• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pestisida

Pestisida merupakan serangkaian senyawa alamiah maupun sintetis berbagai unsur kimia yang memiliki kemampuan untuk membunuh organisme pengganggu, terutama ditujukan untuk jenis-jenis tertentu. Penggunaan pestisida di bidang pertanian, terutama di negara-negara berkembang mencakup lebih dari 90 % konsumsi pestisida domestik (Kusno, 1995).

Menurut Lodang (1994), penggunaan pestisida disamping dapat memberikan keuntungan juga dapat menimbulkan kerugian. Keuntungan yang didapat antara lain: 1) dapat meningkatkan produksi pertanian dan hasil yang cepat; 2) aplikasi di lapangan relatif mudah; 3) dapat digunakan pada areal yang luas dalam waktu yang relatif singkat; 4) dapat diaplikasikan setiap waktu, dengan memperhatikan keadaan cuaca; 5) dapat diperoleh dengan mudah; 6) harga relatif murah dan memberikan keuntungan ekonomi. Kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida adalah:1) mempertinggi resistensi hama; 2) membunuh makhluk lain yang bukan sasaran; 3) gangguan toksik pada manusia bertambah sehubungan dengan bertambahnya volume dan intensitas penggunaan; 4) produk pertanian akan mengandung residu pestisida yang akan mengancam kesehatan para konsumen, terutama petani dan keluarganya; 5) kontaminasi global akibat mobilitas yang tingi, terutama oleh pestisida yang persisten; 6) mengganggu keseimbangan dalam rantai makanan sehingga akan menganggu ekosistem secara keseluruhan; 7) bertambahnya resiko efek sinergik interaksi antara bermacam-macam pestisida; 8) kemungkinan akan terjadi efek genetik jangka panjang akibat dosis subletal pestisida persisten.

Connel dan Miller (1995) menyatakan dampak penggunaan pestisida berkaitan erat dengan sifat dasar yang penting terhadap efektifitas pestisida, yaitu: 1)

pestisida cukup beracun untuk mempengaruhi seluruh kelompok taksonomi biota, termasuk makhluk bukan sasaran, sampai batas tertentu bergantung pada faktor fisiologi dan ekologi: 2) banyak pestisida yang dapat bertahan terhadap degradasi lingkungan akibatnya dapat bertahan dalam suatu daerah yang diberi perlakuan, sehingga keefektifannya dapat diperkuat. Sifat ini memberikan pengaruh jangka panjang dalam ekosistem alamiah.

Pestisida Dalam Lingkungan Perairan

Perairan adalah sebagai suatu tempat penampungan utama bagi residu pestisida yang persisten. Pencemaran pestisida terhadap sumberdaya dan lingkungan perairan mengakibatkan kematian hewan dan biota akuatik lainnya, penurunan produktifitas, penurunan kualitas lingkungan dan kualitas ikan.

Masuknya pestisida ke dalam perairan melalui berbagai jalur, antara lain: pemakaian langsung untuk membasmi hama tanaman, buangan limbah perkotaan dan industri, limpasan dari areal persawahan, pencucian melalui tanah, penimbunan aerosol dan partikulat, curah hujan dan penyerapan fase uap pada antar fase udara-air (Connel dan Miller, 1995). Di dalam lingkungan, pestisida diserap oleh berbagai komponen lingkungan kemudian berpindah tempat (Tarumingkeng, 1992). Komponen lingkungan seperti unsur-unsur hayati, suhu, air atau udara kemudian mengubah bahan aktif pestisida melalui proses kimia dan biokimia menjadi bahan lain yang masih beracun atau bahan yang toksisitasnya telah hilang sama sekali.

