• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Jerami Padi sebagai Pakan Ruminansia

Total produksi padi Indonesia tahun 2007 mencapai 57 157 435 ton dari luas lahan yang dipanen 12 147 637 hektare (BPS 2008). Karena dari setiap kg padi yang dipanen dihasilkan 0.8 – 1 kg jerami (Devendra 1997; Nguyen 1998) maka pada tahun 2007 Indonesia menghasilkan sekitar 45 725 948 - 57 157 435 ton jerami berdasar bahan kering. Dengan asumsi satu unit ternak (UT) setara dengan sapi dewasa berbobot tubuh 325 kg dan konsumsi bahan keringnya 2% dari bobot tubuhnya (Madyono & Anggraeny 2008), maka jerami padi yang tersedia dapat menampung 7 034 761 – 8 793 452 UT.

Walaupun jerami padi merupakan sumber karbohidrat yang melimpah bagi ruminansia, namun pemanfaatannya sebagai pakan masih terbatas karena nilai nutrisinya tergolong rendah (Hadjipanayiotou et al. 1993; Nguyen 1998; Haifeng

et al. 2006). Jerami padi mengandung kadar N yang rendah, kadar silika dan

lignin yang tinggi dan mengikat hemiselulosa dan selulosa sehingga kecernaannya rendah. Kadar protein kasarnya 3.7% dan bahan organiknya 40.2% (Hadjipanayiotou et al. 1993) dengan total zat makanan tercerna (TDN) 26% dari bahan keringnya (Stewart & Silcox 2001). Karena kualitasnya yang rendah dan beragam antarvaritas dan daerah, maka jumlah jerami padi yang dapat dikonsumsi oleh seekor ruminansia pun tidak dapat mencukupi untuk kebutuhan tingkat produksi yang wajar (Nguyen 1998).

Berbagai teknologi untuk memperbaiki kualitas nutrisi jerami padi telah tersedia, antara lain melalui perlakuan secara fisik, kimiawi, biologis, suplementasi, atau kombinasi di antaranya (Nguyen 1998; Abou-El-Enin et al. 1999; Yulistiani, et al. 2000; Stewart & Silcox 2001; Haifeng et al. 2006). Metode perbaikan penyimpanan jerami padi untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitasnya juga telah diperkenalkan oleh Al-Mamun et al. (2002).

Penggunaan jerami padi sebagai pakan basal tidak cukup memenuhi kebutuhan pertumbuhan ternak secara optimal. Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan nutrien ternak yang mendapat pakan basal jerami padi harus dilakukan pemberian pakan tambahan berupa pakan konsentrat.

Performa Sapi Bali

Sapi Bali (Bos sundaicus) adalah sapi asli Indonesia sebagai hasil domestikasi dari banteng liar yang telah berjalan lama. Sapi Bali telah menunjukkan pewarnaan yang seragam dengan sedikit kelainan-kelainan yang sering timbul, tetapi karena kelainan warna ini tidak disukai oleh peternak maka dengan cepat menghilang dari populasi (Talib 2002). Sapi Bali betina mempunyai tanda-tanda yang meliputi warna bulu merah, lutut ke bawah putih, pantat putih berbentuk setengah bulan, ujung ekor hitam dan ada garis belut warna hitam pada punggung; tanduk pendek dan kecil; bentuk kepala panjang dan sempit serta leher ramping. Sapi Bali jantan mempunyai tanda-tanda meliputi warna bulu hitam, lutut ke bawah putih, pantat putih berbentuk setengah bulan, ujung ekor hitam; tanduk tumbuh baik dan berwarna hitam; bentuk kepala lebar dengan leher kompak dan kuat (KBTN 2008).

Sapi Bali tergolong tipe sapi kecil dengan kemampuan reproduksi yang baik dan daya adaptasi yang sangat baik pada pemeliharaan intensif maupun ekstensif- padang penggembalaan. Bobot lahir sapi Bali berkisar 12 – 18 kg dan bobot dewasanya 280 – 329 kg (Talib 2002). Bobot hidup sapi Bali umur 18 bulan berkisar 146 – 185 kg dengan pertambahan bobot hidup antara 6 dan 18 bulan berkisar 0.2 – 0.75 kg/hari dengan rataan 0.23 kg/ekor/hari (Panjaitan et al. (2003). Rataan pertambahan bobot hidup sapi Bali berumur 12-18 bulan, tanpa membedakan jantan dan betina, berkisar 0.2163 – 0.3336 kg/ekor/hari di dataran rendah dan di daerah berbukit (Kadarsih 2004).

