• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL: URGENSI DAN DINAMIKA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEBIJAKAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL: URGENSI DAN DINAMIKA SKRIPSI"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S.H.)

Disusun oleh :

FARIZA RACHMA MAULIDA NIM : 11170480000018

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H / 2021 M

(2)

i SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S.H.)

Disusun oleh :

FARIZA RACHMA MAULIDA NIM : 11170480000018

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H / 2021 M

(3)

i SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana (S.H.) Oleh :

FARIZA RACHMA MAULIDA NIM : 11170480000018

Dibawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie., S.H.,

M.H., M.A.

NIP. 19760807 200312 1 001

Mufidah, S.H.I., M.H.

(4)

ii

DAN DINAMIKA” Oleh Fariza Rachma Maulida NIM 11170480000018 telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Pada 30 September 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 21 Oktober 2021 Mengesahkan

Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.

NIP. 19760807 200312 1 001 PANITIA UJIAN MUNAQASYAH:

1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( ) NIP. 19670203 201411 1 101

2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( ) NIP. 19650908 199503 1 001

3. Pembimbing I : Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. ( ) NIP. 19760807 200312 1 001

4. Pembimbing II : Mufidah, S.H.I., M.H. ( ) NIDN. 21010186

5. Penguji I : Dr. Kamarusdiana, M.H. ( ) NIP. 19720224 199803 1 003

6. Penguji II : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. ( ) NIDN. 20210886601

(5)

iii Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Fariza Rachma Maulida

NIM : 11170480000018

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Perum. Vila Dago Tol Blok H1 No.48 Serua, Ciputat, Tangerang Selatan

No. Hp : 085692773020

Email : [email protected]

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatatullah Jakarta.

Jakarta, 04 September 2021

(Fariza Rachma Maulida)

(6)

iv

SEKSUAL DI INDONESIA: URGENSI DAN DINAMIKA”. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1443 H / 2021 M. viii halaman + 110 halaman + 9 halaman daftar pustaka.

Permasalahan penelitian dalam penelitian ini adalah akibat lahirnya Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di Indonesia.

Kebijakan yang terkandung dalam substansi RUU PKS ini menuai banyak perdebatan pro dan kontra dikalangan masyarakat, akademisi, lembaga-lembaga terkait, agamawan dan khususnya di kalangan fraksi parlemen. Terdapat beberapa isu yang diperdebatkan diantaranya ialah ketentuan pasal dalam RUU PKS dipandang bertentangan dengan Syari‟at Agama dan Pancasila sehingga menghambat perjalanan RUU ini untuk segera disahkan.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan urgensi pengesahan Rancangan Undang- Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual dan mengidentifikasi dinamika pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang meneliti hukum dari perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma hukum.

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa urgensi pengesahan RUU PKS di Indonesia adalah kasus kekerasan seksual terus meningkat setiap tahunnya dan penegakan hukum yang ada saat ini, belum bisa memberikan keadilan kepada korban kekerasan seksual dan tidak memberikan penjeraan secara tepat kepada pelaku. Selain itu dinamika pembentukan RUU PKS dikalangan parlemen masih berjalan lambat dan belum mencapai titik temu. Kurangnya kemauan politik (political will) dari DPR untuk mengambil kebijakan agar segera mengesahkan RUU PKS menjadi penyebab penundaan pengesahan RUU ini.

Kata Kunci : Urgensi, Dinamika, RUU PKS

Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.

2. Mufidah, S.H.I., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1969 sampai Tahun 2021

(7)

v Assalamu‟alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak terhinggga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Shollallahu „alaihi Wassallam, beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau sampai akhir zaman nanti. Dengan mengucap Alhamdulillahi Robbil „alamin, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir pada perkuliahan dalam bentuk skripsi dengan judul “KEBIJAKAN TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN

KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA: URGENSI DAN DINAMIKA”.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak dapat peneliti selesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dan dukungan dari Allah Subhanahu wa Ta‟ala dan berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini berlangsung.

Peneliti ini mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para pihak yang telah memberikan peranan secara langsung maupun tidak langsung atas pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan waktu, arahan, bimbingan, dan kesabaran dalam membimbing penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.

(8)

vi

waktu, arahan, bimbingan, dan kesabaran serta ilmu pengetahuan dalam membimbing penulis dalam menysusun proposal skripsi.

5. Kepada kedua orang tua saya tercinta Bandiyo dan Ana Rochmawan yang selalu memberikan dukungan baik materi maupun imateriil berupa motivasi, do‟a, bahkan kepercayaan untuk dapat duduk dibangku kuliah hingga menyelesaikan gelar sarjana ini.

6. Para pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan kontribusi dalam penyususan skripsi ini.

Jakarta, 21 Oktober 2021

Penulis, Fariza Rachma Maulida

(9)

vii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI...ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 8

D. Metode Penelitian... 8

E. Pedoman Penulisan ... 11

F. Sistematika Pembahasan ... 11

BAB II KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA KEKERASAN SEKSUAL A. Kerangka Teori... 13

` B. Kerangka Konseptual ... 18

C. Tinjauan Review Kajian Terdahulu ... 31

BAB III RUANG LINGKUP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL A. Sejarah Terbentuknya RUU PKS ... 35

B. Jenis Kekerasan Seksual dalam RUU PKS ... 37

C. Bentuk Perlindungan Hak Korban Kekerasan Seksual dalam RUU PKS….….……….39

(10)

viii

Seksual ……….………...………...45 B. Dinamika Pembentukan dan Proses Pembahasan RUU PKS ... 57 C. Analisis Penulis ... 86 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 109 B. Rekomendasi ... 110 DAFTAR PUSTAKA ... 111

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum, seperti yang kita ketahui di dalam konstitusi Indonesia disebutkan bahwa negara Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia yang bertujuan untuk melindungi segenap warga negara Indonesia. Salah satu bentuk perlindungan terhadap warga negara adalah perlindungan atas hak bebas dari ancaman dan kekerasan yang dimana termuat dalam pasal 28 I dalam UUD 1945. Pada faktanya meskipun UUD 1945 sudah menitikberatkan hak tersebut sebagai salah satu hak konstitusional, tidak serta merta membuat warga bebas dari kekerasan. Salah satu bentuk kekerasan yang sedang marak terjadi di Indonesia adalah kekerasan seksual.

