• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Usahaternak Sapi Perah

Sapi perah merupakan komoditi yang paling efisien dalam mengubah makanan ternak menjadi protein hewani. Peternakan sapi perah di Indonesia umumnya merupakan usaha keluarga di pedesaan dalam skala kecil, sedangkan usaha skala besar masih sangat terbatas dan umumnya merupakan usaha sapi perah yang baru tumbuh. Komposisi peternak sapi perah diperkirakan terdiri dari 80 persen peternak kecil dengan kepemilikan sapi perah kurang dari empat ekor, 17 persen peternak dengan kepemilikan sapi perah 4-7 ekor dan tiga persen peternak dengan pemilikan sapi perah dari 7 ekor (Sudono, 1999).

Pola pemeliharaan dan usahaternak sapi perah antara lain: (1) usahaternak perah rakyat, dalam usahaternak rakyat biasanya mereka bertempat tinggal jauh di luar kota, di lereng-lereng gunung dimana kehidupan sehari-harinya terutama usaha pertanian sayuran. Mereka memiliki sapi sekitar 2-3 ekor saja. Seluruh kebutuhan akan ternaknya, baik bahan makanan maupun pemeliharaannya diusahakan sendiri. Hijauan Makanan Ternak dipenuhi dari sisa-sisa pertanian atau rerumputan di sekitar pekarangan, (2) Usahaternak perah khusus pengusaha susu, usahaternak perah kecil khususnya pengusaha susu, umumnya mereka bertempat tinggal tidak jauh dari kota besar, memiliki sapi yang relatif banyak, biasanya lebih dari 10 ekor. Kebutuhan akan bahan makanan oleh pembesaran pedet-pedetnya sebagian besar diusahakan sendiri, dan (3) Usahaternak sapi perah komersil, usahaternak sapi perah komersil pada umumnya diselenggarakan di kota-kota besar dan sekitarnya. Kebanyakan usahanya cukup besar. Demikian pula kemampuan dalam segi finansial cukup besar dan kemampuan teknis cukup terampil. (Sudardjat dan Pambudy, 2000)

Usahaternak sapi perah di Indonesia didominasi oleh skala kecil dengan kepemilikan ternak kurang dari empat ekor (80%), 4-7 ekor (17%) dan lebih dari tujuh ekor (3%). Hal itu menunjukkan bahwa produksi susu nasional sekitar 64 persen disumbangkan oleh usahaternak sapi perah skala menengah dan usahaternak sapi perah skala kecil. (Swastika, et.al, 2005)

Kesesuaian Iklim untuk Sapi Perah

Sudono et al. (2003) menyebutkan bahwa usaha sapi perah hanya bisa dilaksanakan di daerah-daerah tertentu dengan kondisi bahwa syarat hidup sapi FH dan sapi perah dari Eropa lainnya adalah dataran tinggi dengan suhu 15-210 C. Namun peranakan FH dapat hidup di dataran rendah. Sedangkan Sutardi (1981) menyebutkan bahwa sapi perah khususnya sapi perah turunan impor seperti Fries Holland sangat menghendaki lingkungan yang beriklim sejuk untuk produksi susu yang optimal. Lokasi yang baik untuk beternak sapi perah adalah wilayah yang memiliki ketinggian sekurang-kurangnya 800 meter di atas permukaan air laut dengan temperatur rataan 18,30 Celcius dan kelembaban 55 persen. Namun demikian sapi perah FH atau peranakan FH ternyata masih dapat berproduksi pada dataran rendah.

Tata Laksana Pemeliharaan Sapi Perah

Penyediaan Bibit. Bibit sapi perah yang akan dipelihara akan sangat menentukan keberhasilan dari usaha ini. Pemilihan bibit sebaiknya dipersiapkan. Umur bibit sapi perah yang betina yang ideal adalah 1,5 tahun dengan bobot badan sekitar 300 kilogram. Sementara itu umur pejantan 2 tahun dengan bobot 350 kilogram (Sudono et al., 2003). Menurut penelitian Suherni (2006), upaya peningkatan produksi susu selain ditentukan oleh pakan yang diberikan, juga ditentukan oleh kondisi bibit yang tersedia.

