GLOSARIUM
Akulturasi: proses bercampurnya dua budaya atau lebih membentuk budaya baru dan mengandung kepribadian kebudayaan yang berbaur tersebut.
Asimilasi: proses sosiobudaya masuknya seseorang yang berasal dari satu kebudayaan ke dalam kebudayaan dominan
Buddha: adalah sebuah sistem religi (agama) yang dibawa oleh Sidharta Gautama dari India, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia. Cheng beng: ziarah kubur orang tua
Chuat guek pa: dibukanya pintu nereraka
Dao: adalah satu sistem religi, yang berpusat dari keberadaan Dao di dunia ini. Ajaran ini sering juga disebut dengan Tao atau Taoisme.
Etnik: kelompok manusia yang dipandang sebagai keturunan yang sama, memiliki bahsa yang sama, dan hidup pada wilayah budayanya. Gong Xi Fat Cai: ucapan yang berarti selamat dan sukses saat Imlek.
Huaqiao: China perantauan Huaren: Tionghoa sebagai etnik Huen tong: surge
King ang: guci
Konghucu (Konfusius): adalah sebuah sistem religi yang berasal dari ajaran-ajaran religi dan filsafat Konfusius atau Kon Fu Tse.
Kuomintang: Partai Nasionalis China
Masyarakat: kesatuan hidup manusia, yang memiliki berbagai tujuan social dan kebudayaan yang sama.
Migrasi: proses perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain secara permanen
Paisin: adalah aktivitas sembahyang pada umumnya yang dilakukan umat Tao, Buddha, dan Konghucu, biasanya memohon dan menanyakan sesuatu kepada Tuhan/Dewa-Dewi, nenek moyang di Alam Baka, atau makhluk-makhluk gaib lainnya.
Puak Poi: sebuah artefak religi pada masyarakat Tionghoa yang lazim digunakan sebagai sarana komunikasi baik terhadap Alam Langit maupun Alam Baka, biasanya menanyakan dan mengharapkan sesuatu melalui petanda jawabannya, yaitu tiga jawaban: sengpoi, jipoi, dan kampoi. San chiao wei yi: Tiga agama yaitu Tao, Budha, dan Konfutse adalah satu Se shio: nama-nama binaatang untuk tahun China
She: nama keluarga yang ditarik secara patrilineal Sia hwe: kamar dagang Tionghoa
Tang cek: musim salju
Tenglang: dari kata Tangren, laki-laki dari Dinasti Tang
Tengsua: dari kata Tangsan, Gunung Timur, Tionghoa perantauan Tiong chiu: bulan 8 hari 15 penyembahan Dewi Bulan
Tionghoa: orang-orang yang berasal dari Tiongkok (Kerajaan Langit) Tuan yang: hari raya bulan 5 menghormati penyair Chin Yen
Tui lien: kain merah saat Imlek.
Xin ke: pendatang baru Yang lek: tahun Msehi
Zangguo Xuetong: keturunan Tionghoa
DAFTAR INFORMAN DAN PELAKU PAISIN
YANG MENGGUNAKAN PUAK POI DI PEMATANGSIANTAR
A. Informan Kunci (Key Informant)
(1) Nama: Susanto Wijaya (Akiong)
Agama: Buddha.
Profesi: Saikong (pemimpin upacara orang meninggal, upacara ini lazim
disebut dengan tua pi ciu) dan pemilik kelenteng.
Umur: 68 tahun.
(2) Nama: Aliang
Agama: Buddha
Pekerjaan: Wiraswasta. Ia dipandang oleh masyarakat Tionghoa di
Pematangsiantar sebagai sesepuh kebudayaan Tionghoa, yang banyak
menegetahui tentang agama Buddha, Konghucu, dan Tao. Ia juga
memahami tata cara upacara paisin dan makna-makna di balik upacara
tersebut.
Umur: 75 tahun.
B. Para Pelaku Paisin yang Menggunakan Puak Poi
(1) Juli
(2) Candra
(3) Fitri
(4) Nita
DAFTAR PERTANYAAN
1. Siapa nama Anda?
2. Apa profesi Anda?
3. Telah berapa lama anda tinggal di daerah ini?
4. Apakah Anda mengetahui apa itu Puak poi?
5. Menurut Anda apakah Puak poi itu?
6. Seberapa sering Anda menggunakan Puak poi?
7. Bagaimana tata cara penggunaan Puak poi?
8. Bagaimana bentuk Puak poi menurut Anda?
9. Apa fungsi Puak poi menurut Anda?
10.Apa Makna Puak poi menurut Anda?
11.Bagaimana cara Anda agar fungsi dan makna Puak poi dapat lebih
dipahami oleh masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar yang masih belum
DAFTAR PUSTAKA a. Buku dan Artikel
Abdurrahmat, H. Fathoni, 2006. Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: Rhineka Cipta.
Adler, Mortimer J. et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII). Chicago: Helen Hemingway Benton.
Akim, Stafanus, 2002. Memahami Budaya Tionghoa. Jakarta: Gramedia.
Ali, Mukti, 1988. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Press.
Anderson, John, 1971. Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxford University Press.
Ardianto dan Lukiah Komala, 2004. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Simbiosa Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Azra, Azyumardi, 2007a. Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation. Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi, 2007b. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Bangun, Payung, 1981. Kebudayaan Batak & Pariwisata IV. Medan: Yayasan Kebudayaan Batak.
Barthes, R., 1967. Elementss of Semiology. London: Jonathan Cape.
Barthes, Roland. 1972. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa. Jakarta: Jalasutra. Bascom, William R., 1965. “The Forms of Folklore: Prose Narratives.” Journal of
American Folklore. Volume 78, nomor 307, Januari-Maret 1965.
Badan Pusat Statistik Pemerintah Kota Pematangsiantar, 2015. Pematangsiantar dalam Angka. Pematangsiantar: BPS.
Benny, H. Hoed, 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.
Castles, Lance. 1972. The Political Life of A Sumatra Resiency: Tapanuli 1915-1940. Yale: Yale University. Disertasi Doktoral.
Damanik, Jahutar, 1974. Jalannya Hukum Adat Simalungun. Medan: P.D. Aslan.
Danandjaja, Djames, 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.
Fiske, John. Cultural and Communication Studies SebuahPengantar Paling Komprehensif. Bandung: Jalasutra
Hadari dan Martini, 1994. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia.
Harahap, H.M.D., 1986. Adat-Istiadat Tapanuli Selatan. Jakarta: Grafindo-Utama.
Harsojo, 1977. Pengantar Antropologi Budaya. Jakarta: Bina Cipta.
Herkovits, Melville J., 1948. Man and His Work. New York: Alfred A. Knopft.
Herskovits, Melville J. dan Frances S., 1958. Dahomean Narrative: A Cross-cultural Analysis.Northwestern University African Studies, No. 1. Evanston, III.: Northwestern Univ. Press.
Ihromi, T.O.2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor.
Jhuenhyie, 2000. Budaya China. Jakarta: Salemba
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Versi Elektronik Luar Jaringan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kartodirdjo, Sartono, 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1973. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1982. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cistra.
Koentjaraningrat (ed.), 1991. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1986. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Littlejohn, Stephen W, 2009.Theories of Human Communication edisi 9. Jakarta. Salemba Humanika.
Malinowski, 1948 Man and His Works: The Science of Cultural Anthropo-logy. New York: Knopf.
Malinowski, 1955 Cultural Anthropology. New York: Knopf. (An abridged revision of) Man and His Works, 1948.
Malinowski, 1944. “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I Koentjaraningrat (ed.), 1987. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Roskarya.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Dedi dan Jalaluddin Rakhmat, 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nababan, P.W.J., 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Narroll, R. 1964. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Ong Hok Kam, 2005. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu
Poerwadarminta (ed.), 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: balai Pustaka.
Poerwadarminta (ed.), 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Purba, Setia Dermawan, 1994. Penggunaan, Fungsi, dan Perkembangan Nyanyian Rakyat Simalungun bagi Masyarakat Pendukungnya: Studi Kasus di Desa Dolok Meriah, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Jakarta: Tesis Magister Antropologi Universitas Indonesia.
Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press.
Sangti, Batara [Ompu Buntilan], 1977. Sejarah Kebudayaan Batak. Balige: Karl Sianipar.
Kompleks Perumahan Cemara Asri Medan. Medan: Skripsi Sarjana Program Studi Etnomusikologi FIB USU.
Silviana, Yoan, 2012. Fungsi dan Makna Penyambutan Imlek pada Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Medan: Skripsi Sarjana Program Studi Sastra China FIB USU.
Sinar, Tengku Luckman, 1988. Sejarah Deli Serdang. Lubuk Pakam: Badan Penerbit Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang.
Sou`yb, Joesoef, 1996. Agama-agama Besar didunia, Jakarta: Al-Hussna Dzikra.
Suryadinata, Leo, 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES. Juga dalam versi Inggris: Leo Suryadinata, 1997. Chinese and National-Building in Souteast Asia. Asian Studies Monograph No. 3. Singapore: Singapore Society of Asian Studies.
