• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Tumbuhan Obat

Masyarakat Indonesia sudah mengenal obat dari jaman dahulu, khususnya obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Seiring meningkatnya pengetahuan jenis penyakit, semakin meningkat juga pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan untuk obat-obatan. Namun demikian, sering terjadi pemanfaatan ini dilakukan secara berlebihan sehingga populasinya di alam semakin menurun. Tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai mempunyai khasiat obat (Zuhud, 2009).

Tumbuhan tersebut dikelompokkan menjadi : 1) tumbuhan obat tradisional, 2) tumbuhan obat modern, dan 3) tumbuhan obat potensial. Tumbuhan obat tradisional adalah spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Tumbuhan modern adalah spesies tumbuhan obat yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat tetapi belum dibuktikan secara ilmiah medis atau penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit ditelusuri (Zuhud et al.,1991).

Laju permintaan produk berbasis tanaman obat terkait erat dengan tingkat penggunaan oleh masyarakat. Peningkatan penggunaan obat herbal mempunyai dua dimensi korelatif, yaitu aspek medik terkait dengan penggunaannya yang sangat luas di seluruh dunia, dan aspek ekonomi yang terkait dengan nilai tambah dan peningkatan perekonomian masyarakat (Sampurno, 2007).

Pada sisi pasokan, sebagian besar bahan baku obat yang berasal dari tumbuhan dipanen secara langsung dari alam, hanya sebagian kecil yang telah dibudidayakan. Kendala yang dihadapi untuk tanaman obat yang telah dibudidayakan adalah fluktuasi produksi disebabkan belum diterapkannya budidaya yang baik, mutu produk yang bervariasi, serta skala usaha yang kecil dan terpencar-pencar. Sedangkan pemanenan tanaman obat langsung dari habitat alaminya telah mengancam kelestarian beberapa jenis tanaman obat (Karmawati et al, 1996).

Tumbuhan Obat

Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang mengandung bahan yang dapat digunakan sebagai pengobatan dan bahan aktifnya dapat digunakan sebagai bahan obat sintetik. Diperkirakan dari 30.000 jenis tumbuhan di Indonesia, 2500 jenis diantaranya merupakan tumbuhan obat, namun baru sekitar 300 jenis yang telah digunakan untuk berbagai keperluan industri obat tradisional (Syakir, 2006). Produk simplisia tumbuhan obat berdasarkan bagian-bagiannya yang diperlukan untuk pembuatan obat adalah :

1. Daun-daunnya (Simplisia daun/Folium)

2. Akar dan akar tingalnya saja (Simplisia Akar/Radix) 3. Kulit (Simplisia Kulit/Cortex)

4. Batang tanamannya (Simplisia Batang/Folium) 5. Bunga (Simplisia Bunga/Flos)

6. Buah (Simplisia Buah/Fructus) 7. Biji-bijian (Simplisia Biji/semen) (WHO dalam Sofowora, 1982).

KPHL Model Tobasa Unit XIV

Berdasarkan data yang diperoleh dari website KPH, KPHL Model Toba Samosir Unit XIV, terletak pada 98054’25’’- 99040’33’’ Bujur Timur dan antara 2039’04’’ – 20

Hutan Kemasyarakatan (HKm)

0’14’’ Lintang Utara. Penetapan KPHL Model Toba Samosir Unit XIV yang terletak di Kabupaten Toba Samosir sesuai keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 867/Menhut-II/2013 tanggal 5 Desember 2013 seluas 87.247 Ha, yang terdiri dari hutan lindung (HL) seluas 75.762 Ha, hutan produksi terbatas (HPT) seluas 6.294 Ha, dan hutan Produksi (HP) seluas 5.191 Ha Namun, pada tanggal 24 Juni 2014, Menteri Kehutanan RI mengeluarkan SK Nomor : SK/579/Menhut-II/2014 mengenai Kawasan Hutan di Sumatera Utara dengan demikian, maka luas KPHL Model Toba Samosir Unit XIV menjadi seluas kurang lebih 56.621,84 Ha (Kementerian Kehutanan, 2013).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk dikelola oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan kepentingan mensejahterakan masyarakat.