Aliran pembuangan pestisida beragam menurut laju arus air permukaan dan jenis tanah, sedangkan pencucian mula-mula bergantung pada adsorbsi/desorbsi antara konstituen tanah dan pergolakan air yang melaluinya (Robinson, 1973). Kelarutan suatu bahan aktif pestisida di dalam air merupakan faktor penting yang akan menetukan persistensinya di lingkungan perairan. Pengaruh langsung pestisida dapat terjadi pada jaringan tubuh ikan, sedangkan pengaruh tidak langsung dapat terjadi dengan berkurangnya organisme pakan ikan sehingga menghambat pertumbuhan ikan.

Penyerapan residu pestisida yang terdapat dalam perairan oleh hewan air dapat terjadi melalui berbagai cara, seperti mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi, pengambilan dari air melalui membran insang, difusi kultikular serta penyerapan langsung dari sedimen (Livingstone, 1977). Penyerapan residu pestisida bergantung pada besarnya residu, sifat fisika-kimia, sifat bioakumulatif dan toksisitasnya, maka keracunan yang ditimbulkannya dapat bersifat letal maupun subletal (Kusno, 1995).

Berkaitan dengan bahaya yang ditimbulkan oleh pestisida terhadap ikan, Komisi Pestisida (1983) dan Koesoemadinata, (2003) mengklasifikasikan pestisida berdasarkan pada nilai LC50-96 jam seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi pestisida berdasarkan toksisitasnya terhadap ikan

Tingkat LC50-96 jam (ppm) Evaluasi toksisitas

A B C D < 1 1 – 10 10 – 100 > 100 Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah

Komisi pestisida (1983) dan Koesoemadinata, (2003)

Niklosamida

Moluskisida niklosamida dengan nama kimia 2′,5- dichloro-′4 nitrosalicylanilide (UPAC), rumus empiris C13H8Cl2N2O4 dan rumus bangun seperti

pada Gambar 2. Niklosamida adalah berbentuk pekatan yang dapat diemulsikan, berwarna bening kecoklatan titik didih 230 0C : titik uap < 1 mPa (20 0C); kelarutan dalam air 5-8 mg/l pada suhu ruangan, stabil terhadap kondisi panas serta dapat terurai dalam air pada konsentrasi asam dan alkalis (Worthing, 1987). Moluskisida niklosamida berdasarkan cara kerja termasuk racun kontak dan pernafasan (Sekretariat Jenderal Deptan. 2007).

Gambar 1. Rumus bangun niklosamida (Worthing, 1987) Toksisitas subletal

Pengaruh toksisitas subletal pestisida secara tidak langsung dapat menyebabkan penurunan kesempatan untuk menyelamatkan diri atau perkembang biakan dalam populasi alamiah. Pengaruh yang spesifik adalah banyak dan beragam, serta berhubungan dengan spektrum yang luas tanggapan fisiologis dan perilaku, seperti perubahan dalam produksi enzim, laju pertumbuhan, perkembang biakan (Hurlbert, 1975; McEwen dan Stephenson, 1975 dalam Connel dan Miller, 1995). Menurut Schmittou (1991), tekanan lingkungan yang disebabkan oleh pengaruh pestisida yang bersifat subletal juga merupakan faktor eksternal yang akan menyebabkan direduksinya pertumbuhan ikan.

Pengaruh toksisitas subletal suatu toksikan terhadap organisme yang daya racunnya tidak menyebabkan kematian secara langsung pada organisme, tetapi menyebabkan gangguan pertumbuhan, reproduksi, kebiasaan makan (Abel, 1989). Pengamatan yang dapat dilakukan antara lain pertumbuhan, hematologi (kadar hematokrit, kadar hemoglobin, jumlah eritrosit dan jumlah leukosit) dan histopatologi (insang, hati dan ginjal) (Heat, 1987).

Pertumbuhan

Aziz (1989) menyatakan pertumbuhan ikan merupakan suatu pola kejadian yang kompleks dan melibatkan banyak faktor yang berbeda. Selanjutnya menurut Effendi (1979) pertumbuhan adalah perubahan ukuran, baik panjang, berat maupun volume, sehubungan dengan perubahan waktu.