Suryadinata, Leo, 1992. Pribumi Indonesians: The Chinese Minorities and China A Study of Perceptions and Politics. Singapore: Heinemann Asia.
Suryanto, Pdt. Markus T., 1996. Mengenal Adat Istiadat Tionghoa. Jakarta: Pelkrindo (Pelayanan Literatur Kristen Indonesia).
Syafrida, Reny. 2012. Fungsi dan Makna Penyembahan Leluhur Pada Masyarakat Tionghoa. Skripsi Sarjana Sastra China, Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.
Wang Gungwu, 1981. Community and Nation: Essays on Southeast Asia and the Chinese. Kuala Lumpur: Heinemann.
Wilton, Syeelwem S., 2014. Struktur dan Makna upacara Cheng Beng bagi Masyarakat Tionghoa di Berastagi. Skripsi Saraja Sastra China, Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.
Tambunan, Netor Rico, 1996. “Dr. I.L. Nommensen: Missionaris Besar, Penguakl Kegelapan Tanah Batak,” dalam Kartini, nomor 601. Desember 1996.
Takari, Muhammad, 1997. Struktur Musik Tua Pi Ciu yang Dipergunakan oleh Masyarakat Tionghoa di Kota Medan pada Upacara Tiau Sang. (Laporan Penelitian) Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
Tanggok, M. Ikhsan, 2005. Mengenal Lebih Dekat “Agama Konghucu di Indonesia. Jakarta: Pelita Kebajikan.
Tong, Daniel.2010. Tradisi dan Kepercayaan China. Jakarta: Pustaka Sorgawi
Widyosiswoyo, Supartono. 2001. Sejarah Seni Rupa di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
b. Internet
www.baiduwenhua.cn
http:/etnis_Tionghoa_reformasi
www.wikipedia.com www.sumut.go.id. www.google.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu#Intisari_ajaran_Khong_Hu_Cu http://www.g-excess.com/136/pengertian-agama-konghucu/
http://misi.sabda.org/konfusianisme
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Kualitatif
Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu frase penelitian kualitatif di Kota
Siantar, maka sepenuhnya penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian analisis
fungsi dan makna tradisi puak poi dalam etnik Tionghoa di kota Siantar melalui
antropologi budaya dengan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan secara tepat sifat-sifat
individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi
adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala yang lain dalam
masyarakat. Dalam hal ini mungkin telah ada hipotesis-hipotesis, mungkin juga
belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah
bersangkutan (Koentjaningrat,1991:29).
Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang
bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau
informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi
aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak
mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan
dan menganalisis suatu keadaan atau status fenomena secara sistematis dan akurat
Tionghoa. Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penyelidikan
kualitatif sebagai berikut.
QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1995:1).
Menurut Denzin dan Lincoln seperti kutipan di atas, yang dimaksud
dengan penelitian kualitatif adalah adalah suatu metode yang telah lama
dikembangkan di dalam ilmu pengetahuan manusia. Di dalam ilmu sosiologi
karya-karya penelitian kualitatif dihasilkan oleh aliran-aliran para ilmuwan dari
Universitas Chichago, terutama pada dekade 1920-an dan 1930-an. Hasil
penelitian ini merupakan kajian terhadap kehidupan manusia dalam
kebudayaannya. Dalam disiplin ilmu antropologi, dalam periode yang sama, para
ilmuwannya mendisain penelitian dengan cara mengamati dan meneliti adat
istiadat dan kebudayaan di luar kebudayaan sang peneliti, artinya studi lintas
budaya. Penelitian kualitatif ini biasanya dilakukan dengan menggunakan lintas
disiplin, lapangan kajian, dan bidang kajian. Peristilahan yang digunakan dalam
pendekatan penelitian ini juga melibatkan seperangkat konsep dan asumsi yang
kompleks dan saling terjalin.
Lebih jauh Nelson mengkonsepkan mengenai apa itu penelitian kualitatif
itu menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang
Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg, 1992:4, dalam Denzin dan Lincoln, 1995).
Menurut Nelson dan Grossberg seperti dikemukakan di atas, penelitian
kualitatif adalah kajian keilmuan yang bersifat interdisiplin, transdisiplin, dan
kadangkala kounterdisiplin. Pendekatannya selalu melibatkan ilmu-ilmu
kemanusiaan, sosial, dan eksakta. Penelitian kualitatif melibatkan berbagai bahan
kajian pada saat yang sama. Penelitian ini menggunakan multiparadigmatik. Para
pendukung metode ini sangat peka terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat
yang diteliti, serta berbagai metode pendekatan. Para penelitinya sangat
mendukung perspektif alamiah atau seperti apa adanya. Begitu juga dengan
menafsirkan apa yang terjadi dalam pengalaman manusia. Kadangkala penelitian
kualitatif ini inheren dengan politik yang dibentuk oleh berbagai posisi etika dan
politik.
Dalam rangka penelitian terhadap fungsi dan makna tradisi puak poi pada
masyarakat Tionghoa di kota Pematangsiantar, maka metode penelitian yang
penulis pergunakan adalah metode kualitatif, yaitu dengan cara mengkaji kegiatan
ritual (upacara) ini apa adanya. Kemudian menginterpretasikan kegiatan tersebut
berdasarkan etika penelitian yang didasari oleh multidisiplin ilmu. Dalam hal ini
ilmu yang digunakan adalah mencakup ilmu kemanusiaan (antropologi, sosiologi,
Untuk menginterpretasikan makna-makna yang terjadi, maka penulis
melakukan pendekatan wawancara kepada informan kunci. Selanjutnya untuk
menguraikan fungsi sosiobudaya penulis merenungkan dan mengkaji dalam
perspektif holistik dan mendalam. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini
akan mengungkapkan kebenaran realita yang ada serta hal-hal yang
melatarbelakangi kegiatan puak poi dalam upacara paisin ini.
3.2 Data dan Sumber Data
Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi
setiap penulils untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada upacara
paisin masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Data-data yang digunakan
diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer
adalah berasal dari informan kunci sebagai berikut:
Sumber Data Primer : 1. Susanto Wijaya (Akiong)
Profesi : Saikong (pemimpin upacara orang meninggal)
dan pemilik kelenteng.
Sumber Data Primer :2. Aliang
Profesi : Wiraswasta
Yang dimaksud dengan informan kunci atau informan pangkal, juga
disebut narasumber kunci (key informant) adalah seorang pemberi data yang
memiliki kapasitas dan kapabilitas terhadap permasalahan yang diajukan dalam
utama dalam penelitian kualitatif. Dengan demikian, penelitian kualitatif sangat
bergantung dari data yang diperoleh dari informan kunci.
Selanjutnya sumber data sekunder adalah sebagai berikut.
Sumber Data Sekunder : Sekilas Budaya Tionghoa
Halaman : 120 hlm
Percetakan : Gramedia
Penerbit : PT Bhuana Ilmu Komputer
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Langkah dalam teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan
mengumpulkan data: wawancara, observasi lapangan, dan studi kepustakaan.
Kegiatan wawancara penulis lakukan kepada informan kunci. Observasi lapangan
adalah dengan cara mengamati langsung proses paisin dan pelemparan puak poi.
Studi kepustakaan adalah membaca berbagai sumber keilmuan seperti skripsi,
makalah, buku, jurnal, dan sebagainya serta sumber-sumber dari internet seperti
blog, situs, dan lain-lainnya.
Sebelum teknik wawancara dilakukan, penulis membuat pedoman sesuai
wawancara yang diberikan kepada beberapa tokoh masyarakat Tionghoa. Untuk
mengumpulkan data pertama penulis menemui informan yaitu seorang pengusaha.
Penulis datang dan bertanya langsung tentang religi tradisional ini. Kemudian
sang informan menjelaskan secara keseluruhan tentang religi tradisonal ini. Dari
hasil wawancara ini diperoleh keterangan tentang religi tradisional budaya
Penulis juga menemui seorang pemuka adat Tionghoa yang bernama
Bapak Aliang yang merupakan salah satu keturunan etnik Tionghoa. Secara
langsung penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan objek
penelitian penulis. Akan tetapi penulis mendapatkan data yang sangat sedikit dari
Bapak Aliang ini.
Untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian skripsi ini
penulis mengunjungi ke Vihara Maitreya Pematangsiantar. Penulis bertemu
dengan Bapak Akiong, salah seorang pengurus vihara, pemilik kelenteng dan
sebagai saikong (pemimpin upacara kematian). Melalui wawancara dengan
beliaulah penulis memperoleh informasi tentang religi-religi tradisional
masyarakat Tionghoa serta sistem kosmologi Tionghoa. Bapak Akiong dengan
senang hati menceritakan religi-religi tersebut, dan mereka sangat senang saat
penulis menanyakan tentang kebudayaan mereka, karena bagi mereka kebudayaan
Khas Tionghoa adalah kebudayaan yang sangat tua, dan hingga kini masih banyak
orang yang ingin mengetahui tentang kebudayaan Tionghoa.
3.3.1 Observasi
Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan
pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berarti tidak
melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69). Dalam mengumpulkan
data salah satu teknik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan
secara langsung/observasi terhadap subyek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini
penulis mengadakan tujuh kali pengamatan/observasi secara langsung terhadap
3.3.2 Wawancara
Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah teknik
wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung
kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat
Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “…kegiatan wawancara secara
umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, teknik
bertanya dan pencatat data hasil wawancara.”
Dalam studi ini penulis melakukan penelitian terhadap beberapa rumah
pada keluarga etnik Tionghoa, Pemuka Adat, Kelenteng dan Vihara yang ada
dikota Siantar. Penulis menggunakan metode wawancara terutama dengan
informan kunci yaitu orang yang banyak mengetahui dan mengerti tentang Tradisi
Puak poi.
Metode wawancara yang penulis gunakan adalah:
1. Wawancara tak berencana atau unstandardized interview. Walaupun
dalam wawancara masalah-masalah yang dipertanyakan tidak
menggunakan daftar pertanyaan, namun penulis menggunakan suatu
pedoman yang berisikan garis besar pokok masalah yang ingin penulis
peroleh informasinya.
2. Wawancara sambil lalu atau casual interview. Bentuk wawancara ini
penulis gunakan juga terhadap beberapa pengurus vihara, kelenteng dan
3.3.3 Studi Kepustakaan
Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan
berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan.
Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan, guna
melengkapi apa yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari
hasil wawancara. Sumber bacaan atau literatur ini dapat berasal dari penelitian
yang telah pernah dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi. Selain itu sumber
bacaan yang menjadi tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa
buku, jurnal, makalah, artikel dan berita-berita dari situs internet.
3.4 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam
atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh
pertanyaan.
Adapun proses yang dilakukan adalah:
1. Mewawancarai beberapa keluarga Tionghoa dan beberapa tokoh
masyarakat Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk mengerjakan
tulisan ini, serta mendapatkan informasi tentang tradisi puak poi pada
masyarakat Tionghoa Siantar .
2. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat
mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling
penting dan penyusunannya secara sistematis.
3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat
kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya membuat
4. Data yang di analisis dengan menggunakan teori fungsionalisme adalah
data yang sudah terkumpul kemudian di tafsirkan oleh penulis. Sedangkan,
data yang di analisis yang menngunakan teori semiotik adalah data yang
BAB IV
GAMBARAN UMUM SISTEM RELIGI MASYARAKAT TIONGHOA DAN TERAPANNYA DI PEMATANGSIANTAR
Mengkaji puak poi sebagai sebuah artefak budaya, jelas tidak dapat
dipisahkan dari sistem religi yang menyebabkan timbul dan berkembangnya
artefak ini. Kemudian membahas puak poi ini tidak cukup hanya pada benda itu
sendiri, tetapi lebih jauh dalam konteks upacara sembahyang yang lazim disebut
paisin. Secara lebih luas lagi, mengkaji puak poi dalam rangka paisin ini, tidak
dapat dilepaskan dari latar belakang sistem religi yang mendasarinya, terutama
Konghucu, Tao, dan Buddha.
Pada Bab IV ini dikaji mengenai gambaran umum sistem religi [agama]
masyarakat Tionghoa yang berkaitan erat dengan keberadaan puak poi ini, yaitu:
Konghucu, Tao, dan Buddha. Kemudian mendeskripsikan ketiga sistem religi ini
dalam kehidupan masyarakat pendukungnya yaitu masyarakat Tionghoa yang
menganut ketiga sistem religi tersebut di Kota Pematangsiantar. Apakah ada
terapan-terapan yang berbeda dengan masyarakat Tionghoa pada umumnya di
seluruh dunia, atau tidak banyak perbedaan terapannya, terutama dalam konteks
puak poi dan upacara paisin ini.
Hal ini penulis lakukan untuk dapat memetakan keberadaan fungsi dan
makna puak poi baik secara luas dalam konteks kebudayaan Tionghoa di seluruh
dunia, maupun secara rinci dan detil khusus masyarakat Tionghoa di sebuah kota
mendeskripsikan sistem religi dan terapannya di Pematangsiantar dalam mengkaji
keberadaan puak poi.
4.1 Berbagai Sistem Religi Masyarakat Tionghoa
Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai sistem religi,1
Karena sejarah dan asal-usul tempat yang sama ini, maka banyak
ditemukan kesamaan antara agama Buddha dan Hindu. Bahkan, jika seseorang baik yang berasal
dari kawasan setempat, yaitu daratan China maupun dari luar, terutama India
dengan agama Buddha. Sebagai permulaan, agama Buddha ternyata bukanlah
agama asli masyarakat Tionghoa, melainkan “diadopsi” dari India. Namun
demikian ajaran-ajaran Tao dan Konfusius memang diakui tumbuh dan
berkembang di daratan China. Kedua ajaran ini mengembangkan filsafat
kebajikan untuk hidup di dunia ini, dan menyembah kepada Tuhan (Thien).
Mereka harus berbuat baik kepada semua manusia dan makhluk di dunia ini.
1
mengunjungi Laos, sebuah negara yang didominasi agama Buddha, dan
mengamati beberapa monumen di sana, akan ditemukan gambar-gambar Buddha
yang sangat meyerupai gambar-gambar pada cerita kepahlawanan agama Hindu,
yaitu Ramayana dan Mahabarata. Dengan demikian diingkinkan adanya Dewa
Monyet dalam mitologi China kuno adalah memiliki hubungan persamaan dengan
Hanoman, si raja monyet dalam mitologi Hindu.
Selanjutnya, suatu penelitian atas ajaran sistem religi yang disebut Dao
menunjukkan bahwa ajaran itu tidak dimulai sebagai suatu agama, tetapi sebagai
suatu sistem pemikiran filosofis. Begitu juga dengan agama Konghucu. Pada
dasarnya, sistem religi yang awal kali menguasai orang-orang Tionghoa adalah
sistem religi rakyat atau suku. Setiap suku menyembah Dewa-dewa yang berasal
dari provinsi, kota, ataupun desa mereka sendiri. Dewa-dewa ini menjadi lebih
dihormati lagi di masa Dinasti Shang.
4.1.1 Konghucu
Penemu dari sistem religi ini adalah Kung Fu Tze (551-479 BC) atau
dikenal juga dengan Konghucu dalam bahas Latin. Dalam ajaran-ajarannya,
Konghucu menekankan aspek kemanusiaan dalam menjalani kehidupan. Hal ini
timbul dari pandangannya jika seseorang tidak dapat mengurusi kehidupan
duniawi, dia seharusnya tidak menghiraukan kehidupan surgawi. Suatu pribahasa
yang sering dikaitkan dengan sistem religi Konghucu adalah: “Jika kita tidak
mengenal kehidupan, mengapa kuatir tentang kematian.” Konghucu pada
dasarnya adalah seorang humanis yang percaya akan kecakapan dan kemampuan
Khong Hu Cu (Konghucu) hidup 2.500 tahun lalu, tetapi hingga akhir
abad ke-16 ia belum dikenal orang di belahan dunia Barat, yaitu ketika namanya
dilatinkan menjadi Konfucius. Namun kita tidak pernah dapat berharap seperti apa
sebenarnya Khong Hu Cu itu dan apa saja yang terkandung dalam ajarannya.
China adalah sebuah Negara yang memiliki sejarah cukup panjang, yang
konon dimulai sekitar tahun 2.700 S.M. China memiliki tiga agama besar yaitu
Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme. Beberapa sumber kuno seperti
Sje-Tsing (Buku Puji-pujian), dan Shu Ching (Buku Sejarah). Memberi kesan bahwa
bangsa China purba menganut faham monoteis, yaitu percaya pada satu Tuhan,
nama yang diberikan untuk Tuhan mereka adalah Shang-Ti (Penguasa Tertinggi),
dan Thien (Sorga).
Akan tetapi dalam perkembangan sejarah China, kepercayaan yang semula
pada satu Tuhan menjadi kacau karena bangsa China mulai mempercayai roh-roh
halus dan roh-roh nenek moyang, yang semuanya itu mereka puja dalam
upacara-upacara pengorbanan. Kira-kira pada abad VI S.M., kehidupan serta moral bangsa
China mulai merosot.
Dalam situasi seperti ini lahirlah Konfusius, atau Kong Hu Tzu atau Kong
Fu Tze, yang kemudian ajaran-ajarannya kemudian sangat berpengaruh besar
dalam kehidupan bangsa China. Selama hampir 25 abad Konfusius dianggap
sebagai guru pertama oleh orang-orang China. Hal ini tidak berarti bahwa
sebelum Konfusius tidak ada guru di China, melainkan merupakan pengakuan dari
bangsa China bahwa Konfusius berada pada tingkat paling atas dari semua guru
tersebut.