Sapi Bali memperlihatkan respons yang baik terhadap berbagai upaya perbaikan nilai gizi ransum. Sariubang et al. (2002) melaporkan peningkatan pertambahan bobot hidup sapi Bali dari 0.19 – 0.35 kg/ekor/hari menjadi 0.37 – 0.45 kg/ekor/hari dengan teknologi fermentasi jerami padi yang diperkaya dengan suplementasi urea, dedak padi halus, garam dapur, dan mineral sulfur. Ahmad et al. (2004) melaporkan bahwa sapi Bali yang diberi ransum campuran rumput, legum, dan dedak halus yang disuplemen probiotik memperlihatkan peningkatan pertambahan bobot hidup dari 296 g/ekor/hari menjadi 528 g/ekor/hari.

7

Metabolisme NPN dalam Rumen

Urease merupakan enzim yang mengandung nikel yang mengkatalis hidrolisis urea membentuk amoniak dan karbamat. Selanjutnya senyawa karbamat ini terurai secara spontan menghasilkan molekul kedua amoniak dan karbon dioksida (Moharrery 2004; Gaballa et al. 2007). Urease bakteri berperan penting dalam metabolisme nitrogen dalam rumen. Urea, baik yang berasal dari ransum maupun yang didaur ulang melalui saliva dan pembuluh darah, dihidrolisis menjadi amoniak. Amoniak ini selanjutnya digabungkan dengan asam-asam keto (ketoacids) oleh mikrob rumen untuk sintesis asam amino (Moharrery 2004).

Karena amoniak yang dihasilkan dalam rumen digunakan untuk pertumbuhan mikrob, yang juga bergantung pada ketersediaan energi, maka penting sekali bahwa laju produksi amoniak dalam rumen harus diselaraskan dengan laju cerna karbohidrat (Galo et al. 2003). Mikrob rumen akan terus mengubah urea menjadi amoniak bahkan ketika kekurangan atau ketiadaan asam- asam keto. Jika laju produksi amoniak, misalnya urea menjadi amoniak hasil perombakan oleh urease, atau hasil dari mengonsumsi amoniak (misalnya dari pakan amoniasian), melebihi kemampuan mikrob untuk menggunakannya untuk membentuk asam amino, maka akan terjadi penumpukan amoniak dalam rumen (Moharrery 2004). Mikrob rumen menghidrolisis urea menjadi amonium (NH4+) dan amoniak (NH3) untuk mensintesis protein selnya. Umumnya, sebagian besar urea yang diubah menjadi amonium tersedia bagi mikrob rumen. Sebaliknya, sebagian kecil amoniak yang dihasilkan, yang bersifat senyawa larut lemak, mudah terserap ke dalam aliran darah (Coutinho et al. 2004).

Selama periode kadar N berlebih dalam rumen, amoniak diserap ke dalam pembuluh darah dan didetoksifikasi oleh hati. Saat terjadi periode kekurangan N, maka N tersebut kemudian didaur ulang kembali ke dalam rumen. Kendati demikian, daur ulang N memiliki keterbatasan, bergantung pada waktu dan tingkat ketidakseimbangan antara energi dan N yang dilepas dalam rumen sehingga tidak dapat secara total menyangga kadar N yang sewaktu-waktu berlebih (Valkeners et al. 2006). Normalnya, hati dapat menetralkan amoniak kembali menjadi urea secara efisien, namun pada kadar yang lebih tinggi dalam darah, amoniak akan melebihi kemampuan menetralkan dari hepatosit dan akan

meningkatkan kadarnya dalam darah, cairan serebrospinal, dan jaringan lainnya, sehingga menyebabkan keracunan amoniak (Moharrery 2004; Haliburton & Morgan 1989; Visek 1984). Ternak yang terbiasa dengan ransum berkadar protein tinggi atau yang telah teradaptasi dengan urea mempunyai kemampuan yang lebih tinggi untuk menetralkan amoniak dalam hatinya. Karena hati berperan penting dalam menetralkan amoniak, maka ketidakberfungsian hati menyebabkan kerentanan yang lebih tinggi terhadap keracunan amoniak (Parkins et al. 1973).

Sumber nitrogen bagi ruminansia dapat berasal dari NPN seperti urea, amoniak, dan biuret, karena ruminansia mampu memanfaatkan NPN sebagai sumber protein melalui aktivitas mikrob rumennya, atau dari protein sejati. Idealnya, sumber N bagi mikrob berasal dari senyawa NPN, bukan berasal dari protein sejati. Menurut Mlay et al. (2003), kebutuhan asam amino ternak ruminansia yang diberi ransum hijauan berkualitas rendah hampir sepenuhnya bergantung pada pasokan protein mikrob karena hampir tidak ada protein sejati yang lolos dari aksi mikrob rumen yang tersedia dari pakan tersebut. Oleh karena itu, upaya optimalisasi sintesis protein mikrob pada ruminansia yang diberi ransum hijauan berkualitas rendah sangat penting dilakukan.

Penggunaan Urea pada Ruminansia

Urea, yang juga dikenal sebagai karbamid dan karbonil diamid, merupakan senyawa kristal berumus molekul CH4N2O, mempunyai titik leleh (melting point) 132.7 °C, dan sangat mudah larut dalam air. Urea ditemukan pada tahun 1773 oleh Rouelle dan komposisinya ditetapkan oleh Prout pada tahun 1818 (Loosli & McDonald 1968). Tahun 1828, F. Wohler untuk pertama kalinya berhasil mensintesis molekul organik ini dari bahan-bahan anorganik (Sci-Tech Encyclopedia 2005). Tahun 1891 Zuntz mengungkapkan bahwa mikroflora rumen mampu merombak selulosa sebagai sumber energi dan mengubah NPN menjadi protein sejati. Pada kurun waktu 1904 – 1925, Morgen menemukan bahwa urea dapat menggantikan 30 – 50% dari protein dalam ransum sapi dan domba (Loosli & McDonald 1968). Sekarang, urea banyak digunakan dalam pakan ruminansia.

Urea dikenal sebagai senyawa induk dari sejumlah senyawa organik dan anorganik. Urea sangat potensil sebagai ligand netral untuk logam-logam transisi

9 dan kordinat sebagai monodentate, baik melalui atom oksigennya maupun nitrogennya, atau sebagai bidentate chelating atau bridging ligand bergantung pada tipe ion logamnya (Gaballa et al. 2007). Urea digunakan sebagai bahan awal untuk sintesis beberapa senyawa terapan, membentuk ikatan koordinat dengan beberapa ion logam pada suhu kamar dalam media cair dan noncair melalui atom oksigen atau nitrogennya, bergantung pada tipe ion logam yang digunakan (Refat

et al. 2005).

Jika urea diberikan dalam pakan ruminansia, urea akan segera dihidrolisis menjadi amoniak dalam rumen sehingga amoniak yang dilepaskan tidak digunakan secara efisien untuk sintesis protein mikrob (Chalupa et al. 1984; Jain

et al. 2005; Huntington et al. 2006). Lebih daripada itu, Huntington et al. (2006) melaporkan bahwa sebagian besar amoniak rumen dengan cepat pula memasuki sistem sirkulasi darah dan dapat menimbulkan pengaruh buruk mulai dari penurunan konsumsi ransum dan performa ternak, sampai kematian akibat keracunan amoniak.

Keracunan amoniak dapat terjadi secara periodik jika ruminansia mengonsumsi urea dalam jumlah besar, tidak teradaptasi dengan urea, urea tidak tercampur sempurna dalam ransum, atau jika kadar urea yang tinggi terkandung dalam ransum berserat tinggi, berenergi dan protein rendah (Ortolani et al. 2000). Berlangsungnya tanda-tanda klinis keracunan amoniak beragam, mulai dari beberapa menit sampai beberapa jam setelah ternak mengonsumsi NPN dan biasanya beberapa kasus yang bersifat akut dan drastis menyebabkan kematian (Haliburton & Morgan 1989; Ortolani et al. 2000). Dosis toksik urea yang digunakan oleh Coutinho et al. (2004) adalah 0.5 g urea per kg bobot hidup atau lebih dari 2 kali lipat dari dosis baku yang biasa diberikan pada sapi yang telah teradaptasi, yakni 0.22 g/kg bobot hidup.