Kepemilikan Sapi Laktasi. Persentase kepemilikan sapi laktasi merupakan faktor penting dalam tatalaksana yang baik suatu usahaternak sapi perah untuk menjamin pendapatan peternak. Bila dilihat dari segi persentase pemilikan sapi laktasi masing- masing skala berturut-turut adalah 36,36 persen untuk skala 1, 36,96 persen pada skala 2, dan 34,17 persen pada skala 3. Jumlah ini masih belum mencapai persentase yang baik (Capah, 2008). Menurut sudono, (1999) peternakan sapi perah yang mempunyai sapi laktasi lebih dari 60 persen adalah yang paling menguntungkan.

Pemberian pakan. Sudono (2002) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan peternakan sapi perah yaitu pemberian pakan. Sapi perah yang produksinya tinggi sekalipun, bila tidak mendapatkan makanan yang cukup baik kuantitas dan kualitasnya maka tidak akan menghasilkan susu yang sesuai dengan kemampuannya. Pakan sapi perah terbagi atas dua golongan, yaitu pakan

berserat dan bahan pakan konsentrat (Sudono, 1999). Pakan yang diberikan bertujuan untuk menyeimbangkan ransum dengan menyediakan zat makanan yang rendah nilainya dalam hijauan. Pakan yang terlalu banyak berupa hijauan akan menyebabkan kadar lemak susu tinggi, karena lemak susu tergantung dari kandungan serat kasar dalam pakan (Sudono, 1999).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keefisienan penggunaan pakan ternak adalah (1) tipe ternak yang digunakan, (2) kesukaan pakan (palatabilitas), dan (3) metode pengelolaan ternak (Williamson dan Payne, 1993).

Perkandangan. Kandang merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam peternakan sapi perah, hal ini menyangkut pada pengawasan dan kesehatan ternak (Agustina, 2007). Sudono (2002) menyebutkan kandang sapi perah yang efektif harus dirancang untuk memenuhi persyaratan dan kenyamanan ternak, enak dan nyaman untuk operator, efisien untuk tenaga kerja dan pemakaian alat-alat dan disesuaikan dengan peraturan kesehatan ternak. Sudono et al. (2003) menjelaskan kandang sapi yang baik adalah kandang yang sesuai dan memenuhi persyaratan kebutuhan dan kesehatan sapi perah. Persyaratan umum kandang untuk kandang sapi perah sebagai berikut:

1) Sirkulasi udara cukup dan mendapat sinar matahari sehingga kandang tidak lembab. Kelembaban ideal yang dibutuhkan sapi perah adalah 60-70 persen 2) Lantai kandang selalu kering

3) Tempat pakan yang lebar sehingga memudahkan sapi dalam mengkonsumsi pakan yang disediakan

4) Tempat air dibuat agar air selalu tersedia sepanjang hari.

Penanganan Penyakit dan Perkawinan. Program kesehatan pada peternakan sapi perah hendaknya dijalankan secara teratur, terutama di daerah-daerah yang sering terjangkiti penyakit menular, misalnya Tuberkulosis (TBC), Brucellosis, Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Radang Limpa, dan lain-lain. Di daerah-daerah dimana sering terjadi penyakit-penyakit, hendaklah dilakukan vaksinasi secara teratur terhadap penyakit (Sudono, 1999).

Beberapa penyakit tidak menyebabkan kematian pada anak sapi. Namun, anak sapi yang lemah dan kurus sangat peka terhadap penyakit dan mudah terserang

penyakit lainnya. Umumnya penyakit-penyakit pada anak sapi disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau karena tata laksana pemberian pakan yang buruk (Sudono, et al., 2003).

