi Bulan. Anak-anak menyalakan lampion

yang dibentuk dalam rupa binatang seperti ayam, kelinci, naga, dan sebagainya.

Pada malam itu merupakan suatu peringatan bagi rakyat China yaitu pada

zaman dahulu, sekitar tahun 206 Sebelum Masehi, Negeri China diserang oleh

Mongolia4

4Mongolia (bahasa Mongol: Монгол Улс) ada

lah sebuah negara yang terkurung daratan di Asia Timur; berbatasan dengan Rusia di sebelah utara, dan Republik Rakyat Tiongkok di selatan. Mongolia merupakan pusat Kekaisaran Mongol pada abad ke-13, tetapi dikuasai oleh Dinasti Qing sejak akhir abad ke-17 hingga sebuah pemerintah merdeka dibentuk dengan bantuan Uni Soviet pada 1921. Namun demikian, kemerdekaan Mongolia tidak diakui China sampai tahun 1949. Setelah Partai Komunis menguasai China daratan, China akhirnya mengakui kemerdekaan Mongolia. Setelah keruntuhan Uni Soviet, Mongolia menganut aliran demokrasi. Sebahagian besar wilayah Mongolia memiliki tanah yang gersang, kebanyakan wilayah berupa padang rumput dengan pegunungan di bagian barat dan utara dan Gurun Gobi di selatan. Mayoritas penduduknya beretnik Mongol yang menganut agama Buddha Tibet (Lamaistik) dengan kehidupan nomaden. Sejarahnya sebagai berikut. (a) Periode Bangsa Hunnu, bangsa ini menjadi terkenal di bawah kepemimpinan Modun Khaan dari Dinasti Tiongkok yang mengontrol jalur perdagangan di daerah Turkistan. Kemudian kehancuran menimpa peradaban Hunnu bersamaan dengan kehancuran dinasti Hundi Tiongkok. (b) Periode Bangsa Cian-bi. penduduk bangsa Hunnu bergabung ke wilayah bangsa Cian-bi (136-181 Masehi). Cian-bi menjadi bangsa yang kuat dan memperluas wilayah dan membagi tiga bagian hingga ke timur sampai ke Korea di bawah kepemimpinan Tanishikuai. Sampai era kepemimpinan Kabinen, bangsa Cian-bi mengalami banyak perebutan wilayah. Tahun 235, Kabinen tewas dan bangsa Cian-bi mengalami kehancuran. (c) Periode

Bangsa Jujan, yang dibangun oleh penduduk sisa bangsa Cian-bi, bangsa Jujan yang berpusat di

pegunungan Khangai berkembang pada abad ke-5. (d) Periode Bangsa Tukish, yang dibangun dari pecahan Kerajaan Jujan memperluas wilayahnya hingga ke semenanjung Korea dan Tiongkok. Penduduk dari bangsa Uyghur ikut bergabung pada 745 M. Bangsa Tukish menjadi bangsa yang kuat di Mongolia. (e) Periode Bangsa Uighur yang lahir dari bagian bangsa Tukish. Pada periode 745 M, Uighur mengontrol jalur perdagangan dari China hingga ke kawasan timur Asia. (f)

Periode Bangsa Kitan, abad X-XII, Mongolia dikuasai Kitan yang berpusat di Sungai Liao,

pegunungan Khyangan dan menguasai wilayah Mongolia pada tahun 924 Masehi. Pada 936 M, bangsa Kitan menguasai wilayah Bahain dan 16 wilayah Tiongkok utara. Tahun 1120, bangsa Kitan hancur. (g) Periode Mongol, abad XII, Mongolia dikuasai oleh Kerajaan Mongol yang menduduki tiga sungai dan pegunungan Altai hingga sungai Selenge. Kerajaan ini dipimpin oleh Khabula Khaan (Kubilai Khan). Cucunya yang bernama Yesugei mendirikan Kerajaan Mongol Khanlig. Yesudei wafat tahun 1170 dan Kerajaan Mongol terbagi menjadi beberapa bagian. Anaknya yang bernama Temujin menguasai tampuk kepemimpinan Mongol. Dalam masa kepemimpinannya, Kerajaan Mongol Khanlig menjadi bagian negara yang disegani.