Pemahaman masyarakat tentang program Hutan Kemasyarakatan dimaknai sebagai kesempatan untuk mendapatkan hak penguasaan lahan di dalam kawasan hutan sebagai sumber ekonomi keluarga. Akibatnya masyarakat cenderung berprilaku eksploitatif untuk memaksimalkan manfaat ekonomi lahan. Pemahaman tersebut diwujudkan melalui pola tanam dengan memilih jenis-jenis tanaman yang dapat berproduksi jangka pendek dan kontinyu (jenis tanaman

musiman) dan tanaman yang berproduksi secara kontinyu dan bernilai ekonomi tinggi (jenis tanaman tahunan) ( Mukhtar, 2010).

Peranan Tumbuhan Obat

Peran tumbuhan bagi kehidupan manusia sangatlah penting, maka pengetahuan mengenai aktifitas biologis yang ditimbulkan oleh senyawa metabolit sekunder yang berasal dari tumbuhan sangat diperlukan dalam usaha penemuan sumber obat baru. Di Indonesia, terdapat sekitar 31 jenis tanaman obat digunakan sebagai bahan baku industri obat tradisional (jamu), industri non jamu, dan bambu, serta untuk kebutuhan ekspor, dengan volume permintaan lebih dari 1.000 ton/tahun. Peranan tanaman obat dalam pengembangan hutan tanaman juga menghasilkan keuntungan majemuk meliputi : 1) keberhasilan pengelolaan hutan

tanaman melalui penyediaan sumber pendapatan yang berkelanjutan, 2) penyediaan lapangan kerja, 3) peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, 4) peningkatan pendapatan asli daerah, dan 5) pengembangan usaha regional (Sitepu dan Sutigno, 2001).

Potensi dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat

Sejarah pengobatan tradisional yang telah dikenal sejak lama sebagai warisan budaya dan tetap diteruskan sehingga kini menjadi potensi dan modal dasar untuk mengembangkan obat-obat tradisional yang berasal dari tumbuhan. Menurut WHO, diperkirakan sekitar 4 milyar penduduk dunia (± 80%) menggunakan obatan yang berasal dari tumbuhan. Bahkan banyak obat-obatan modern yang digunakan sekarang ini berasal dan dikembangkan dari tumbuhan obat. WHO mencatat terdapat 119 jenis bahan aktif obat modern berasal dari tumbuhan obat (Suganda, 2002).

Potensi tumbuhan obat yang ada di hutan dan kebun/pekarangan sangatlah besar, baik industri obat tradisional maupun fitofarmaka memanfaatkannya sebagai penyedia bahan baku obat. Dilihat dari segi habitusnya, spesies-spesies tumbuhan obat yang terdapat di berbagai formasi hutan Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam 7 (tujuh) macam yaitu : habitat bambu, herba, liana, pemanjat, perdu, pohon dan semak. Dari ke tujuh habitat ini, spesies tumbuhan obat yang termasuk kedalam habitat pohon mempunyai jumlah spesies dan persentase yang lebih tinggi dibandingkan habitat lainnya, yaitu sebanyak 717 spesies (40,58%) (Zuhud, 2008).

Kebutuhan bahan baku obat tradisional terutama yang berasal dari tumbuhan, sebagian besar diambil dari alam sehingga beberapa jenis mulai langka. Untuk memperoleh bahan baku obat atau bahan aktif lainnya, sudah sejak lama pemerintah melakukan penelitian tentang aktivitas farmakologi dan toksisitas berbagai tumbuhan. Eksplorasi dan pengembangan budidaya tumbuhan obat terus dikembangkan untuk mencapai sasaran jangka panjang, yaitu mengurangi impor bahan baku obat sintesis guna menghemat devisa negara (Djauhari dan Hernani, 2004).

