• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)

Ikan bawal air tawar merupakan ikan ekonomis penting, baik pada tingkat benih sebagai ikan hias maupun pada tingkat dewasa sebagai ikan konsumsi. Sebagai ikan hias, disamping mempunyai bentuk tubuh yang khas dan warna yang menarik (sehingga disebut red belly), juga dapat berenang cepat dan mudah dipelihara dalam akuarium. Sedangkan sebagai ikan konsumsi, ikan ini sangat digemari masyarakat karena mempuyai daging yang tebal dan gurih, serta cepat pertumbuhannya (Haetami, dkk., 2005).

Ikan bawal air tawar memilki 2 buah sirip punggung yang letaknya agak bergeser ke belakang. Sirip perut dan sirip dubur terpisah, sedangkan sirip ekor berbentuk homocercal. Ikan bawal memiliki bibir bawah menonjol dan memiliki gigi besar serta tajam untuk memecah bibi-bijian atau buah-buahan yang ditelannya. Lambung ikan bawal air tawar berkembang baik dan memiliki 43-75 buah cecapylorica. Panjang usus berkisar 2 - 2,5 kali panjang badan. Ikan bawal memiliki insang permukaan, sehingga permukaan pernapasannya lebih luas dari pada jenis ikan lain. Permukaan pernapasan yang luas ini memungkinkan ikan bawal air tawar mampu bertahan hidup pada perairan yang memiliki kandungan oksigen rendah. Pada kondisi perairan dengan kandungan oksigen terlarut kurang dari 0,5 mg/l masih memungkinkan ikan ini dapat bertahan selama beberapa jam (Yulianti, 2007). Deskripsi ikan bawal air tawar dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)

Klasifikasi dan tatanama ikan bawal air tawar menurut Kottelat, dkk., (1993) adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata Subfilum : Craniata Kelas : Pisces Subkelas : Neopterigii Ordo : Cypriniformes Subordo : Cyprinoidea Famili : Characidae Genus : Colossoma

Spesies : Colossoma macropomum

Pakan alami ikan bawal air tawar adalah plankton, rumput-rumputan, biji-bijian, buah-buahan dan padi-padian liar. Ikan bawal yang dipelihara dalam kolam cenderung ganas dan buas, suka menyerang ikan-ikan lain yang lemah dan

berukuran kecil. Oleh karena itu pembesaran ikan bawal sebaiknya dilakukan secara monokultur di kolam air tenang tanpa pergantian air, kolam air mengalir (kolam air deras) dan jala apung yang dipasang di pinggir waduk atau danau (Yulianti 2007).

Bawal air tawar menjadi ikan hias boleh dibilang wajar karena bentuk tubuhnya cukup unik, pipih seperti ikan discus. Selain itu, warnanya menarik, gerakannya mempesona dan mempunyai sifat bergerombol bila dipelihara dalam jumlah banyak. Oleh karenanya, ikan ini terutama yang masih kecil sering dipelihara dalam akuarium yang dipajang dalam rumah. Menjadi ikan konsumsi, bawal pun juga boleh dibilang wajar karena pertumbuhannya cepat dan dapat mencapai ukuran besar (500gram) (Arie, 2000).

Kualitas Air Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)

Mutu Air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Sedangkan baku mutu lingkungan adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/ atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup (Purwanta, 2013).

Kualitas air dinyatakan dalam beberapa parameter, yaitu parameter fisika (suhu, kekeruhan, padatan terlarut), parameter kimia (pH, oksigen terlarut, BOD,

kadar logam), dan parameter biologi (keberadaan plankton, dan bakteri) (Syauqi, 2009). Ikan bawal air tawar termasuk tidak banyak menuntut lingkungan bagus sebagai media hidupnya. Ikan ini mampu bertahan pada perairan yang kondisinya jelek sekalipun, namun akan tumbuh dengan normal dan optimal pada perairan yang sesuai dengan persyaratan habitatnya. Kisaran kualitas air yang optimal untuk ikan bawal air tawar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kualitas air yang optimal untuk ikan bawal air tawar (Colossoma Macropomum).