(negeri tetangga China). Setiap hari rakyat China disiksa oleh pasukan

(37)

Mongolia tersebut. Bangsa Mongolia mengeluarkan peraturan bahwa pada setiap

rumah tangga hanya boleh menggunakan sebuah pisau belati untuk keperluan

sehari-hari. Apabila kedapatan memiliki lebuh dari yang ditentukan maka

sekeluarga akan dipacung di depan umum.

Akhirnya rakyat China bangkit melawan pemerintahan Mongolia dipelopori

oleh tokoh-tokoh yang tidak dikenal. Mereka mengadakan pemberontakan dengan

jalan menyelipkan surat ke dalam kue Tiong Chiu yang berisikan tulisan China

yang artinya kira-kira sebagai berikut: “ Mulai dari saat ini diharapkan pada

seluruh rakyat untuk membuat senjata tajam dan tepat pada tanggal 15 bulan

delapan jam 24.00 tepat pada saat kentongan dibunyikan maka secara serentak

harus menyerang ke tempat kediaman bangsa Mongolia yang ditandai dengan

adanya lampion yang digantungkan di depan rumah. Pada malam itu juga, mereka

berhasil mengusir penjajah Mongolia tersebut. Oleh karena itulah maka pada

setiap tahun diperingati dan juga sebagai ucapan terima kasih kepada dewi bulan

yang telah melindungi mereka dari para penjajah.

Berikutnya adalah hari raya dan upacara Tang Cek, biasanya dilaksanakan

pada setiap bulan sebelas. Tang berarti musim salju, cek adalah tiba. Hari Tang

Cek berarti musim salju telah tiba. Setiap penghuni rumah harus membuat yi

(cenil), yang terbuat dari tepung tapioka, dimasak dan dicampur dengan air gula

dan jahe secukupnya. Yi sendiri melambangkan bahwa umur seseorang telah

(38)

bertambah satu tahun walaupun tanggal satu atau Hari Raya Imlek belum tiba.

Perayaan Tang Cek ini, adalah sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas

bertambahnya usia.

4.4 Penghormatan Leluhur

Kamus New Expanded Webster mengartikan pemujaan sebagai memuja

(memandang dengan kagum dan hormat) atau menganggap sesuatu itu keramat.

Bagi orang Tionghoa, hal ini sehubungan dengan kepercayaan animistis mereka

akan arwah dan keragaman dewa. Sampai pada batasan di mana tidak terdapat

pembedaan yang jelas saat harus membedakan antara Shen (para Dewa, mereka

yang hidup abadi, dan hantu), dan kui (hantu-hantu kelaparan dan arwah-arwah

leluhur yang tidak terurus).

Praktik penghormatan leluhur tersebar dengan cepat akibat ajaran

Konghucu mengenai darma bakti. Dewasa ini, teori dasar ini, dalam banyak hal,

telah digantkan oleh kepercayaan Buddha dan Tao dalam hal reinkarnasi dan Dao

(upacara pemakaman, dan pemberian persembahan untuk mengumpulkan darma,

dan lain-lain). Konghucu menyatakan bahwa untuk membangun keluarga, li (tata

krama dan ketaatan pelaksanaan upacara dengan cara dan waktu yang tepat) harus

dijalankan. Hal ini termasuk tata krama yang sejalan dengan kehendak leluhur

kita, yang mengatur kehidupan rumah tangga keturunannya. Kelima bagian dari

hubungan sosial yang diajarkan Konghucu adalah: penguasa kepada materi; ayah

kepada putra; suami kepada istri; kakak lelaki kepada adik lelaki; dan teman

(39)

4.4.1 Perayaan untuk Leluhur

Perayaan-perayaan berikut ini, yakni Qing Ming Jie, Zhong Yuan Jie dan

Chong Yang Jie, secara khusus dilakukan untuk mengenang mereka yang telah

meninggal dan sebagai pemujaan kepada nenek moyang. Aktivitas upacara ini

adalah menjaga hubungan antara Alam Dunia (manusia) dengan Alam Baka.