Menurut laporan Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan yang diterbitkan pada kuartal pertama tahun 2020 menyebutkan bahwa jumlah kekerasan terhadap perempuan selama tahun 2019 mencapai 431.471 kasus dan dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 8 kali lipat atau sebesar 792%.1 Pada laporan CATAHU 2019 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2018 mencapai 406.178 kasus, di ranah privat atau personal kekerasan seksual mencapai 2.988 kasus dan untuk ranah publik atau komunitas kekerasan seksual mencapai 2.521 kasus.2 Kemudian menurut laporan CATAHU 2020 laporan kasus kekerasan seksual dalam tahun 2019, di ranah privat/publik 2.807 dan dalam ranah publik/komunitas sebanyak 2.091 kasus. Demikian data tersebut dapat membuktikan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan seksual masih menjadi hal yang sangat krusial di Indonesia.

1 Komnas Perempuan, Info Grafis Catahu 2020: Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2019. (https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan- detail/info-grafis-catahu-2020-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2019), Diakses tanggal 27 April 2021.

2 Komnas Perempuan, Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2019. (https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/lembar-fakta- dan-poin-kunci-catatan-tahunan-komnas-perempuan-tahun-2019), Diakses tanggal 27 April 2021.

(12)

Berikut terdapat dua bukti kasus kekerasan seksual yang sudah terjadi dan mencuat ke ranah hukum. Pertama, kasus kekerasan seksual yang dialami oleh Agni. Agni merupakan seorang mahasiswa UGM yang menjadi korban pelecehan seksual ketika menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) bersama pelaku berinisial HS di Pulau Seram pada tahun 2017.1 Selama lebih dari dua tahun sejak tejadinya pemerkosaan kasus yang menimpa agni baru dapat terselesaikan secara kekeluargaan. Jalan tersebut diambil karena dirasa lebih mampu memenuhi hak-hak Agni sebagai korban serta untuk menghindari potensi kriminalisasi terhadap Agni. Meskipun kasus ini berakhir damai tetapi tidak ada kesepakatan bahwa kasus Agni masuk kedalam kasus kekerasan seksual. Kedua, kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang guru honorer di salah satu sekolah di Mataram yang bernama Baiq Nuril. Pelecehan seksual yang dialami oleh Baiq Nuril dilakukan melalui telepon oleh kepala sekolah tempat ia bekerja.

Berbeda dengan kasus Agni yang memilih “jalur damai” untuk menyelesaikan kasusnya, Baiq Nuril lebih memilih untuk melawan tersangka dengan merekam bukti percakapannya dengan kepala sekolah melalui telepon yang digunakan saat ia mengalami pelecehan seksual tersebut. Akan tetapi dalam kasus ini, justru korban dilaporkan sang kepala sekolah dengan tuduhan penyebaran konten kesusilaan. MA lewat putusan kasasi, memvonis Baiq Nuril penjara enam bulan dan denda Rp. 500.000.000,-. Namun tenyata yang menyebarkan rekaman tersebut adalah Imam yang merupakan teman Baiq, persidangan digelar dan setelah diproses selama dua tahun Baiq diputus tidak bersalah. Tak terima dengan putusan bebas tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi tanpa melewati banding di Pengadilan Tinggi dan pada 26 September 2018, Baiq divonis 6 bulan penjara dan denda yang begitu besar yaitu Rp. 500.000.000,-.2

1 Fadiyah Alaidrus, Jalan Nonlitigasi Pelecehan Agni & Mengapa Publik Mencerca UGM. (https://tirto.id/jalan-nonlitigasi-pelecehan-agni-mengapa-publik-mencerca-ugm-dgpK) Diakses tanggal 28 April 2021.

2 Yamadipati Seno, Vonis Baiq Nuril, Apakah Nalar Kekekrasan Seksual Bisa Diperbaiki?, (Yogyakarta: Amongkarta, 2020), h. 13.

(13)

Kasus kekerasan seksual ternyata juga banyak menimpa anak-anak. Anak- anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan justru tidak luput dari ancaman predator seksual. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar malah menjadi tempatyang rawan akan kekerasan. Selama tahun 2019, terdapat 123 kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekolah dan dari banyaknya kasus tersebut hal yang membuat miris adalah kebanyakan pelaku kekerasan pelakunya ialah tenaga pendidik. Dari 21 kasus kekerasan seksual, 90% pelaku adalah seorang guru dan 10% kepala sekolah. Lalu, 62% dari 21 kasus kekerasan seksual terjadi di jenjang SD, 24% persen di jenjang SMP/sederajat dan 14% di jenjang SMA.3 Selama pandemi Covid-19 terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual yang terjadi. Berdasarkan Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) sejak 1 Januari hingga 26 Juni 2020 terdapat 1.962 laporan anak menjadi korban kekerasan seksual.

Penyebab terjadinya kekerasan seksual karena adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Kekuasaan sering sekali disalahgunakan oleh pelaku untuk membuat korban tunduk dengan berbagai ancaman serta tekanan yang dilakukan oleh pelaku. Unsur penting pada relasi kuasa terdapat pada posisi lebih rendah atau tinggi di organisasi maupun tanpa organisasi serta ketergantungan seseorang terhadap orang lain akibat status, ekonomi, budaya, pengetahuan, dan lainnya.4 Persoalan relasi kuasa ini juga dapat dilihat dari perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan. Dominasi laki-laki terhadap perempuan telah menormalilasi tindakan kekerasan. Tindakan laki-laki yang seringkali ingin mendominasi perempuan dikarenakan terdapat karakter maskulin laki-laki yang berlebihan (hipermaskulinitas). Hipermaskulinitas disebabkan karena hadirnya stereotip karakteristik laki-laki yang harus jantan, kuat, keras, agresif, dan dominan yang berbanding terbalik terhadap karakter

3 Bayu Septianto, 123 anak jadi korban kekerasan seksual di sekolah selama 2019.

(https://tirto.id/123-anak-jadi-korban-kekerasan-seksual-di-sekolah-selama-2019-ep3D) Diakses pada 28 April 2021.

4 Novi Kurnia, Representasi Maskulinitas dalam Iklan. (Jurnal Universitas Indonesia Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 8, Nomor , 2004), h. 23.

(14)

feminitas yang dilekatkan kepada perempuan.5 Oleh karenanya, seringkali terjadi keadaan dimana seorang laki-laki membutuhkan validasi atas kejantanannya menggunakan segala upaya untuk mendominasi agar dapat memegang kontrol terhadap perempuan yang lekat dengan karakter feminitas lemah, pasif, dan penurut. Hal tersebut menunjukan bahwa relasi antara kaum laki-laki dan perempuan ternyata dapat memperlihatkan adanya ketimpangan.

Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan pada faktanya memang telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan untuk kedua belah pihak terutama terhadap kaum perempuan. Salah satu wujud ketidakadilan tersebut dapat dilihat dalam tulisan sejarawan tradisional (historis). Tulisan mereka membangun sejarah yang meniadakan pertimbangan dan partisipasi perempuan. Contohnya yaitu tidak mengadakan penelitian mengenai peranan perempuan dalam menciptakan sejarah, keikutsertaan perempuan dalam membentuk struktur masyarakat, serta bagaimana perempuan menjalani kehidupannya. Tulisan sejarah laki-laki menciptakan bias androcentric yang merupakan sebuah pemahaman menandakan bahwa laki-laki adalah pusat dari segala hal, serta laki-laki adalah pembentuk masyarakat atau dominasi laki-laki adalah normal dan alami.6 Hal tersebut juga berlaku ketika berbicara mengenai konsepsi manusia, potensi gender dan struktur sosial.

Secara umum wujud utama yang menjadi akar permasalahan adalah adanya ketimpangan gender yang dibentuk oleh budaya patriarki. Ketimpangan tersebut dapat ditemukan di dalam pembentukan hukum atau yurisprudensi yang merupakan aliran utama bersifat patriarki.7 Diinformasikan bahwa hukum dan teori hukum merupakan wilayah laki-laki, mereka yang menulis baik isi maupun teori dari muatan hukum itu sendiri. Oleh karenanya dampak yang dihasilkan adalah refleksi dari nilai-nilai budaya patriarki yang bertujuan untuk memperkokoh hubungan hubungan sosial meliputi norma, pengalaman maupun

5 Jo Freeman, Women: A Feminist Perspective. (California: Mayfield Publishing Company, 1989, 4th Edition), h.51.

6 Mimi Savitri, “Bias Gender: Masalah Utama Dalam Interpretasi Arkeologi”, Humaniora, Vol. 19, No. 2 (Juni 2007), h. 163.

7 Sulistyowati dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2009), h.256.

(15)

kekuasaan bersudut pandang laki-laki. Kendati demikian, tidak mengherankan, bila hukum yang dihasilkan adalah hukum yang bias dan dampaknya justru mencetuskan terjadinya ketidakadilan atau ketimpangan relasi gender terutama terhadap perempuan.

Seiring perkembangannya lahirlah teori hukum yang berspektif perempuan (Feminist Legal Theory) sebagai perwujudan pada kesetaraan dan keadilan gender di bidang politik ekonomi, dan sosial termasuk hukum. Dalam teori ini kaum perempuan ingin menuangkan narasi dan ungkapan ceritanya berdasarkan pengalaman dan kepentingan perempuan itu sendiri (Standpoint Theory). Hal ini terjadi salah satunya kepada perempuan-perempuan di Indonesia, yaitu dengan mengusulkan adanya upaya pembaruan hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual dikarenakan kaum perempuan menjadi pihak yang paling sering dijadikan sebagai objek kekerasan seksual sehingga lahirlah Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (yang dikenal dengan “RUU PKS”).

Pada tataran konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih menggunakan paradigma patriarki, perempuan ditempatkan sebagai warga kelas dua. Imbasnya, sering terjadi tutur perempuan tidak didengar begitu juga bagi perempuan korban kekerasan seksual justru direviktimisasi oleh masyarakat, dianggap sebagai pihak yang menyebabkan terjadinya kekerasan.8 Oleh karena itu korban kekerasan seksual di Indonesia, sering tidak memperoleh perlindungan dan penanganan sebagaimana mestinya. Hal tersebut tentunya dipengaruhi akan keberadaan ketentuan-ketentuan mengenai kekerasan seksual di Indonesia yang masih diatur dalam peraturan-peraturan yang terpisah dan tidak ada suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kekerasan seksual secara spesifik sehingga menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual tidak dapat diproses melalui jalur hukum.9 Pada faktanya minimnya instrumen hukum untuk menanggulangi kasus

8 Komnas Perempuan dan Forum Pengadaan Layanan, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. (Jakarta Pusat: DPR RI, 2017), h. 3.

9 Agnes Kusuma Wardadi dkk, “Analisis Keberlakuan RKUHP dan RUU-PKS dalam Mengatur Tindak Kekerasan Seksual”, Lex Scientia Law Review, Vol. 3, No. 1 (Mei 2019), h. 56.

(16)

kekerasan seksual serta merta membuat pelaku tidak dapat dijerat dan kekerasan seksual terus terjadi berulang kali. Terciptanya RUU PKS diharapkan dapat mengatasi permasalahan kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Pada dasarnya RUU PKS diperuntukkan untuk semua gender. Namun, dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukan bahwa yang kerap mendapat perlakukan kekerasan seksual adalah kelompok perempuan. Kaum perempuan dan anak adalah kelompok yang paling sering mengalami kekerasan seksual akibat diskriminasi yang diakibatkan oleh konstruksi sosial yang menempatkan perempuan lebih rendah dalam relasi kuasanya dengan laki-laki sehingga perempuan dan anak menjadi objek kekerasan seksual.10

Pengukuhan terkait penanggulangan masalah kekerasan seksual yang kini termuat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual mendefinisikan jenis kekerasan seksual lebih luas dan dalam ranah yang lebih beragam. Selain itu tujuan dari pembentukan RUU PKS ini sejatinya menitikberatkan pada perlindungan korban dalam upaya pencegahan dan penanganan akan tindakan kekerasan seksual. Terlepas dari isi dan tujuan positif dari RUU PKS itu sendiri ternyata masih menuai polemik baik dikalangan masyarakat, agamawan, partai politik, akademisi dan lembaga- lembaga terkait.11 Di dalam parlemen fraksi partai politik terbagi menjadi dua kubu yakni kubu yang mendukung di sahkannya RUU PKS dan kubu yang menentang.

Gejolak pro dan kontra yang terjadi menghambat proses pembahasan dan pengesahan RUU PKS oleh DPR. RUU PKS yang seharusnya dibahas sejak 2017 sampai sekarang tidak kunjung disahkan hingga akhirnya badan legislatif menarik RUU PKS dari Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2020.

Berdasarkan pemaparan berbagai permasalah di atas maka dari itu penulis

10 JKP3, “Mengapa DPR dan Pemerintah Harus Segera Mmembahas dan Mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”, Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan Vol. 1 (Maret 2019), h. 7.

11 Nikodemus dkk, “Perjuangan Kelas Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”, Jurnal Ilmu Dinamika Sosial, Vol. 4, No. 2 (Juli 2020) h. 235.

(17)

tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan judul sebagai berikut:

“KEBIJAKAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL: URGENSI DAN DINAMIKA”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dijelaskan pada latar belakang, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah yang timbul pada studi ini, diantaranya:

a. Tingginya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia menjadi bukti bahwa kasus kekerasan seksual menjadi hal yang krusial.

b. Untuk menekan kasus kekerasan seksual diperlukannya optimalisasi fungsi sektor yang membawahi kasus kekerasan seksual.

c. Tataran konstruksi sosial masyarakat di Indonesia yang sebagian besar masih menggunakan paradigma patriarki berimbas kepada korban kekerasan seksual di Indonesia yang seringkali direviktimisasi.

d. Ketiadaan perlindungan hukum korban terhadap kekerasan seksual menjadikan adanya kekosongan hukum dalam penegakan hukum.

e. Ketentuan di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual menuai polemik dikalangan masyarakat, agamawan, partai politik, akademisi dan lembaga-lembaga terkait.