Proses pertumbuhan pada ikan mulanya berlangsung lambat, kemudian cepat, dan akhirnya lambat kembali. Pertumbuhan yang demikian disebut autocatalytic.

Dengan demikian ikan muda akan mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ikan tua. Ikan tua tetap mengalami pertumbuhan, walaupun berlangsung secara lambat (Effendi, 1979). Selanjutnya dikatakan bawa pertumbuhan ikan dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang meliputi: genetik, seks, umur, daya tahan terhadap penyakit dan parasit. Faktor eksternal meliputi: kompetisi pada populasi, makanan, tingkatan trofik, energi matahari dan keadaan fisika-kima lingkungan.

Hematologi

Darah pada ikan berfungsi membawa ion-ion anorganik (Na+, Mg+2, Cl-) dan senyawa organik seperti hormon, vitamin, dan beberapa protein plasma. Protein plasma berperan dalam respon kekebalan tubuh, penyangga perubahan pH darah dan pengaturan tekanan osmotik (Bond, 1979).

Fungsi darah pada ikan untuk mengedarkan zat makanan hasil pencernaan dan oksigen ke sel-sel tubuh serta membawa hormon dan enzim ke organ yang memerlukannya. Beberapa parameter yang dapat memperlihatkan perubahan pada darah adalah kadar hematokrit (Ht), kadar hemoglobin (Hb), jumlah sel darah merah (leukosit) dan jumlah sel darah putih (leukosit)) (Lagler et al., 1977).

Hematokrit

Hematokrit (Ht) merupakan perbandingan antara volume sel darah merah dengan plasma darah (Bond, 1979). Menurunnya kadar hematokrit dapat sebagai indikasi rendahnya protein dalam pakan, defisiensi vitamin atau ikan dapat infeksi, sedangkan meningkatnya kadar hematokrit menunjukkan ikan dalam keadaan stress (Wedemeyer & Yasutake, 1977 dan Anderson & Siwick, 1983). Hematokrit dalam darah ikan mas pada kondisi normal adalah sebanyak 27,1% (Peter dan Cech, 1990

dalam Affandi dan Tang, 2002)

Hemoglobin (Hb)

Sel darah merah mengandung hemoglobin yang merupakan suatu protein dalam eritrosit. Hemoglobin berperan dalam proses pengangkutan oksigen dalam darah dan kadar hemoglobin dalam darah ikan berkaitan dengan jumlah eritrosit (Lagler et al., 1977).

Hemoglobin berkaitan dengan eritrosit yaitu kadar atau kandungan eritrosit matang dalam aliran darah. Rendahnya Hb menunjukkan ikan anemia, sedangkan tingginya Hb berkaitan dengan kondisi stres (Blaxhall, 1972)

Kadar hemoglobin dalam darah ikan teleostei berkisar antara 37-100% Hb setara dengan 14 gram dalam 100 ml darah dan dalam keadaan sakit akut kadar Hb pada ikan akan turun hingga 27 % (Lucky, 1977). Angka (1983), kadar hemoglobin pada ikan mas dewasa adalah 8,61 ± 0,43 - 10,86 ± 48 (gram per 100 cc volume darah), sedangkan menurut Peter dan Cech, (1990) dalam Affandi dan Tang (2002) kadar Hb dalam darah ikan mas 6,40.

Eritrosit

Warna eritrosit merah kekuningan, bentuk lonjong, kecil dan berukuran 7-36 mikron (Lagler et al., 1977). Darah ikan sebagian besar terdiri dari sel-sel darah merah yang jumlahnya diperkirakan mencapai 4 juta sel/mm3. Sel darah merah ikan memiliki inti sel yang ukurannya bervariasi antar spesies. Sel darah merah tersebut mengandung hemoglobin dan berfungsi membawa oksigen dari insang ke berbagai jaringan (Moyle dan Cech, 1981).