Qing Ming Jie biasa dilakukan pada musim semi, ketika

tumbuh-tumbuham berbunga kembali setelah musim dingin berlalu, di bulan April, dan

berhubungan dengan berakhirnya bulan kedua atau permulaan bulan ketiga pada

kalender lunar China. Qing Ming Jie adalah waktu di mana etnis Tionghoa

mengenang mereka yang telah meninggal dan mengadakan kunjungan khusus ke

kuburan, atau tempat penyimpanan abu jenazah (untuk mereka yang dikremasi)

dan kuil-kuil (di mana saat ini banyak yang menyimpan abu/batu nisan dari

keluarga yang telah meninggal).

Perayaan ini juga merupakan waktu untuk seluruh keluarga mengunjungi

dan membersihkan tempat di mana jasad dari nenek moyang mereka

dikebumikan. Untuk mereka yang melakukannya, perayaan ini menjadi sangat

berarti untuk generasi berikutnya dengan membuat ikhtisar kehidupan dan

kontribusi dari nenek moyang. Persembahan makanan, dupa, puak poi dan uang

kertas adalah hal yang biasa di dalam kunjungan ini.

Zhong Yuan Jie ini biasanya dirayakan sekitar bulan Agustus, sepanjang

bulan ketujuh, dan dikenal sebagai Perayaan Hantu yang Lapar. Perayaan ini

menunjukkan kepedulian di dalam kepercayaan agama China terhadap keberadaan

yang menyedihkan dari jiwa-jiwa yang tidak diperhatikan oleh orang yang masih

(40)

yang dilepaskan dari kediaman mereka di neraka untuk menjelajahi bumi sselama

bulan ini.

Di dalam ajaran Dao, pintu-pintu neraka dibuka di hari prtama bulan

ketujuh, untuk memperbolehkan kui (roh-roh yang tidak diperhatikan atau roh-roh

yang sedang dalam masa hukuman dan dikunci di neraka) menjelajahi bumi,

mencari makan sebelum dikunci lagi untuk tahun berikutnya. Kepercayaannya

adalah ketika pintu dibuka, kui ini akan keluar untuk mencari makanan dan jika

tidak seorangpun menyediakan persembahan, mereka akan masuk kerumah-rumah

dan mengambilnya sendiri. Takut akan kunjungan ini, orang biasanya cepat-cepat

menyediakan persembahan untuk menenangkan dan menangkal hantu-hantu yang

lapar.

Chong Yang Jie, yang juga dikenal sebagai Perayaan Ganda Bulan

Kesembilan, biasanya dirayakan disekitar bulan Oktober, dari hari pertama sampai

hari kesembilan di bulan kesembilan. Chong Yang Jie awalnya dilakukan untuk

merayakan musim gugur, sebelum musim dingin tiba, di mana orang-orang untuk

terakhir kalinya mengunjungi kuburan orang yang dikasihi yang telah meninggal.

Mereka akan membuat persembahan makanan dan pakaian musim dingin untuk

mereka yang telah meninggal untuk melindungi mereka dari kelaparan dan

kedinginan selama musim dingin yang panjang.

