• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Ikan Mas

Ikan mas sebagai ikan yang hidup di dalam air tawar memiliki sifat yang sangat adaptif terhadap lingkungan hidup yang baru. Sifat yang adaptif dari ikan mas tersebut membuat ikan mas dengan segala macam varietas (strain) nya dapat hidup dalam perairan air tawar di segala penjuru dunia, Klasifikasi ikan mas dimaksudkan untuk memasukkan ikan mas dalam kelompok hewan berdasarkan bentuk tubuh dan sifat-sifatnya. Cara pengelompokkan hewan demikian dipelajari dalam cabang ilmu biologi yang disebut ilmu taksonomi hewan. Ikan mas menurut Narantaka (2012) dalam ilmu taksonomi hewan diklasifikasikan sebagai berikut: Phyllum : Chordata Subpyllum : Vertebrata Superclass : Pisces Class : Osteichthyes Subclass : Actinopterygii Ordo : Ostariophysi

Sub Ordo : Cyprinoidea

Famili : Cyprinidea

Sub Famili : Cyprininae

Genus : Cyprinus

Morfologi Ikan Mas

Sirip punggung ikan mas memanjang dan bagian permukaannya terletak berseberangan dengan permukaan sirip perut (vental). Sirip punggungnya (dorsal) berjari-jari keras, sedangkan dibagian akhir bergerigi. Seperti halnya sirip punggung, bagian belakang sirip dubur (anal) ikan mas ini pun berjari-jari keras dan bergerigi pada ujungnya. Sirip ekornya menyerupai cagak memanjang simetris hingga ke belakang tutup insang. Sisik ikan mas relatif besar dengan tipe sisik lingkaran (cycloid) yang terletak beraturan. Garis rusuk atau gurat sisi (linea

lateralis) yang lengkap terletak di tengah tubuh dengan posisi melintang dari tutup

insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor (Pribadi, 2002). Morfologi ikan mas dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini :

Gambar 2. (a) Benih ikan mas (b) Induk ikan mas

Habitat Ikan Mas

Habitat ikan mas adalah dalam air tawar. Namun ikan mas dapat hidup juga di daerah muara sungai yang airnya payau. Berdasarkan sifat ikan mas ini, masyarakat di beberapa daerah telah mencoba membudidayakan ikan mas di dalam tambak yang airnya payau dengan kadar garam atau salinitas payau antara 20-30 permil. Suhu air yang ideal untuk tempat hidup ikan mas adalah terletak

pada kisaran antara 25- 300 C, ikan mas menyantap semua jenis bahan makanan, baik yang berasal dari tumbuhan maupun binatang renik sehingga hewan ini digolongkan kedalam hewan pemakan segala atau omnivore (Narantaka, 2012).

Surfaktan (Zat Aktif Permukaan)

Menurut Nida (2004) Surfaktan adalah molekul senyawa organik yang terdiri atas dua bagian yang mempunyai sifat berbeda, yaitu bersifat hidrofobik dan bagian yang bersifat hidrofilik.

Ditinjau dari struktur kimianya, surfaktan dibedakan menjadi dua, yaitu rantai lurus yang dikenal dengan Linear alkil benzeneasulfonat (LAS) dan rantai bercabang yang dikenal dengan alkilbenzenasulfonat (ABS) dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini :

a. Liniear alkil sulfonat (LAS)

b. Alkil benzen sulfonat (ABS)

Gambar 3. (a) Struktur kimia Linear alkil benzeneasulfonat (LAS), (b) bentuk struktur alkilbenzenasulfonat (ABS).

Surfaktan sintetik yang biasa digunakan dalam deterjen dibagi menjadi 3 macam yaitu :

a. surfaktan anionik adalah garam-garam Na dan terionisasi untuk menghasilkan Na+ dan ion aktif permukaan (surface active ion) yang bermuatan negatif. Kelompok ini merupakan jumlah yang terbesar yang beredar di pasaran karena banyak dipakai untuk tujuan domestik.

b. Surfaktan sintetis nonionik tidak terionisasi dalam air, kemampuan deterjen ini untuk larut dalam air tergantung pada kelompok-kelompok dalam molekul deterjen. Etoksilat, tidak berubah menjadi partikel yang bermuatan, busa yang dihasilkan sedikit, tapi dapat bekerja di air sadah dan dapat mencuci dengan baik untuk hampir semua jenis kotoran.

c. Surfaktan sintetis kationik adalah garam-garam amonium hidroksida

(NH4OH) kuaterner. Senyawa-senyawa amonium kuaterner, berubah

menjadi partikel bermuatan positif bila dilarutkan dalam air, surfaktan ini biasanya digunakan untuk pelembut (Ermin dkk, 2006).