Agama Konghucu, atau biasa dibunyikan dengan Kong Hu Cu, di kaitkan
menilai bahwa ajaran Kung Fu Tze bukanlah suatu agama melainkan hanyalah
ajaran tentang nilai-nilai (etika) saja, karena Kung Fu Tzu sendiri menghindarkan
diri untuk berbicara tentang alam gaib. Akan tetapi R.E. Hume dalam bukunya
edisi 1950 menjelaskan bahwa sistem ajaran Kung Fu Tzu itu mengenal
pengakuan terhadap kodrat Maha Agung (Supreme Being), serta mempercayai
pemujaan terhadap arwah nenek moyang, juga mengajarkan tata tertib kebaktian.
dengan landasan inilah seiring perkembangan zaman ajaran Konfusius termasuk
kepada ajaran keagamaan.
Bagi Konghucu, anugerah yang menyelamatkan terletak pada kenyataan
bahwa sifat kita pada dasarnya adalah baik. Jika dipikirkan hal-hal yang benar,
maka seseorang tersebut akan melakukan tindakan yang baik dan diselamatkan.
Karena itu, penekanan sistem religi ini adalah pada pendidikan di masa lalu, dan
kebijaksanaannya dalam konteks hubungan kemanusian dan sosial yang universal
di dunia ini. Adapun inti ajaran dari sistem religi ini adalah empat kebijakan
utama dan lima hubungan utama. Empat kebijakan utama itu adalah: (1) taat
kepada pemimpin atau negara; (2) sayang kepada orang tua; (3) baik kepada
sesama; dan (4) setia kepada teman. Selanjutnya konsep lima hubungan utama itu
adalah: (i) antara pemimpin (negara) dan warga negara; (ii) antara ayah dan anak;
(iii) antara suami dan istri; (iv) antara kakak dan adik, dan (v) antara teman.
Ajaran sistem religi Konfusius mengenai empat kebijakan utama dan lima
Tabel 4.1:
Empat Kebijakan Utama dan Lima Hubungan Utama
dalam Sistem Religi Konfusius
Ajaran Konfusius dalam Membina Hubungan Sosial Empat Kebajikan Utama Lima hubungan Utama
1. Taat pada pemimpin atau negara 2. Sayang kepada orang tua 3. Baik kepada sesama 4. Setia kepada teman
1. Antara pemimpin (negara) dan warga negara
2. Antara ayah daan anak 3. Antara suami dan istri 4. Antara kakak dan adik 5. Antara teman
4.1.2 Taoisme (Dao)
Penemu sistem religi Dao yang dikenal addalah Lao Tze (604-524 S.M.)
dan Zhuang Tze (369-286 S.M.). Lao Tze mendirikan aliran filosofis dari
pemikiran Dao Jia, yang menekankan kebijaksanaan dan senioritas. Aliran
pemikiran ini difokuskan pada dimensi sosial kehidupan, yaitu percaya bahwa
seseorang dapat mencapai keabadian melalui pengejatan kebijaksanaan. Karena
itu, senioritas sangat dihargai, dan orang tua dihormati karena banyaknya
pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah dimiliki seumur hidup mereka.
Sistem religi Dao mempercayai bahwa semua bagian dari kosmos adalah
milik satu organik yang menyeluruh (yaitu Dao). Dengan demikian, kerukunan
(harmoni) dan keteraturan harus dipelihara setiap saat di dalam jiwa individu, di
dalam setiap aspek kehidupan sosial dan di dalam seluruh kosmos, agar semua
ciptaan hidup dan berfungsi secara sempurna.
Dao dianggap sebagai sumber utama dan sifat dasar semua ciptaan. Hal itu
tidak dapat dinamai, dijelaskan, dan diajarkan. Praktisi dari Shen percaya bahwa
oleh kegiatan manusia. Roh-roh yang lebih kuat dianggap memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi kehidupan manusia dan mengendalikan kegiatan manusia.
Ajaran Dao itu mencakup roh di surga, roh di bumi, Dewa-dewa pada rumah
tangga, Dewa-dewa di kuil, dan roh-roh baik dan jahat. Kepercayaan seperti ini
dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2:
Kepercayaan terhadap Makhluk Gaib pada Sistem Religi Dao (Taoisme)
Jenis Makhluk Gaib Contoh Makhluk Gaib
Roh di surga Misalnya, Tien gong; roh bintang; angin; hujan; guntur; dan roh yang bercahaya Roh di bumi Misalnya, Tu Di Gong; dewa kayu dan
api; jalan air atau roh air Dewa-dewa rumah tangga Misalnya, dewa dapur; dewa
kemasyhuran; dewa kemakmuran; dewa umur panjang
Dewa-dewa kuil Misalnya, Na Cha; dewa monyet; dewa-dewa sembilan kaisar
Roh-roh baik dan jahat Roh-roh baik dipercaya sebagai dewa daerah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari, sementara roh-roh jahat dipercaya sebagai roh orang-orang yang telah mati yang tidak mau melepaskan kehidupan dunia.
4.1.3 Agama Buddha
Agama Buddha dimulai dari India dan menyebar ke seluruh China sekitar
abad peertama sebelum Masehi. Awalnya Siddhartha Gautama (563-483 S.M.),
seorang pangeran, yang pada saat lahir diramalkan akan menjadi penyelamat
dunia. Ayahnya, sang raja, karena takut ramalan itu benar, sengaja mengasingkan
Siddhartha Gautama dari dunia di luar istana.
Pada suatu hari ketika Siddhartha Gautama dewasa, dia berhasil
penderitaan yang dilihatnya di antara rakyat biasa. Dihadapkan dengan hal ini dan
juga ketidakmampuan untuk mengubah kenyataan, Siddhartha Gautama
meninggalkan istana, dia tinggal di bawah sebuah pohon untuk bermeditasi
tentang kehidupan. Dipercayai bahwa melalui masa meditasinya, dia mendapatkan
pencerahan mengenai kehidupan dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan.
Itulah awal kali kelahiran agama Buddha di dunia ini.
Adapun inti ajaran agama Buddha ini adalah sebagai berikut. Buddha
diagungkan bukan karena kekayaan, keindahan, atau lainnya. Beliau diagungkan
karena kebaikan, kebijaksanaan, dan pencerahan-Nya. Inilah alasan mengapa
umat Buddha, menganggap ajaran Buddha sebagai jalan hidup tertinggi.
Berikut ini adalah keunggulan-keunggulan yang menumbuhkan
kekaguman umatnya terhadap ajaran Buddha, sebagai hasil wawancara dengan
dua narasumber penulis, yaitu Pak Susanto Wijaya dan Pak Aliang (selama kurun
waktu 2014) .
1. Ajaran Buddha tidak membedakan kelas (kasta). Buddha mengajarkan bahwa
manusia menjadi baik atau jahat bukan karena kasta atau status sosial, bukan
pula karena percaya atau menganut suatu ajaran agama. Seseorang baik atau
jahat karena perbuatannya. Dengan berbuat jahat, seseorang menjadi jahat, dan
dengan berbuat baik, seseorang menjadi baik. Setiap orang, apakah ia raja,
orang miskin atau pun orang kaya, dapat masuk surga atau neraka, atau
mencapai Nirvana, dan hal itu bukan karena kelas atau pun kepercayaannya.
2. Agama Buddha mengajarkan belas kasih yang universal. Buddha mengajarkan
umatnya untuk memancarkan metta (kasih sayang dan cinta kasih) kepada
bangsa. Terhadap hewan, janganlah membedakan jenisnya. Metta harus
dipancarkan kepada semua hewan termasuk yang terkecil seperti serangga. Hal
ini berbeda dengan beberapa agama lain yang mengajarkan bahwa hewan
diciptakan Tuhan untuk kepentingan kelangsungan hidup manusia, sehingga
membunuh makhluk selain manusia bukanlah kejahatan. Beberapa agama
bahkan membenarkan membunuh orang bersalah yang menentang agamanya.
3. Dalam ajaran Buddha, tidak seorang pun diperintahkan untuk percaya Sang
Buddha tidak pernah memaksa seseorang untuk mempercayai ajaran-Nya.
Semua adalah pilihan sendiri, tergantung pada hasil kajian masing-masing
individu. Buddha bahkan menyarankan, “Jangan percaya apa yang Ku katakan
kepadamu sampai kamu mengkaji dengan kebijaksanaanmu sendiri secara
cermat dan teliti apa yang Kukatakan.” Hal ini pun berbeda dengan agama lain
yang melarang pengikutnya mengkritik ajarannya sendiri. Ajaran Buddha tidak
terlalu dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dan kritik-kritik terhadap
ajaran-Nya. Jelaslah bagi umat Buddha bahwa ajaran Buddha memberikan
kemerdekaan atau kebebasan berpikir.