Pemanfaatan tumbuhan obat atau bahan obat alam pada umumnya sebenarnya bukanlah merupakan hal baru. Upaya pengobatan tradisional dengan obat-obat tradisional merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dan sekaligus merupakan teknologi tepat guna yang potensial untuk menunjang pembangunan kesehatan. Dalam rangka peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat, obat tradisional perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kenyataan menunjukkan bahwa dengan bantuan tumbuhan obat alam

tersebut, masyarakat dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya (Tukiman, 2004).

Tabel 1. Tanaman obat yang berpotensi untuk sumber bahan obat modern di Indonesia

No Spesies tanaman Bagian yang

digunakan Indikasi khasiat

1 Benalu teh (Loranthus spp) Tangkai daun Anti kanker

2 Brotowali (Tinospora crispa L.) Tangkai daun Anti malaria, kencing manis

3 Bawang putih (Allium sativum L.) Umbi Anti jamur, penurun lemak

darah

4 Ceguk/wudani (Quisqualis indica L.) Biji Obat cacing

5 Delima putih (Punica granatum L.) Kulit buah Anti kuman

6 Ingu (Ruta graveolens L.) Daun Anti kuman, penurun panas

7 Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Rimpang Penghilang nyeri, anti

piretik, anti radang

8 Jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingk.) Buah Obat batuk

9 Jati belanda (Guazoma ulmifolia Lamk.) Daun Penurun kadar lemak darah

10 Jambu biji/klutuk (Psidium guajava L.) Daun Anti diare

11 Jambu mente (Anacardium occidentale L.) Daun Penghilang nyeri

12 Kunyit (Curcuma domestica Val.) Rimpang Radang hati, radang sendi,

anti septik

13 Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) Daun Pelancar air seni

14 Legundi (Vitex trifolia L.) Daun Anti kuman

15 Labu merah (Curcubita moschata Duch) Biji Obat cacing pita

16 Pepaya (Carica papaya L.) Getah, daun,

biji

Sumber enzim papain, anti malaria, kontrasepsi pria

17 Pegagan/kaki kuda (Centella asiatica Urban) Daun Pelancar air seni, anti

kuman, anti tekanan darah tinggi

18 Pala (Myristica fragrans Houff.) Buah Penenang

19 Sembung (Blumea balsamifera D.C.) Daun Penghilang nyeri, penurun

panas

20 Sidowayah (Woodfordia floribunda Salisb.) Daun Anti kuman, pelancar air

seni

21 Sambiloto (Andrographis paniculata Ness.) Seluruh bagian Anti kuman, obat kencing

manis

22 Seledri (Alpium graveolens L.) Seluruh bagian Anti tekanan darah tinggi

23 Sirih (Piper betle L.) Daun Anti kuman

24 Temu lawak (Curcuma xanthorhiza Roxb.) Rimpang Obat radang hati kronis

25 Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Daun Pelancar air seni, obat

penghancur batu ginjal (Kementerian Kehutanan, 2007).

Penilaian Ekonomi (Valuasi Nilai Ekonomi)

Penilaian adalah penentuan nilai manfaat suatu barang ataupun jasa bagi manusia atau masyarakat. Adanya nilai yang dimiliki oleh suatu barang dan jasa (sumber daya dan lingkungan) pada gilirannya akan mengarahkan perilaku pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu, masyarakat maupun organisasi. Jika nilai sumber daya (ekosistem) hutan, ataupun lebih spesifik barang dan jasa hutan telah tersedia informasinya, seperti halnya harga berbagai produk yang ada di pasar, maka pengelolan hutan dapat memanfaatkannya untuk berbagai keperluan seperti pengambilan keputusan pengelolaan, perencanaan dan lain-lain. Tidak tersedianya informasi nilai (harga) dari produk/jasa hutan maka diperlukan suatu usaha kreatif untuk menduga nilai sumber daya hutan. Belum tersedianya informasi nilai (harga) dari hutan disebabkan karena produk barang/jasa hutan tidak seragam/tidak standar, karena merupakan hasil alam, sehingga sulit dibuat harga standar yang berlaku umum. Oleh karena diperlukan suatu usaha untuk menduga nilai dari sumber daya hutan (Bahruni, 1999).

Nilai sumberdaya hutan ini dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa kelompok. Davis dan Johnson (1987) mengklasifikasi nilai berdasarkan cara penilaian atau penentuan besar nilai dilakukan, yaitu : (a) nilai pasar, yaitu nilai yang ditetapkan melalui transaksi pasar, (b) nilai kegunaan, yaitu nilai yang diperoleh dari penggunaan sumberdaya tersebut oleh individu tertentu, dan (c) nilai sosial, yaitu nilai yang ditetapkan melalui peraturan, hukum, ataupun perwakilan masyarakat. Sedangkan Pearce (1992) dalam Munasinghe (1993) membuat klasifikasi nilai manfaat yang menggambarkan Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) berdasarkan cara atau proses manfaat tersebut diperoleh.

Gambar 1. Nilai ekonomi total dari sumberdaya hutan (Pearce, 1992)

Pada penelitian ini digunakan nilai guna langsung untuk menghitung tumbuhan obat secara ekonomi. Nilai pasar merupakan nilai yang diperoleh dari harga pasar. Dengan demikian nilai pasar dimiliki oleh barang dan jasa yang memiliki pasar (ada permintaan dan penawaran) sehingga terjadi jual beli. Pada pasar bersaing sempurna (kompetitif) harga ini mencerminkan kesediaan membayar setiap orang untuk memperoleh manfaat personal maksimum, yang dalam masyarakat secara agregat memberikan manfaat sosial bersih maksimum. Nilai yang dianggap standar adalah nilai pasar, yakni harga yang ditetapkan oleh penjual dan pembeli dalam keadaan pasar kompetisi sempurna, karena:

• Memenuhi interest kedua belah pihak yang bersangkutan (penjual dan pembeli) Nilai bukan guna lainnya Nilai Bukan Guna Nilai Guna Nilai Guna Tidak Langsung Nilai Guna Langsung Nilai Keberadaan Nilai Pilihan Nilai Pengetahuan Nilai langsung dan tak langsung yang akan datang Manfaat Fungsional Hasil yang dapat dikonsumsi langsung Habitat spesies langka •Keanekaragaman Hayati •Perlindungan habitat •Fungsi ekologis •Pengendalian banjir •Perlindungan terhadap angin •Kayu •Makanan •Biomassa •Rekreasi Tumbuhan obat

• Memberi surplus kesejahteraan sosial (kesejahteraan produsen dan konsumen yang maksimal

Penetapan nilai ekonomi total dapat menggunakan pendekatan harga pasar dan pendekatan non pasar. Pendekatan harga pasar dapat dilakukan melalui pendekatan produktivitas. Pada pendekatan ini valuasi yang dilakukan untuk memberikan harga SDALH sedapat mungkin menggunakan harga pasar sesungguhnya. Hal ini terutama dapat dilakukan bagi SDA yang diperjualbelikan dipasar. Tahapan pelaksanaannya: 1) Menyiapkan data dan informasi mengenai kuantitas SDA, 2) Melakukan survei sederhana untuk membantu mendapatkan informasi yang diperlukan mengenai kuantitas dan harga SDA yang belum tersedia, 3) Mengalikan jumlah kuantitas SDA dengan harga pasarnya.

Persamaannya ialah:

Nilai SDA = SDA x harga

Nilai total SDA = (SDA1 x harga1) + (SDA2 x harga2) + ... + (SDAn x hargan Barang dan jasa yang dihasilkan hutan dan diperdagangkan (memiliki harga pasar) diantaranya adalah hasil hutan kayu, produk hasil hutan non kayu seperti pangan, tumbuhan obat, hidupan liar dan rekreasi. Untuk produk-produk tersebut, harga pasar dapat digunakan untuk menggambarkan perhitungan finansial, untuk membandingkan antara manfaat dan biaya dari berbagai alternatif pilihan penggunaan lahan hutan. Harga pasar diturunkan melalui interaksi antara produsen dan konsumen melalui permintaan dan penyediaan barang dan jasa (transaksi pasar). Dalam pasar yang efisien (Pasar Persaingan Sempurna) harga barang dan jasa mencerminkan kesediaan membayar setiap orang (WTP). Nilai yang diperoleh dari pasar persaingan sempurna merupakan nilai baku karena

