BAB II KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA KEKERASAN
C. Tinjauan Review Kajian Terdahulu
Dalam menjaga keaslian judul penulis ajukan dalam skripsi ini perlu kiranya penulis melampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan pertimbangan, antara lain:
1. Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Ramdhani Citrawan29. Hasil penelitian dari skripsi ini menunjukkan bahwa keberatan atas kurang detailnya KUHP maupun KUHAP dalam mengatur tindak pidana kekerasan seksual menjadi landasan perlunya diusulkannya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dalam menjembatani perbedaan perspektif terhadap hadirnya RUU PKS yang masih jauh dari kesempurnaan baik dari perspektif Islam, akan lebih tepat mengambil adagium dari kaidah fikih: ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh. Persamaan penelitian dengan yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini adalah terdapat pembahasan mengenai tinjauan umum tentang kekerasan seksual. Perbedaan yang terdapat di dalam skripsi ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah skripsi ini mendeskripsikan kesesuaian RUU PKS dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia dan untuk menjelaskan kesesuaian konsep RUU PKS dalam perspektif Hukum Islam dalam kaidah fikih sementara itu penelitian yang akan dilakukan oleh penulis berfokus pada urgensi pengesahan RUU PKS dan dinamika yang menjelaskan isu problematik akibat kebijakan RUU PKS.
2. Skripsi yang ditulis oleh Rully Faradhila Ariani.30 Hasil penelitian dari skripsi ini adalah Pertama, bahwa berdasarkan analisis yang telah dilakukan,
29 Muhammad Ramdhani Citrawan, Analisis Kritis Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Perspektif Islam dan Hukum Pidana Positif Indonesia, (Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2019), Diakses pada tanggal 7 Januari 2021 pukul 16.10 WIB.
30 Rully Faradhila Ariani, Analisis Kebijakan Formulasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.(Skripsi Universitas Negeri Gadjah Mada Yogyakarta 2019) Diakses pada tanggal 6 Januari 2021 pukul 17.00 WIB.
ditemukan bahwa pengaturan kriminalisasi yang dikaitkan dengan 10 (sepuluh) indikator kriminalisasi di dalam RUU PKS ini mengalami kelemahan. Kedua, dalam hal penciptaan ketentuan pidana haruslah didasarkan pada pertimbangan konseptual yang matang dan tajam. Ketiga, dalam hal pertanggungjawaban pidana, salah satu yang menjadi kesulitan adalah penerapan pertanggungjawaban pidana pada korporasi, maka diperlukan suatu peraturan yang spesifik dan jelas agar peraturan tersebut dapat ditegakkan, sedangkan pengaturan di dalam RUU PKS masih mengalami banyak kekurangan dan belum mencapai tahap itu. Persamaan pembahasan di dalam skripsi ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terdapat pembahasan mengenai tinjauan umum tentang politik hukum. Perbedaan yang terdapat di dalam skripsi ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah skripsi ini menitikberatkan pada analisis mengenai ketentuan aturan hukum pidana yang dirumuskan dalam RUU PKS sedangkan penelitian yang dilakukuan oleh penulis menitikberatkan pada urgensi dan perdebatan para pihak akan kebijakan RUU PKS.
3. Buku yang ditulis oleh Ismantoro Dwi Yuwono, S.H.31 dengan judul Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Fokus pembahasan pada buku ini adalah menjelaskan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan bagaimana penerapan hukumnya. Persamaan pembahasan di dalam buku ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terdapat konteks yang memuat pembahasan terkait kekerasan seksual, bentuk-bentuknya, sumber dan faktor penyebabnya. Sementara itu perbedaan penelitian dengan fokus pembahasan yang terdapat di dalam buku adalah buku ini membahas penerapan hukum terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peniliti membahas mengenai kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
31 Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, (Yogyakarta: Medpress Digital, 2015).
4. Artikel jurnal yang ditulis oleh Agnes Kusuma Wardadi, dkk.32 Hasil penelitian dari artikel jurnal ini adalah RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) merupakan suatu ketentuan hukum yang bersifat Lex Generalis, karena ketentuan hukum pidana yang diatur bersifat lebih umum. Berbeda dengan RUU PKS, ketentuan hukum dalamnya berisi bentuk-bentuk penjaminan hukum terkait kekerasan seksual. RUU PKS hanya membahas satu topik, yaitu kekerasan seksual, sehingga ia merupakan ketentuan hukum Lex Specialis. Sehingga jika keduanya disahkan secara bersamaan, maka berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis, ketentuan hukum yang bersifat khusus harus diberlakukan lebih utama daripada ketentuan hukum yang bersifat umum. Maka dari itu, ketentuan mengenai kekerasan seksual yang diatur dalam RUU PKS harus lebih diutamakan. Persamaan penelitian yang dilakukan penulis dengan jurnal ini terletak pada adanya pembahasan tentang sejarah asal-usul RUU PKS sementara itu perbedaan penelitiannya adalah artikel jurnal ini berfokus pada perbandingan pemberlakuan mengenai isu kekerasan seksual dalam RKUHP dan RUU PKS sedangkan penulis berfokus pada urgensi dan dinamika RUU PKS.
5. Artikel jurnal yang ditulis oleh Nikodemus Niko, dkk.33 Hasil penelitian dari artikel jurnal ini adalah narasi kelas yang digaungkan Karl Marx pada akhirnya membentuk suatu relasi kolektif. Artinya bahwa movement yang dilakukan terhadap perjuangan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini tidak hanya berasal dari satu kelas tertentu dan gender tertentu, melainkan membentuk kolektifitas. Kolektif dalam hal ini adalah bagi siapa saja (kalangan) yang mendesak pengesahan RUU ini untuk segera disahkan, dengan pengharapan akan terdapat perbaikan sistem hukum negara dalam penanganan kekerasan seksual, baik penanganan hak-hak korban maupun
32 Agnes Kusuma dkk, Analisis Keberlakuan RKUHP dan RUU-PKS dalam Mengatur Tindak Kekerasan Seksual, (Lex Scientia Law Review, Volume 3 No. 1, Mei 2019) Diakses pada tanggal 7 Januari 2021 pukul 14.33 WIB.
33 Nikodemus dkk, “Perjuangan Kelas Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”, (Jurnal Ilmu Dinamika Sosial, Vol. 4, No. 2 Juli 2020) Diakses pada tanggal 8 Januari 2021.
penghukuman bagi pelaku. Persamaan penelitian yang dilakukan dengan jurnal ini terletak pada adanya pembahasan terkait kelompok yang mendukung dan menolak akan pengesahan RUU PKS sementara itu perbedaan penelitiannya adalah artikel jurnal ini berfokus pada gejolak perjuangan kelas (pemikiran Karl Marx) dalam melihat upaya perjuangan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia sedangkan penulis berfokus dalam menganalisis perdebatan isu yang menyebabkan penundaan pengesahan RUU PKS.
35 BAB III
RUANG LINGKUP RANCANGAN UNDANG UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL
A. Sejarah Terbentuknya RUU PKS
RUU PKS merupakan produk hukum yang dirumuskan sebagai upaya untuk menghapuskan beragam bentuk kekerasan seksual khususnya segala bentuk kejahatan dan kekerasan seksual terutama kepada perempuan yang masih belum memiliki payung hukum untuk melindungi seluruh warga negara yang menjadi korban tindak kejahatan atau kekerasan seksual . Ada beberapa hal yang melatarbelakangi pembentukan RUU PKS. Hal tersebut salah satunya dengan mewujudkan bentuk perlindungan terhadap warga negara atas hak bebas dari ancaman dan kekerasan. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan, perempuan yang menjadi korban kekerasan setiap tahunnya terus meningkat.
Kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik, psikis juga kekerasan seksual dan hal itu terjadi di ranah privat, wilayah publik, serta dalam relasi warga dengan negara.1
Temuan data Komnas Perempuan dari tahun 2001 hingga tahun 2011 menjelaskan kasus kekerasan seksual mencapai seperempat dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Begitu juga laporan kekerasan seksual yang setiap tahunnya terus meningkat, pada tahun 2012 kasus meningkat sejumlah 181% dari tahun yang sebelumnya.2 Bahkan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir yaitu tahun 2013-2015 kasus kekerasan mencapai rata-rata berjumlah 298.224 pertahun. Adapun hal tersebut juga disebabkan oleh adanya konstruksi budaya masyarakat indonesia yang patriarkis sehingga menyebabkan warga negara yang sering menjadi korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan dewasa namun juga perempuan dalam usia anak.
1 Komnas Perempuan dan Forum Pengadaan Layanan, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, … h. 2.
2 Komnas Perempuan, Korban Berjuang, Publik Bergerak: Mendobrak Stagnansi Sistem Hukum, “Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2012” (Maret, 2013), h. 1.
Merujuk pada hasil pemantauan Komnas Perempuan tersebut para korban kekerasan seksual justru sering direviktimisasi oleh masyarakat. Akibat maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia, khususnya bagi kaum perempuan diperlukanlah sebuah peraturan khusus yang berguna untuk mengatur tentang kekerasan seksual. Tercetuslah ide untuk menggagas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah dimulai sejak tahun 2012. Kemudian pada tahun 2014 Komnas Perempuan bersama dengan sejumlah organisasi masyarakat pendamping korban yang bernama Forum Belajar Lembaga Pengada Layanan atau Forum Pengada Layanan (FPL) mulai menyusun draft Naskah Akademik dan rumusan RUU PKS melewati berbagai rangkaian konsultasi, baik secara internal di lingkungan Komnas Perempuan maupun secara eksternal dengan menghadirkan berbagai konsultan dari kementrian terkait, lembaga dan aparatur penegak hukum serta para akademisi.1
Pada tahun 2015 upaya selanjutnya diteruskan oleh Komnas Perempuan dan FPL untuk melakukan konsultasi lanjutan yang bertujuan supaya mendapat masukan untuk menyempurnakan draft Naskah Akademik dan rumusan RUU PKS.2 Hingga pada tahun 2016 upaya tersebut terus berlanjut, berbagai pihak terus memberikan masukan termasuk mengkritisi rumusan norma agar tetap sejalan dengan asas hukum pidana, ketatanegaraan, perlindungan terhadap hak kelompok rentan terdiskriminasi dan sebagainya. Pada bulan Mei dari sisi legislasi, RUU PKS berhasil masuk ke dalam Prolegnas dan Komnas Perempuan bersama dengan FPL secara resmi menyerahkan Naskah Akademik dan juga Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual kepada ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI).
Menurut Komnas Perempuan keberhasilan RUU PKS ke dalam Prolegnas tidak terlepas dari upaya beberapa anggota DPR yang menggalang dukungan
1 Agnes Kusuma, dkk. Analisis Keberlakuan RKUHP dan RUU-PKS dalam Mengatur Tindak Kekerasan Seksual, … h. 59.
2 Nurani Perempuan, Kronologi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (http://nuraniperempuan.org/ruu-penghapusan-kekerasan-seksual/kronologi-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual/) Diakses 23 Mei 2021.
seorang pelajar SMP di Bengkulu mengakibatkan korban meninggal pada April 2016. Kasus YY tersebut mendapat perhatian yang besar dari publik dan memunculkan gerakan untuk melawan kekerasan seksual. Berbagai lembaga swadaya masyarakat dan aktivis perempuan yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual menuntut agar pemerintah segera mengesahkan RUU PKS. 1
Meskipun RUU PKS telah masuk ke dalam daftar prioritas Tahun 2016, tetapi pada faktanya RUU PKS tidak langsung dibahas. Proses ke arah tersebut baru berjalan kembali pada bulan Oktober 2016, setelah tiga orang anggota DPR mengirimkan surat desakan kepada Pimpinan Badan Legislasi (Baleg) agar RUU PKS segera dibahas. Selanjutnya RUU PKS melalui proses harmonisasi di Baleg DPR RI. Pada tanggal 31 Januari 2017, Panja Baleg DPR meminta kepada anggota DPR yang mengusulkan RUU PKS untuk menyempurnakan Naskah Akademik sesuai RUU yang telah dibahas oleh Panja Baleg. Setelah itu pada tanggal 14 Februari 2017, dalam rapat paripurna DPR, RUU PKS ditetapkan menjadi RUU usul (inisiatif) DPR RI. Draf RUU PKS yang ditetapkan sebagai usul (inisiatif) DPR terdiri dari 15 bab dan 152 pasal. 2
B. Jenis Kekerasan Seksual dalam RUU PKS
Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, jenis-jenis kekerasan seksual tercantum dalam Pasal 11 ayat (2). Dari 15 jenis kekerasan seksual yang telah diklasifikasikan oleh Komans HAM tidak semua jenis kekerasan seksual yang ditemukan tersebut dapat
1 Abdul Azis, Tragedi Yuyun, Perempuan Bukan Obyek Kekerasan Seksual,
(https://nasional.tempo.co/read/768158/tragedi-yuyun-perempuan-bukan-obyek-kekerasan-seksual/full&view=ok), Diakses pada tanggal 28 Mei 2021.
2 Susanto, et.al, ed. Penghapusan Kekerasan Seksual Dalam Berbagai Perspektif, … h.
80.
digolongkan sebagai perbuatan tindak pidana, sehingga sulit untuk diproses secara hukum dan dibuktikan dalam persidangan. Oleh karena itu dalam RUU PKS, Komnas Perempuan kemudian mengelompokkan bentuk tindak pidana kekerasan seksual menjadi 9 bentuk diantaranya yaitu:
1. Pelecehan seksual
Pelecehan Seksual adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan;
2. Eksploitasi seksual
Eksploitasi seksualadalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama atau identitas atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait hasrat seksual, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
3. Pemaksaan kontrasepsi
Pemaksaan kontrasepsi adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk mengatur, menghentikan dan/atau merusak organ, fungsi dan/atau sistem reproduksi biologis orang lain, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, sehingga orang tersebut kehilangan kontrol terhadap organ, fungsi dan/atau sistem reproduksinya yang mengakibatkan Korban tidak dapat memiliki keturunan;
4. Pemaksaan aborsi
Pemaksaan aborsi adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan;
5. Perkosaan
Perkosaan adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual;
6. Pemaksaan perkawinan
Pemaksaan perkawinan adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan;
7. Pemaksaan pelacuran
Pemaksaan pelacuran adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain;
8. Perbudakan seksual
Perbudakan seksual adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu; dan/atau
9. Penyiksaan seksual
Penyiksaan seksual adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk menyiksa Korban.
C. Bentuk Perlindungan Hak Korban Kekerasan Seksual dalam RUU PKS Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 5 RUU PKS definisi korban ialah
“setiap orang yang mengalami peristiwa Kekerasan Seksual.” Definisi korban yang terdapat dalam ketentuan umum RUU PKS tidak secara langsung menjelaskan “peristiwa” kekerasan seksual, hal ini berbeda dengan pengertian korban yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menjelaskan pengertian korban sebagai setiap orang yang mengalami kerugian akibat adanya tindak pidana, pengertian ini sama dengan yang dijelaskan dalam The United Nation Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse.
Secara khusus, pengertian hak korban terdapat dalam pasal 1 angka 12 ketentuan umum RUU PKS sebagaimana dijelaskan “Hak Korban adalah hak atas Penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan dan dinikmati oleh Korban, dengan tujuan mengubah kondisi Korban yang lebih baik, bermartabat dan sejahtera, yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan Korban yang multidimensi, berkelanjutan dan partisipatif.” Dalam asas RUU PKS yang termuat dalan Naskah Akademik, hak korban juga sangat diperhatikan dan lebih tegas dijelaskan dengan menggunakan asas proses hukum yang berperspektif korban.3 Asas tersebut merupakan asas yang mencerminkan bahwa seluruh proses hukum dalam penghapusan kekerasan seksual harus menciptakan iklim yang kondusif dan berperspektif korban dengan menghormati hak-hak korban, menjaga kerahasiaan korban, tidak menyalahkan korban, menghargai keputusan korban dan menghargai kebutuhan khusus korban berdasarkan pengalaman korban
yang dapat mempengaruhi respon korban terhadap kekerasan seksual yang dialaminya.
Selain itu RUU PKS telah mendeklarasikan sebagai undang-undang yang mempunyai kekhususan yang salah satunya ialah kekhususan dalam penekanan hak-hak korban yang dengan mudah dapat diakses oleh korban dan pembiayannya ditanggung oleh negara.4 Hak-hak tersebut dirangkai dan terorganisir ke dalam proses penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban yang multidisiplin serta terkoordinir dan berkelanjutan. Pemenuhan hak tersebut terselenggarakan dalam setiap tahapan peradilan pidana termasuk
3 Komnas Perempuan dan Forum Pengadaan Layanan, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, … h. 22.
4 Maidina Rahmawati dan Supriyadi W.E, Menuju Penguatan Hak Korban Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, (Jakarta: ICJR, 2017), h. 46.
perlunya melakukan koordinasi dalam penyelenggaraan pemulihan para korban. Terdapat tiga kategori hak korban dalam RUU PKS ini, diantaranya sebagai berikut:
1. Hak atas Penanganan
Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 13 RUU PKS “Penanganan ialah tindakan yang dilakukan untuk menindaklanjuti adanya peristiwa kekerasan seksual”. Yang dimaksud hak dan penangan korban dalam RUU PKS meliputi hal;
a. hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan;
b. hak mendapatkan dokumen hasil Penanganan;
c. hak atas Pendampingan dan bantuan hukum;
d. hak atas penguatan psikologis;
e. hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan dan perawatan medis; dan
f. hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban.
Pemenuhan hak atas penanganan memiliki tujuan untuk memberikan pelayanan terpadu yang multisektor dan terkoordinir kepada korban serta mendukung korban dalam menjalani proses peradilan pidana. Penanganan terhadap korban adalah bagian yang tidak dapat terpisah dari proses peradilan yang dilakukan harus segera mungkin.
2. Hak atas Perlindungan
Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 14 RUU PKS “Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban, keluarga korban, dan/atau saksi.” Pemenuhan hak atas perlindungan memiliki tujuan untuk memberikan rasa aman dan keamanan bagi korban, keluarga korban, dan harta benda, selama dan setelah proses peradilan pidana kekerasan seksual. Ruang lingkup hak korban atas perlindungan meliputi hal-hal seperti:
a. Penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas perlindungan;
b. Penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan perlindungan.
c. Perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan;
d. Perlindungan atas kerahasiaan identitas;
e. Perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan dan/atau menguatkan stigma terhadap korban;
f. Perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik; dan
g. Perlindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas peristiwa kekerasan seksual yang ia laporkan.
Dalam rangka penyelenggaraan perlindungan korban, kepolisian dapat mengeluarkan perintah perlindungan sementara untuk korban. Pelaksanaan hak atas perlindungan diselenggarakan oleh aparat penegak hukum dalam setiap proses peradilan pidana. Pada keadaan tertentu, sesuai dengan kebutuhan dan keinginan korban, korban dapat meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
3. Hak atas Pemulihan
Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 15 RUU PKS “Pemulihan adalah upaya mendukung korban kekerasan seksual untuk menghadapi proses hukum dan/atau mengupayakan kesejahteraan dan kehidupan yang bermartabat dengan berlandaskan prinsip pemenuhan hak korban.”
Pemenuhan hak atas pemulihan ini memiliki tujuan untuk menguatkan, memulihkan, serta memberdayakan korban dan keluarga korban dalam mengambil keputusan terhadap kehidupannya selama dan setelah proses peradilan agar semakin adil, sejahtera dan bermatabat.
Hak korban atas pemulihan yang dimaksud yaitu dalam bentuk sebagai berikut:
a. fisik;
b. psikologis;
c. ekonomi;
d. sosial dan budaya; dan e. Ganti kerugian.
Proses pemulihan korban dilakukan sejak diketahui atau dilaporkannya kasus kekerasan seksual. Pemulihan dilakukan berdasarkan:
a. permohonan korban atau keluarga korban yang diajukan secara langsung kepada pendamping dan/atau Pusat Pelayanan Terpadu;
b. identifikasi kebutuhan korban yang dilakukan oleh Pendamping dan/atau Pusat Pelayanan Terpadu; atau
c. informasi adanya kasus kekerasan seksual yang diketahui dari aparatur desa, tokoh agama, tokoh adat, atau pihak lainnya.
Pendamping atau Pusat Pelayanan Terpadu yang menerima permohonan korban atau mengetahui adanya peristiwa kekerasan seksual segera melakukan koordinasi dengan lembaga lainnya untuk penyelenggaraan pemulihan korban.
Pemulihan sebelum dan selama proses peradilan memuat hal sebagai berikut:
a. penyediaan layanan kesehatan untuk pemulihan fisik;
b. penguatan psikologis kepada korban secara berkala;
c. pemberian informasi tentang hak korban dan proses peradilan;
d. pemberian informasi tentang layanan pemulihan bagi korban;
e. pendampingan hukum;
f. pemberian bantuan transportasi, biaya hidup atau biaya lainnya yang diperlukan;
g. penyediaan tempat tinggal yang layak dan aman;
h. penyediaan bimbingan rohani dan spiritual untuk korban dan keluarganya;
i. penyediaan fasilitas pendidikan bagi korban atau anak korban;
j. penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lainnya yang dibutuhkan oleh korban;
k. pelaksanaan penguatan psikologis kepada keluarga korban dan/atau komunitas terdekat korban; dan
l. penguatan dukungan masyarakat untuk pemulihan korban.
Pemulihan setelah proses peradilan memuat hal sebagai berikut:
a. pemantauan, pemeriksaan dan pelayanan kesehatan fisik dan psikologis korban secara berkala dan berkelanjutan;
b. pemantauan dan pemberian dukungan lanjutan terhadap keluarga korban;
c. penguatan dukungan komunitas untuk pemulihan korban;
d. pendampingan penggunaan ganti kerugian;
e. penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lainnya yang dibutuhkan oleh korban;
f. penyediaan layanan jaminan sosial berupa jaminan kesehatan, perumahan dan bantuan sosial lainnya;
g. penyediaan fasilitas pendidikan bagi korban atau anak korban, termasuk untuk korban yang merupakan orang dengan disabilitas atau berkebutuhan khusus lainnya;
h. pemberdayaan ekonomi; dan
i. penyediaan kebutuhan lain berdasarkan hasil identifikasi pendamping dan/atau PPT.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemulihan bagi korban diadakan oleh kementrian yang menyelenggarakan urusan dalam bidang sosial.
Penyelenggaraan pengawasan menjadi pertimbangan keberlanjutan dalam penyelenggaraan pemulihan untuk korban. Penyelenggaraan pengawasan pun juga wajib mempertimbangkan evaluasi dan rekomendasi dari PPT dan
Penyelenggaraan pengawasan menjadi pertimbangan keberlanjutan dalam penyelenggaraan pemulihan untuk korban. Penyelenggaraan pengawasan pun juga wajib mempertimbangkan evaluasi dan rekomendasi dari PPT dan