2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang terlalu luas, penulis memutuskan untuk hanya berfokus pada permasalahan terkait urgensi dan dinamika terhadap kebijakan RUU PKS dilihat dari aspek sosiologis.

Adapun pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Apa urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia?

b. Bagaimana dinamika pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia?

(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis urgensi keberadaan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia namun secara khusus penelitian ini bertujuan:

a. Untuk menjelaskan urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia.

b. Untuk mengidentifikasi dinamika pembentukan Rancangan Undang- Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan maksud dapat memberikan manfaat baik secara teoritis, praktisi ataupun akademis, sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dimaksudkan dapat menjadi tambahan dokumentasi serta memperluas keilmuan dari segi hukum terutama terkait urgensi dan perdebatan hukum mengenai regulasi kasus kekerasan seksual di Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dimaksudkan dapat bermanfaat untuk pengkajian perumusan undang-undang tentang kekerasan seksual agar dapat diterima dikalangan semua masyarakat. Selain itu skripsi ini juga diharapkan dapat menjadi bahan acuan kepada mahasiswa dan dosen untuk memberikan gambaran yang lebih baik dalam ilmu pengetahuan tentang hukum.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang meneliti hukum dari perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma hukum. Penelitian hukum normatif berfungsi untuk memberi argumentasi yuridis ketika terjadi kekosongan,

(19)

kekaburan dan konflik norma. Adapun berarti penelitian hukum normatif berperan untuk mempertahankan aspek kritis dari keilmuan hukumnya sebagai ilmu normatif yang sui generis.12

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan penelitian yang menggunakan berbagai aturan hukum untuk menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Pendekatan konseptual adalah pendekatan penelitian yang menggabungkan kata-kata dengan objek tertentu yang menarik perhatian dari sudut pandang praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu.13

3. Sumber Data Penelitian

Data penelitian yang digunakan menggunakan bahan pustaka atau jenis data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dan dianalisis yaitu dengan bahan berupa laporan atau notulensi rapat Komisi VIII DPR dan Badan Legislasi DPR serta peraturan perundang-undangan dan literatur- literatur yang berkaitan dengan objek permasalahan yang diteliti. Sementara itu untuk melengkapi serta menjawab semua permasalahan terkait penelitian yang dilakukan oleh penulis dibutuhkan beberapa bahan hukum diantaranya yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan data yang menjadi tumpuan utama dalam menjawab masalah penelitian. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah:

1) Laporan Singkat RDPU Panja Komisi VIII DPR RI mengenai RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual; dan

12 I Made Pesak, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Justifikasi Teori Hukum, (Jakarta: KENCANA, 2016), h. 12.

13 Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 306.

(20)

2) Laporan Singkat RDPU Badan Legislasi DPR RI mengenai RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.

3) Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum pendukung yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami dan menjelaskan bahan hukum primer untuk menjawab masalah penelitian. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.

c. Bahan Hukum Tersier

Merupakan data pelengkap dari bahan hukum primer dan sekunder.

Dalam penelitian bahan hukum sekunder yang digunakan diantaranya opini hukum dari pendapat para ahli, hasil penelitian terdahulu yakni berupa buku, artikel jurnal, hasil karya ilmiah para sarjana terkait kekerasan seksual.

4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian studi dokumen. Studi dokumen merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat oleh subjek yang bersangkutan.14Proses pengumpulan dokumen diawali dengan mencari data melalui website internet, buku, jurnal ilmiah serta literatur lainnya. Data tersebut diperoleh penulis dengan membaca dokumen terkait urgensi dan dinamika terhadap kebijakan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.

5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

14 Haris Herdiansyah, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 143.

(21)

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Fungsi metode ini adalah mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti dengan cara mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan, hasil penelitian yang kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya.

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan penulis bersumber dari landasan pustaka, dikategorikan menjadi bab dan sub-sub dalam penelitian secara terstruktur dan sistematis. Langkah selanjutnya dalam menganalisis data yaitu dengan mengklasifikasikan semua bahan hukum yang diperoleh penulis, lalu dikategorikan menurut objek bahannya serta melakukan evaluasi dengan menggunakan ketentuan hukum dan teori hukum terkait objek permasalahan penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

E. Pedoman Penulisan

Pedoman yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.”

F. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan yang dihadapkan dalam penelitian ini diuraikan menjadi bab-bab dan sub-bab yang tersusun secara sistematik. Hal ini bertujuan untuk memudahkan setiap pembaca dalam memahami dan mengerti konteks studi penelitian yang dilakukan oleh penulis. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut:

Bab pertama, menjelaskan beberapa hal diantaranya yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian.

Bab kedua, menjelaskan dua pokok pembahasan. Pertama, mengenai pembasan kajian teoritis yang berkaitan dengan fokus pembahasan penelitian yaitu teori hukum keadilan, teori hukum feminist dan teori politik hukum.

(22)

Kedua, mengenai kerangka konseptual yang berfungsi sebagai pelengkap penelitian sebagaimana yaitu pengertian kebijakan, urgensi, dinamika dan konsep dasar kekerasan seksual, serta menjelaskan mengenai tinjauan review studi terdahulu agar tidak ada persamaan terhadap materi muatan dan pembahasan dalam skripsi ini dengan apa yang ditulis oleh pihak lain.

Bab ketiga, menjelaskan ruang lingkup dalam RUU PKS diantaranya yaitu pembahasan mengenai sejarah asal-usul Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, jenis kekerasan seksual dan bentuk perlindungan hak korban kekerasan seksual dalam Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Bab keempat, menguraikan jawaban permasalahan penelitian dengan menjelasakan urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual dan mengidentifikasi dinamika pembentukan kebijakan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Bab kelima, menjelaskan kesimpulan dari hasil penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian serta dilengkapi saran dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.

(23)

13 BAB II

KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA KEKERASAN SEKSUAL A. Kerangka Teori

1. Teori Keadilan

Berbicara tentang keadilan sudah pasti selalu berkaitan dengan hukum.

Mengingat tujuan dan fungsi dari keberadaan hukum adalah untuk mencapai suatu keadilan. Terdapat ungkapan klasik dalam bahasa Latin atau Latin Maxim, keadilan adalah ius suum cuique tribuere. Slogan lengkapnya yaitu iustitia est constans et prerpetua voluntas ius suum cuique tribuere” yang memiliki arti “memberikan kepada setiap orang, apa yang menjadi bagian atau haknya.”1

Salah satu rumusan pengertian keadilan yang paling banyak dirujuk merupakan pemikiran seorang filusuf kebangsaan Yunani termashyur yaitu Aristoteles. Aristoteles membedakan keadilan dalam dua macam. Pertama, keadilan distributif atau justitia distributiva adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing. Kedua, keadilan kumulatif ialah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa mempedulikan jasa masing-masing.2

Rumusan pengertian keadilan lainnya juga dikemukanan oleh Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul Pure Theory of Law and State, keadilan dimaknai sebagai sebuah legalitas. Dimaksudkan dengan pemaknaan keadilan sebagai legalitas jika suatu aturan ditetapkan pada semua kasus dimana menurut isinya memang aturan tersebut harus dipublikasikan. Akan tidak adil jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi tidak pada kasus lain yang sama. Oleh karena itu apa yang dimaksud keadilan menurut Hans Kelsen adalah jika suatu tindakan yang sesuai dengan apa yang diatur dalam hukum positif (peraturan perundang-

1 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2019), h. 101.

2 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 63.

(24)

undangan) dan jika tindakan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam hukum positif (peraturan perundang-undangan), maka tindakan itu disebut tidak adil.1

Dikatakan bahwa menurut Ulpanus, keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya. Kemudian dekemukakan pula ungkapan klasik dalam bahasa latin yaitu iustitia est constans et perpetua voluntans ius sumum cuique tribendi (keadilan adalah kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya).

Selanjutnya menurut Herbert Spencer, keadilan merupakan kebebasan setiap orang untuk menentukan apa yang akan dilakukannya, asal tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain. Sementara itu menurut Justinian, Keadilan adalah kebajikan yang memberikan hasil, bahwa setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya.2

2. Teori Hukum Feminis (Feminist Legal Theory)

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan muncul teori pendekatan hukum berperspektif perempuan berdasar pada kesetaraan dan keadilan gender di bidang politik, ekonomi, dan sosial. Teori ini bernama Feminist Jurisprudency atau bisa disebut Feminist Legal Theory (Teori Hukum Feminis) dengan menggunakan sudut pandang teori-teori feminis. Teori ini lahir dari para perempuan yang belajar di sekolah-sekolah hukum di Amerika pada alwal tahun 1970.3 FLT muncul karena keprihatinan terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan dalam dunia hukum. Mereka kemudian turut dalam pendampingan perempuan di pengadilan dan upaya reformasi hukum. Selain itu FLT hadir sebagai kritik terhadap ilmu pengetahuan yang juga terjadi dalam bidang ilmu hukum. Dalam kajiannya teori hukum feminis mengritik ilmu hukum yang positivitik

1 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:

Konstitusi Press, 2012), h. 21.

2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), h. 163-164.

3 Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, … h. 248.

(25)

mempertanyakan bias bahkan pengabaian terhadap perempuan. Tujuannya adalah untuk mengubah keadaan (perempuan) kearah yang lebih baik dan adil.

Teori hukum feminis berada pada dua tataran serta menggunakan metode bertanya pada perempuan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh perempuan, dan mempertimbangkan segala pengalaman konkret dan unik dari perempuan. Sehingga tidak ada perbedaan antara teori dan praktik hukum yang terjadi. Teori ini menumpukan pada, pertama adalah tataran teoritik berupa eksploitasi dan kritik terhadap interaksi antara hukum dan gender (bagaimana hukum mempengaruhi perempuan dan menyumbangkan penindasan kepada mereka?). Kedua adalah pada tataran praktikal, mengamati praktik hukum dalam artian bagaimana peraturan perundang- undangan diterapkan dalam kasus-kasus hukum perempuan (bagaimana hukum bisa digunakan untuk transformasi mengubah status kaum perempuan dengan mengubah hukum dan cara pandang terhadap isu gender menjadi lebih adil dan berimbang?). Selanjutnya diharapkan dapat dihasilkan rekomendasi untuk tujuan reformasi hukum.4

Ideologi gender sebagai konstruksi sosial menyebabkan dilestarikannya mitos-mitos serta pembedaan atau diskriminasi terhadap perempuan.

Perempuat dilihat sebagai rendah, berbeda, pendamping, menjadi objek, hak milik, tidak mampu dan tidak memiliki hak untuk mengatur diri sendiri, ada untuk kepentingan laki-laki dan seterusnya. Pandangan-pandangan dan keyakinan demikian mengabkibatkan perempuan memang lebih rentan mengalami kekerasan seksual dari pada laki-laki. Hal tersebut juga berpengaruh pada struktur dan sistem yang ada dalam masyarakat.5 Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa suatu tindak kekerasan seksual banyak dilakukan oleh golongan laki-laki, merupakan sebuah tindakan yang

4 Sulistyowati Irianto, Pendekatan Hukum Berperspektif Perempuan, (Bandung: Penerbit Alumni, 2000), h. 255.

5 Kristi Poerwandari, Penguatan psikologis untuk menanggulangi Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual, Panduan dalam Bentuk Tanya-Jawab, (Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008), hal. 3.

(26)

didorong oleh bernbagai faktor yang melatarbelakanginya. Faktor yang dimaksud yaitu antara lain: faktor konstruksi sosial yang menyimbolkan laki-laki memiliki kekuatan, juga dominasi yang berbeda dengan perempuan. Kekuatan tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan yang memaksakan kemauan pada orang lain, baik dilakukan secara individu maupun lebih dari seorang individu.

3. Teori Politik Hukum

Politik Hukum terdiri dari dua disiplin ilmu yaitu politik dan hukum.

Menurut Moh Mahfud MD, politik hukum termasuk kedalam kajian ilmu hukum dan beliau mengartikan bahwa politik hukum merupakan legal policy (kebijakan hukum) yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Menurut pendapatnya, hukum tidak bisa dijelaskan hanya melalui pendekatan hukum semata, namun juga harus memakai pendekatan politis.6 Politik Hukum dilaksanakan melalui proses legislasi yang teratur dan berkesinambungan. Hal tersebut menjadikan politik hukum sebagai pemegang kendali penting terkelolanya sebuah pemerintahan yang baik guna terwujudnya tujuan pembangunan nasional yang dicita-citakan bersama.7 Oleh demikian, masyarakat sebagai subjek dan objek harus menyadari sebuah target dari pembangunan hukum itu sendiri.

Moh Mahfud MD dalam bukunya mengemukakan bahwa politik hukum adalah arahan atau garis-garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Terdapat beberapa ahli lainnya yang juga mengemukakan definisi politik hukum yaitu sebagai berikut:8

a. Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa politik hukum adalah aktivitas memilih cara yang hendak dipakai untuk menciptakan suatu tujuan sosial

6 Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1998), hal. 8.

7 Agus Anjar, Politik Hukum Sebuah Kajian Pendekatan Sosial, (Yogyakarta:

Deepublish, 2019), h. 26.

8 Moh Mahfud MD, Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006), h. 13.

(27)

dan hukum tertentu dalam masyarakat. Dalam hal ini berkaitan dengan pertanyaan:

1) Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada;

2) Cara apa dan yang mana dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut;

3) Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah dan

4) Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.

b. Abdul Hakim Garuda Nusantara mengemukakan bahwa politik hukum adalah legal policy atau kebijakan hukum yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara Nasional oleh satu pemerintahan Negara tertentu yang meliputi:

1) Pelaksanaan secara konsisten ketentuan hukum yang telah ada;

2) Pembangunan hukum yang berintikan pembaruan atas hukum yang telah ada dan pembuatan hukum-hukum baru;

3) Penegasan fungsi lembaga penegak hukum serta pembinaan para anggotanya;

4) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi elite pengambil kebijakan.

c. Soedarto mengemukakan bahwa politik hukum adalah kebijakan Negara melalui badan-badan Negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Merujuk pada berbagai definisi di atas maka posisi politik hukum membahas beberapa hal pokok yaitu, tujuan negara, sistem hukum, pembentukan hukum, pembaruan hukum, keselarasan antara tujuan Negara,

(28)

sistem hukum, pembentukan, dan pembaruan hukum.9 Pada saat ini politik hukum yang menyangkut rencana pembangunan materi hukum di Indonesia termuat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang mana jika kita ingin melihat pemetaan atau potret rencana tentang hukum-hukum dapat menemukannya di dalam Prolegnas. Prolegnas diprakarsai oleh DPD dan DPR bersama Pemerintah yang dalam penyusunannya dikoordinir oleh DPR.10

B. Kerangka Konseptual 1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan berasal dari istilah Inggris yaitu policy yang berarti kebijakan yang harus dibedakan dengan kebijaksanaan atau dalam bahasa Belanda yaitu politiek, yang mengandung arti sesuatu yang berkaitan dengan negara.

Oleh karena itu pembicaraan tentang kebijakan atau policy berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan negara.11 Dalam Black’s Law Dictionary, policy diartikan sebagai prinsip- prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk juga aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, permasalahan masyarakat atau bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum atau peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya untuk mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).12 Selain itu, kebijakan hukum itu sendiri merupakan suatu upaya untuk merealisasikan tujuan hukum atau ius constituendum menjadi ius constitutum yang dimana memiliki arti hukum yang dicita-citakan menjadi hukum positif dan juga merupakan proses pembentukan atau evaluasi, penemuan dalam nejalankan dan menegakkan hukum.

9 Hendra Karianga, Politik Hukum, Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Pertama, (Jakarta: Kencana, Prenamedia Group, 2013), h. 22-23.

10 Isharyanto, Politik Hukum, (Surakarta: CV KEKATA GROUP, 2016), h. 33,

11 M. Ali Zaidan, Kebijakan Kriminal, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016), h. 266.

12 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoritis dan Praktik, (Bandung: PT Alumni, 2008), h. 389.

(29)

2. Pengertian Urgensi

Kata “urgensi” berasal dari bahasa latin yaitu “urgere” merupakan bentuk dari kata kerja yang memiliki arti mendorong sedangkan dalam bahasa inggris ialah “urgent” bentuk dari kata sifat yang berarti mendesak.

Dalam hal lain “urgensi” dalam bahasa Indonesia merupakan bentuk kata benda. Menurut KBBI urgensi adalah suatu keharusan yang mendesak atau dalam arti lain hal yang sangat penting. Istilah urgensi merujuk pada suatu hal yang mendorong dan memaksa kita untuk diselesaikan. Oleh sebab itu mengandaikan adanya suatu masalah dan harus segera ditindaklanjuti.

Urgensi adalah kata yang dasar dari “urgen” mendapat akhiran “i” yang berarti sesuatu yang jadi bagian atau yang memegang pimpinan utama atau unsur yang penting.13 Merujuk pada pengertian urgensi di atas dapat disimpulkan bahwa urgensi ialah sesuatu yang mendorong dan memaksa untuk diselesaikan karena ada unsur yang sangat penting dan harus segera ditindaklanjuti. Kehadiran urgensi yang nyata dan bersifat positif akan menimbulkan kekuatan yang besar karena secara alami akan mengarahkan kita agar bersikap waspada terhadap apa yang sesungguhnya terjadi pada kehidupan ini, terutama pada hukum yang sudah diatur di dalam UUD 1945.14

3. Pengertian Dinamika

Dinamika memiliki berbagai macam pengertian. Salah satu pengertian dinamika menurut KBBI adalah gerak masyarakat secara terus-menerus menimbulkan perubahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan.

Adapun pengertian dinamika secara umum merupakan suatu perubahan.

Perubahan hukum yang kemudian dapat mengubah suatu pandangan/sikap dan kehidupan suatu masyarakat berasal dari berbagai stimulus sebagai berikut:

13 Abdurrahman Saleh dan Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 89.

14 Sri Wajiyati, Memahami Dasar Ilmu Hukum: Konsep Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta:

Prenadamedia Group, 2018), hal. 73.

(30)

a. Berbagai perubahan secara evolutif terhadap norma-norma dalam masyarakat;

b. Kebutuhan dadakan dari masyarakat karena adanya keadaan khusus atau keadaan darurat khususnya dalam hubungan dengan distribusi sumber daya atau dalam hubungan dengan standar baru tentang keadilan;

c. Atas inisiatif dari kelompok kecil masyarakat yang dapat meilhat jauh kedepan, yang kemudian sedikit demi sedikit mempengaruhi pandangan dan cara hidup masyarakat;

d. Adanya ketidakadilan secara teknikal hukum yang meminta diubahnya hukum tersebut.

e. Adanya ketidak konsistenan dalam tubuh hukum yang juga meminta perubahan terhadap hukum tersebut

f. Ada perkembangan pengetahuan dan teknologi yang memunculkan bentuk baru terhadap bidang hukum tertentu, seperti penemuan alat bukti baru untuk membuktikan suatu fakta.15

Hans Kelsen mengemukakan bahwa hukum merupakan sistem norma yang dinamik (Nomodynamics) karena hukum dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga yang berwenang untuk membentuk dan menghapusnya, sehingga dalam hal tersebut hukum tidak dilihat dari segi isi dari norma, melainkan dilihat dari segi pembuatan dan berlakunnya. Hukum itu ialah sah (valid) jika dibentuk oleh lembaga atau otoritas yang berwenang serta bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, karena itu dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi(superior) dan hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarki.16

4. Konsep Dasar Kekerasan Seksual

Sebelum memahami kekerasan seksual, alangkah baiknya perlu memahami terlebih dahulu definisi kekerasan secara umum. Salah satunya

15 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: KENCANA, 2014), h. 251.

16 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien (Bandung: Nusa Media, 2011), h. 15.

(31)

pengertian kekerasan yang dikemukakan oleh Galtung sebagai berikut:

“Violance is defined as the cause of the difference between the potential and the actual, between what could have been and what is. Violence is that which increases the distance between the potential and the actual, and that which impedes the decrease of this distance.”

Kekerasan diartikan sebagai penyebab timbulnya perbedaan antara hal yang potensial dan yang actual dari seseorang, antara “what could have been” (apa yang seharusnya dapat ada) dan “what is” (apa yang ada).

Kekerasan adalah sesuatu yang meningkatkan „jarak‟ antara sesuatu yang potensial dan actual, dan hal-hal yang menghambat penuruanan “jarak‟ ini.17 Terjadinya kekerasan akan menyebabkan seseorang tidak dapat sepenuhnya mencapai keadaan potensial pada dirinya.

Mansour Fakih mendeskripsikan kekerasan secara umum ialah sebagai suatu serangan terhadap fisik dan psikis serta integritas mental seseorang.18 Secara etimologi, pengertian kekerasan dapat dibagi ke dalam dua jenis, diantaranya: pertama, kekerasan adalah perbuatan yang berupa pemukulan, penganiayaan yang menyebabkan kematian atau cederanya seseorang (kekerasan fisik) dan kedua, kekerasan yang tidak hanya dalam bentuk fisik, hal tersebut dapat dilihat dari segi akibat dan pengaruhnya pada korban. Secara umum kekerasan terhadap perempuan dapat dibagi ke dalam dua kategori, sebagai berikut: pertama, kekerasan fisik adalah semua bentuk kekerasan yang menimbulkan penderitaan fisik seperti penganiayaan, pemukulan, sampai pembunuhan.

Adapun kekerasan non fisik terhadap perempuan dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: 1) kekerasan piskis adalah perbuatan yang mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri atau kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis, contohnya mengancam atau menakut-nakuti korban; 2) kekerasan seskual (sexual

17 Johan Galtung, “Violence, Peace, And Peace Research”, Journal of Peace Research, Vol. 6, No. 3 (1969), h. 167-191.

18 Mansour Fakih, Kekerasan dalam Perspektif Pesantren, (Jakarta: Grasindo, 2000), h.

78.

(32)

abuse) adalah kekerasan atau serangan yang secara khusus ditujukan pada organ atau alat reproduksi perempuan, mulai dari pelecehan seksual seperti meraba-raba yang tidak berkenan hingga pemaksaan hubungan seksual atau perkosaan; dan 3) kekerasan ekonomi adalah perbuatan yang membatasi perempuan untuk bekerja di dalam dan/atau di luar rumah untuk menghasilkan uang/barang ataupun sebaliknya, tidak memberi nafkah kepada perempuan, serta mengeksploitasi/meperdagangkan perempuan untuk tujuan ekonomi dan demi mendapat keuntungan.19

United Nations General Assembly pada tahun 2006 menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan termasuk sebagai salah satu pelanggaran HAM yang paling sistematis dan meluas. Pada faktanya kekerasan tersebut lebih berakar pada struktur sosial dan gender dibandingkan tindakan individu dan acak; melintasi batas usia, sosio- ekonomi, pendidikan dan geografis; mempengaruhi seluruh masyarakat; dan hal itu merupakan hambatan utama untuk mengakhiri ketidaksetaraan gender dan diskriminasi secara global.20

Pengertian kekerasan secara umum dapat dilihat pada Pasal 1 Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (The Declaration on the Elimination of Violence Against Women) tahun 1993, yaitu: “Setiap tindakan kekerasan berbasis gender (gender based violence) yang berakibat atau berpeluang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum (dalam masyarakat) atau dalam kehidupan pribadi.”

Gender based violence atau kekerasan berbasis gender adalah istilah umum bagi setiap tindakan yang berbahaya yang dilakukan di luar keinginan seseorang yang didasarkan perbedaan gender antara laki-laki dan

19 Susanto, et.al, ed. Penghapusan Kekerasan Seksual Dalam Berbagai Perspektif.

(Jakarta Pusat: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2017), h. 65.

20 UN Women, Sources of International Law Rlated to Sexual Harassment, (https://www.endvawnow.org/en/articles/492-sources-of-international-law-related-to-sexual- harassment.html?next=469), Diakses pada tanggal 15 Mei 2021.

(33)

perempuan. Kekerasan berbasis gender telah melanggar sejumlah hak asasi manusia universal yang dilindungi oleh berbagai peraturan dan konvensi internasional. Di seluruh dunia, kekerasan seksual berbasis gender lebih banyak terjadi kepada perempuan dan anak-anak perempuan daripada laki- laki dan anak laki-laki.21 Namun sifat dasar dan tingkat tipe-tipe spesifik kekerasan berbasis gender bervariasi menurut menurut kebudayaan, negara, dan wilayah, antara lain:

a. Kekerasan seksual, termasuk eksploitasi seksual/penganiayaan seksual dan pelacuran karena terpaksa;

b. Kekerasan dalam rumah tangga;

c. Perdagangan orang/trafficking; dan d. Pernikahan paksa/usia muda.

The Declaration on the Elimination of Violence Against Women dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat dipahami sebagaimana berikut ini tetapi tidak terbatas hanya pada:22

a. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga; termasuk pemukulan/serangan, kekerasan seksual terhadap anak perempuan di dalam rumah, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan/sunat dan praktik tradisi yang menyakitkan bagi perempuan, kekerasan nonpartner, dan eksploitasi;

b. Kekerasan secara fisik, seksual, psikologis yang terjadi dalam masyarakat umum; termasuk pemerkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan, dan ancaman seksual di tempat kerja, lembaga pendidikan, perdagangan, perempuan/trafficking, dan pelacuran paksa dan;

c. Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang dilakukan dan/atau dibenarkan oleh negara di mana pun hal itu terjadi.

21 IASC, Panduan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender Masa Darurat Kemanusiaan, (Geneva: Inter-Agency Standing Committee, 2005), h. 7.

22 Dewi Yuri Cahyani, Format Dokumentasi Pengalaman Kerentanan dan Kekerasan Terhadap Perempuan Pembela HAM, (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2007), h. 12.

(34)

Sementara itu, menurut Mansour Fakih bentuk kekerasan terhadap perempuan antara lain:23

a. Pemerkosaan terhadap perempuan termasuk dalam perkawinan.

Pemerkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan dari yang “dipaksa”;

b. Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi di dalam rumah tangga; termasuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak-anak;

c. Bentuk penyiksaan terhadap organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya: sunat perempuan dengan alasan untuk mengontrol gairah seks perempuan;

d. Kekerasan dalam bentuk pelacuran, karena pelacuran adalah bentuk kekerasan yang disebabkan mekanisme ekonoi yang merugikan perempuan;

e. Pornografi, ketika perempuan dijadikan objek demi keuntungan pihak lain (produsen atau penyaji pornografi);

f. Kekerasan dalam bentuk sterilisasi terhadap perempuan, untuk mencapai target kontrol pertumbuhan penduduk;

g. Kekerasan di tempat kerja; dan

h. Pelecehan seksual dan sexual and emotional harassment.

Dalam tindakannya kekerasan seksual mengandung aspek yang menggunakan kekerasan seperti pemaksaan, ancaman atau kekerasan fisik, sehingga wujud dari kekerasan seksual juga dapat berbentuk pelecehan seksual atau serangan seksual.24 Istilah kekerasan seksual tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun hal tersebut tidak memungkiri bahwa di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang kejahatan seksual yang diatur dalam Bab XIV Pasal 285 dan Pasal 290. Beberapa pasal didefinisikan sebagai setiap aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang lain terhadap perempuan. Namun ketentuan

23 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 17-20.

24 Kristi Poerwandari, Penguatan Psikologis untuk Menanggulangi Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual, … h. 70.

(35)

dalam KUHP masih sangat terbatas, pada khusunya hanya mengatur dua jenis kekerasan seksual yaitu mengenai Perkosaan dan Pencabulan. Pada faktanya kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan berbasis gender tidak selalu berupa pemerkosaan dan perbuatan cabul tetapi juga dapat berbentuk pelecehan seksual atau serangan seksual.

KUHP yang dipengaruhi oleh budaya patriarki tidak memenuhi keadilan bagi perempuan dan belum mampu memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.25

Kendati demikian, berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan ditemukan adanya 15 jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan di Indonesia,26 yaitu: (1) perkosaan; (2) intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan; (3) pelecehan seksual; (4) eksploitasi seksual; (5) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (6) prostitusi paksa; (7) perbudakan seksual; (8) pemaksaan perkawian; (9) pemaksaan kehamilan; (10) pemaksaan aborsi; (11) kontrasepsi/sterilisasi paksa; (12) penyiksaan seksual; (13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; dan (15) kontrol seksual terhadap perempuan, termasuk aturan diskriminatif atas dasar moralitas dan agama. Meskipun demikian, tidak semua jenis kekerasan seksual yang ditemukan tersebut dapat digolongkan sebagai perbuatan tindak pidana, sehingga sulit untuk diproses secara hukum dan dibuktikan dalam persidangan.

Menurut Komans Perempuan dalam pasal 1 ketentuan umum Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, kekerasan seksual didefinisikan sebagai “setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual

25 Niken Savitri, HAM Perempuan: Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), h. 108-109.

26 Komnas Perempuan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual,

(https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/15-bentuk- kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan) Di akses pada tanggal 17 Mei 2021.

(36)

seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.27 Adapun Pasal 8 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga disebutkan bahwa bentuk kekerasan seksual adalah,

“perbuatan berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk bertujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.”

5. Penegakan Hukum Tindak Kekerasan Seksual di Indonesia

Proses penegakan hukum di Indonesia mengenai kasus kekerasan seksual tidak hanyak dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan, tetapi juga terkait dengan bagaimana cara aparat hukum dan fasilitas hukum menegakkan hukum.28 Selain itu, Penegakan hukum tentunya juga berkaitan dengan budaya hukum masyarakat setempat dimana hukum itu akan diberlakukan. Pada pembahasan penegakan hukum kasus kekerasan seksual berkaitan erat dengan sistem peradilan pidana terpadu. Sistem peradilan pidana terpadu pada dasarnya memiliki 4 sub sistem yaitu:

a. Sub sistem penyidikan;

b. Sub sistem penuntutan;

c. Sub sistem pengadilan dan pejatuhan putusan atau pidana; &

d. Sub sistem pelaksanaan putusan atau pidana.

Jika ditelusuri secara mendalam, sistem pradilan pidana terpadu berpacu pada 2 substansi hukum utama yaitu KUHP & KUHAP. Kedudukan KUHAP sebagai hukum pidana formal dan KUHP sebagai hukum pidana

27 DPR RI, Rancangan Undang-Undang di Indonesia Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.

28 Wicipto Setiadi, Arti Penting Lembaga-Lembaga Hukum di Indonesia dalam Merespon Perubahan Sosial, (Jakarta: Sekertariat Jendral Komidi Yudisial Repulik Indonesia, 2012), h. 68.

(37)

material. Dalam KUHP, kekerasan seksual termasuk dalam kelompok tindak kejahatan kesusilaan yang termuat dalam Bab XIV Buku II tentang Kejahatan Kesusilaan Pasal 281-303. Bentuk tindak pidana kesusilaaan dalam KUHP yang termasuk dalam bentuk kekerasan seksual diantaranya yakni:

a. Pasal 284 (Tindak Pidana Perzinahan);

b. Pasal 285-286 (Perkosaan);

c. Pasal 287 (Persetubuhan dengan perempuan di bawah lima belas tahun);

d. Pasal 289-296 (Pencabulan).

Pembuktian kasus percabulan atau perkosaan biasanya menggunakan salah satu alat buktinya berupa visum et repertum.Visum et repertum dapat digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana diatur dalam:

a. Pasal 187 huruf c KUHAP: Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.

b. Pasal 133 ayat (1) KUHAP: Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena perstiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

Sementara itu terdapat instrument hukum nasional lainnya yang mengatur tentang kasus kekerasan seksual, diantarnya yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)

1) Pasal 1 angka 1: “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

(38)

2) Pasal 5: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a) kekerasan fisik;

b) kekerasan psikis;

c) kekerasan seksual; atau d) penelantaran rumah tangga.”

3) Pasal 8: “Kekerasan seksual meliputi :

a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.”

4) Pasal 46: “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”

5) Pasal 47: “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

1) Pasal 1 angka 8: “Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.”

c. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Referensi

Dokumen terkait

Hambatan-hambatan yang terjadi dalam Implementasi ketentuan pidana UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT di wilayah hukum Polres Grobogan adalah faktor korban, kendala

Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang kekerasan adalah Pasal 89 dan 90, yang hanya ditujukan pada kekerasan fisik, tetapi