memenuhi keinginan penjual dan pembeli serta memberikan surplus kesejahteraan yang maksimal. Apabila memungkinkan harga pada pasar yang efisien ini menjadi pilihan pertama untuk membandingkan manfaat dan biaya dari berbagai kegiatan. Bila tumbuhan obat tersebut tidak memiliki harga pasar maka dapat menggunakan harga pengganti dengan menggunakan metode di bawah ini dari beberapa teknik yakni :

o Harga subtitusi. Nilai barang/jasa hutan yang tidak memiliki harga pasar didekati dari harga barang subtitusinya.

o Harga subtitusi tidak langsung. Untuk barang subtitusi yang tidak ada harga pasarnya, maka nilai barang didekati dari harga penggunaan lain dari barang subtitusi.

o Biaya oportunitas tidak langsung. Nilai barang/jasa hutan didekati dari faktor biaya pengadaannya (khususnya upah).

o Nilai tukar perdagangan. Harga barang/jasa hutan didekati dari nilai pertukaran dengan barang yang ada harganya.

o Biaya relokasi. Nilai barang/jasa hutan didekati dari biaya pemindahan ke tempat lain dimana manfaat penggunaan dapat digantikan di tempat baru.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia yang beriklim tropis mempunyai tanah subur sehingga banyak jenis tumbuhan yang dapat tumbuh. Keanekaragaman hayati tumbuhan di Indonesia merupakan sumber kekayaan alam yang tiada ternilai harganya. Diantara berbagai jenis tersebut ada yang memiliki khasiat sebagai obat. Potensi ini dapat memberikan manfaat dan keuntungan yang sangat besar bagi masyarakat jika manfaat dan potensi keragaman tersebut dapat diketahui serta eksplorasinya dapat dioptimalkan (Balai Penelitian Tanaman, 2007).

Pemberdayaan ekonomi masyarakat secara optimum dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang eksplorasi dan manfaat tumbuhan obat dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi pada tumbuhan obat di Indonesia. Namun, sebagian besar dari tumbuhan obat itu belum diketahui kegunaannya sehingga eksistensinya terabaikan. Akibatnya tumbuhan berpotensi obat semakin tidak dikenal jenis-jenisnya sehingga sering terkesan sebagai tumbuhan liar saja (Hariana, 2004).

Industri obat tradisional Indonesia sedang mengalami perkembangan pesat. Pesatnya perkembangan industri obat tercermin dari jumlah perusahaan pendukungnya. Pada tahun 1981, jumlah perusahaan obat baru mencapai 165 buah, namun pada tahun 1991 dan tahun 2000, jumlah tersebut meningkat masing-masing menjadi 427 dan 985 perusahaan. Pesatnya industri obat tersebut berpengaruh terhadap permintaan bahan bakunya dari alam (Hasanah et al, 2006).

Penilaian ekonomi merupakan suatu peralatan ekonomi yang menggunakan teknik penilaian sumber daya untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu kawasan. Prinsip valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat (Situmorang, 2014).

Tumbuhan obat merupakan salah satu produk hasil hutan bukan kayu yang disediakan alam yang dipercayai dan diketahui masyarakat berkhasiat sebagai obat, namun tumbuhan obat ini sering diabaikan karena dianggap tidak memiliki nilai ekonomi karena hanya berupa semak atau rerumputan dan tidak semua masyarakat mengetahui khasiat tumbuhan obat tersebut. Beberapa tumbuhan obat juga memiliki nilai ekonomi yang dimanfaatkan masyarakat guna peningkatan kesejahteraannya. Menurut Badan Pusat Statistik (2011), tumbuhan obat termasuk ekspor produk potensial di Indonesia.

Dengan adanya penelitian penilaian (valuasi) ekonomi tumbuhan obat ini, diharapkan dapat memberikan informasi inventarisasi potensi jenis tumbuhan obat serta peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kekayaan alam yang ada di sekitar mereka, sehingga jenis-jenis tumbuhan berkhasiat obat tetap terjaga kelestariannya memperhatikan aspek konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di sekitar KPH.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Melakukan inventarisasi jenis tumbuhan obat di Hutan Kemasyarakatan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Toba Samosir Unit XIV. 2. Melakukan pemetaan sebaran tumbuhan obat di Hutan Kemasyarakatan.

3. Menganalisis valuasi nilai ekonomi tumbuhan obat di Hutan Kemasyarakatan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Toba Samosir Unit XIV.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna sebagai informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan khusunya bagi peneliti yang terkait dengan jenis tumbuhan obat dan sebagai infomasi bagi masyarakat umum dan lembaga terkait dalam pengelolaan sumber daya alam pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Toba Samosir Unit XIV.

ABSTRAK

JULITA DEWI PRATIDINI LIMBONG: Valuasi Ekonomi Potensi Tumbuhan Obat Di Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Toba Samosir Unit XIV Dibawah bimbingan RAHMAWATY dan YUNUS AFIFUDDIN

Tumbuhan obat merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang bermanfaat bagi manusia. Pemberdayaan ekonomi masyarakat secara optimum dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang eksplorasi dan manfaat tumbuhan obat dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi pada tumbuhan obat di Indonesia. Namun, sebagian besar dari tumbuhan obat itu belum diketahui kegunaannya sehingga eksistensinya terabaikan. Akibatnya tumbuhan berpotensi obat semakin tidak dikenal jenis-jenisnya sehingga sering terkesan sebagai tumbuhan liar saja. Hal ini menyebabkan perlu adanya penelitian ini. Tujuan dari penelitian ialah melakukan inventarisasi jenis tumbuhan obat, melakukan pemetaan inventarisasi tumbuhan obat, menghitung valuasi nilai ekonomi tumbuhan obat di Hutan Kemasyarakatan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Toba Samosir Unit XIV. Metode yang digunakan pada penelitian ini ialah systematic random sampling with random start, dimana penentuan petak ukur yang pertama dilakukan secara random (acak), kemudian penentuan titik pusat berikutnya dengan sistematik dengan jarak antar unit contoh sebesar 50 meter. Unit contoh lingkaran yang digunakan memiliki jari-jari 17,68 meter. Diinventarisasi tumbuhan obat yang ada pada petak yang dibuat. Hasil penelitian ini ditemukan 40 jenis tumbuhan obat, namun tidak semua jenis tumbuhan obat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dari hasil valuasi ekonomi menggunakan metode harga pasar didapat jumlah jenis tumbuhan sebesar Rp. 8.449.000,-/ha untuk 40 jenis.

Kata kunci: tumbuhan obat, valuasi, systematic random sampling with random start

ABSTRACT

JULITA DEWI PRATIDINI LIMBONG: Economic Valuation of Herbal Plant’s Potential in Community Forest (HKm) Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Toba Samosir Model Unit XIV under guidance by RAHMAWATY dan YUNUS AFIFUDDIN

Herbal plant is one forest product non - wood that are beneficial to humans. Empowerment of society economic by optimally and increase of society knowledge about exploration and benefit of herbal plant can give plus value more high at herbal plant in Indonesia. However, most of it is not yet known medicinal plant uses so its existence is neglected. As a consequence, potential medicinal plants increasingly unknown types are so often seem as wild plants. It’s cause to need for this research. The purpose of this research is to conduct inventories of medicinal plants,to make maping of inventories , to analyze valuation of economic value herbal plant in Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Toba Samosir Unit XIV.

The method were conducted in this research is systematic random sampling with random start, where determination of the plots were first done by randomly,then the next plots by systematically with distance between units for 50 meters. Example circle unit is used has a radius of 17.68 meters. Inventoried medicinal plants that exist in the plot are made. Results of this research found 40 species of medicinal plants, but not all types of medicinal plants used by the community. From the results of economic valuation using the market prices obtained by the number of plant species are Rp. 8.449.000,-/ha for 40 species.

Keywords: herbal plant, valuation, systematic random sampling with random start

VALUASI EKONOMI POTENSI TUMBUHAN OBAT DI

Dokumen terkait