4. Agama Buddha mengajarkan diri sendiri sebagai pelindung. Buddha bersabda,
“Jadikanlah dirimu pelindung bagi dirimu sendiri. Siapa lagi yang menjadi
pelindungmu? Bagi orang yang telah berlatih dengan sempurna, maka dia
telah mencapai perlindungan terbaik.” Ini dapat dibandingkan dengan pepatah
bahasa Inggris, “God helps those who help themselves,” maksudnya Tuhan
menolong mereka yang menolong dirinya sendiri. Inilah ajaran Buddha yang
menyebabkan umat Buddha mencintai kebebasan, kemerdekaan, dan
menentang segala bentuk perbudakan dan penjajahan. Buddha tidak pernah
Nibbana; karena semua itu tergantung akibat dari perbuatan tiap-tiap orang,
sementara Buddha hanyalah guru atau pemimpin. Seperti tertulis dalam
Dhammapada, “Semua Buddha, termasuk Saya, hanyalah penunjuk jalan.”
Pilihan untuk mengikuti jalan-Nya atau tidak, tergantung pada orang yang
bersangkutan. Hal ini pula yang membedakan dengan agama lain yang percaya
Tuhan dapat menghukum orang ke neraka atau mengirimnya ke surga. Tatkala
orang melakukan segala jenis dosa, jika dia memuja, berdoa, dan menghormati
Tuhan, maka Tuhan akan menunjukkan cinta-Nya dan mengampuni orang
tersebut. Hal ini membuat orang menjadi terdorong untuk tidak peduli, sebesar
apapun dosanya, jika dia memuja Tuhan, dia akan diampuni. Karena ini
pulalah, dia akan terbiasa menunggu bantuan orang lain daripada berusaha
dengan kemampuan sendiri.
5. Agama Buddha adalah agama yang suci. Yang dimaksudkan di sini adalah
agama tanpa pertumpahan darah. Dari awal perkembangannya sampai
sekarang, lebih dari 2500 tahun –agama Buddha tidak pernah menyebabkan
peperangan. Bahkan, Buddha sendiri melarang penyebaran ajaranNya melalui
senjata dan kekerasan. Di lain pihak, banyak pemimpin agama yang sekaligus
juga menjadi raja dari kerajaannya, dan pada saat yang sama menjadi diktator
dari agamanya. Meskipun ada beberapa agama yang tidak disebarkan melalui
senjata atau kekerasan, tetapi mereka telah menyebabkan terjadinya perang
antar agama. Hal ini menyebabkan agama tersebut tidak dapat dianggap
sebagai agama yang suci atau bebas dari pertumpahan darah.
6. Agama Buddha adalah agama yang damai dan tanpa monopoli kedudukan.
Dalam Dhammapada, Buddha bersabda, “Seseorang yang membuang pikiran
sama, Beliau memuji upaya menaklukkan diri sendiri. Beliau berkata,
“Seseorang yang menaklukkan ribuan orang dalam perang bukanlah penakluk
sejati. Tetapi seseorang yang hanya menaklukkan seorang saja yaitu dirinya
sendiri, dialah pemenang tertinggi.” Di sini, menaklukka n diri sendiri terletak
pada bagaimana mengatasi kilesa (kekotoran batin). Andaikan semua orang
menjadi umat Buddha, maka diharapkan manusia akan beroleh perdamaian dan
kebahagiaan. Buddha mengatakan bahwa semua makhluk harus dianggap
sebagai sahabat atau saudara dalam kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian.
Beliau juga mengajarkan semua umat Buddha untuk tidak menjadi musuh
orang-orang tak seagama atau pun menganggap mereka sebagai orang yang
berdosa. Beliau mengatakan bahwa siapa saja yang hidup dengan benar, tak
peduli agama apapun yang dianutnya, mempunyai harapan yang sama untuk
beroleh kebahagiaan di kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang.
Sebaliknya, siapapun yang menganut agama Buddha tetapi tidak
mempraktikkannya, hanya akan beroleh sedikit harapan akan pembebasan dan
kebahagiaan.
Dalam agama Buddha, setiap orang memiliki hak yang sama untuk
mencapai kedudukan yang tinggi. Dengan kata lain, setiap orang dapat
mencapai Kebuddhaan. Dalam agama lain, tiada siapapun dapat menjadi Tuhan
selain Tuhan sendiri, tidak peduli sebaik apapun pengikutnya bertindak.
Seseorang takkan pernah mencapai tingkat yang sama dengan Tuhan. Bahkan
pemimpin agama pun takkan pernah mencapai ketuhanan.
7. Agama Buddha mengajarkan hukum sebab dan akibat. Buddha mengajarkan
bahwa segala sesuatu muncul dari suatu sebab. Tiada suatu apapun yang
kegembiraan, kerugian, penghinaan, celaan, penderitaan –semua adalah akibat
dari keadaan-keadaan yang memiliki sebab. bAkibat-akibat baik muncul dari
keadaan-keadaan yang baik, dan akibat buruk muncul dari penyebab-penyebab
buruk pula. Kita sendiri yang menyebabkan keberuntungan dan
ketidakberuntungan kita sendiri. Tidak ada Tuhan atau siapapun yang dapat
melakukannya untuk kita. Oleh karena itu, kita harus mencari keberuntungan
kita sendiri, bukan membuang-buang waktu menunggu orang lain
melakukannya untuk kita. Jika seseorang mengharapkan kebaikan, maka dia
hanya akan berbuat kebaikan dan berusaha menghindari pikiran dan perbuatan
jahat.
Prinsip-prinsip sebab dan akibat, suatu kondisi yang pada mulanya sebagai
akibat akan menjadi sebab dari kondisi yang lain, dan seterusnya seperti mata
rantai. Prinsip ini sejalan dengan pengetahuan modern yang membuat agama
Buddha tidak ketinggalan zaman daripada agama-agama lain di dunia.2
2
Gambar 4.1:
Peta Wilayah Persebaran Agama Buddha di Dunia
Sumber:
4.2 Terapan Ketiga Sistem Religi pada Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar
Orang-orang Tionghoa yang menganut sistem religi Konghucu, Tao, dan
Budha di Kota Pematangsiantar, secara dasar mengacu kepada sistem religi yang
ada di era China Kuno. Ketiga-tiga umat yang menganut sistem religi yang telah
diuraikan di atas, yaitu Tao (Dao), Konghucu, dan Buddha dalam konteks
berkomunikasi, terutama untuk bertanya kepada Tuhan, Dewa, roh leluhur, atau
makhluk gaib selalu menggunakan puak poi sebagai “media.”
Hal ini menarik bahwa ketiga sistem religi tersebut pada prinsipnya
mata, tumbuhan, hewan, dan manusia, masih ada lagi Dewa dan Dewi, roh
leluhur, makhluk gaib, dan tentu saja Tuhan itu sendiri. Dalam membina
komunikasi denganNya, manusia dapat menggunakan artefak religi yang disebut
dengan puak poi. Demikian pula yang terjadi di dalam masyarakat Tionghoa
beragama Buddha dan Konghucu (bersama Tao) di Pematangsiantar.
4.3 Hari-hari Raya dan Upacara Orang Tionghoa di Pematangsiantar
Hari raya dan upacara bagi masyarakat Tionghoa telah menjadi adat
kebiasaan secara turun temurun. Dalam setahun, yang teramai adalah upacara
Imlek di bulan satu China. Di samping itu hari raya yang disertai upacara lainnya
adalah chang beng di bulan ketiga, tuan yang ciek di bulan kelima, chit guek pua
di bulan ketujuh, tiong chiu di bulan kedelapan, dan tang cek di bulan kesebelas.
Dalam konteks menentukan hari-hari raya ini baik secara kultural maupun religi,
masyarakat Tionghoa menggunakan sistem penanggalan yang berdasarkan kepada
sistem penanggalan China. Dalam sub bab ini dideskripsikan beberapa hari raya
dan upacara yang lazim dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di seluruh dunia,
termasuk di Kota Pematangsiantar.
Yang pertama adalah hari raya dan upacara Cheng Beng adalah hari untuk
berziarah atau berkunjung ke kuburan orang tua ataupun leluhur. Orang-orang
Tionghoa ini kemudian membersihkan kuburan orang tua dan leleuhurnya dan
melakukan sembahyang (paisin) supaya arwah si meninggal mendapatkan
kebebasan dari siksaan. Bagi orang-orang Tionghoa yang memiliki kemampuan
ekonomi yang lebih dari orang kebanyakan, biasanya mereka meminta bantuan
bhiksu (bikhu) untuk melaksanakan upacara sembahyang (paisin) untuk
Di antara orang-orang Tionghoa tersebut, ada pula yang mengambil
kesempatan pada bulan tiga ini untuk melakukan upacara mengambil dan
membersihkan tulang belulang si meninggal untuk dipindahkan ke tempat lain.3
Dalam melaksanakannya pemindahan tersebut, terlebih dahulu harus
dipasang tenda supaya kerangka tidak menghadap ke langit. Setelah itu satu
persatu dari tulang belulang tersebut dibersihkan dan dicuci dengan samsu putih,
kemudian dikeringkan dan disusun dengan rapi lalu dimasukkan ke dalam king
ang (guci). Kemudian dikuburkan kembali ke tempat yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Untuk melaksanakan pemindahan tersebut harus dimintakan bantuan bhiksu untuk
mencari hari waktu yang baik.