Slyter et al. (1971) melaporkan bahwa ruminansia dapat diberi NPN sebagai satu-satunya sumber nitrogen ransum dengan jumlah serat yang banyak dan tanpa karbohidrat yang mudah difermentasi dan mempertahankan neraca nitrogen yang positif. Namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan seberapa produktif ternak dapat diberi ransum seperti tersebut. Dilaporkan pula bahwa penambahan karbohidrat yang mudah difermentasi ke dalam ransum yang

mengandung NPN, memperbaiki retensi nitrogen. Penggunaan urea pada ransum ruminansia berkisar antara 0.5% - 1.5% dari bahan kering ransum (Galyean 1996). Jain et al. (2005) memperoleh kadar nitrogen amoniak, total nitrogen, dan NPN yang lebih tinggi dalam cairan rumen domba muda yang diberi campuran urea molases mineral daripada ternak yang diberi ransum basal. Currier et al. (2004) melaporkan bahwa urea atau biuret dapat digunakan secara efektif sebagai suplemen sumber N oleh sapi pedaging yang mengonsumsi hijauan berkualitas rendah, namun biuret lebih aman daripada urea karena hidrolisis biuret menjadi amoniak lebih lamban daripada hidrolisis urea menjadi amoniak dalam rumen.

Penggunaan Urea Lepas-Lamban pada Ruminansia

Potensi urea yang dengan cepat menghasilkan kadar amoniak yang tinggi dalam rumen sehingga dapat menimbulkan keracunan, telah menjadi pusat perhatian untuk menggunakan sumber NPN dan teknologi yang dapat mengontrol atau memperlamban laju lepas amoniak di dalam rumen. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan cara: menggunakan sumber NPN yang kelarutannya lebih rendah daripada urea, menyelaraskan penggunaan amoniak dan energi oleh mikrob rumen, menghambat aktivitas enzim urease mikrob, menurunkan kelarutan atau memperlamban laju lepas N. Chalupa et al. (1984) melaporkan bahwa sumber N yang kelarutannya lebih rendah menghasilkan nilai guna yang lebih tinggi bagi ternak ruminansia. Beberapa sumber NPN yang laju lepas amoniaknya lamban (slow-release NPN) telah diteliti, di antaranya biuret (Slyter

et al. 1971; Loest et al. 2001; Currier et al. 2004), penghambat aktivitas enzim urease atau urease inhibitor (Varel et al. 1999; Ludden et al. 2000a, 2000b), pelapisan urea dengan campuran talk dan minyak linseed (Owens et al. 1980) atau dengan polimer (Galo et al. 2003). Penyelarasan penggunaan amoniak dan energi oleh mikrob rumen yang menggunakan urea dan molases atau karbohidrat yang mudah terfermentasi lainnya juga telah diteliti (Onwuka 1999; Galina et al. 2003; Jain et al. 2005; Golombeski et al. 2006).

Ludden et al. (2000a) mengungkapkan bahwa meskipun N-(n-butyl) thiophosphoric triamide (NBPT) mampu menghambat aktivitas urease mikrob rumen dalam jangka pendek, namun mikroflora rumen mampu beradaptasi

11 terhadap pemberian NBPT yang terus menerus. Suplementasi NBPT yang mampu menurunkan aktivitas urease rumen sampai 77% tersebut ternyata tidak mampu menghasilkan amoniak yang sinambung dari urea. Galo et al. (2003) melaporkan bahwa urea yang dilapisi polimer tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering dan tidak efektif dalam mengurangi ekskresi nitrogen pada sapi perah.