Aspek lain dari perayaan ini berhubungan dengan pemujaan kumpulan

sembilan binatang yang dianggap sebagai dewa-dewa Jiu Huan Da Di (Sembilan

Dewa Kaisar). Para pemuja Jiu Huan Da Di akan pergi ke tepi laut pada hari

pertama bulan kesembilan untuk menyambut dewa-dewa ini dengan sembilan

kursi tandu berwarna kuning. Warna kuning melambangkan ratapan atas kaisar

(41)

Manchuria di tahun 1644. Setelah perjamuan Jiu Huang Da Di selama seminggu,

para pemuja akan mengantarkan mereka kembali ke pantai, pada hari yang

kesembilan. Perayaan ini juga dikenal sebagai perayaan vegetarian5 karena

mereka yang merayakannya hanya memakan sayur-sayuran selama masa

perayaan, setelah berpuasa selama sebulan sebelum perayaan dimulai. Tidak ada

pengikut yang boleh yang membunuh mahluk hidup apapun selama perayaan;

para pemuja di Thailand juga menindik tubuh mereka, seringkali dengan

menggunakan barang sehari-hari seperti lampu meja, sebagai tindakan pemurnian.

4.4.2 Altar Keluarga

Rumah-rumah di mana terdapat praktek penyembahan leluhur, salah satu

ruangan atau sudut dari rumah tersebut akan disediakan untuk altar keluarga. Di

atas altar ini diletakkan papan-papan nama leluhur (biasanya yang mempunyai

pertalian keluarga langsung seperti orang tua dan kakek-nenek; papan nama para

leluhur terdahulu biasanya disimpan di klenteng). Tempat dupa, dua batang lilin

dan puak poi. Beberapa makanan dan buah-buahan juga dapat ditinggalkan di atas

altar.

Namun demikian, foto orang-orang yang telah meninggal tidak akan

ditemukan di atas altar. Persembahan dupa harian diletakkan di atas altar ini

disertai dengan persembahan dan doa-doa khusus setiap tanggal 1 dan 15, dan hari

peringatan meninggalnya almarhum.

5

(42)

Gamabar 4.2 :

Altar Keluarga

Sumber: Sanni Tung ( 2015 )

4.4.3 Puak Poi

Puak poi adalah salah satu benda yang sering dijadikan simbol di dalam

upacara paisin orang-orang Tionghoa. Puak poi tersebut juga merupakan salah

satu sarana komunikasi di dalam paisin karena sebagian besar budaya China

berdasarkan tanggapan bahwa wujudnya sebuah dunia roh. Puak poi juga menjadi

sarana bertanya kepada Dewa buat mengobati orang yang sedang sakit, dengan

obat apa orang tersebut disembuhkan. Puak poi ini juga adalah ekspresi budaya

rakyat, yang dapat dijadikan sarana bertanya untuk berbagai hal, yang tidak dapat

dijawab oleh manusia pada umumnya. Di dalam semua yang berkaitan dengan

puak poi, terkandung unsur mitos, agama, dan fenomena sosial dan budaya yang

aneh memang rapat sekali.

Puak poi juga memiliki arti sebagai berikut: puak adalah meminta

(43)

Menurut penjelasan Susanto Wijaya (informan penulis) puak poi dalam budaya

China telah ada sejak ribuan tahun lalu yang digunakan sebagai petunjuk

mengenai apapun kehidupan mereka. Puak poi merupakan salah satu benda dan

sarana yang digunakan untuk menanyakan hal yang ingin ditanyakan pada dewa

atau leluhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang yang dilestarikan sampai

saat ini. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis puak poi ini dijumpai pada

sebahagian besar upacara paisin masyarakat Tionghoa.

Puak poi terbuat dari dua potong batang bambu, masing-masing berbentuk

setengah lingkaran. Pada masa sekarang boleh dibuat dari bahan kayu (apa saja

jenisnya). Zaman dahulu puak poi berwarna seperti warna asli pada bambu

sedangkan pada saat sekarang ini puak poi telah terbuat dari kayu yang

keseluruhan permukaan luarnya diberi warna merah. Dalam kebudayaan

Tionghoa, warna merah merupakan simbol keagungan atau kehokian.

Demikian gambaran umum kebudayaan, sistem religi, berbagai upacara

dan hari raya masyarakat Tionghoa, termasuk di Pematangsiantar, serta

penggunaan puak poi dalam setiap upacara paisin di dalam kehidupan mereka.

Semua ini menjadi satu kesatuan dalam konteks memenuhi fungsi untuk menjaga

konsistensi internal kebudayaan Tionghoa. Selanjutnya dideskripsikan keberadaan

masyarakat Tionghoa di Kota Pematangsiantar, yang beridentitaskan kebudayaan

multietnik dan multikultural.6

6

Multikulturalisme adalah sebuah terminologi dalam ilmu-ilmu sosiobudaya yang acapkali

(44)

4.5 Gambaran Umum Kota Pematangsiantar dan Masyarakatnya

Secara geografis kota Pemtang Siantar terletak diantara 3°01’09”-2

54’00” Lintang Utara dan 99°06’-99 01’ Bujur Timur. Kota ini terletak pada

ketinggian 400 meter diatas permukaan laut. Seluruh kota Pematangsiantar

memiliki luas wilayah 79,07 kilometerpersegi. Kota Pematangsiantar mempunyai

iklim tropis dengan suhu minimum antara 23,2-24,1 Celcius dan suhu maksimum

berkisar antara 30,6-34,1 Celcius. Selain itu, karena letaknya hanya 400 di atas

permukaan laut maka suhu di daerah ini umumnya tidak terlalu dingin (BPS

Pematangsiantar, 2015)

Jumlah penduduk di Kota Pematangsiantar tahun 2015 sebanyak 249.985

jiwa, dengan rumah tangga sebanyak 55.656 rumah tangga. Dengan luas wilayah

sekitar 79,97 kilometer persegi, maka tingkat penduduk Kota Pematangsiantar

kira-kira 3.100 jiwa perkilometer persegi. Sebagian besar penduduk hidup sebagai

18 pegawai, karyawan, pedagang dan wiraswasta, dan hanya sebagian kecil yang

hidup sebagai petani.

Pematangsiantar adalah kota yang majemuk, baik dalam hal suku maupun

agama. Meskipun kota ini dikelilingi Kabupaten Simalungun, namun data statistik

menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kota Pematangsiantar adalah suku

Batak Toba (Tapanuli) sebanyak 47,4 persen, disusul oleh suku Jawa diurutan

kedua sebanyak 25,5 persen, kemudian Simalungun 6,6 persen diurutan ketiga.

Selebihnya adalah Mandailing dan Angkola 5,6 persen, Tionghoa 3,7 persen,

Minangkabau 2,4 persen, dan Karo 1,7 persen. Sisanya adalah Melayu , Pakpak,

Aceh dan sebagainya. Agama yang dianut pun beraneka ragam. Mayoritas adalah

Kristen Protestan sebanyak 44,4 persen, disusul oleh Islam 43,6 persen, Katolik 5

(45)

Pematangsiantar, 2015). Data ini dapat dijabarkan dalam bentuk tabel dan bagan

[image:45.595.100.510.208.434.2]

sebagai berikut.

Tabel 4.3

Distribusi Penduduk Kota Pematangsiantar Berdasar Kelompok Etnik

No Etnik Jumlah Persentase

1. Batak Toba 118.493 47,4 %

2. Jawa 63.747 25,5 %

3. Simalungun 16.499 6,6 %

4. Mandailing-Angkola 13.999 5,6 %

5. Tionghoa 9.250 3,7 %

6. Minangkabau 5.999 2,4 %

7. Karo 4.250 1,7 %

8. Melayu, Pakpak, Aceh, dan Lainnya

17.748 7,1 %

Total 249.985 jiwa 100%

Sumber: BPS Kota Pematangsiantar, 2015

Berdasarkan kajian wilayah budaya, maka Kota Pematangsiantar pada

awalnya, sebelum menjadi kota multikultural, adalah kawasan yang menjadi

bagian dari kebudayaan etnik Simalungun. Secara umum, etnik Simalungun ini

memiliki budaya Simalungun. Kebudayaan Simalungun berdasarkan kepada

pendukung utamanya yaitu etnik Simalungun yang memiliki konsep-konsep hidup

mereka yang khas.

