• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI HUKUM ISLAM

A. Tinjauan Sterilisasi Dari Aspek Hukum Islam

Islam bukan hanya agama. Ia juga merupakan sistem sosial, sebuah kultur dan peradaban. Karena itu, ia mempunyai nilai-nilai, ideal-ideal, dan tujuan-tujuan yang dipandang sebagai kulminasi dari kesempurnaan masnusia dalam seluruh aspek kehidupan.

Legislasi Islam sangat komprehensif. Islam tidak hanya berurusan secara ekslusif dengan masalah keimanan dan ibadah. Islam juga mengatur perilaku moral, interaksi sosial, urusan muamalah, termasuk system perundang-undangan, perpajakan, pembentukan keluarga, perkembangan komunitas, struktur sosial, dan hubungan internasional.1

Dalam sejarah lembaga dan peraturannya, Islam menggugah akal dan senentiasa selaras dengan fitrah (watak alami) manusia. Islam tidak pernah gagal memperagakan kasih sayangnya yang besar pada pemeluknya, tidak pula ia hendak menimpahkan beban yang tidak semestinya dan batasan yang tidak bertanggung kepada mereka. Al Qur‟an menyatakan prinsip ini dengan sangat ringkas diantaranya

:

…















Artinya : …Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…. (Q.S. Al Baqarah : 185).

…













Artinya : …dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama

suatu kesempitan… (Q. S. Al Hajj : 78).

















Artinya : Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[286], dan manusia dijadikan bersifat lemah. (Q. S. An Nisa :28).

Jadi, Islam bersikap simpatik kepada perencanaan keluarga apabila kehamilan yang jarang dan pengaturan jumlahnya akan membuat si ibu lebih bugar secara fisik dan si ayah lebih panjang dalam urusan financial, terutama karena hal ini tidak bertentangan dengan nas-nas yeng melarang secara tegas dalam Al Qur‟an atau dalam sunnah Nabi. Sesungguhnya ada sesuatu ketetapan dasar dalam syari‟at Islam yang

menyatakan.

َر َ ضَاَ َرَ َضَا

)

ج ب ك ر

(

Artinya : “Tidak memudharatkan dan tidak dimudharatkan” (H.R. Malik dan Ibnu Majah).2

Kontrasepsi dapat didefinisikan sebagai tindakan yang diambil untuk mencegah kemungkinan lahirnya keturunan. Tetapi, kontrasepsi tidak berarti tidak

2

terpenuhinya salah satu tujuan pernikahan, yiatu menghasilkan keturunan spesies manusia.

Al Qur‟an tidak memuat pernyataan yang pasti dalam menyetujui atau menentang kontrasepsi. Tetapi, secara eksplisit Al Qur‟an mengutuk pembunuhan bayi, yang umumnya dilakukan pada bayi perempuan dan sering terjadi di Arab pada zaman Pra-Islam.

Para Fuqaha menggunakan Al Qur‟an sebagai petunjuk untuk menentukan

apakah suatu masalah adalah:

Halal, yaitu sah menurut hukum.

Haram, yaitu tidak sah menurut hukum.

Mubah, yaitu dibolehkan atau pantas.

Makruh, yaitu tidak patut atau dibenci atau tidak pantas atau tidak dianjurkan.

Mandub, yaitu dianjurkan atau dipuji.

Jika mereka tidak menemukan di dalamnya pernyataan eksplisit yang dapat diterapkan pada masalah yang sedang di bicarakan, mereka menggunakan hadits atau sunnah Nabi untuk mencari keterangan.3

Ber-KB dengan cara sterilisasi yaitu vasektomi bagi pria dan tubektomi bagi wanita, pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan oleh hukum Islam karena telah merusak organ tubuh dan mempunyai dampak negative yang lebih jauh apabila salah satu suami/isteri meninggal. Kecuali karena darurat, misalnya salah seorang

3

Adb Fadl Mohsin Ebrahim, Isu-isu Biomedis Dalam Perspektif Islam, Aborsi Kontrasepsi,

suami/isteri berpenyakit yang dapat menurun kepada calon anak dalam rahim sehingga mengakibatkan anak cacat. Termasuk sterilisasi ini adalah pemandulan dan

pengebiriab (ikhtisha‟) non operasi.4

Sterilisasi pada hakekatnya adalah suatu metode Keluarga Berencana, yang dengan steriliasi itu dapat dicegah kehamilan, sebagai alat kontrasepsi maka sterilisasi dapat disejajarkan dengan alat kontrasepsi lainnya seperti IUD, Pil dan lain sebagainya. Akhir-akhir ini ternyata banyak orang yang menggunakan sterilisasi sebagai alat kontrasepsi untuk mencapai keluarga sejahtera.5

Sekian banyak cara pelaksanaan Keluarga Berencana, adalah sterilisasi yang dilakukan dengan memotong atau mengikat kedua saluran telur wanita atau pada saluran bibit pria dan mengakibatkan kemandulan yang permanent, karena sterilisasi berbeda dengan alat-alat kontrasepsi lainnya, pada umumnya hanya bertujuan untuk menghindari kehamilan untuk sementara waktu saja, sedangkan sterilisasi sekalipun secara teori orang yang disterilisasikan masih bisa dipulihkan, tetapi para ahli kedokteran mengakui harapan tipis untuk bisa berasil.

Pada dasarnya syari‟at Islam tidak membenarkan usaha pengaturan kehamilan

dengan cara sterilisasi karena akan menimbulkan ketidakmampuan menurunkan keturunan, serta keluarga berencanan yang dikehendaki Islam adalah keluarga

4

Khuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta :

Pustaka Firdaus, 1996), buku kedua, hal. 153.

5

Azyumarsi Azra, ikhwal Kependudukan,PelajaranDari eropa, Panji Masyarakat: No 413,

berencana dalam arti “membatasi kelahiran secara mutlak bagi setiap orang dalam

berbagai kondisi”. Oleh karena itu, sterilisasi apabila dilaksanakan hanya untuk

pencegahan kehamilan serta dijiwai niat segan mempunyai keturunan tanpa alasan lain tidak dibolehkan Islam, karena tindakan sterilisasi itu tidak sesuai dengan

tinjauan terhadap keluarga berencana menurut pandangan Islam : “Ikhtiar manusia

untuk mengatur kelahiran diseimbangkan dengan kemampuan dan kesanggupan dan

bukan karena adanya rasa segan mempunyai anak”.6

Pengurus Besar Syuriyah Nahdhatul Ulama menyatakan :7

1. Keluarga Berencana harus diartikan sebagai pengaturan penjarangan kehamilan untuk kesejahteraan ibu dan bukan untuk mencegah kehamilan untuk pembatasan keluarga.

2. Keluarga Berencana harus didasarkan atas kepentingan kesejahteraan ibu dan anak dan bukan karena katakutan akan kemiskinan, kelaparan dan sebagainya. 3. Keluarga Berencana tidak boleh dilakukan dengan menggugurkan kandungan. 4. Tidak diperbolehkan merusak dan atau menghilangkan bagian tubuh suami

maupun isteri yang bersangkutan.

Pimpinan Muhammadiyah pun berpendapat sebagai berikut :8

6

BKKBN, Biro Penerangan dan Motivasi, Pandangan Islam Terhadap Keluarga Berencana,

(Jakarta : BKKBN, 1979), hal. 8.

7

Proyek Keluarga Berencana, Pedoman Penerangan Tentang KB, (Jakarta : Yayasan

Kesejahteraan Muslimat, 1974), hal. 8.

8

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Membina Keluarga Sejahtera, (Yogyakarta : Persatuan,

Usaha memperkecil jumlah keturunan lebih-lebih untuk tidak mempunyai keturunan sama sekali, dalam keadaan badan (tidak ada kekhawatiran apapun baik atas dirinya ataupun anak keturunannya) adalah tidak sejalan dengan ketentuan naluti manusia, maka oleh karena itu tidak dibenarkan oleh ajaran Islam.

Selanjutnya dijelaskan :

Pencegahan kehamilan yang dianggap berlawanan dengan ajaran Islam ialah sikap dan tindakan dalam perkawinan yang dijiwai oleh niat mempunyai anak dan mempunyai keturunan atau dengan cara merusak/merubah organisme yang bersangkutan, seperti memotong, mengikat, dan lain-lain.9

Dari beberapa penjelasan tersebut di atas jelaslah bahwa melakukan sterilisasi

diharamkan oleh Syari‟at Islam, namun Islam tidak menutup kemungkinan membolehkan sterilisasi bila suatu keluarga memiliki alas an yang dapat dibenarkan oleh kesehatan, demi kesehatan anggota keluarga terutama ibu dan anak serta adanya kekhawatiran kesehatan jiwa berdasarkan keterangan dokter yang dapat dipercaya. Dalam keadaan seperti itu dibenarkan menghindari terjadinya kehamilan, dan jika hal itu berlangsung terus ketika hamilnya akan dapat membahayakan ibu atau anak. Seperti yang dijelaskan oleh MUI :

Melakukan vasektomi (usaha mengikat/memotong saluran benih pria (vasdiferens) sehingga pria itu tidak dapat menghamilkan), dan Tubektomi (usaha mengikat/memotong kedua saluran telur, sehingga wanita itu pada umumnya tidak dapat hamil lagi) bertentengan dengan hukum Islam (haram), kecuali dalam keadaan

9

sangat terpaksa (darurat) seperti untuk menghindarkan penurunan penyakit dari ibu/bapak terhadap anak keturunannya yang bakal lahir, atau terancamnya jiwa si ibu

bila ia mengandung atau melahirkan lagi”.10

Dari berbagai cara yang dilakukan oleh Dokter Ahli dengan upaya sterilisasi, baik yang dianggapnya aman pemakaiannya, maupun yang penuh resiko, kesemuanya dilarang menurut ajaran Islam, karena mengakibatkan seseorang tidak dapat mempunyai anak lagi.

Pemandulan yang dibolehkan dalam ajaran Islam, adalah yang bersifatnya berlaku pada waktu-waktu tertentu saja (temporer) atau istilah menurut istilah Agama, bukan yang sifatnya selama-lamanya atau ب menurut istilah tersebut. Artinya, alat kontrasepsi yang seharusnya dipakai oleh isteri atau suami dalam ber-KB, dapat dilepaskan atau ditinggalkan, bila suatu ketika ia menghendaki anak lagi. Maka alat kontrasepsi berupa sterilisasi, dilarang digunakan dalam Islam karena sifatnya pemandulan untuk selama-lamanya, kecauli kalau alat tersebut dapat disambung lagi, sehingga dapat disalurkan ovum atau sperma, maka hukumnya boleh, karena sifatnya sementara.

Tetapi kalau kondisi kesehatan isteri atau suami yang terpaksa, sehingga diadakan hal tersebut, menurut hasil penyelidikan seorang dokter yang terpecaya, baru dibolehkan melakukannya, karena dianggap dharurat menurut Islam.11

10

Musyawarah Nasional Ulama, Tentang Kependudukan Kesehatan dan Pembangunan,

(Jakarta : BKKBN, 1983), hal. 13.

11

Melakukan sterilisasi untuk mempertahankan jiwa dan menjaga keselamatan ibu dan anak diperbolehkan, karena hal itu merupakan kebutuhan pokok manusia, dan dharurat sifatnya. Kaedah Ushul Fiqh menjelaskan :

ر ظح حي ر ض