Parameter Nilai Sumber

Suhu 27-290C

Oksigen Terlarut 2,4-6 mg/l Djarijah (2001) Karbondioksida Maksimal 5,6 mg/l

pH 7-8

Amoniak Maksimal 0,1 mg/l

Nitrit Maksimal 1 mg/l Effendi (2003)

Alkalinitas 50-300 mg/l CaCO3 Sumber : Syauqi (2009)

Limbah Cair Industri Tahu

Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu maupun pada saat pencucian kedelai. Limbah yang dihasilkan berupa limbah padat dan cair. Limbah padat industri tahu belum dirasakan dampaknya karena limbah padat industri tahu bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Air banyak digunakan sebagai bahan pencucian dan merebus kedelai untuk proses produksinya. Akibat dari banyaknya pemakaian air dalam proses pembuatan tahu maka limbah cair yang dihasilkan juga cukup besar. Limbah cair industri tahu memiliki beban pencemar yang tinggi. Pencemaran limbah cair industri tahu

berasal dari bekas pencucian kedelai, perendaman kedelai, air bekas pembuatan tahu dan air bekas perendaman tahu (Agung dan Hanry, 2009).

Limbah industri tahu pada umumnya dibagi menjadi dua bentuk limbah, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat pabrik pengolahan tahu berupa kotoran hasil pembersihan kedelai (batu, tanah, kulit kedelai, dan benda padat lain yang menempel pada kedelai) dan sisa saringan bubur kedelai yang disebut dengan ampas tahu. Limbah padat yang berupa kotoran berasal dari proses awal (pencucian) bahan baku kedelai dan umumnya limbah padat yang terjadi tidak begitu banyak (0,3)% dari bahan baku kedelai. Limbah cair pada proses produksi tahu berasal dari proses perendaman, pencucian kedelai, pencucian peralatan proses produksi tahu, penyaringan dan pengepresan/pencetakan tahu. Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut dengan air dadih. Cairan ini mengandung kadar protein yang tinggi dan dapat segera terurai. Limbah ini sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga menghasilkan bau busuk dan mencemari lingkungan (Kaswinarni, 2007).

Air buangan dari proses pembuatan tahu ini menghasilkan limbah cair yang menjadi sumber pencemaran bagi manusia dan lingkungan. Limbah tersebut, bila dibuang ke perairan tanpa pengolahan terlebih dahulu dapat mengakibatkan kematian makhluk hidup dalam air termasuk mikroorganisme (jasad renik) yang berperan penting dalam mengatur keseimbangan biologis air, oleh karena itu penanganan limbah cair secara dini mutlak perlu dilakukan (Husin, 2008).

Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu

Suhu buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu yang meningkat di lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, serta tegangan permukaan. Suhu limbah cair yang dihasilkan dari proses pencetakan tahu 30°C-35°C dan sekitar 80°C-100°C dari air bekas merebus kedelai. Senyawa-senyawa organik di dalam air buangan tersebut dapat berupa protein, karbohidrat, lemak dan minyak. Senyawa-senyawa berupa protein dan karbohidrat memiliki jumlah yang paling besar yaitu 40%-60% dan 25%-50% sedangkan lemak 10%. Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein (N-total) sebesar 226,06- 434,78 mg/l, sehingga masuknya limbah cair tahu ke lingkungan perairan akan meningkatkan total nitrogen di perairan tersebut (Husni dan Esmiralda, 2010).

Beberapa karakteristik limbah cair industri tahu yang penting antara lain : 1. Padatan tersuspensi , yaitu bahan-bahan yang melayang dan tidak larut dalam

air. Padatan tersuspensi sangat berhubungan erat dengan tingkat kekeruhan air, semakin tinggi kandungan bahan tersuspensi tersebut maka air akan semakin keruh.

2. Biochemical Oxygen Demand (BOD), merupakan parameter untuk menilai jumlah zat organik yang terlarut serta menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan oleh aktivitas mikroba dalam menguraikan zat organik secara biologis di dalam limbah cair. Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik terlarut yang tinggi.

3. Oksigen yang Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimiawi merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh oksidator untuk

mengoksidasi seluruh material baik organik maupun anorganik yang terdapat dalam air. Jika kandungan senyawa organik dan anorganik cukup besar, maka oksigen terlarut di dalam air dapat mencapai nol sehingga tumbuhan air, ikan dan hewan air lainnya yang membutuhkan oksigen tidak memungkinkan hidup.

4. Nitrogen – total (N-Total) yaitu fraksi bahan-bahan organik campuran senyawa kompleks antara lain asam-asam amino, gula amino dan protein (polimer asam amino). Dalam analisis limbah cair, N-Total terdiri dari campuran N-organik, N-Amonia, nitrat dan nitrit. Nitrogen organik dan nitrogen amonia dapat ditentukan secara analitik menggunakan metode Kjeldahl, sehingga lebih lanjut konsentrasi total keduanya dapat dinyatakan sebagai Total Kjeldahl Nitrogen (TKN). Senyawa-senyawa N-Total adalah senyawa-senyawa yang mudah terkonversi menjadi amonium (NH4+) melalui aksi mikroorganisme dalam lingkungan air atau tanah.

5. Derajat keasaman (pH). Air limbah industri tahu sifatnya cenderung asam pada keadaan asam ini akan terlepas zat-zat yang mudah menguap. Hal ini mengakibatkan limbah cair industri tahu mengeluarkan bau busuk (Husin, 2008).

Mortalitas

Mortalitas atau kematian adalah merupakan keadaan hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen yang dapat terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup (World Health Organization). Kematian dapat menimpa kapan saja dan dimana saja. Mortalitas merupakan ukuran jumlah kematian (umumnya, atau karena akibat yang spesifik) pada suatu populasi, skala besar suatu populasi,

per dikali satuan. Mortalitas khusus mengekspresikan pada jumlah satuan kematian per 1000 individu per tahun, hingga rata-rata mortalitas sebesar 9.5 berarti pada populasi 100.000 terdapat 950 kematian per tahun. Mortalitas berbeda dengan morbiditas yang merujuk pada jumlah individual yang memiliki penyakit selama periode waktu tertentu (Daelami, 2001).

Apabila pada perairan terdapat limbah organik dengan kadar yang cukup tinggi maka kadar oksigen terlarut cepat sekali mengalami pengurangan. Keadaan perairan dengan kadar oksigen terlarut yang sangat rendah maka akan berbahaya bagi organisme akuatik. Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (letal) maupun bukan kematian (sub letal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku dan karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik (Bosman dkk, 2013).

Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (lethal) maupun bukan kematian (sub-lethal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku, dan karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik. Polutan toksik ini biasanya berupa bahan – bahan yang bukan bahan alam,misalnya pestisida, detergen, dan bahan artifisial lainnya (Effendi, 2003).

Proses terjadinya mortalitas kelihatan berawal dari perubahan tingkah laku seperti dari gerakan normal menjadi gerakan tak menentu, tubuh membentuk garis vertikal dengan permukaan air, benih ikan jatuh ke dasar akuarium dan akhirnya ikan mati (Syafriadiman dkk, 2009). Pengaruh zat toksik terhadap ikan menyebabkan morfologi insang berubah dan tidak menyebabkan kematian dalam periode panjang. Selain itu, zat toksik dapat merusak fungsi respirasi dari insang sehingga proses metabolisme dalam tubuh terganggu dan menurunkan laju pertumbuhan (Kusriani dkk, 2012).

Rudiyanti dan Astri (2009) menyatakan bahwa ikan yang terkena racun bahan pencemar dapat diketahui dengan gerakan hiperaktif, menggelepar, lumpuh dan kemudian mati. Secara klinis hewan yang terkontaminasi racun memperlihatkan gejala stress bila dibandingkan dengan kontrol, ditandai dengan menurunnya nafsu makan, gerakan kurang stabil, dan cenderung berada di dasar. Hal ini diduga sebagai suatu cara untuk memperkecil proses biokimia dalam tubuh yang teracuni, sehingga efek lethal yang terjadi lebih lambat.