Penggunaan produk urea lepas-lamban pada sapi jantan pedaging yang diteliti oleh Duff et al. (2000) dapat menggantikan kombinasi bungkil kedelai dan urea sampai 90 persen dalam konsentrat dan dapat memperbaiki efisiensi pertambahan bobot tubuh. Sapi jantan pedaging yang diberi suplemen urea lepas- lamban juga memperlihatkan perbaikan tingkat konsumsi ransum dan kecernaan zat makanan (Galina et al. 2003). Huntington et al. (2006) melaporkan bahwa urea-kalsium efektif dalam mitigasi penglepasan amoniak yang cepat dalam rumen dan pengaruhnya terhadap metabolisme glukosa dan laktat pada sapi. Golombeski et al. (2006) melaporkan bahwa penggantian bungkil kedelai dengan urea lepas-lamban, menggunakan urea-kalsium klorida, dapat memperbaiki secara nyata efisiensi penggunaan ransum pada sapi perah.

Penggunaan Mineral Seng dan Urea pada Ruminansia

Penggunaan seng sulfat sebagai sumber Zn pada ruminansia telah banyak diteliti. Arelovich et al. (2000) menyimpulkan bahwa suplementasi 250 ppm Zn dapat menunda laju hidrolisis urea menjadi amoniak, sehingga mengurangi insiden keracunan urea dan meningkatkan efisiensi energetik dari fermentasi mikrob rumen. Mullis et al. (2003) menggunakan seng sulfat sebagai sumber Zn untuk mengetahui pengaruhnya terhadap status mineral pada sapi jantan pedaging. Kathirvelan & Balakrishnan (2006) mengungkapkan bahwa suplementasi 10 ppm Zn memperlamban hidrolisis urea secara in vitro sehingga sangat efektif dalam menanggulangi keracunan amoniak.

Walaupun seng sulfat sebagai sumber Zn maupun urea sebagai sumber NPN sudah terbiasa digunakan pada ternak ruminansia, namun sampai sejauh ini belum diketahui ketersediaan publikasi yang berkaitan dengan penggunaan urea-seng sulfat pada ternak sebagai sumber NPN lepas-lamban. Produk Zincated urea, suatu campuran (blend) urea dan seng sulfat, telah digunakan pada tanaman

sebagai pupuk urea lepas-lamban dengan berhasil (Rattan 2004) namun belum diketahui publikasi tentang penggunaannya pada ternak.

Reaksi antara beragam ion logam transisi dengan urea telah diteliti dan banyak kompleks urea-logam yang telah dihasilkan dan telah diisolasi (Gaballa et al. 2007). Afinitas urea terhadap ion logam memungkinkan pembentukan beragam kompleks urea-logam (Balarew et al. 2006). Teknologi yang memanfaatkan sifat urea ini yang berkaitan dengan pembentukan produk urea lepas-lamban adalah kompleks urea-kalsium klorida yang dikembangkan oleh Holladay (1998). Sadeek (1993) melaporkan bahwa seng sulfat dapat bereaksi dengan urea membentuk kompleks urea-seng sulfat [Zn(urea)4]SO4. Kompleks urea-seng sulfat tersebut diharapkan akan memiliki sifat seperti kompleks urea-kalsium klorida sebagai sumber NPN lepas-lamban.

Berdasar temuan dalam keputusan kelaikan penilaian kembali toleransi untuk urea dan asam sulfat (garam-garam sulfat), dan disosiasi urea-sulfat dari masing-masing produk yang dihasilkannya, Agen Perlindungan Lingkungan Amerika (U.S. Environmental Protection Agency; EPA) menetapkan bahwa penggunaan produk yang mengandung urea sulfat sebagai bahan aktif tidak menimbulkan bahaya untuk kesehatan manusia dan publik. Ditetapkan pula bahwa tidak ada risiko diet akibat dari mengonsumsi makanan dan/atau minuman dari produk yang mengandung urea sulfat sebagai bahan aktif tunggal (EPA 2005). Oleh karena itu, kompleks urea-seng sulfat yang juga termasuk ke dalam kriteria penilaian EPA (2005) tersebut layak untuk diujicobakan pada ternak.