Menurut Angka (1990) volume sel darah merah 100cc volume darah pada ikan mas dewasa berkisar 30,92 ± 0,43% dan 37,4 ± 1,67% dan jumlah sel darah merah per 1cc darah ikan mas (1,61 ± 0,06) x 106 sel sampai (2,04 ± 0,09) x 106 sel. Eritrosit yang terdapat dalam darah ikan mas dalam kondisi normal adalah 1,43 sel x 106/mm3 (Peter dan Cech, 1990 dalam Affandi dan Tang 2002).

Leukosit

Menurut Angka (1990), jumlah sel leukosit dalam 1cc darah merah ikan berkisar antara (14,70 ± 0,32) x 103 sel – (19,35 ± 0,42) x 103 sel. Affandi dan Tang (2002), sel darah putih pada ikan tidak berwarna dengan jumlah berkisar 20.000 – 150.000 butir, dan dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: agranulosit dan granulosit. agranulosit digolongkan menjadi limfosit, monosit dan trombosit, seangkan granulosit dibagi menjadi basofil, eoseonofil dan neutrofil.

Histopatologi adalah metode yang sensitif dan secara biologis bernilai untuk mengukur efek stres lingkungan terhadap hewan (jaringan), Perubahan histopatologi ini sebagai indikator penting faktor stres lingkungan yang dialami sebelumya dimana perubahannya secara biokimia dan fisiologi. Perubahan ini bisa digunakan untuk meramal efek yang mungkin terjadi seperti pertumbuhan, reproduksi, menghindarkn diri dari predator, dan stabilisasi populasi yang terjadi pada tingkat yang lebih tinggi (MacKim, 1985; Meyer dan Hendricks 1985 dalam Hinton dan Laurtn, 1990)

Insang merupakan organ osmoregulasi, yaitu melakukan berbagai fungsi fisiologis, meliputi peredaran gas, regulasi ion, mempertahankan keseimbangan asam basa, dan ekskresi bahan buangan senyawa nitrogen, selain itu insang terus menerus berhadapan polutan di lingkungan medium (Hinton and Laurtn, 1990).

Hati penting dalam nutrisi dan pertahanan tubuh sebagai respon terhadap toksikan asal luar tubuh, selain itu merupakan aspek penting bagi nutrisi meliputi simpanan lemak dan karbohidrat (Hinton and Laurtn, 1990).

Ginjal berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang tidak dibutuhkan termasuk polutan (niklosamida). Ginjal merupakan organ osmoregulasi, walaupun ginjal juga berfungsi dalam immunitas sel. Ginjal ikan menerima sebagian besar darah postbranchial, dan luka ginjal sebagai indikator polusi lingkungan (Hinton and Laurtn, 1990).

Kualitas air

Suhu berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung seperti terhadap aktifitas enzim, tingkat metabolisme maupun kadar oksigen. Tingkat penyerapan racun dapat lebih tingi dengan adanya kenaikan suhu (Macek et al., dalam Arianti, 2002). Bahan polutan cenderung lebih beracun pada air dengan tingkat kesadahan rendah dan nilai pH yang stabil, sedangkan pada kesadahan tingi cenderung menurunkan toksisitas dari polutan.

Toksisitas pestisida dalam air akan meningkat dengan berkurangnya konsentrasi oksigen. Hal ini terjadi karena peningkatan tingkat respirasi, sehingga racun yang terpapar pada tubuh ikan akan semakin besar (Mason, 1992). Penurunan konsentrasi oksigen dan peningkatan konsentrasi karbondioksida dapat menyebabkan

stres pada ikan sehingga ketahanan ikan terhadap pestisida akan menurun, akibatnya kan mempengaruhi toksisitas pestisida terhadap ikan (Arianti, 2002) Rendahnya oksigen terlarut dalam tubuh ikan akan meningkatkan toksisitas pestisida terhadap ikan. Boyd (1990) mengemukakan bahwa keberadaan amonia akan mereduksi masuknya oksigen ke dalam tubuh ikan, hal ini disebabkan insangnya yang rusak.

Dokumen terkait