Perkawinan sapi perah dapat dilakukan dengan dua cara, yakni kawin alam dan kawin suntik (inseminasi buatan). Kawin alam biasa dilakukan peternak besar dengan biaya yang relatif mahal karena harus memelihara pejantan. Kawin suntik biasa dilakukan oleh peternak kecil karena biaya yang lebih murah. Tanda-tanda birahi pada sapi penting diketahui oleh peternak untuk menjamin keberhasilan setiap perkawinan. Periode birahi rata-rata 21 hari sekali, tetapi dapat pula sapi-sapi yang memiliki periode bervariasi 17-26 hari. Lama birahi ini berlangsung selama 6-36 jam dengan 18 jam untuk betina dewasa dan 15 jam untuk sapi dara (Sudono et al., 2003).

Pemerahan. Menurut (Sudono, 2002), pengaturan jadwal pemerahan yang baik memberi kesempatan bagi pembentukan air susu di dalam ambing secara berkesinambungan, tidak ada saat berhenti untuk mensintesa air susu, sehingga produksinya menjadi maksimal. Bila sapi diperah dua kali sehari dengan selang waktu yang sama antara pemerahan itu, maka sedikit sekali terjadi perubahan kualitas susu. Bila sapi diperah empat kali sehari, kadar lemak akan tinggi pada besok paginya pada pemerahan yang pertama.

Sudono et al. (2003) menyebutkan bahwa jika sapi diperah dua kali sehari dengan jarak waktu pemerahan sama, maka akan sedikit sekali perubahan susunan susu tersebut. Semakin sering diperah hasil susu akan naik. Pemerahan yang dilakukan lebih dari dua kali sehari, biasanya dilakukan untuk sapi yang berproduksi tinggi. Peningkatan produksi susu akibat pengaruh hormon prolaktin yang lebih banyak dihasilkan dibanding sapi yang diperoleh sapi yang diperah dua kali sehari.

Produksi Susu dan Penanganan Susu Pasca Panen. Kemampuan sapi perah Fries Holland (FH) untuk menghasilkan susu pada sistem pemeliharaan Indonesia masih rendah dengan tingkat variasi produksi yang cukup jauh antar peternakan sapi perah (Centras, 2005). Menurut Sudono (1999), bahwa sapi yang telah dikawinkan dan bunting akan menghasilkan susu yang lebih sedikit daripada sapi setelah melahirkan sampai dia dikawinkan kembali. Pada masa produksi, peternak harus melakukan manajemen secara optimal, sehingga hasil yang diperoleh optimal pula

Sapi-sapi yang beranak pada umur yang lebih tua (3 tahun) akan menghasilkan susu yang lebih banyak daripada sapi-sapi yang beranak pada umur muda (2 tahun). Produksi susu akan terus meningkat dengan bertambahnya umur sapi sampai sapi itu berumur tujuh tahun atau delapan tahun, yang kemudian setelah umur tersebut produksi susu akan menurun sedikit demi sedikit sampai sapi berumur 11-12 tahun. Hal ini disebabkan kondisi telah menurun sehingga aktivitas kelenjar ambing sudah berkurang dan senilitas (Sudono, 2002). Meningkatnya hasil susu tiap laktasi dari umur dua sampai tujuh tahun disebabkan bertambahnya besar sapi karena pertumbuhan, jumlah tenunan dalam ambing juga bertambah.

Susu sapi segar harus segera ditangani dengan cepat dan benar karena sifat susu segar sangatlah mudah rusak dan mudah terkontaminasi. Peralatan yang digunakan untuk menampung susu adalah milk can. Sebelum dimasukkan ke dalam milk can, susu disaring terlebih dahulu agar bulu sapi dan vaselin yang tercampur dengan susu tidak terbawa ke dalam wadah. Pendinginan susu pada suhu 40 C bertujuan agar susu dapat tahan lama dan bakteri tidak mudah berkembang biak (Sudono et al., 2003).

Penanganan Limbah. Limbah usaha peternakan sapi perah berasal dari kotoran sapi perah baik dalam bentuk padat (feces) maupun cair (air seni/urine) serta sisa pakan yang tidak dimakan atau tercecer (Effendi, 2002). Sapi laktasi yang mempunyai bobot badan 450 Kg membutuhkan rumput kurang lebih 30 Kg, konsentrat 6 Kg, air 50 liter per ekor per hari serta menghasilkan limbah berupa feces dan urine kurang lebih sebanyak 25 Kg per ekor per hari (Sudono, 1999). Menurut Widarto dan Suryanta (1995) limbah peternakan limbah peternakan yang berupa feces dan sisa pakan memerlukan penanganan secara khusus. Penangangan yang biasa dilakukan oleh petani/peternak adalah menampung di dalam kolam terbuka sehingga proses fermentasi aerobik dan degradasi senyawa organik berlangsung sangat lambat.