Penggunaan Zeolit dan Urea pada Ruminansia

Mineral zeolit pertama kali ditemukan tahun 1756 oleh seorang ahli mineralogi Swedia bernama F.A.F. Cronstedt. Sekarang telah ditemukan sekitar 50 jenis zeolit alam dan lebih dari 100 jenis zeolit sintetis. Potensi penggunaan zeolit alam dan zeolit sintetik bergantung pada sifat fisik dan kimianya yang secara langsung berhubungan dengan struktur kristal dan komposisi kimia dari masing-masing jenis zeolitnya (Mumpton 2006).

Zeolit adalah kristal aluminosilikat dari logam alkali dan alkali tanah yang memiliki struktur kristal tiga dimensi tetrahedra silikat yang terbuka dan tak

13 terhingga (Mumpton 1999; 2006). Struktur kristal tiga dimensi tetrahedra silikon- oksigen (SiO4) tersebut lazim disebut tektosilikat.

Gambar 1 Rangka tetrahedra SiO4 dan AlO4- membentuk struktur kerangka kristal zeolit. Jalur masuk dan keluar rongga struktur kerangka bagian dalam melalui saluran (Elliot & Zhang 2005).

Dalam struktur zeolit, keempat sudut atom oksigen dari setiap tetrahedra dikoordinasikan dengan tetrahedra yang berdampingan. Susunan tetrahedra silikat seperti ini, mengurangi total rasio oksigen:silikon menjadi 2:1, dan jika setiap tetrahedron dalam kerangka ini mengandung silikon sebagai pusat atomnya, maka struktur tersebut menjadi netral seperti kwarsa (SiO2). Namun dalam struktur zeolit, sebagian aluminium bervalensi empat digantikan oleh silikon bervalensi tiga sehingga kekurangan muatan positif. Kekurangan muatan tersebut diimbangi oleh unsur-unsur bervalensi satu atau dua seperti Na+, Ca2+, dan K+ dalam struktur tersebut. Dengan demikian, rumus kimia untuk zeolit ini adalah: M2/nO.Al2O3.xSiO2.yH2O. Huruf M dalam rumus tersebut adalah kation logam alkali atau alkali tanah. Huruf n menunjukkan valensi kation M, huruf x bilangan 2 – 10, dan y merupakan bilangan 2 – 7 (Mumpton 2006).

Di antara jenis zeolit alam yang paling umum adalah klinoptilolit. Rumus kimia klinoptilolit adalah (Na4K4)(Al4Si4O96) 24H2O. Unsur atau kation dalam tanda kurung pertama adalah kation yang dapat dipertukarkan (exchangeable cations) sedangkan unsur dalam tanda kurung kedua adalah kation struktur karena dengan oksigen kation tersebut membentuk kerangka tetrahedra dari struktur zeolit (Mumpton 2006). Daya tukar kation zeolit untuk mencapai kesetimbangan tidak sama untuk setiap jenis logam. Kesetimbangan maksimum fraksi logam

dalam zeolit Na-Pc adalah 95% untuk Pb, 76% untuk Zn, dan 27% untuk Ni (Moirou et al. 2000).

Kandungan molekul air dalam susunan kristal zeolit menunjukkan jumlah pori-pori atau ruang hampa yang akan terbentuk jika unit sel kristal zeolit dipanaskan. Dalam kondisi normal, rongga atau ruang hampa yang besar dalam kristal zeolit terisi oleh molekul air bebas yang membentuk bulatan di sekitar kation. Bila kristal tersebut dipanaskan selama beberapa jam, biasanya pada suhu 300 – 4000C, maka kristal zeolit dapat berfungsi menyerap gas atau cairan (Mumpton 2006). Daya serap zeolit terhadap gas CO2 meningkat dari 28 ml/g menjadi 100 ml/g jika suhu pemanasan ditingkatkan dari 140 0C menjadi 200 0C (Jadhav et al. 2007). Ulfah et al. (2006) mengungkapkan bahwa suhu operasi yang optimum pada pembuatan zeolit X sebagai penjerap logam Fe adalah 92.30C.

Daya serap zeolit tergantung pada jumlah ruang hampa dan luas permukaan. Biasanya mineral zeolit mempunyai luas permukaan beberapa ratus meter persegi untuk setiap gram beratnya. Beberapa jenis mineral zeolit mampu menyerap gas sebanyak 30% dari bobot keringnya. Volume dan ukuran garis tengah ruang hampa dalam kisi-kisi kristal ini pula yang menjadi dasar penggunaan mineral zeolit sebagai bahan penyaring (molecular sieving), dan bahan penyerap (Mumpton 2006). Zeolit mampu menahan air sampai 60% dari bobotnya sebagai akibat dari tingginya keporian struktrur kristal zeolit (Polat et al. 2004).

Sifat fisik permukaan kristal zeolit dapat dipindai dengan alat pemindaian mikroskop elektron (scanning electron microscopy, SEM). Permukaan kristal zeolit alam memperlihatkan keporian yang meruah seperti kapas (Gambar 2).

Gambar 2 Foto permukaan kristal zeolit alam (klinoptilolit) hasil SEM (Minceva et al. 2007).

15 Zeolit bersifat ampoterik, oleh karena itu sebagian zeolit dapat larut dalam media asam atau alkali, namun kelarutannya rendah dalam kisaran pH fisiologis (Trckova et al. 2004). Zeolit juga bersifat hidrofilik (mempunyai afinitas terhadap air) dan hidrofobik, mempunyai afinitas terhadap bahan organik (EPA 1998). Sifat hidrofilik dan hidrofobik zeolit erat kaitannya dengan rasio Si/Al dalam kerangka kristal zeolit. Dalam hal ini, sifat hidrofobik zeolit meningkat dengan meningkatnya rasio Si/Al tersebut (Shirazi et al. 2008).

Klinoptilolit memiliki afinitas yang khas untuk ion amonium dan amoniak. Menurut Mumpton (2006), klinoptilolit dapat digunakan sebagai tambahan pakan alami untuk mengurangi kandungan hara feses karena sifat penyaring kationnya, daya tukar kationnya yang tinggi, daya serap dan afinitasnya yang tinggi terhadap ion NH4+ dan K+.

Di Indonesia, zeolit banyak ditemukan di pulau Jawa, Sumatera Selatan, Kalimantan, Nusatenggara Barat, serta Sulawesi (Senda et al. 2009). Kendati demikian, sebagian besar lokasi endapan zeolit terdapat di pulau Jawa mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat (Darnin 1995). Jenis mineral zeolit tersebut umumnya adalah klinoptilolit dan mordenit (Senda et al. 2009).

Salah satu yang menjadi pusat perhatian dari penggunaan zeolit dalam nutrisi ruminansia adalah potensi daya serap (adsorbent) dan pengikatannya

(binding effect) pada beberapa zat makanan atau komponen lainnya yang

mempengaruhi metabolisme dan penyerapannya (Katsoulos et al. 2005). Zeolit digunakan dalam pakan sebagai pengikat pelet (pellet binder), untuk memperbaiki penggunaan amoniak, mengikat racun dan logam berat, sebagai agen untuk mengurangi masalah kembung perut (bloat) dan gangguan metabolik (Bechtel & Hutchenson 2003). Pavelic et al. (2001) menggunakan klinoptilolit yang digiling halus sebagai adjuvant dalam terapi kanker.

Penggunaan zeolit sebagai suplemen dalam ransum untuk mengontrol kadar amoniak rumen juga telah banyak diteliti (Migliorati et al. 2007; Bosi et al. 2002; Ramos & Hernandez 1997). Kemampuan zeolit mengontrol kadar amoniak rumen tersebut didasarkan atas sifat-sifatnya sebagai penukar kation. Sebagai penukar kation, zeolit dengan cepat menukar NH4+ yang terbentuk dari dekomposisi senyawa nitrogen bukan protein dan menahannya beberapa jam sampai dilepaskan

oleh Na+ saliva yang memasuki rumen. Terlepasnya nitrogen secara bertahap ini memungkinkan mikrob rumen mensintesis protein selnya (Mumpton 1999).

Hasil penelitian Bosi et al. (2002) tentang penambahan klinoptilolit dalam ransum sapi perah mengungkapkan bahwa klinoptilolit tidak mempengaruhi produksi susu, lemak susu, protein susu, dan hitungan sel somatik. Kadar urea susu meningkat dengan penambahan klinoptilolit dalam ransum. Hasil analisis cairan rumen mengungkapkan bahwa klinoptilolit memiliki selektivitas yang

Dokumen terkait