Nilai Ambang Batas

Daya racun tergantung pada kualitas dan kuantitas bahan tersebut. Dengan jumlah sedikit sudah membahayakan manusia itu tidak lain karena kualitasnya cukup memadai untuk membunuh. Untuk menghindari dampak yang diakibatkan limbah melalui udara selain menghilangkan sumbernya juga dilakukan pengendalian dengan penetapan nilai ambang batas. Nilai ambang batas adalah kadar tertinggi suatu zat di dalam udara yang diperkenankan, sehingga manusia dan makhluk hidup lainnya tidak mengalami gangguan penyakit atau menderita (Agusnar, 2008).

Dosis Versus Konsentrasi

Dosis sangat menentukan efek biologis yang bakal timbul. Oleh karena itu dikenal berbagai dosis yang berhubungan dengan efek tersebut, seperti : dosis letal (LD), misalnya LD10 ( mematikan 10 % dari hewan percobaan), LD50, LD100, min LD dosis terapeutik, dosis efektif, dosis toksik. Saat ini orang seringkali ingin mengetahui LD50 (dosis letal) ataupun LC50 (konsentrasi letal) dari suatu zat, yaitu dosis/konsentrasi yang mematikan 50% dari populasi percobaan (Soemirat, 2005).

Toksisitas Akut

LC50 96 jam berarti nilai yang menyebabkan 50% organisme mengalami kematian dalam waktu 96 jam. Pada lingkungan perairan, uji toksisitas akut dilaksanakan untuk mengestimasi konsentrasi medium letal (LC50 ) suatu bahan kimia dalam air, yaitu perkiraan konsentrasi bahan kimia yang menghasilkan efek

50% populasi jumlah hewan uji yang yang diuji pada kondisi tetap (Syakti dkk, 2012).

Uji Toksisitas Kronik

Kenyataan dari hasil uji toksisitas akut yang tidak menunjukkan dampak buruk dan membahayakan pada organisme uji tidak menjamin bahwa bahan kimia uji tersebut tidak bersifat toksik. Uji toksisitas kronik memungkinkan untuk melakukan evaluasi tentang kemungkinan efek buruk dan membahayakan dari bahan kimia, yang dilakukan dalam kondisi uji jangka panjang menggunakan konsentrasi subletal. Dalam suatu uji toksisitas kronik, organisme uji dipapar untuk suatu siklus reproduktif lengkap terhadap paling sedikit 5 konsentrasi bahan

uji. Uji toksisitas siklus hidup parsial (kronik parsial) melibatkan hanya sebagian siklus hidup, meliputi beberapa stadia hidup sensitif (Tahir, 2012).

Penentuan Nilai Toksisitas (LC50)

Untuk pengolahan data hasil pengujian toksisitas, atau untuk menentukan nilai LC50 digunakan metode analisis probit. Toksisitas letal dinyatakan dalam nilai median lethal consentration (LC50) yakni konsentrasi bahan uji yang dapat mematikan 50% ikan uji pada waktu pemaparan tertentu(Nugroho, 2006)

Pengaruh Letal dan Subletal

Secara kualitatif, pengaruh letal dapat didefenisikan sebagai tanggapan yang terjadi pada zat-zat fisika atau kimia mengganggu proses sel atau subsel dalam makhluk hidup sampai suatu batas bahwa kematian mengikuti secara langsung. Sebagai perbandingan, pengaruh subletal adalah pengaruh yang merusak kegiatan fisiologis atau perilaku tetapi tidak menyebabkan kematian langsung meskipun kematian dapat terjadi karena gangguan proses makan, pertumbuhan atau perilaku yang tidak normal, lebih mudah ditangkap kurangnya kemampuan mengkoloni, atau sebab-sebab lain yang tidak langsung. Hubungan antara toksisitas subletal (belum mematikan) dan letal mematikan berlanjut menjadi penting. Pengukuran kematian (letalitas seringkali digunakan untuk mencari tingkatan “aman” dari kontak dengan racun. Ini mencakup sebagai contoh, penggunaan “faktor-faktor pemakaian” (misalnya, 1 % atau 0,01 selama 96 jam LC50 ) untuk menghitung tingkatan “aman” yang dapat juga berfungsi sebagai kriteria kualitas air untuk racun yang spesifik (Connell dan Miller, 2006).

Dampak Deterjen Terhadap Kehidupan Ikan di Perairan

Penelitian Halang (2004) pada limbah deterjen konsentrasi 36 mg/L dapat mengakibatkan kematian ikan uji 50 % dalam waktu 96 jam. Berdasarkan kenyatan ini didapatkan bahwa limbah deterjen (jenis anti noda) merupakan zat toksikan yang mempunyai efek akut terhadap suatu biota yang hidup di perairan.

Penelitian Supriono, dkk (2005) pengaruh akut surfaktan linier

Alkylbenzene sulfonat (LAS) menyebabkan mortalitas, keabnormalan telur dan

larva serta penurunan daya tetas telur ikan patin (Pangasius hypophthalmus

sauvage). Nilai LC50-24 jam surfaktan LAS terhadap telur ikan patin adalah

sebesar 1,8 mg/l, namun sudah mulai berpengaruh terhadap mortalitasnya pada konsentrasi 0,5 mg/l dan bersifat mematikan pada konsentrasi 9,0 mg/l.

Pada penelitian Priyanto (2006) laju pertumbuhan biakan Lemna sp pada perlakuan LAS dan ABS terlihat sangat baik hingga konsentrasi surfaktan masing- masing 13 ppm dan 10 ppm. Tetapi pada konsentrasi surfaktan 13 ppm atau lebih, pertumbuhan tertekan dan lambat. Pada konsentrasi deterjen sebesar 25 ppm yang setara dengan 7,25 LAS, laju pertumbuhan sangat lambat dengan waktu ganda sebesar 3,16 hari.

Dalam penelitian Syahril, dkk (2006) pada konsentrasi 22,52 ppm belum terjadi kematian hingga waktu 96 jam, sedangkan tingkat mortalitas ikan kakap putih pada konsentrasi 63,39 ppm deterjen telah memberikan pengaruh kematian terhadap benih ikan kakap putih, kenaikan tingkat kematian terjadi pada kurun waktu 96 jam yaitu dari 6,67% menjadi 26,67%. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan biota uji untuk mentolerir bahan toksikan juga dipengaruhi oleh lamanya waktu pemaparan.

Menurut Effendi (2003) kadar surfaktan kationik 0,1 - 10 mg/liter dan surfaktan non ionik 1 – 10.000 mg/liter dapat menghambat pertumbuhan algae.

Kualitas Air

Dalam budidaya ikan, beberapa parameter/indikator kualitas air perlu diketahui karena sangat berpengaruh terhadap ikan budidaya. Sekalipun ikan yang dibudidayakan adalah ikan-ikan yang tahan pada kualitas air yang ekstrim.

Suhu

Perubahan suhu air yang drastis dapat mematikan biota air karena terjadi perubahan daya angkut darah. Suhu berkaitan dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam air dan konsumsi oksigen hewan air. Pertumbuhan dan kehidupan biota air sangat dipengaruhi suhu air. Kisaran suhu optimal bagi kehidupan di perairan tropis adalah antara 28−320 C. Pada kisaran tersebut konsumsi oksigen mencapai 2,2 mg/l berat tubuh-jam. Dibawah suhu 250 C, konsumsi oksigen mencapai 1,2 mg/l berat tubuh-jam. Pada suhu 18−250 C, ikan masih dapat bertahan hidup tetapi nafsu makannya mulai nurun. Suhu air 12−180C mulai membahayakan ikan, sedangkan suhu dibawah 120 C akan menyebabkan ikan tropis mati kedinginan (Kordi, 2010).

Oksigen terlarut (DO)

Di perairan tawar, kadar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/liter pada suhu 00 C dan 8 mg/liter pada suhu 250 C. kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah

serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Effendi, 2003).

Biota air membutuhkan oksigen guna pembakaran bahan bakarnya (makanan) untuk menghasilkan aktivitas, seperti aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi. Oleh karena itu, ketersedian oksigen bagi biota air menentukan lingkaran aktivitas dan konversi pakannya (Kordi, 2010).

Naik turunnya kadar oksigen terlarut dalam air itu disebut fluktuasi oksigen (oxygen pulse). Besarnya fluktuasi oksigen dalam suatu badan air sangat menentukan kehidupan hewan air. Hewan air yang kurang tahan pada air yang kadar oksigennya rendah, titik kritis baginya adalah pada saat kadar oksigen di malam hari (Suin, 2002).

Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan sebagai pengoksidasi dan pereduksi bahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu, seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun rnenjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Karena peranannya yang penting ini, air buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke lingkungan umum terlebih dahulu diperkaya kadar oksigennya (Salmin, 2005).

Oksigen terlarut (DO) merupakan parameter mutu air yang penting karena nilai oksigen terlarut dapat menunjukkan tingkat pencemaran atau tingkat pengolahan air limbah. Kelarutan oksigen dalam air dapat dipengaruhi oleh suhu. Kelarutan oksigen berbanding terbalik dengan suhu (Nugroho, 2006).

Derajat keasaman (pH)

pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena memengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah dapat membunuh ikan budidaya. Pada pH rendah (keasaman yang tinggi), kandungan oksigen terlarut akan berkurang. Akibatnya, konsumsi oksigen menurun, aktivitas pernafasan naik, dan selera makan berkurang. Hal yang sebaliknya terjadi pada suasana basa. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7- 8,5. Nilai pH sangat memengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Kordi, 2010).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air salah satu sumber kehidupan bagi umat manusia. Apabila air telah tercemar maka kehidupan manusia akan terganggu. Ini merupakan bencana besar. Hampir semua makhluk hidup di muka bumi ini memerlukan air, dari mikroorganisme sampai dengan mamalia. Tanpa air tiada kehidupan di muka bumi. Jumlah air di muka bumi ini cukup banyak. Sekitar 71% dari luas permukaan bumi ini terdiri atas air (Wardhana, 2004).

Pencemaran air dapat merupakan masalah regional, maupun lingkungan global, dan sangat berhubungan dengan pencemaran udara serta penggunaan lahan atau daratan. Pada saat udara yang tercemar jatuh ke bumi bersama air hujan, maka air tersebut sudah tercemar. Beberapa jenis bahan kimia akan terbawa air ke daerah sekitarnya sehingga mencemari air pada permukaan lokasi yang bersangkutan (Darmono, 2001).

Surfaktan atau surface active agents atau wetting agents merupakan bahan organik yang berperan sebagai bahan aktif pada deterjen, sabun, dan shampoo. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga memungkinkan partikel-partikel yang menempel pada bahan-bahan yang dicuci terlepas dan mengapung atau terlarut dalam air. Surfaktan dikelompokkan menjadi empat, yaitu surfaktan kationik, surfaktan anionik, surfaktan nonion dan surfaktan

amphoteric (zwitterionic). Keberadaan surfaktan dapat menimbulkan rasa pada air

Pelembut pakaian merupakan salah satu produk rumah tangga yang berfungsi mencegah kain kehilangan bentuk dan dapat mengembalikan bentuk kain. Larutan pelembut pakaian terdapat surfaktan kationik jenis senyawa kuaterner amonium klorida yang membahayakan kehidupan lingkungan perairan. Surfaktan kationik merupakan senyawa aktif permukaan dengan sedikit rantai alkil hidrofobik dan gugus hidrofilik yang membawa muatan positif. Bahan bakunya diambil dari minyak alam dengan campuran homolog dari surfaktan (Septi, 2004).

Ikan mas hidup di air tawar yang mempunyai nilai ekonomis penting, sehingga ikan ini banyak dibudidayakan. Lingkungan perairan yang tercemar limbah deterjen kategori keras dalam konsentrasi tinggi akan mengancam dan membahayakan kehidupan biota air dan manusia yang mengkonsumsi biota tersebut (Halang, 2004).

Kerusakan organ ikan yang cukup nyata disebabkan oleh surfaktan yaitu kerusakan epitel pernapasan ikan. Deterjen merusak indera perasa ikan, sehingga menyulitkan ikan dalam mencari makan, surfaktan dalam bentuk phenol merupakan senyawa bahan kimia yang bersifat toksik ketika terurai dan membahayakan ikan. Semakin besar kadar surfaktan maka semakin besar pula kerusakan epitel ikan (Ujang, 2000).

Untuk mengetahui efek zat pencemar terhadap biota dalam suatu perairan perlu dilakukan suatu uji toksisitas zat pencemar terhadap biota dalam bentuk letal

concentration (LC50 ). Jadi uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi besarnya

konsentrasi toksikan dan durasi pemaparan yang dapat menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis. Salah satu biota yang dapat digunakan untuk uji toksisitas

adalah ikan, dengan syarat harus mempunyai kepekaan tinggi, memenuhi syarat umur, berat, dan panjang serta sesuai dengan ikan yang hidup di perairan tercemar. Ikan mas adalah salah satu jenis ikan yang memenuhi persyaratan tersebut karena ikan ini sangat peka, mudah dipelihara, penyebarannya merata, mudah ditemukan, dan memenuhi syarat untuk uji toksisitas (Yuli dkk, 2012).

Limbah deterjen yang dibuang ke badan air akan menimbulkan masalah pendangkalan perairan, terhambatnya difusi oksigen, sehingga proses penguraian secara aerobik terganggu akibatnya terjadi kematian organisme akuatik serta menurunnya estetika lingkungan yang disebabkan timbulnya bau dan busa. Antisipasi dari semua pihak perlu dilakukan untuk meminimalisasi dampak lingkungan, karena surfaktan dari golongan kuaterner amonium klorida dapat membentuk senyawa nitrosamin dan gugus aromatik dari surfaktan bersifat karsinogenik. Di bidang lingkungan, masalah yang timbul adalah terjadinya eutrofikasi di perairan karena penggunaan deterjen (Nida, 2004).

Masalah yang ditimbulkan dari deterjen ini adalah terhambatnya proses difusi oksigen dari udara yang akan menyebabkan biota dalam perairan mengalami gangguan. Gangguan yang terjadi yaitu kekurangan oksigen yang bisa menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan insang. Kondisi yang seperti ini apabila terjadi terus menerus akan menyebabkan ikan mengalami stres dan nafsu makan menurun, akhirnya ikan mengalami kematian. Selain itu, bahan aktif (surfaktan) yang banyak terdapat dalam deterjen akan mudah larut dan terserap oleh makanan sehingga merubah bau dan rasa pelet yang akan menyebabkan nafsu makan berkurang, dengan menurunnya nafsu makan ikan, diduga menyebabkan pula turunnya sistem kekebalan tubuh ikan (Rosina, 2002).

Diketahui bahwa terdapat ragam diantara spesies dalam hal sensitivitas terhadap bahan kimia, maka kisaran dan tingkatan efek yang berbeda sudah selayaknya terjadi apabila dilakukan pemaparan suatu kisaran konsentrasi bahan kimia yang sama terhadap spesies organisme yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk melakukan uji toksisitas terhadap beberapa spesies organisme yang berbeda untuk mendapatkan indikasi keragaman di alam (Tahir, 2012).

Perumusan Masalah

Pelembut pakaian dalam jumlah banyak dapat mematikan ikan atau biota air lainnya, sehingga menghambat kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan atau biota, sehingga diperlukan sebuah penelitian berapa konsentrasi yang bisa terdegradasi dalam lingkungannya agar ikan bisa terus bertahan hidup, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Berapa nilai konsentrasi yang aman terhadap kelangsungan dan pertumbuhan benih ikan mas ?

2. Bagaimana pengaruh toksisitas pelembut pakaian terhadap kelangsungan hidup, efisiensi pakan dan laju pertumbuhan benih ikan mas ?

Tujuan Penelitian

1. Untuk menentukan tingkat daya serang pelembut pakaian terhadap benih ikan mas.

2. Mengetahui pengaruh toksisitas pelembut pakaian dalam berbagai konsentrasi terhadap benih ikan mas.

Hipotesis

Pelembut pakaian bersifat toksik terhadap pertumbuhan dan hidup benih ikan Mas.

Manfaat Penelitian

Sebagai bahan informasi bagi masyarakat, khususnya bagi pembudidaya ikan mas tentang pengaruh pelembut pakaian terhadap pencemaran perairan. Serta pihak-pihak yang terkait, berkompeten dan peduli di bidang lingkungan.

Kerangka Pemikiran Penelitian

Air merupakan kebutuhan pokok makhluk hidup untuk dapat menjalankan segala aktivitasnya, apabila air tercemar akan mengganggu kehidupan makhluk hidup, sehingga dibutuhkan benih ikan mas untuk mendeteksi keadaan pencemaran atau menentukan potensi suatu zat racun di suatu perairan dan pelembut pakaian salah satu bahan kimia yang sering digunakan masyarakat sehingga bisa menimbulkan dampak letal dan subletal pada ikan, dimana efek letal menyebabkan mortalitas dan perubahan tingkah laku ikan serta efek subletal dilihat pada perubahan laju pertumbuhan, efisiensi pakan dan kelangsungan hidup yang menyebabkan produksi ikan menurun. Secara singkat kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran uji toksisitas pelembut pakaian terhadap benih ikan mas

Benih Ikan Mas Pelembut Pakaian

Air Letal Subletal Laju Pertumbuhan Efisiensi Pakan Kelangsungan hidup Tingkah laku

benih ikan mas Mortalitas

Produksi Menurun

ABSTRAK

SHUSI NOVITA SIREGAR. Uji Toksisitas Pelembut Pakaian Terhadap Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio L). Dibimbing oleh IRWANMAY dan RUSDI LEIDONALD.

Larutan pelembut pakaian mengandung bahan surfaktan jenis kationik dengan senyawa amonium kuaterner klorida yang membahayakan kehidupan lingkungan perairan dan menyebabkan kematian ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat daya serang dan pengaruh toksisitas pelembut pakaian terhadap benih ikan mas, penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai November 2013 di Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan.

Tahapan pengujian meliputi : uji pendahuluan, uji definitif untuk menentukan LC50 96 jam dan uji subletal dengan berbagai konsentrasi. Hasil penelitian uji pendahuluan mempunyai nilai ambang batas atas (N) 100 ppm dan nilai ambang batas bawah (n) 75 ppm. Hasil Uji defenitif didapatkan nilai LC50 96 jam 87,10 ppm. Hasil uji subletal kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan konsentrasi 2.61 ppm yaitu sebesar 80% sedangkan kelangsungan hidup terendah pada perlakuan konsentrasi 7.84 ppm 46.66%, efisiensi pakan tertinggi pada perlakuan konsentrasi 2.61 ppm yaitu sebesar 4.98% sedangkan yang terendah pada perlakuan 7.84 sebesar 1.55%, dan terhadap laju pertumbuhan tertinggi pada perlakuan konsentrasi 2.61 ppm yaitu sebesar 0.15% sedangkan terendah pada perlakuan konsentrasi 7.84 ppm sebesar 0.05%. Parameter kualitas air yang diamati selama uji defenitif terjadi penurunan DO 2.0−6.4 mg/l, suhu semakin meningkat 27.1−30.20C dan pH semakin menurun pada tiap perlakuan konsentrasi 3−6.6. Parameter kualitas air pada uji subletal terjadi penurunan DO yang tidak drastis berkisar 5.2−7.6 mg/l, suhu berkisar 27−290C dan kisaran pH 3.4−7.5. Kata kunci : Pelembut Pakaian, Cyprinus carpio L, Toksisitas

ABSTRACK

SHUSI NOVITA SIREGAR. Fabric Softener Toxicity Test Against Goldfish Seed (Cyprinus carpio L) This research was supervised by IRWANMAY and RUSDI LEIDONALD.

Solution of fabric softener contained cationic surfactant by type quaternary ammonium chloride compounds that harm aquatic life and the environment led to the death of fish . This reaserch intend to determine the level of attack power and influence of fabric softener toxicity to carp seed , this research had been on July - November 2013 in the Department of Agriculture and Marine Medan .

Stages of testing include : a preliminary test , a definitive test to determine the LC50 until 96 hours and sublethal tests with various concentrations . The results showed of the preliminary test studies have upper threshold value ( N ) of 100 ppm and below the threshold value ( n ) 75 ppm . Test results obtained definitive 96 -hour LC50 value of 87.10 ppm . The test results on the highest survival sublethal concentration of 2.61 ppm treatment that is equal to 80 % while the lowest survival at 7.84 ppm concentration and 46.66 % , the highest feed efficiency at treatment concentrations of 2.61 ppm is equal to 4.98 % and the lowest in the treatment of 1:55 7.84 % , and the highest growth rate in the treatment concentration of 2.61 ppm is 0.15 % while the lowest at treatment concentrations of 7.84 ppm at 0.05% . Water quality parameters were observed during the definitive test decreased DO 2.0-6.4 mg / l , the temperature increased 27.1 - 30.20C and pH decrease during each treatment concentration of 3-6.6 . Water quality parameters at sublethal test that does not decrease drastically DO range 5.2-7.6 mg / l , temperature range 27 - 290C and a pH range of 3.4-7.5 . Keywords : Softening Clothing , Cyprinus carpio L , toxicity

UJI TOKSISITAS PELEMBUT PAKAIAN TERHADAP BENIH

Dokumen terkait