Pemasaran dan Distribusi. Untuk mendapatkan keuntungan yang baik dari penjualan susu, maka peternak harus mencari tempat dimana pengangkutan mudah atau mudah menyalurkan susu yang dihasilkan secara ekonomis dan cepat karena susu mudah busuk. Peternak harus dapat menyalurkan susu ke penjual (dealer) di

kota, atau secara teratur membayar pada tingkat harga yang tinggi dan mempunyai reputasi menjual hasil yang berkualitas tinggi (Sudono, 1999).

Lahan

Lahan merupakan faktor penting dalam upaya pengembangan peternakan sapi perah, karena lahan dalam peternakan dapat digunakan untuk membangun kandang dan menanam rumput sebagai penyedia hijauan, keberadaan lahan untuk penanaman rumput mutlak diperlukan. Lahan untuk kebutuhan ini disesuaikan dengan jumlah sapi perah yang dilakukan (Sudono et al., 2003). Pada dasarnya lahan harus sesuai untuk ditanami jagung, rumput-rumputan dan leguminosa (Sudono, 1999).

Rahayu (1986) menyebutkan bahwa dalam peternakan sapi perah, lahan dibutuhkan terutama untuk penyediaan Hijauan Makanan Ternak (HMT). Ketersediaan lahan secara tidak langsung mempengaruhi hubungan dengan penampilan produksi sapi perah melalui hijauan pakan yang dihasilkannya.

Tenaga Kerja Keluarga

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang utama. (Mubyarto, 1989). Menurut Simanjuntak (1998) tenaga kerja merupakan faktor produksi yang unik, tenaga kerja berbeda dengan faktor produksi lain. Perbedaan yang utama adalah sumberdaya tenaga kerja tidak dapat dipisahkan secara fisik dari tenaga kerja itu sendiri.

Tenaga kerja menurut Soekartawi (1990) yaitu tersedianya tenaga kerja dalam jumlah yang memadai, kualitas tenaga kerja yang berkaitan dengan pengalaman beternak, penyerapan teknologi. Faktor penting yang juga diperhatikan pada faktor tenaga kerja adalah curahan tenaga kerja. Soekartawi (2002) menyebutkan bahwa analisa ketenagakerjaan di bidang pertanian, penggunaan tenaga kerja dinyatakan oleh besarnya curahan tenaga kerja. Curahan tenaga kerja yang dipakai adalah besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai. Skala usaha akan mempengaruhi besar kecilnya berupa tenaga kerja yang dibutuhkan dan pula menentukan macam tenaga kerja yang bagaimana yang diperlukan.

Soekartawi (2002) menyebutkan setiap usaha pertanian yang akan dilaksanakan pasti memerlukan tenaga kerja. Biasanya usaha pertanian skala kecil akan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dan tidak memerlukan tenaga kerja

ahli (skilled). Penafsiran potensi tenaga kerja keluarga petani harus dibedakan antara tenaga kerja laki-laki dewasa (umur lebih dari 15 tahun), tenaga kerja wanita dewasa (umur lebih dari 15 tahun), dan tenaga kerja anak (umur kurang dari 15 tahun). Konversi yang digunakan secara berurutan dari kelompok umur tersebut adalah 1,0 HKP, 0,8 HKP, dan 0,5 HKP dengan rata-rata 8 jam kerja per hari (Soekartawi et al., 1986). Menurut Winaryanto (1990), pemanfaatan tenaga kerja keluarga merupakan masalah mendasar yang akan sangat menentukan bagi kelangsungan pembangunan nasional.