Makna kultural dan religius dari pemindahan tulang belulang leluhur ini
adalah meningkatkan keberadaan tempat tinggal rohnya. Juga menghormati
leluhurnya. Selain itu juga sebagai pertanda bahwa keturunannya telah
mempunyai rezeki yang lebih baik dari masa sebelumnya.
Pada umumnya masyarakat Tionghoa di Kota Pematangsiantar, menurut
pengamatan penulis pada hari raya Cheng Beng ini banyak yang mengunjungi
keluarganya di Pulau Pinang, Penang, Malaysia. Mereka datang beramai-ramai ke
sana yang dipandang sebagai kampung halaman mereka juga. Mereka umumnya
3
pergi dan kembali dari Penang dengan menggunakan pesawat udara dari Bandara
Kualanamu Medan, dengan menumpang pesawat-pesawat komersial seperti Air
Asia, Lion Air, dan Malaysia Airlines System (MAS).
Kemudian hari raya dan upacara yang kedua adalah Tuan Yang, hari tuan
yang yang dilaksanakan pada bulan kelima ini adalah hari makan bak cang. Ini
dilaksanakan untuk memperingati seorang penyair dari China yang bernama Chi
Yen. Menurut sejarah China kuno, pada zaman perang tahun 403 sebelum Masehi
pada masa pemerintahan Raja Cou hiduplah seorang penyair bernama Chi Yen.
Beliau adalah seorang yang sangat dihormati dalam kalangan rakyat karena
sangat menjunjung tinggi raja dan negara. Akibatnya raja sendiri merasa terancam
kedudukannya kemudian mengusir beliau keluar dari kerajaan. Walau demikian,
Chi Yen tidak merasa putus asa, berikutnya beliau membuat syair-syair yang
ditujukan kepada raja dengan menyatakan bahwa beliau tidak merasa bersalah.
Sang raja tidak memperdulikan hal tersebut, sehingga akhirnya Chi Yen
putus asa dan melakukan bunuh diri, dengan cara mengikatkan sebuah batu besar
pada tubuhnya kemudian terjun ke sungai Yang Lo. Rakyat yang mengetahui hal
tersebut kemudian membuat kue yang terbuat dari tepung terigu yang dalamnya
diisi dengan daging (babi, lembu, atau kerbau). Kue ini disebut dengan bak cang.
Kemudian dilemparkan ke sungai agar binatang-binatang yang ada dalam sungai
tersebut tidak memakan tubuh Chi Yen melainkan memakan bak cang tersebut.
Sebahagian dari bak cang tersebut dimakan oleh mereka. Orang-orang
Tionghoa juga membuat perahu dengan lambang kepala naga dan membawa
genderang yang disebut ku. Selepas itu, sesampainya mereka di sungai, mereka
bolak-balik mengendarai perahu tersebut dan memukulkan genderang agar setan
dapat mereka temukan. Maknanya secara budaya adalah mereka berusaha agar
mayat Chi Yen sebagai pahlawan, tidak ditemukan oleh raja yang haus kekuasaan
tersebut, melalui pertolongan setan sehingga selamat menuju alam rohnya, dengan
keadaan jasad yang tak kurang sesuatu apapun.
Biasanya setiap tahun tepat pada bulan kelima hari tersebut diperingati dan
diadakan perlombaan perahu berbentuk naga. Namun pada umumnya masyarakat
Tionghoa di Pematangsiantar hanya memperingatinya dengan acara memakan bak
cang saja. Memakan bak cang ini berarti memperingati kepahlawanan Chi Yen.
Hari raya dan upacara berikutnya, yang ketiga, adalah Chit Guek Pua.
Dalam sistem kosmologi dan folklor China konon bulan tujuh adalah merupakan
hari kegelapan bagi masyarakat Tionghoa. Hari pertama bulan tujuh adalah
merupakan hari pembukaan pintu neraka, yang menurut mereka adalah
dibebaskannya arwah-arwah untuk berjalan-jalan ke dunia fana. Pada hari
tersebut, masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha dan Konghucu (atau juga
Dao) biasanya di kelenteng-kelenteng membuat lampion yang ditempatkan di atas
bambu yang tinggi, yang bertujuan untuk memanggil dan mengumpulkan
arwah-arwah. Kemudian bhiksu membacakan kitab suci untuk menolong arwah-arwah
tersebut supaya mereka dapat pulang ke surga.
Sampai kemudian pada hari yang kelima belas (chit guek pua) adalah
merupakan hari pulangnya arwah-arwah yang bergentayangan tersebut. Pada
setiap rumah penghuninya harus membuat sesajian berupa buah-buahan seperti:
jeruk, nenas, pisang, apel, dan sejenisnya untuk menyatakan perpisahan.
Hari ketiga puluh merupakan hari penutupan pintu neraka. Bagi arwah
neraka (te qek). Lampion yang dipasang di kelenteng harus diturunkan. Ini disebut
dengan sia teng kha (mengucapkan terima kasih).
Selanjutnya adalah hari raya dan upacara Tiong Chiu, yang dilaksanakan
pada setiap bulan delapan hari kelima belas (pada saat bulan purnama). Pada hari
tersebut di setiap rumah disediakan kue yang bernama tiong chiu pia yang
dimaksudkan untuk menyembah Dewi Bulan. Anak-anak menyalakan lampion
yang dibentuk dalam rupa binatang seperti ayam, kelinci, naga, dan sebagainya.
Pada malam itu merupakan suatu peringatan bagi rakyat China yaitu pada
zaman dahulu, sekitar tahun 206 Sebelum Masehi, Negeri China diserang oleh
Mongolia4
4Mongolia (bahasa Mongol: Монгол Улс) ada
lah sebuah negara yang terkurung daratan di Asia Timur; berbatasan dengan Rusia di sebelah utara, dan Republik Rakyat Tiongkok di selatan. Mongolia merupakan pusat Kekaisaran Mongol pada abad ke-13, tetapi dikuasai oleh Dinasti Qing sejak akhir abad ke-17 hingga sebuah pemerintah merdeka dibentuk dengan bantuan Uni Soviet pada 1921. Namun demikian, kemerdekaan Mongolia tidak diakui China sampai tahun 1949. Setelah Partai Komunis menguasai China daratan, China akhirnya mengakui kemerdekaan Mongolia. Setelah keruntuhan Uni Soviet, Mongolia menganut aliran demokrasi. Sebahagian besar wilayah Mongolia memiliki tanah yang gersang, kebanyakan wilayah berupa padang rumput dengan pegunungan di bagian barat dan utara dan Gurun Gobi di selatan. Mayoritas penduduknya beretnik Mongol yang menganut agama Buddha Tibet (Lamaistik) dengan kehidupan nomaden. Sejarahnya sebagai berikut. (a) Periode Bangsa Hunnu, bangsa ini menjadi terkenal di bawah kepemimpinan Modun Khaan dari Dinasti Tiongkok yang mengontrol jalur perdagangan di daerah Turkistan. Kemudian kehancuran menimpa peradaban Hunnu bersamaan dengan kehancuran dinasti Hundi Tiongkok. (b) Periode Bangsa Cian-bi. penduduk bangsa Hunnu bergabung ke wilayah bangsa Cian-bi (136-181 Masehi). Cian-bi menjadi bangsa yang kuat dan memperluas wilayah dan membagi tiga bagian hingga ke timur sampai ke Korea di bawah kepemimpinan Tanishikuai. Sampai era kepemimpinan Kabinen, bangsa Cian-bi mengalami banyak perebutan wilayah. Tahun 235, Kabinen tewas dan bangsa Cian-bi mengalami kehancuran. (c) Periode
Bangsa Jujan, yang dibangun oleh penduduk sisa bangsa Cian-bi, bangsa Jujan yang berpusat di
pegunungan Khangai berkembang pada abad ke-5. (d) Periode Bangsa Tukish, yang dibangun dari pecahan Kerajaan Jujan memperluas wilayahnya hingga ke semenanjung Korea dan Tiongkok. Penduduk dari bangsa Uyghur ikut bergabung pada 745 M. Bangsa Tukish menjadi bangsa yang kuat di Mongolia. (e) Periode Bangsa Uighur yang lahir dari bagian bangsa Tukish. Pada periode 745 M, Uighur mengontrol jalur perdagangan dari China hingga ke kawasan timur Asia. (f)
Periode Bangsa Kitan, abad X-XII, Mongolia dikuasai Kitan yang berpusat di Sungai Liao,
pegunungan Khyangan dan menguasai wilayah Mongolia pada tahun 924 Masehi. Pada 936 M, bangsa Kitan menguasai wilayah Bahain dan 16 wilayah Tiongkok utara. Tahun 1120, bangsa Kitan hancur. (g) Periode Mongol, abad XII, Mongolia dikuasai oleh Kerajaan Mongol yang menduduki tiga sungai dan pegunungan Altai hingga sungai Selenge. Kerajaan ini dipimpin oleh Khabula Khaan (Kubilai Khan). Cucunya yang bernama Yesugei mendirikan Kerajaan Mongol Khanlig. Yesudei wafat tahun 1170 dan Kerajaan Mongol terbagi menjadi beberapa bagian. Anaknya yang bernama Temujin menguasai tampuk kepemimpinan Mongol. Dalam masa kepemimpinannya, Kerajaan Mongol Khanlig menjadi bagian negara yang disegani.
(negeri tetangga China). Setiap hari rakyat China disiksa oleh pasukan
Mongolia tersebut. Bangsa Mongolia mengeluarkan peraturan bahwa pada setiap
rumah tangga hanya boleh menggunakan sebuah pisau belati untuk keperluan
sehari-hari. Apabila kedapatan memiliki lebuh dari yang ditentukan maka
sekeluarga akan dipacung di depan umum.
Akhirnya rakyat China bangkit melawan pemerintahan Mongolia dipelopori
oleh tokoh-tokoh yang tidak dikenal. Mereka mengadakan pemberontakan dengan
jalan menyelipkan surat ke dalam kue Tiong Chiu yang berisikan tulisan China
yang artinya kira-kira sebagai berikut: “ Mulai dari saat ini diharapkan pada
seluruh rakyat untuk membuat senjata tajam dan tepat pada tanggal 15 bulan
delapan jam 24.00 tepat pada saat kentongan dibunyikan maka secara serentak
harus menyerang ke tempat kediaman bangsa Mongolia yang ditandai dengan
adanya lampion yang digantungkan di depan rumah. Pada malam itu juga, mereka
berhasil mengusir penjajah Mongolia tersebut. Oleh karena itulah maka pada
setiap tahun diperingati dan juga sebagai ucapan terima kasih kepada dewi bulan
yang telah melindungi mereka dari para penjajah.
Berikutnya adalah hari raya dan upacara Tang Cek, biasanya dilaksanakan
pada setiap bulan sebelas. Tang berarti musim salju, cek adalah tiba. Hari Tang
Cek berarti musim salju telah tiba. Setiap penghuni rumah harus membuat yi
(cenil), yang terbuat dari tepung tapioka, dimasak dan dicampur dengan air gula
dan jahe secukupnya. Yi sendiri melambangkan bahwa umur seseorang telah
bertambah satu tahun walaupun tanggal satu atau Hari Raya Imlek belum tiba.
Perayaan Tang Cek ini, adalah sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas
bertambahnya usia.
4.4 Penghormatan Leluhur
Kamus New Expanded Webster mengartikan pemujaan sebagai memuja
(memandang dengan kagum dan hormat) atau menganggap sesuatu itu keramat.
Bagi orang Tionghoa, hal ini sehubungan dengan kepercayaan animistis mereka
akan arwah dan keragaman dewa. Sampai pada batasan di mana tidak terdapat
pembedaan yang jelas saat harus membedakan antara Shen (para Dewa, mereka
yang hidup abadi, dan hantu), dan kui (hantu-hantu kelaparan dan arwah-arwah
leluhur yang tidak terurus).
Praktik penghormatan leluhur tersebar dengan cepat akibat ajaran
Konghucu mengenai darma bakti. Dewasa ini, teori dasar ini, dalam banyak hal,
telah digantkan oleh kepercayaan Buddha dan Tao dalam hal reinkarnasi dan Dao
(upacara pemakaman, dan pemberian persembahan untuk mengumpulkan darma,
dan lain-lain). Konghucu menyatakan bahwa untuk membangun keluarga, li (tata
krama dan ketaatan pelaksanaan upacara dengan cara dan waktu yang tepat) harus
dijalankan. Hal ini termasuk tata krama yang sejalan dengan kehendak leluhur
kita, yang mengatur kehidupan rumah tangga keturunannya. Kelima bagian dari
hubungan sosial yang diajarkan Konghucu adalah: penguasa kepada materi; ayah
kepada putra; suami kepada istri; kakak lelaki kepada adik lelaki; dan teman
4.4.1 Perayaan untuk Leluhur
Perayaan-perayaan berikut ini, yakni Qing Ming Jie, Zhong Yuan Jie dan
Chong Yang Jie, secara khusus dilakukan untuk mengenang mereka yang telah
meninggal dan sebagai pemujaan kepada nenek moyang. Aktivitas upacara ini
adalah menjaga hubungan antara Alam Dunia (manusia) dengan Alam Baka.
Qing Ming Jie biasa dilakukan pada musim semi, ketika
tumbuh-tumbuham berbunga kembali setelah musim dingin berlalu, di bulan April, dan
berhubungan dengan berakhirnya bulan kedua atau permulaan bulan ketiga pada
kalender lunar China. Qing Ming Jie adalah waktu di mana etnis Tionghoa
mengenang mereka yang telah meninggal dan mengadakan kunjungan khusus ke
kuburan, atau tempat penyimpanan abu jenazah (untuk mereka yang dikremasi)
dan kuil-kuil (di mana saat ini banyak yang menyimpan abu/batu nisan dari
keluarga yang telah meninggal).
Perayaan ini juga merupakan waktu untuk seluruh keluarga mengunjungi
dan membersihkan tempat di mana jasad dari nenek moyang mereka
dikebumikan. Untuk mereka yang melakukannya, perayaan ini menjadi sangat
berarti untuk generasi berikutnya dengan membuat ikhtisar kehidupan dan
kontribusi dari nenek moyang. Persembahan makanan, dupa, puak poi dan uang
kertas adalah hal yang biasa di dalam kunjungan ini.
Zhong Yuan Jie ini biasanya dirayakan sekitar bulan Agustus, sepanjang
bulan ketujuh, dan dikenal sebagai Perayaan Hantu yang Lapar. Perayaan ini
menunjukkan kepedulian di dalam kepercayaan agama China terhadap keberadaan
yang menyedihkan dari jiwa-jiwa yang tidak diperhatikan oleh orang yang masih
yang dilepaskan dari kediaman mereka di neraka untuk menjelajahi bumi sselama
bulan ini.
Di dalam ajaran Dao, pintu-pintu neraka dibuka di hari prtama bulan
ketujuh, untuk memperbolehkan kui (roh-roh yang tidak diperhatikan atau roh-roh
yang sedang dalam masa hukuman dan dikunci di neraka) menjelajahi bumi,
mencari makan sebelum dikunci lagi untuk tahun berikutnya. Kepercayaannya
adalah ketika pintu dibuka, kui ini akan keluar untuk mencari makanan dan jika
tidak seorangpun menyediakan persembahan, mereka akan masuk kerumah-rumah
dan mengambilnya sendiri. Takut akan kunjungan ini, orang biasanya cepat-cepat
menyediakan persembahan untuk menenangkan dan menangkal hantu-hantu yang
lapar.
Chong Yang Jie, yang juga dikenal sebagai Perayaan Ganda Bulan
Kesembilan, biasanya dirayakan disekitar bulan Oktober, dari hari pertama sampai
hari kesembilan di bulan kesembilan. Chong Yang Jie awalnya dilakukan untuk
merayakan musim gugur, sebelum musim dingin tiba, di mana orang-orang untuk
terakhir kalinya mengunjungi kuburan orang yang dikasihi yang telah meninggal.
Mereka akan membuat persembahan makanan dan pakaian musim dingin untuk
mereka yang telah meninggal untuk melindungi mereka dari kelaparan dan
kedinginan selama musim dingin yang panjang.
Aspek lain dari perayaan ini berhubungan dengan pemujaan kumpulan
sembilan binatang yang dianggap sebagai dewa-dewa Jiu Huan Da Di (Sembilan
Dewa Kaisar). Para pemuja Jiu Huan Da Di akan pergi ke tepi laut pada hari
pertama bulan kesembilan untuk menyambut dewa-dewa ini dengan sembilan
kursi tandu berwarna kuning. Warna kuning melambangkan ratapan atas kaisar
Manchuria di tahun 1644. Setelah perjamuan Jiu Huang Da Di selama seminggu,
para pemuja akan mengantarkan mereka kembali ke pantai, pada hari yang
kesembilan. Perayaan ini juga dikenal sebagai perayaan vegetarian5 karena
mereka yang merayakannya hanya memakan sayur-sayuran selama masa
perayaan, setelah berpuasa selama sebulan sebelum perayaan dimulai. Tidak ada
pengikut yang boleh yang membunuh mahluk hidup apapun selama perayaan;
para pemuja di Thailand juga menindik tubuh mereka, seringkali dengan
menggunakan barang sehari-hari seperti lampu meja, sebagai tindakan pemurnian.
4.4.2 Altar Keluarga
Rumah-rumah di mana terdapat praktek penyembahan leluhur, salah satu
ruangan atau sudut dari rumah tersebut akan disediakan untuk altar keluarga. Di
atas altar ini diletakkan papan-papan nama leluhur (biasanya yang mempunyai
pertalian keluarga langsung seperti orang tua dan kakek-nenek; papan nama para
leluhur terdahulu biasanya disimpan di klenteng). Tempat dupa, dua batang lilin
dan puak poi. Beberapa makanan dan buah-buahan juga dapat ditinggalkan di atas
altar.