Uji Pendahuluan (Nilai Kisaran)

Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan batas kisaran kritis (critical range test) yang menjadi dasar dari penentuan konsentrasi yang digunakan dalam uji lanjutan atau uji toksisitas sesungguhnya, yaitu konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan kematian terkecil mendekati 50% (Husni dan Esmiralda, 2010).

Percobaan pada tahap pendahuluan ini bertujuan untuk mencari kisaran konsentrasi krisis bahan uji yang akan digunakan untuk penentuan LC50. Pengujian dihentikan setelah mencapai jam ke-48. Hewan uji yang mati pada waktu pengamatan segera dikeluarkan dari media uji untuk menghindari kemungkinan perubahan kualitas air yang bukan disebabkan oleh bahan uji. Hewan uji diamati pada tiap konsentrasi dan dihitung secara kumulatif dalam tiap jam. Disamping itu diamati pula tingkah laku hewan uji dalam wadah yang diberi perlakuan. Nilai LC50 ditentukan untuk tujuan penelitian nilai ambang batas yang layak di suatu lingkungan penelitian (Rumampuk, dkk., 2010).

Uji Toksisitas

Uji toksisitas dilakukan untuk mengevaluasi konsentrasi bahan kimia dan durasi pemaparan yang dibutuhkan agar dihasilkan kriteria efek. Efek dari suatu bahan kimia bisa jadi tidak signifikan dimana organisme perairan dapat melakukan seluruh aktivitasnya secara normal, dan hanya dengan keberadaan stress lingkungan (contoh : perubahan dalam pH, DO, dan suhu) bahan kimia tersebut menimbulkan dampak buruk yang terdeteksi dengan baik. Efek buruk juga dapat ditimbulkan oleh terjadinya interaksi antara bahan kimia minoritas (yang tidak terdeteksi pada awal uji) dengan bahan kimia utama yang diuji, walaupun tanpa kehadiran stress lingkungan. Uji toksisitas dilakukan untuk mengukur tingkatan respons yang dihasilkan oleh level spesifik dari suatu stimulus (konsentrasi bahan uji kimia) (Tahir, 2012).

Penelitian toksisitas sangat penting untuk mengetahui batas toksisitas dan konsentrasi aman, sehingga akan ada kerugian minimum untuk biota air kedepannya. Di antara beberapa penelitian tentang toksisitas, bioassay yang merupakan salah satu metode yang paling umum digunakan dalam studi lingkungan akuatik dengan organisme yang sesuai. Penggunaan ikan sebagai bioassay karena ikan dapat beradaptasi terhadap kondisi laboratorium serta ketersediaan mereka melimpah dan tingkat bervariasi kepekaan terhadap zat beracun (Damayanty dan Nurlita, 2013).

Limbah cair industri tahu yang dibuang ke badan air penerima tanpa pengolahan merupakan salah satu sumber pencemar terhadap perairan yang menyebabkan kematian biota aquatik sehingga perlu dilakukan penelitian uji toksisitas akut. Uji toksisitas akut merupakan salah satu bentuk penelitian

toksikologi perairan. Uji tersebut berfungsi untuk mengetahui apakah effluent

yang masuk ke badan air penerima mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi tertentu menyebabkan kematian hewan uji yang dinyatakan dalam nilai LC50. Hewan uji yang digunakan adalah ikan karena dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap senyawa pencemar terlarut dalam batas konsentrasi tertentu (Husni dan Esmiralda, 2010).

Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk menetapkan potensi toksisitas akut LD50, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik, dan mekanisme kematian. Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk mendeteksi adanya toksisitas suatu zat, menentukan organ sasaran dan kepekaannya, memperoleh data bahayanya setelah pemberian suatu senyawa secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk menetapkan tingkat dosis yang diperlukan untuk uji toksisitas selanjutnya (Soeksmanto dkk, 2010).

Uji toksisitas dibedakan menjadi uji toksisitas akut, subkronik, dan kronik. Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukkan Lethal dose atau disingkat LD50 suatu zat. LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara statistik diperkirakan akan membunuh 50% hewan percobaan (Assagaf dkk, 2013).

Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan uji merupakan salah satu bentuk penelitian toksikologi perairan yang berfungsi untuk mengetahui apakah efluen atau badan perairan penerima mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi yang menyebabkan toksisitas akut. Sehingga uji ini dapat digunakan dalam menilai kinerja suatu unit pengolahan. Parameter yang diukur biasanya berupa kematian hewan uji, yang hasilnya dinyatakan sebagai konsentrasi yang

menyebabkan 50% kematian hewan uji (LC50) dalam waktu yang relatif pendek (Esmiralda, 2010).

Uji toksisitas akut merupakan uji yang dirancang untuk mengevaluasi toksisitas relatif dari suatu bahan kimia terhadap organisme perairan tertentu dalam suatu pemaparan jangka pendek terhadap berbagai konsentrasi bahan kimia uji. Kriteria efek yang paling umum digunakan adalah kematian (pada ikan), ketiadaan gerakan/immobility dan kehilangan keseimbangan (pada avertebrata), dan pertumbuhan (pada alga). Uji toksisitas akut dapat dilakukan dengan suatu jangka waktu pemaparan yang telah ditentukan (time-dependent test) untuk mengestimasi LC50 24 jam atau LC50 96 jam atau mengestimasi EC50 48 jam. Akan tetapi, uji toksisitas akut juga dapat dilakukan dengan batas waktu pemaparan yang tidak ditentukan sebelumnya (time independent test) (Tahir, 2012).

Ketoksikan akut adalah derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi secara singkat (24 jam) setelah pemberian dalam dosis tunggal. Jadi yang dimaksud dengan uji toksisitas akut adalah uji yang dilakukan untuk mengukur derajat efek suatu senyawa yang diberikan pada hewan coba tertentu, dan pengamatannya dilakukan pada 24 jam pertama setelah perlakuan dan dilakukan dalam satu kesempatan saja. Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan potensi ketoksikan akut dari suatu senyawa dan untuk menentukan gejala yang timbul pada hewan uji. Data yang dikumpulkan pada uji toksisitas akut ini adalah data kuantitatif yang berupa kisaran dosis letal atau toksik, dan data kualitatif yang berupa gejala klinis (Atmojo, 2009).

Uji toksisitas secara kuantitatif dapat ditinjau dari lamanya waktu, yang dapat diklasifikasikan menjadi toksisitas akut, sub akut, dan kronis. Toksisitas akut adalah efek total pada dosis tunggal dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut bersifat mendadak, waktu singkat, biasanya reversibel. Dosis merupakan jumlah racun yang masuk ke dalam tubuh. Besar kecilnya dosis menentukan efek secara biologi (Ramdhini, 2010).

Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/multiple dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat, biasanya reversibel, yang secara statistik dapat menyebabkan kematian 50% dari hewan percobaan, dinyatakan dengan LC50. Nilai LC50 sangat berguna untuk menentukan klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya (Retnomurti, 2008).

LC50

Untuk mengetahui efek zat pencemar terhadap biota dalam suatu perairan, perlu dilakukan suatu uji toksisitas zat pencemar terhadap biota yang ada yaitu dalam bentuk Lethal Concentration (LC50). Jadi uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi besarnya konsentrasi toksikan dan durasi pemaparan yang dapat menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis. Salah satu biota yang dapat digunakan untuk uji toksisitas adalah ikan, dengan syarat harus mempunyai kepekaan tinggi; memenuhi syarat umur, berat, dan panjang; serta sesuai dengan ikan yang hidup di perairan yang tercemar (Pratiwi dkk, 2012).