Curahan Tenaga Kerja pada Usahaternak Sapi Perah

Tenaga kerja diperlukan untuk pemeliharaan usahaternak sapi perah. Pemeliharaan adalah penyelenggaraan semua pekerjaan aau kegiatan yang berhubungan dengan kelanjutan hidup ternak sapi perah (Syarief dan Sumoprastowo, 1985). Pemeliharaan yang rutin dilakukan oleh peternak dimulai dari membersihkan kandang, memandikan sapi, memerah susu, memberikan makanan (hijauan dan konsentrat) mencari atau menyabit rumput dan membawa susu ke tempat penampungan (Gamawati, 1985).

Inagurati (1985) menyebutkan bahwa kepala keluarga memiliki peranan utama dalam pemeliharaan ternak. Hampir semua jenis pekerjaan dipegang oleh kepala keluarga, sehingga jam kerja yang dicurahkannya pun paling besar di antara anggota keluarga yang lain.

Seorang tenaga kerja di Indonesia cukup menangani 6-7 ekor sapi dewasa untuk mencapai efisiensi penggunaan tenaga kerja. Semakin banyak sapi yang dipelihara dalam suatu peternakan makin efisien tenaga yang dibutuhkan. Usaha peternakan sapi perah modern harus mempunyai tenaga kerja yang terampil dan berpengalaman (Sudono, 1999).

Pola curahan waktu kerja rumah tangga pada dasarnya merupakan pencerminan strategi rumah tangga dalam mempertahankan hidup dan kesejahteraan. Curahan waktu kerja merupakan jumlah jam kerja yang dicurahkan untuk berbagai kegiatan. Dalam kehidupan nyata perilaku individu dalam mengalokasikan waktu kerjanya tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat upah, tetapi juga peubah-peubah sosial ekonomi lainnya (Sabainingrum, 1998)

Perhitungan efisiensi tenaga kerja pada Kunak sapi perah diperoleh dengan melihat perbandingan antara jumlah sapi yang dimiliki dalam Satuan Ternak (ST) serta jumlah curahan tenaga kerja dalam Hari Kerja Pria (HKP). Hasil perhitungan efisiensi tenaga kerja sapi perah di Kunak untuk masing-masing skala dan keseluruhan dijelaskan pada Tabel 1 (Sinaga, 2003).

Tabel 1. Rata-rata Efisien Tenaga Kerja Sapi Perah di Kunak Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor

No Efisiensi Tenaga Kerja Skala 1 Skala 2 Skala 3 Keseluruhan 1 Rataan pemilikan (ST) 5,68 11,43 21,60 11,25

2 HKP/hari 1,16 1,49 2,04 1,45

3 HKP/ST/hari 0,21 0,14 0,09 0,13

4 ST/HKP/hari 4,88 7,35 10,79 7,65

Hasil penelitian Sukraeni (1985) menunjukkan bahwa jumlah kebutuhan tenaga kerja pada usahaternak sapi perah di Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung pada rumah tangga peternak skala 1 adalah sebesar 0,51 HKP/ST, pada skala 2 sebesar 0,35 HKP/ST dan pada skala 3 sebesar 0,31 HKP/ST seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Efisiensi Tenaga Kerja Usahaternak Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan

Efisiensi Tenaga Kerja Skala 1 Skala 2 Skala 3

Skala Kepemilikan 1-2 3-4 5-6

Jam kerja per ST (HKP/ST) 0,51 0,35 0,31

Jumlah sapi perah/TK 1,03 1,55 1,91

Hartono (2006) mengatakan bahwa curahan tenaga kerja keluarga untuk sapi perah pada masing-masing skala 1, 2, dan 3 adalah 0,65 HKP/ST, 0,37 HKP/ST, dan 0,18 HKP/ST. Hal ini menunjukkan semakin banyak sapi yang dipelihara maka akan semakin efisien.

Peningkatan tenaga kerja keluarga di dalam pelaksanaan usaha peternakan sapi perah rakyat pada akhirnya akan mempengaruhi produktivitas kerja dari keluarga peternak itu sendiri, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pula hasil produksi usaha peternakan sapi perahnya (Winaryanto, 1990).

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait