Warna yang berbeda menunjukkan motif ulangan yang berbeda
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Sapi
Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut Blakely dan Bade (1992) bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :
Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mamalia Sub class : Theria Infra class : Eutheria Ordo : Artiodactyla Sub ordo : Ruminantia Infra ordo : Pecora Famili : Bovidae Genus : Bos (cattle)
Spesies : Bos taurus (sapi Eropa)
Bos indicus (sapi India/sapi zebu)
Bos javanicus (banteng/sapi Bali)
Bangsa Sapi di Indonesia
Berdasarkan taksonomi sapi diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Bos indicus, Bos taurus, dan Bos javanicus (Payne dan Hodges, 1997). Sapi Bali, Madura, Padang, Aceh, Peranakan Ongole, dan Grati dikenal sebagai sapi-sapi yang terdapat di Indonesia. Sapi-sapi tersebut memiliki karakteristik warna kulit maupun ukuran tubuh yang berbeda. Kondisi seperti ini, dimungkinkan sebagai refleksi introgresi sapi Bos indicus dari India dan Bos taurus dari Eropa (Otsuka et al., 1980). Berdasarkan uji jarak genetik, sapi Madura mempunyai hubungan terdekat dengan sapi Bali. Sapi Madura, Jawa dan Peranakan Ongole diklasifikasikan sebagai
5 maupun Eropa (Namikawa et al., 1980; Mohamad et al., 2009; Febriana, 2011). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sapi Bali merupakan sebagian besar tetua sapi-sapi yang terdapat di Indonesia (Payne dan Hodges, 1997).
Sapi Bali
Sapi Bali merupakan sapi yang berasal dari domestikasi banteng (Bos banteng javanicus) (Nijman et al., 2003) yang termasuk banteng liar asli yang berasal dari Pulau Bali (Hayashi et al., 1980). Sapi-sapi tersebut berasal dari pegunungan yang terdapat di Bali dan kemudian pergi ke daratan pada tahun 1856. Sapi Bali tersebut kemudian menyebar ke pulau Sulawesi, Lombok, dan Timor dan sebagian kecil pulau di Indonesia (Payne dan Rollinson, 1973).
Gambar 1. Sapi Bali Sumber : Hartaningsih (2008)
Sapi Bali termasuk sapi kecil dengan ukuran bobot yaitu 150-300 kg pada jantan bobot badan dewasa (Talib et al., 2002). Sapi Bali memiliki karakteristik yang seragam. Ternak ini berukuran sedang, berdada dalam, kaki yang bagus. Warna bulu sapi Bali yaitu merah, keemasan, dan coklat tua dikenal juga walaupun tidak umum. Sapi Bali memiliki Bibir, kaki, dan ekor hitam dan kaki berwarna putih dari lutut ke bawah, dan terdapat warna putih di bawah paha dan bagian oval yang putih yang jelas pada bagian pantat. Pada bagian punggung selalu terdapat garis hitam yang jelas, dari bahu dan berakhir di atas ekor. Warna pada ternak jantan lebih gelap daripada betina, warna bulu menjadi coklat tua sampai hitam pada saat
6 mencapai dewasa. Sapi Bali memiliki bulu pendek, halus, dan licin, kulit berpigmen dan halus, dan kepala lebar dan pendek (Williamson dan Payne, 1993). Gambar sapi Bali dapat dilihat pada Gambar 1.
Sapi Madura
Sapi Madura yaitu sapi yang banyak ditemukan di Pulau Madura. Sapi jantan mempunyai ciri-ciri ukuran gumba sedang, namun lebih kecil daripada gumba sapi Aceh jantan. Sapi Madura betina hanya ditemukan jejak-jejak gumba. Secara umum sapi Madura yang terdapat di pulau Madura memiliki warna coklat, tetapi beberapa penelitian menemukan warna sapi Madura mirip dengan sapi Bali yaitu memiliki kaki berwarna putih, pantat berwarna putih atau hitam, dan memiliki garis hitam di bagian punggung (Otsuka et al., 1980).
Gambar 2. Sapi Madura
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, (2012a) Sapi Pesisir
Sapi pesisir merupakan salah satu sapi lokal Indonesia yang terdapat di Sumatera Barat yang berbeda dari sapi lokal lain yang terdapat di Indonesia yaitu memiliki bentuk dan ukuran yang kecil (Jakaria, 2008). Sapi ini yang berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan merupakan sapi terkecil kedua di dunia setelah sapi dwarf west Afrika Shorthorn yang berasal dari Wilayah pantai Afrika Barat (Sarbaini, 2004). Hal tersebut termasuk salah satu keunikan dari sapi ini yang merupakan salah
7 satu keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh bangsa sapi lain (Jakaria, 2008). Keunggulan lain yang dimiliki sapi pesisir yaitu variasi bulu yang beragam, sehingga menjadikan identitas suatu bangsa, yaitu putih, kuning muda, kuning tua, merah bata, cokelat, dan hitam (Sarbaini, 2004).
Sapi Pesisir memiliki rataan tinggi pundak 114 cm dan betina 109 cm pada umur 4 tahun (Saladin, 1983). Sementara Sarbaini (2004) mendapatkan rataan tinggi pundak pada sapi jantan dewasa pada setiap sub populasi sapi pesisir, yaitu di daerah Kabupaten Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Kabupaten Agam masing-masing 99,9 cm; 108, 7 cm; dan 101,8 cm; sedangkan pada betina masing-masing 99,2 cm; 108,2 cm; dan 101,7 cm.
Gambar 3. Sapi Pesisir
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan (2012b) Sapi Aceh
Sapi Aceh merupakan bangsa sapi tipe kecil yang ditemukan khusus di daerah Aceh (Abdullah et al., 2008). Hasil penelitian Abdullah (2008) menunjukkan bobot badan dan ukuran tubuh sapi Aceh mengalami penurunan dibandingkan dengan bobot badan dan ukuran tubuh yang dilaporkan pada tahun 1926. Ukuran-ukuran tubuh sapi Aceh mempunyai Ukuran-ukuran-Ukuran-ukuran tubuh yang lebih kecil pada tingkat umur yang sama, apabila dibandingkan sapi Bali, Madura dan PO. Namun masih berada di atas rataan ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi Pesisir di
8 Sumatera Barat. Rata-rata bobot hidup sapi Aceh dewasa betina 161,19 kg dan jantan 191,78 kg (Abdullah, 2008).
Abdullah et al. (2008) menemukan hampir seluruh populasi sapi Aceh mempunyai garis muka yang cekung dan sebagian (4,5%) memiliki garis muka yang lurus. Secara umum sapi Aceh mempunyai garis punggung yang cekung (89,25%), sebagian mempunyai garis punggung cembung (6,25%) dan sebagian kecil mempunyai garis punggung lurus (4,5%). Secara kualitatif, sapi Aceh mempunyai warna dominan merah bata dan cokelat muda serta pola warna beragam mulai warna gelap sampai terang. Bentuk pertumbuhan tanduk sapi betina mengarah ke samping melengkung ke atas kemudian ke depan dan pada jantan mengarah ke samping melengkung ke atas.
Gambar 4. Sapi Aceh
Sumber : Nangroe Aceh Darusalam. Litbang (2012) Keragaman Genetik
Keragaman genetik yaitu perbedaan genotip diantara ternak-ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga (Noor, 2010). Keragaman genetik timbul akibat proses pembelahan meiosis saat pembentukan gamet, yang disebabkan salah satunya karena terdapat peluang terjadinya rekombinasi kromosom yang berasal dari kedua tetua. Sumber keragaman lain yaitu mutasi gen yang terjadi secara alami, di mana frekuensi kejadiaanya relatif rendah. Namun dalam skala masa evolusi perkembangan berbagai jenis ternak evolusi merupakan keragaman yang cukup penting, karena mutasi
9 tersebut dapat diwariskan. Hal tersebut dikarenakan hanya terjadi pada sel germinal yang terdapat pada ovarium dan testis (Martojo, 1992; Jusuf, 2001; King, 2002b).
Keanekaragaman pada berbagai populasi ternak yang ada pada saat ini merupakan akumulasi dari mutasi-mutasi yang terjadi selama evolusi pada masa lampau (Martojo, 1992). Keragaman genetik dapat dilihat dengan menggunakan penanda morfologi dan penanda molekuler (King, 2002a).
Penanda morfologi merupakan penanda yang telah banyak digunakan dalam program genetika dasar maupun dalam program praktis pemuliaan, karena penanda ini paling mudah untuk diamati dan dibedakan. Namun, penanda ini memiliki beberapa kelemahan dalam aplikasi lapang yaitu ketelitian dan ketepatan penentuan mutu genetik hewan penanda morfologi sangat rendah. Dengan demikian untuk kegiatan pemuliaan tidak cukup hanya berdasarkan pada informasi karakteristik morfologi saja, tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan saat ini, maka dapat digunakan alternatif penanda lain yaitu penanda molekuler yang telah relatif lebih mudah untuk dikerjakan (Muladno, 2006). Keragaman nukleotida merupakan parameter yang akurat untuk menggambarkan keragaman genetik. Unsur positif dengan menggunakan keragaman nukleotida tidak tergantung besar sampel dan panjang DNA (Hartl dan Clark, 1989).
Sekarang telah ada beberapa penanda DNA untuk menganalisis latar belakang genetik hibrida pada sapi (Nijman et al., 2003) yaitu penanda mtDNA. Penanda mtDNA menunjukkan introgresi melalui silsilah maternal (Randi, 2000), yang pada sapi menunjukkan sejarah kekerabatannya (Nijman et al., 2003). Penelitian Lai et al. (2005) berdasarkan pengujian keragaman sekuen pada daerah kontrol DNA mitokondria yaitu daerah D-loop menunjukkan bahwa sapi asli Cina merupakan keturunan dari maternal sapi Asia Timur.
DNA Mitokondria
Material DNA yang secara umum digunakan dalam analisa genetik yaitu DNA yang berasal dari inti, tetapi untuk organisme eukariot sumber DNA dapat pula diperoleh dari organel-organel sitoplasmik. Salah satu organel yang dapat menjadi sumber bahan genetik adalah mitokondria (Duryadi, 1994; King, 2002a). Mitokondria adalah organel yang bertanggung jawab di dalam metabolisme aerobik pada sel-sel eukariot. Mitokondria mempunyai molekul DNA tersendiri dengan
10 ukuran kecil dan sederhana yang memiliki susunan yang berbeda dengan DNA inti (Randi, 2000). Ukuran dari DNA mitokondria pada sapi yaitu sebesar 16.338 pasang basa (Duryadi, 1994).
Sekitar 1% dari material genetik organisme eukariot terdapat dalam mitokondria yang dibentuk dari untai-ganda sirkular yang mengandung 2-10 salinan molekul DNA. DNA mitokondria memiliki fungsi penting antara lain sebagai penyandi 2 RNA ribosom (RNA ribosom besar 16S dan kecil 12S), 22 molekul RNA tranfer, dan 13 protein (tujuh sub unit NADH dehidrogenase (kompleks I), sitokrom
b kompleks III, tiga sub unit sitokrom oksidase (kompleks IV), dan dua sub unit ATP sintase) yang berperan penting dalam rantai respiratorik (Randi, 2009). Adapun genom mitokonria Bos indicus dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Genom Mitokondria pada B. indicus
Sumber : Anderson et al. (1982)
Kelebihan menggunakan DNA mitokondria sebagai penanda genetik dalam studi variabilitas genetik intraspesifik (inter populasi) dapat memberikan informasi secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal tersebut dikarenakan laju mutasi DNA mitokondria lebih tinggi dibandingkan DNA nukleus yaitu 5-10 kali lebih sering (Randi, 2000). Kelebihan tersebut menyebabkan mtDNA berevolusi sangat cepat, sehingga dapat digunakan untuk melacak kejadian yang relatif baru seperti pada studi hibridisasi alami antara dua sub spesies seperti hibridisasi pada Bos javanicus dan
11 DNA mitokondria memiliki sifat khusus yaitu diturunkan melalui induk tanpa mengalami rekombinasi. Sifat tersebut sehingga dapat digunakan untuk suatu rekonstitusi historik dari genealogi matrilinier suatu spesies maupun antar populasi. Studi keragaman genetik interspesifik berdasarkan perbedaan dan persamaan mtDNA dapat menghasilkan rekonstruksi filogenik dari beberapa spesies yang satu terhadap yang lain (Duryadi, 1994).
Kajian keragaman genetik yang berdasarkan DNA mitokondria saat ini sangat berkembang karena DNA mitokondria mempunyai jumlah turunan yang tinggi (high copy number), mempunyai jumlah salinan sebesar 103-104 molekul DNA mitokondria/sel somatik, tergantung jaringan dan status fisiologis. Ukuran DNA mitokondria kecil sehingga dapat dipelajari secara utuh. Daerah DNA mitokondria paling bervariasi yaitu daerah D-loop (Randi, 2000). D-loop DNA mitokondria adalah control region, yaitu tempat yang mengatur replikasi dan transkripsi mtDNA yaitu awal dari replikasi rantai berat (Ho). Dinamakan D-loop karena pada fragmen tersebut terdapat fragmen DNA dengan sruktur 3-rantai (membentuk hairpin), terbentuk akibat terciptanya rantai berat (H-strand) yang menggantikan rantai induk dan membentuk struktur tripleks D-loop (3-strand) (Clayton, 1992).
Gambar 6. Skema DNA Mitokondria Daerah D-loop
12 Daerah yang memb)entuk hairpin/D-loop berdekatan dengan gen tRNAphe dan terdapat promotor (Heavy Strand Promotor/HSP dan Light Strand Promotor/ LSP) yang berfungsi sebagai transkripsi genom mitokondria juga terdapat daerah OH (Origin of Replication) untuk rantai berat yang berfungsi awal replikasi (Clayton, 1992). Daerah D-loop yang hipervariabel (mempunyai variasi basa yang cukup tinggi) terletak di luar segmen yang mempunyai fungsi transkripsi dan replikasi tersebut (Wood dan Phua, 1996), sehingga dapat digunakan untuk mengetahui silsilah dari suatu ternak dan hubungan kekerabatan (filogenetik) (Mannen et al., 1998). Daerah D-loop mtDNA disajikan pada Gambar 6.
Kekerabatan Sapi di Indonesia
Berdasarkan ukuran tubuh sapi-sapi asli Indonesia yaitu sapi Bali, Madura, Aceh dan Padang memiliki kesamaan ukuran tubuh. Variasi dari sapi tersebut yaitu mempunyai warna bulu yang berbeda, karena sapi Padang memiliki variasi bulu yang beragam. Sementara pada sapi Madura betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari pada sapi Aceh dan sapi Padang, namun lebih kecil daripada sapi Bali. Apabila dibandingkan dengan sapi asli yang terdapat di Asia Tenggara seperti Thailand dan Malaysia Barat, sapi-sapi Indonesia yang terdapat di Sumatra (sapi Aceh dan sapi Padang) memiliki hubungan yang dekat. Sementara sapi Madura sangat dekat dengan sapi asli Thailand, sedangkan ukuran tubuh sapi asli Filipina dan Taiwan memiliki kesamaan dengan sapi Bali pada beberapa bagian (Otsuka et al., 1980).
Berdasarkan penelitian Hayashi et al. (1980) ukuran tengkorak sapi Aceh mempunyai lebar dan tinggi tengkorak yang lebih pendek dibanding panjang tengkorak sapi tersebut, dan bagian cerebral tengkorak lebih besar dibanding bagian wajah, tingkat keseragaman sapi Aceh juga lebih rendah dari pada sapi Bali. Sementara sapi Madura mempunyai lebar dan tinggi tengkorak yang memiliki ukuran diantara sapi Aceh dan sapi Bali, sapi Madura juga memiliki tingkat keseragaman yang rendah seperti pada sapi Aceh. Berbeda dengan sapi Bali yang lebih menyerupai banteng dari pada sapi Aceh dan sapi Madura. Namun tidak ditemukan tonjolan intercornual di tengkorak sapi Bali. Karakteristik ini tidak ditemukan pada sapi asli lain maupun banteng. Sebaran komposisi genetik populasi sapi di beberapa wilayah Indonesia disajikan pada Gambar 7.
13 Gambar 7. Komposisi Genetik Populasi Sapi di Beberapa Wilayah di Indonesia Sumber : Mohamad et al. (2009)
Analisis hubungan kekerabatan pada sapi lokal Indonesia berdasarkan sekuen DNA Mitokondria Gen Cytochrome Oxidase I (Gen COI) menunjukkan bahwa sapi Bali terpisah dari pengelompokan keempat bangsa sapi Indonesia lainnya. Sapi Aceh, Pesisir, PO, dan Madura terletak dalam kelompok yang sama dengan Bos indicus. Dari kedua pengelompokan tersebut menunjukkan bahwa sapi Bali mempunyai asal-usul tersendiri sedangkan keempat sapi lain berasal dari kelompok sapi Zebu (Gambar 8) (Febriana, 2011). Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Mohamad et al. (2009) melalui analisis DNA mitokondria, Y-kromosom, dan mikrosatelit (Gambar 9).
Gambar 8. Konstruksi Pohon Filogenik Sapi Asli dan Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan DNA Daerah CO I
14 Gambar 9. Konstruksi Pohon Filogenik Sapi Asli dan Sapi Lokal Indonesia Sumber : Mohamad et al. (2009)
15
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - Agustus 2012
Materi
Sampel Darah
Sampel darah sapi yang digunakan yaitu sapi asli dan sapi lokal sebanyak 18 sampel dari lima bangsa sapi yang yaitu sapi Bali, Madura, Pesisir, Aceh, dan PO. Jumlah masing-masing sampel yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia
Ternak n Asal
Sapi Bali 2
4
BIB Sapi Bali, Bali BPTU Sapi Bali, Bali
Sapi Madura 2
2
Sapudi
Kab. Sampang
Sapi Aceh 2 Kab. Aceh Besar
Sapi Pesisir 2 Kab. Pesisir Selatan
Sapi PO 2
2
Kab. Kebumen
Kandang A Fakultas Peternakan IPB
Total 18
Keterangan : n = jumlah individu sampel
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan pada pengambilan sampel darah adalah alkohol 70%, es, dan kapas. Alat yang digunakan antara lain jarum venojact, tabung vacutainer 10 ml, dan termos. Sampel darah yang digunakan merupakan koleksi dari laboratorium Pemuliaan dan Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.
16 Amplifikasi daerah D-loop dilakukan melalui Polymerase Chain Reaction
(PCR). Bahan-bahan yang digunakan pada proses amplifikasi DNA adalah adalah DW, sampel DNA, 10 × buffer, MgCl2, primer forward dan reverse, enzim taq,dan dNTPs. Alat yang digunakan adalah satu set pipet mikro, alat sentrifugasi, tabung PCR, mesin PCR, vortex, dan freezer.
Bahan yang digunakan untuk elektroforesis terdiri atas gel elektroforesis,
loading dye, dan marker 100 pb. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat gel elektroforesis yaitu agarose, 0,5 × TBE, Ethidium Bromide. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat larutan loading dye yaitu bromothymol blue, xylene cyanol, gliserol. Sementara, alat yang digunakan antara lain microwave, stearer,
magnet stearer, gelas ukur, tabung erlenmeyer, gel tray, pencetak untuk sumur (comb), power supply 100 volt, gelas ukur, pipet makro dan mikro, serta
UV-Transiluminator. Buffer elektroda yang digunakan terdiri dari Tris, Glycine dan
aquadestilata.
Primer DNA Mitokondria Daerah D-loop
Primer merupakan molekul oligonukleotida yang berukuran pendek (sekitar 18-24 pasang basa) yang akan menempel pada DNA cetakan di tempat spesifik. Pasangan primer yang digunakan untuk mengamplifikasi mtDNA daerah D-loop sapi dengan runutan primer forward5′-TAGTGCTAATACCAACGGCC-3′ dan primer
reverse5′-AGGCATTTTCAGTGCCTTGC-3′ (Hassan et al., 2009).
Prosedur
Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan sampel darah sapi sebanyak sekitar 3 ml melalui vena jugularis
dengan menggunakan venojact lalu segera dimasukkan ke dalam tabung vaccutainer
yang dimasukkan kedalam termos es dan disimpan dalam suhu 4 ºC.
Isolasi DNA
Isolasi DNA dilakukan dari sampel darah dengan menggunakan Genomic DNA mini kit Geneaid (Lampiran 2) yang dimodifikasi untuk penggunaan sampel yang disimpan dalam alkohol.
17
Amplifikasi DNA Mitokondria Daerah D-loop
Amplifikasi lengkap fragmen D-loop DNA mitokondria menggunakan primer seperti yang digunakan Hassan et al. (2009), yaitu primer Forward 5′
-TAGTGCTAATACCAACGGCC-3′ dan primer Reverse 5′
-AGGCATTTTCAGTGCCTTGC-3′ dengan panjang produk PCR 1145 bp (Gambar 10). Sekuen D-loop mtDNA diperoleh dari NBCI (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/). Nomor akses standardnya adalah Bos indicus dengan kode akses AY126697.
Keterangan :
: Primer forward
: Primer reverse
Warna hijau menunjukkan basa nukleotida yang berbeda
Volume setiap reaksi PCR sebanyak 25 µl yang terdiri atas 2 µl sampel DNA; 0,3 µl primer forward dan reverse; 0,2 µl dNTPs; 1 µl MgCl2; 2,5 µl 10 ×
buffer0,1 µl enzim Taq Polymerase; dan 18,9 µl destilation water (DW) yang dilakukan dengan menggunakan mesin PCR model Applied Biosystems. Kondisi PCR yang digunakan adalah: predenaturasi pada suhu 95 °C selama lima menit, dilanjutkan dengan siklus utama yaitu tahap denaturasi pada suhu 95 °C selama 30 detik, tahap penempelan primer (annealing) pada suhu 60 °C selama 45 detik, dan tahap polimerasi (extension) pada suhu 72 °C selama satu menit diulang sebanyak 35 siklus. Reaksi PCR diakhiri dengan polimerasi (final exstension) pada suhu 72 °C selama lima menit.
5’−TAGTACTAATACCAACAGCCGGCACAGTTGAAAACAAATTACTAAAATGAAGACAGGTCTTTGTAGTACATCTAA TATACTGGTCTTGTAAACCAGAGAAGGAGAACAACTAACCTCCCTAAGACTCAAGGAAGAAACTGTAGTCTCACCGTC AACCCCCAAAGCTGAAGTTCTATTTAAACTATTCCCTGAACACTATTAATATAGTTCCATAAATGCAAAGAGCCTTAT CAGTATTAAATTTATCAAAAATCCCAATAACTCAACACAGAATTTGCACCCTAACCAAATATTACAAACACCACTAGC TAACATAACACGCCCATACACAGACCACAGAATGAATTACCCAGGCAAGAGGTAATGTACATAACATTAATGTAATAA AGACATGATATGTATATAGTACATTAAATTATATACCCCATGCATATAAGCAAGTACATGATCTCTATAATAGTACAT AATACATACAATTATTAATTGTACATAGTACATTATATCAAATCCATCCTCAACAACATATCTACTATATACCCCTTC CACTAGATCACGAGCTTAATTACCATGCCGCGTGAAACCAGCAACCCGCTAAGCAGAGGATCCCTCTTCTCGCTCCGG GCCCATAGACCGTGGGGGTCGCTATTTAATGAATTTTACCAGGCATCTGGTTCTTTCTTCAGGGCCATCTCATCTAAA GTGGTCCATTCTTTCCTCTTAAATAAGACATCTCGATGGACTAATGACTAATCAGCCCATGCTCACACATAACTGTGC TGTCATACATTTGGTATTTTTTTATTTTGGGGGATGCTTGGACTCAGCTATGGCCGTCAAAGGCCCCGACCCGGAGCA TCTATTGTAGCTGGACTTAACTGCATCTTGAGCACCAGCATAATGATAGGCATGGGCATTACAGTCAATGGTCACAGG ACATAAATACATTATATATCCCCCCCTTCATAAAAACCTCCCCCTTAAATATTCACCACCACTTTTAACAGACTTTTC CCTAGATACTTATTTAAATTTTCCACACTTTCAATACTCAATTTAGCACTCCAAACAAAGTCAATATATAAACGCAGG CCCCCCCCCCCCCCGTTGATGTAGCTTAACCCAAAGCAAGGCACTGAAAATGCCT-3’
18
Elektroforesis
Elektroforesis menggunakan agarose 1,5% dilakukan dengan cara 0,45 g agarose dilarutkan dalam larutan 0,5 x TBE sebanyak 30 ml lalu dipanaskan dalam
microwave selama sekitar lima menit kemudian dilakukan stirer dan ditambahkan 2,5 µl EtBr. Larutan dituang ke dalam cetakan gel, diberi sisiran pada tepi gel dan gel dibiarkan mengeras. Sisir dicabut setelah gel mengeras sehingga terbentuk sumur-sumur.
Produk PCR sebanyak lima µl dicampurkan dengan loading dye sebanyak satu µl dengan menggunakan mikropipet lalu dimasukkan dalam sumur-sumur gel dan satu sumur gel dimasukkan marker sebanyak 2 µl yang digunakan sebagai penanda. Kemudian gel ditempatkan ke dalam gel tray elektroforesis yang sudah berisi larutan buffer dan dialiri listrik 100 volt selama 30 menit, molekul DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak (bermigrasi) ke arah positif. Gel agarose yang telah selesai dilakukan elektoforesis kemudian diambil untuk melihat panjang pita DNA dengan menggunakan sinar ultraviolet dalam trans illuminator. Panjang pita DNA dapat diketahui dengan cara menarik garis lurus masing-masing pita sampel DNA dengan posisi pita DNA marker.
Perunutan Produk PCR (Sekuensing)
Pebacaan sekuen menjadi alat penting dan utama dalam biologi molekular karena dapat mengetahui komposisi nukleotida dan asam amino suatu gen, juga digunakan untuk menganalisis kekerabatan dan jalur evolusi (Albert et al., 1994). Produk PCR daerah D-loop dari penelitian ini berupa pita tunggal yang berukuran 1145 pb. Analisis perunutan dilakukan di Macrogen, Korea Selatan.
Rancangan dan Analisis Data
Jarak Genetik dan Pohon Filogeni
Sekuen DNA dilakukan manual editing dengan menggunakan BioEdit. Runutan nukleotida yang telah diedit disejajarkan dengan runutan baku nukleotida B. indicus dari Genbank (kode akses AY126697; Mirreti et al., 2002). Proses pensejajaran (alignment) dilakukan dengan menggunakan program Clustal W yang terdapat pada program MEGA 5.0 (Molecular Evolutionary Genetics Analysis 5.0;
19 Tamura et a., 2007). Perhitungan komposisi basa nukleotida, jarak genetik dan konstruksi pohon filogeni dilakukan dengan menggunakan program MEGA 5.0. Jarak genetik digunakan untuk melihat kedekatan hubungan genetik antara sampel yang dianalisis. Nilai jarak genetik diperoleh dengan membagi jumlah nukleotida yang berbeda degan jumlah total nukleotida. Perhitungan pairwise distance
digunakan untuk melihat jarak rata-rata p-distance dari basa nukleotida daerah D-loop. Pohon filogeni direkrontruksi dengan menggunakan metode bootsraped Neighboor-Joining (NJ) dengan 1000 kali pengulangan (Nei dan Kumar, 2000).
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi Daerah D-loop
Amplifikasi daerah D-loop DNA mitokondria (mtDNA) pada sampel DNA sapi Bali, Madura, Pesisir, Aceh, dan PO dilakukan dengan menggunakan mesin PCR Applied Biosystem. Hasil optimal fragmen D-loop mtDNA berhasil dilakukan amplifikasi pada kondisi annealing dengan suhu 60 °C selama 45 detik, dan diperoleh produk PCR dengan panjang 1145 bp (Gambar 11).
M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (+) Keterangan : M (marker) = ladder 100 bp B = Bali M = Madura P = PO
Gambar 11. Hasil Ektroforesis Produk PCR Daerah D-loop mtDNA
Keberhasilan amplifikasi daerah D-loop sangat ditentukan dengan kondisi penempelan primer pada DNA genom, selain faktor-faktor bahan pereaksi PCR dan mesin PCR yang digunakan. Weissensteiner (2004) menyatakan bahwa suhu penempelan (annealing) primer yang sesuai merupakan hal yang paling penting untuk keberhasilan PCR disamping kosentrasi MgCl2. Berdasarkan hasil amplifikasi yang dilakukan oleh Hassan et al. (2009) penempelan (annealing) primer daerah D-loop mtDNA pada kerbau sungai dengan primer yang sama, yaitu pada suhu 59 °C selama 45 detik akan menghasilkan produk PCR yang baik. Berbeda pada suhu
annealing yang optimal pada penelitian ini, yaitu lebih tinggi dibandingkan dengan 1000 bp
21 suhu annealing yang digunakan oleh Hassan et al. (2009) yaitu 60 °C selama 45