Parameter Kualitas Air

Untuk menghindari terjadinya wabah penyakit akibat kualitas air yang tidak baik, sebaiknya air yang akan dimanfaatkan untuk memelihara ikan dianalisis terlebih dahulu. Pemeriksaan air ditujukan terhadap sifat fisika, kimia, dan keadaan biota air lainnya, khususnya makhluk hidup yang berpotensi mengganggu kehidupan ikan, baik berupa pemangsa (predator), penyaing (kompetitor), ataupun jasad penyebab penyakit (pathogen). Dengan demikian, air yang digunakan benar-benar layak bagi kehidupan ikan yang akan dipelihara (Daelami, 2001).

1. Oksigen terlarut

Oksigen yang diperlukan biota air untuk pernapasannya harus terlarut dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga bila ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota akan terhambat. Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai kepentingan pada dua aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang tergantung pada metabolisme ikan. Perbedaan kebutuhan oksigen dalam suatu lingkungan bagi ikan dari spesies tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan struktur molekul sel darah ikan, yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam dalam sel darah (Kordi dan Tancung, 2007).

2. Suhu

Semua jenis ikan umumnya mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu air yang mendadak. Oleh karena itu, terjadinya kenaikan maupun penurunan yang besar dan mendadak akan berakibat kurang baik bagi kehidupan ikan.

Perubahan suhu ini dampaknya akan tampak jelas terutama bila terjadi perubahan dari dingin ke panas. Dampak yang jelas terlihat adalah stress dengan gejala ikan berenang melonjak-lonjak, mengapung dan bernafas di permukaan, serta terjadi kematian bila hal tersebut berlangsung relatif lama. Kisaran suhu yang baik bagi kepentingan budidaya ikan adalah antara 25-32 0C. Kisaran suhu ini umumnya terjadi di daerah beriklim tropis, seperti Indonesia. Dengan demikian, Indonesia mempunyai kondisi yang menguntungkan untuk usaha budidaya ikan (Daelami, 2001). Suhu air mempengaruhi kelarutan oksigen. Kenaikan temperatur dapat menyebabkan menurunnya kelarutan oksigen di perairan. Apabila ikan mengalami kekurangan oksigen maka sistem fisiologis dalam tubuhnya tidak akan berfungsi dengan baik sehingga dapat menyebabkan stres (Sipahutar, dkk., 2013). 3. Derajat keasaman (pH)

Keadaan pH yang dapat mengganggu kehidupan ikan adalah pH yang terlalu rendah (sangat asam) atau sebaliknya terlalu tinggi (sangat basa). Setiap jenis ikan akan memperlihatkan respon yang berbeda terhadap perubahan pH dan dampak yang ditimbulkannya berbeda (Daelami, 2001).

4. Amoniak

Amoniak di perairan berasal dari hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari dekomposisi bahan organik (biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonifikasi (Effendi, 2004). Bentuk amoniak di air yang berbahaya karena merupakan racun bagi ikan adalah bentuk amoniak (NH3) bukan ion. Bentuk amoniak lain seperti ion amoniak (NH4+) tidak berbahaya, kecuali bila konsentrasinya sangat tinggi.

Tingkat daya racun amoniak (NH3) pada air kolam bisa mematikan ikan pada batas 0,1-0,3 mg/l, sedang pada tingkat konsentrasi amoniak (NH3) antara 0,6-2,0 mg/l hanya dapat meracuni ikan jika terjadi kontak yang berlangsung secara singkat (Daelami, 2001).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu industri kecil yang banyak mendapat sorotan dari segi lingkungan adalah industri kecil tahu. Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah padat (Rahayu, dkk., 2012). Limbah tahu banyak mengandung protein dan karbohidrat tinggi sehingga pembusukan oleh mikroorganisme pembusuk sangat mudah terjadi. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri ini memiliki potensi pencemaran lingkungan yang cukup tinggi bila langsung dibuang ke badan air. Air limbah tersebut mengandung bahan organik, bila langsung dibuang kebadan air penerima tanpa adanya proses pengolahan maka akan menimbulkan pencemaran, seperti menimbulkan rasa dan bau yang tidak sedap dan berkurangnya oksigen yang terlarut dalam air sehingga

Dokumen terkait