Menurut J. Damanik dalam bukunya yang bertajuk Jalannya Hukum Adat

Simalungun bahwa istilah simalungun berasal dari pokok kata lungun yang artinya

sunyi atau sepi. Ditambah awalan kata ma menjadi malungun yang berarti suatu

(46)

untuk menamakan suatu tempat. Jadi simalungun berarti suatu nama bagi areal

tanah yang disebut sunyi dan belum dikenal orang.

Pada masa-masa awal terbentuknya kebudayaan masyarakat Simalungun,

masih relatif jarang penghuninya. Kini telah berubah seiring dengan

perkembangan zaman, dengan dibukanya perkebunan-perkebunan sawit, coklat

dan getah. Masyarakat Jawa datang ke daerah ini sejak abad ke-19, yang

umumnya sebagai buruh di perkebunan-perkebunan Belanda. Setelah habis masa

kerja di perkebunan, mereka membuka perkampungan sendiri. Kini menjadi

Daerah Kabupaten Simalungun, yang umumnya dihuni oleh etnik Simalungun dan

Jawa.

Sebelumnya, kira-kira tahun 500–1290 Masehi di daerah Simalungun telah

berdiri sebuah kerajaan, yang disebut Kerajaan Nagur dipimpin seorang raja yang

bernama Damanik (Jahutar Damanik 1974:33). Rakyatnya disebut suku Timur

Raya, karena daerah Simalungun ini terletak di Timur Danau Toba (M.D. Purba,

1977:21). Setelah masa pemerintahan Kerajaan Nagur berakhir, maka digantikan

oleh Kerajaan Silou (1290-1350).

Sebelum tahun 1500, wilayah Simalungun terlepas dari Kerajaan Silou,

sehingga masing-masing wilayah memegang kekuasaan masing-masing. Tahun

1500-1906 di Simalungun berdiri empat kerajaan yang disebut Raja Maroppat.

Kerajaan ini terdiri dari: (1) Kerajaan Dolok Silou dan (2) Kerajaan Panei

masing-masing dengan rajanya bermarga Purba; (3) Kerajaan Siantar yang rajanya

bermarga Damanik; dan (4) Kerajaan Tanah Jawa yang rajanya bermarga Sinaga.

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, Simalungun

(47)

kemudian sesuai dengan semangat reformasi sejak 2000 yang lalu berubah

menjadi Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsianta

Gambar

Tabel 4.1:
Tabel 4.2:
Gambar 4.1:
Tabel 4.3 Distribusi Penduduk Kota Pematangsiantar Berdasar Kelompok Etnik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian makna tradisi Menyalakan lampion, makan malam bersama dan membakar petasan bagi masyarakat Tionghoa di Kota

Peranan Musik dalam Upacara Perayaan Cap Go Meh dalam Budaya Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan .... Tata Acara Perayaan Cap Go Meh dalam Budaya Masyarakat Tionghoa di Kota

Temuan saintifik yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (a) struktur Tari Tibet terdiri dari tiga ragam gerak, yaitu ฀柏悠฀跨腿 , ฀步฀฀ ,

Hasil yang diperoleh secara keilmuan pada (1) fungsinya adalah sebagai perwujudan rasa cinta kasih dan bakti anak cucu kepada leluhurnya, penyampai doa dan harapan agar kehidupan

Secara Teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap fungsi dan makna perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur masyarakat Tionghoa

Kajian Fungsi dan Makna Tradisi Penghormatan Leluhur dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa di Medan. Medan: Universitas

Untuk mengkaji fungsi Tari Tibet dalam budaya masyarakat Tionghoa di Kota Medan, digunakan teori fungsionalisme dari disiplin ilmu budaya (antropologi budaya), khususnya

Buddha: adalah sebuah sistem religi (agama) yang dibawa oleh Sidharta Gautama dari India, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.. Cheng beng: ziarah kubur