Namun demikian, foto orang-orang yang telah meninggal tidak akan
ditemukan di atas altar. Persembahan dupa harian diletakkan di atas altar ini
disertai dengan persembahan dan doa-doa khusus setiap tanggal 1 dan 15, dan hari
peringatan meninggalnya almarhum.
5
Gamabar 4.2 :
Altar Keluarga
Sumber: Sanni Tung ( 2015 )
4.4.3 Puak Poi
Puak poi adalah salah satu benda yang sering dijadikan simbol di dalam
upacara paisin orang-orang Tionghoa. Puak poi tersebut juga merupakan salah
satu sarana komunikasi di dalam paisin karena sebagian besar budaya China
berdasarkan tanggapan bahwa wujudnya sebuah dunia roh. Puak poi juga menjadi
sarana bertanya kepada Dewa buat mengobati orang yang sedang sakit, dengan
obat apa orang tersebut disembuhkan. Puak poi ini juga adalah ekspresi budaya
rakyat, yang dapat dijadikan sarana bertanya untuk berbagai hal, yang tidak dapat
dijawab oleh manusia pada umumnya. Di dalam semua yang berkaitan dengan
puak poi, terkandung unsur mitos, agama, dan fenomena sosial dan budaya yang
aneh memang rapat sekali.
Puak poi juga memiliki arti sebagai berikut: puak adalah meminta
Menurut penjelasan Susanto Wijaya (informan penulis) puak poi dalam budaya
China telah ada sejak ribuan tahun lalu yang digunakan sebagai petunjuk
mengenai apapun kehidupan mereka. Puak poi merupakan salah satu benda dan
sarana yang digunakan untuk menanyakan hal yang ingin ditanyakan pada dewa
atau leluhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang yang dilestarikan sampai
saat ini. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis puak poi ini dijumpai pada
sebahagian besar upacara paisin masyarakat Tionghoa.
Puak poi terbuat dari dua potong batang bambu, masing-masing berbentuk
setengah lingkaran. Pada masa sekarang boleh dibuat dari bahan kayu (apa saja
jenisnya). Zaman dahulu puak poi berwarna seperti warna asli pada bambu
sedangkan pada saat sekarang ini puak poi telah terbuat dari kayu yang
keseluruhan permukaan luarnya diberi warna merah. Dalam kebudayaan
Tionghoa, warna merah merupakan simbol keagungan atau kehokian.
Demikian gambaran umum kebudayaan, sistem religi, berbagai upacara
dan hari raya masyarakat Tionghoa, termasuk di Pematangsiantar, serta
penggunaan puak poi dalam setiap upacara paisin di dalam kehidupan mereka.
Semua ini menjadi satu kesatuan dalam konteks memenuhi fungsi untuk menjaga
konsistensi internal kebudayaan Tionghoa. Selanjutnya dideskripsikan keberadaan
masyarakat Tionghoa di Kota Pematangsiantar, yang beridentitaskan kebudayaan
multietnik dan multikultural.6
6
Multikulturalisme adalah sebuah terminologi dalam ilmu-ilmu sosiobudaya yang acapkali
4.5 Gambaran Umum Kota Pematangsiantar dan Masyarakatnya
Secara geografis kota Pemtang Siantar terletak diantara 3°01’09”-2
54’00” Lintang Utara dan 99°06’-99 01’ Bujur Timur. Kota ini terletak pada
ketinggian 400 meter diatas permukaan laut. Seluruh kota Pematangsiantar
memiliki luas wilayah 79,07 kilometerpersegi. Kota Pematangsiantar mempunyai
iklim tropis dengan suhu minimum antara 23,2-24,1 Celcius dan suhu maksimum
berkisar antara 30,6-34,1 Celcius. Selain itu, karena letaknya hanya 400 di atas
permukaan laut maka suhu di daerah ini umumnya tidak terlalu dingin (BPS
Pematangsiantar, 2015)
Jumlah penduduk di Kota Pematangsiantar tahun 2015 sebanyak 249.985
jiwa, dengan rumah tangga sebanyak 55.656 rumah tangga. Dengan luas wilayah
sekitar 79,97 kilometer persegi, maka tingkat penduduk Kota Pematangsiantar
kira-kira 3.100 jiwa perkilometer persegi. Sebagian besar penduduk hidup sebagai
18 pegawai, karyawan, pedagang dan wiraswasta, dan hanya sebagian kecil yang
hidup sebagai petani.
Pematangsiantar adalah kota yang majemuk, baik dalam hal suku maupun
agama. Meskipun kota ini dikelilingi Kabupaten Simalungun, namun data statistik
menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kota Pematangsiantar adalah suku
Batak Toba (Tapanuli) sebanyak 47,4 persen, disusul oleh suku Jawa diurutan
kedua sebanyak 25,5 persen, kemudian Simalungun 6,6 persen diurutan ketiga.
Selebihnya adalah Mandailing dan Angkola 5,6 persen, Tionghoa 3,7 persen,
Minangkabau 2,4 persen, dan Karo 1,7 persen. Sisanya adalah Melayu , Pakpak,
Aceh dan sebagainya. Agama yang dianut pun beraneka ragam. Mayoritas adalah
Kristen Protestan sebanyak 44,4 persen, disusul oleh Islam 43,6 persen, Katolik 5
Pematangsiantar, 2015). Data ini dapat dijabarkan dalam bentuk tabel dan bagan
[image:45.595.100.510.208.434.2]sebagai berikut.
Tabel 4.3
Distribusi Penduduk Kota Pematangsiantar Berdasar Kelompok Etnik
No Etnik Jumlah Persentase
1. Batak Toba 118.493 47,4 %
2. Jawa 63.747 25,5 %
3. Simalungun 16.499 6,6 %
4. Mandailing-Angkola 13.999 5,6 %
5. Tionghoa 9.250 3,7 %
6. Minangkabau 5.999 2,4 %
7. Karo 4.250 1,7 %
8. Melayu, Pakpak, Aceh, dan Lainnya
17.748 7,1 %
Total 249.985 jiwa 100%
Sumber: BPS Kota Pematangsiantar, 2015
Berdasarkan kajian wilayah budaya, maka Kota Pematangsiantar pada
awalnya, sebelum menjadi kota multikultural, adalah kawasan yang menjadi
bagian dari kebudayaan etnik Simalungun. Secara umum, etnik Simalungun ini
memiliki budaya Simalungun. Kebudayaan Simalungun berdasarkan kepada
pendukung utamanya yaitu etnik Simalungun yang memiliki konsep-konsep hidup
mereka yang khas.
Menurut J. Damanik dalam bukunya yang bertajuk Jalannya Hukum Adat
Simalungun bahwa istilah simalungun berasal dari pokok kata lungun yang artinya
sunyi atau sepi. Ditambah awalan kata ma menjadi malungun yang berarti suatu
untuk menamakan suatu tempat. Jadi simalungun berarti suatu nama bagi areal
tanah yang disebut sunyi dan belum dikenal orang.
Pada masa-masa awal terbentuknya kebudayaan masyarakat Simalungun,
masih relatif jarang penghuninya. Kini telah berubah seiring dengan
perkembangan zaman, dengan dibukanya perkebunan-perkebunan sawit, coklat
dan getah. Masyarakat Jawa datang ke daerah ini sejak abad ke-19, yang
umumnya sebagai buruh di perkebunan-perkebunan Belanda. Setelah habis masa
kerja di perkebunan, mereka membuka perkampungan sendiri. Kini menjadi
Daerah Kabupaten Simalungun, yang umumnya dihuni oleh etnik Simalungun dan
Jawa.
Sebelumnya, kira-kira tahun 500–1290 Masehi di daerah Simalungun telah
berdiri sebuah kerajaan, yang disebut Kerajaan Nagur dipimpin seorang raja yang
bernama Damanik (Jahutar Damanik 1974:33). Rakyatnya disebut suku Timur
Raya, karena daerah Simalungun ini terletak di Timur Danau Toba (M.D. Purba,
1977:21). Setelah masa pemerintahan Kerajaan Nagur berakhir, maka digantikan
oleh Kerajaan Silou (1290-1350).
Sebelum tahun 1500, wilayah Simalungun terlepas dari Kerajaan Silou,
sehingga masing-masing wilayah memegang kekuasaan masing-masing. Tahun
1500-1906 di Simalungun berdiri empat kerajaan yang disebut Raja Maroppat.
Kerajaan ini terdiri dari: (1) Kerajaan Dolok Silou dan (2) Kerajaan Panei
masing-masing dengan rajanya bermarga Purba; (3) Kerajaan Siantar yang rajanya
bermarga Damanik; dan (4) Kerajaan Tanah Jawa yang rajanya bermarga Sinaga.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, Simalungun
kemudian sesuai dengan semangat reformasi sejak 2000 yang lalu berubah
menjadi Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsianta