• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum Islam tentang sterilisasi dalam keluarga (analisa terhadap Fatwa MUI tentang sterilisasi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum Islam tentang sterilisasi dalam keluarga (analisa terhadap Fatwa MUI tentang sterilisasi)"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

1

(Analisa Terhadap Fatwa MUI Tentang Sterilisasi)

Oleh:

SABARUDIN BINTANG

NIM : 105043101284

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan memenuhi salah satu persayaratan memperoleh gelar sarjana (S1) di Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, September 2010

(3)

i

Assalamu‟alaikum.Wr. Wb.

Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba selain puji dan syukur atas kehadirat Allah Swt, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita di permukaan bumi ini. Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhamad Saw, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya, hingga akhir zaman.

(4)

ii

ini, penulis secara khusus mempersembahkan ungkapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada penulis hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan rasa terima

kasih dan do‟a semoga Allah Swt membalasnya.

2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA sebagai ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, beserta Bapak Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag sebagai Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis dengan ilmu yang berharga. Dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya yang sangat membantu penulis dalam memperoleh referensi-referensi untuk karya ilmiah ini.

4. Teristimewa buat Ayahhanda H. Saan dan Ibunda Hj. Sunarmah (alm), serta kakanda Rosidi dan Fajarudin. Yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

(5)

iii

7. Terimakasih kepada kawan-kawan Fakultas Syariah dan Hukum Konsenterasi Perbandingan Mazhab Fiqih angkatan 2005/2006 yang telah memberikan aroma tersendiri bagi penulis selama menempuh masa-masa pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu dalam menyusun dan merampungkan skripsi ini.

Akhirul kalam, penulis ucapkan banyak terimakasih kepada seluruh kompenen yang telah berjasa memberikan kontribusinya. Tidak ada yang dapat diberikan sebagai tanda belas jasa penulis, kecuali hanya dengan doa semoga Allah Swt membalas segala amal dan budi baik mereka dengan sebaik-baik balasan.

Wassalamu‟alaikum.Wr.Wb.

Jakarta, 25 Juni 2010 M.

Sabarudin Bintang 105043101284

(6)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA BERENCANA DAN STERILISASI A. Pengertian KB dan Sterilisasi ... 15

B. Alat-Alat Kontrasepsi Sebagai Sarana Pelaksanaan KB ... 24

(7)

v

B. Kedudukan Komisi Fatwa Dalam Hukum Islam ... 37 C. Komisi Fatwa Sebagai Lembaga Ijtihad MUI …... 41

BAB IV ANALISA TERHADAP FATWA MUI TENTANG STERILISASI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

A. Sterilisasi Dari Aspek Hukum Islma ... 52 B. Fatwa MUI Tentang Sterilisasi Dalam Keluarga Berencana ... 59 C. Analisa Terhadap Fatwa MUI Tentang Sterilisasi ... 64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 71 B. Saran-Saran ... 72

(8)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada masa sekarang ini Pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya mengadakan pembangunan Nasional. Namun pembangunan tersebut tidak dapat terlepas dari masalah penduduk tanpa pengatasan terhadap masalah penduduk pembangunan tidak akan berjalan lancar. Masalah penduduk yang paling utama di Negara yang sedang berkembang pada umumnya dan di Indonesia khususnya adalah pertambahan jumlah penduduk. Yang di maksud pertambahan penduduk adalah selisih antara angka kelahiran dan angka kematian.

Pada saat ini, sebagai akibat kemajuan yang di temukan dalam bidang kedokteran, kemajuan dalam bidang pendidikan termasuk pendidikan kesehatan serta sebagai akibat makin baiknya sistem komunikasi, maka angka kelahiran tetap tidak banyak terpengaruh. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya masalah pertambahan jumlah penduduk, yang terutama di alami oleh Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.

(9)

sekali tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah karena kekurangan atau ketiadaan biaya, di lain pihak pendapatan perkapita Negara tidak sesuai dengan jumlah penduduk yang ada.

Untuk mengatasi masalah kependudukan tadi, pelbagai upaya penyelesaian banyak dilakukan terutama yang menuju kearah pengendalian jumlah penduduk. Dalam rangka mencari jalan keluar dari tingginya laju pertambahan penduduk di Indonesia, pemerintah melaksanakan beberapa aktivitas, antara lain peraturan dan undangan-undang (tanggungan keluarga dan perkawinan) dan salah satu antaranya ialah dengan melaksanakan program KB.1

Dalam kegiatan selanjutnya, keluarga berencana di Indonesia mengalami proses yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Negara-negara lainya yang sedang berkembang, yaitu sangat ditentukan oleh alasan kesehatan. Tetapi perkembangan selanjutnya semakin di sadari lagi, bahwa permasalahannya bertambah luas; dimana keluarga berencana dianggap sebagai salah satu cara untuk menurunkan angka kelahiran, sebagai suatu sarana untuk mengendalikan pertambahan penduduk yang semakin pesat.2

Dalam hal ini KB dapat dipahami dalam dua pengertian : Pertama, KB dapat dipahami sebagai suatu program nasional yang dijalankan pemerintah untuk mengurangi populasi penduduk, karena diasumsikan pertumbuhan populasi penduduk

1

Aznul Azwar, Peranan Sterlisasi Dalam Pengendalian Pertambahan Penduduk (Seminar

Evaluasi ZPG Pusat Indonesia 29-30 September 1979) di Yogyakarta, hal. 3.

2

Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah,Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini,

(10)

tidak seimbang dengan ketersediaan barang dan jasa. Dalam pengertian ini, KB didasarkan pada teori populasi menurut Thomas Robert Malthus. KB dalam pengertian pertama ini diistilahkan dengan tahdid an-nasl (pembatasan kelahiran).3

Kedua, KB dapat dipahami sebagai aktivitas individual untuk mencegah kehamilan (man‟u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana (alat). Misalnya dengan kondom, IUD, pil KB, dan sebagainya. KB dalam pengertian kedua diberi istilah tanzhim an-nasl (pengaturan kelahiran).

Adapun hukum keduanya ulama kontemporer membolehkan tanzhim an-nasl

(pengaturan atau penjarangan kelahiran). Namun melarang dan mengharamkan

tahdid an-nasl (pembatasan kelahiran atau yang umum dikenal dengan KB).

Ulama kontemporer melarang tahdid an-nasl di dalam KB sebagai program

nasional tidak dibenarkan secara syara‟. Jika pembatasan kelahiran itu

dilatarbelakangi oleh sikap takut miskin, takut anak tidak kebagian rizki, dan yang semisalnya, maka yang demikian ini hukumnya haram karena bertentangan dengan Aqidah Islam.

Selain itu, dari segi tinjauan fakta, teori Malthus tidak sesuai dengan kenyataan, bahwa produksi pangan dunia bukan kurang, melainkan cukup, bahkan lebih dari cukup untuk memberi makan seluruh populasi manusia di dunia. Pada bulan Mei tahun 1990, FAO (Food and Agricultural Organization) mengumumkan

3

Ali Ahmad As-Salus, Mausu‟ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu‟ashirah, (Mesir :

(11)

hasil studinya, bahwa produksi pangan dunia ternyata mengalami surplus 10 % untuk dapat mencukupi seluruh populasi penduduk dunia.4

Sedangkan ulama kontemporer membolehkan tanzhim an-nasl (pengaturan atau penjarangan kelahiran), apabila dijalankan oleh individu (bukan dijalankan karena program negara) untuk mencegah kelahiran (man‟u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana, hukumnya mubah, bagaimana pun juga motifnya.

Adapun dalil yang membolehkannya tanzhim an-nasl diantaranya : Hadits

dari sahabat Jabir RA yang berkata, ”Dahulu kami melakukan „azl pada masa

Rasulullah SAW sedangkan al-Qur`an masih turun.” (Muttafaq Alaihi). Menurut riwayat Muslim: Hal itu sampai kepada Nabi SAW dan beliau tidak melarangnya

pada kami.

Namun kebolehannya disyaratkan tidak adanya bahaya (dharar). Sebagaimana kaidah fiqih menyebutkan : Adh-dhararu yuzaal (Segala bentuk bahaya haruslah dihilangkan). Dan kebolehan pengaturan kelahiran juga terbatas pada pencegahan kehamilan yang temporal (sementara), misalnya dengan pil KB dan kondom. Adapun pencegahan kehamilan yang permanen (sterilisasi), seperti vasektomi atau tubektomi, hukumnya haram. Sebab Nabi SAW telah melarang pengebirian (al-ikhtisha`), sebagai teknik mencegah kehamilan secara permanen yang ada saat itu.

4

(12)

Di mana gerakan program keluarga berencana di Indonesia sudah dirintis sejak tahun 1953 oleh tokoh-tokoh masyarakat. Kemudian tahun 1957 berdiri organisasi swasta bernama Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mulai melopori pelaksanaannya. Kegiatannya dilakukan secara diam-diam dan bersifat perseorangan, karena waktu itu program keluarga berencana masih dilarang oleh pemerintah.

Sejak lahirnya orde baru tahun 1996, Pemerintah mulai menyadari bahwa masalah penduduk harus segera mendapat perhatian. Tahun 1967 Preside RI ikut mendatangi Deklarasi Kependudukan Dunia dan sejak itu pemerintah mengambil alih tanggung jawab pelaksanaan keluarga berencana melalui intruksi presiden No.20 tahun 1968 yang membentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) yang berstatus semi pemerintah. Fungsi dari lembaga ini adalah untuk mengembangkan keluarga berencana dan mengelola segala jenis bantuan. Pada tahun 1970 pemerintah mengambil kebijaksanaan bahwa keluarga berencana merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dengan keputusan presiden No.8 tahun 1970 dibentuklah Badan Koordinasi Keluarga Berencan Nasional (BKKBN) yang berstatus lembaga pemerintah yang berfungsi :

 Membantu presiden dalam menetapkan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang keluarga berencana.

(13)

Sesuai dengan perkembangan yang telah meningkat maka organisasi BKKBN pun terus disempurnakan. Tahun 1972 dikeluarkan Surat Keputusan Presiden No. 38 tahun 1978 organisasi dan tata kerja BKKBN menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Bertugas mempersiapkan kebijaksanaan umum dan mengkoordinasikan pelaksanaan program keluarga berencana dan kependudukan yang mendukungnya, baik ditingkat pusat maupun daerah serta mengkoordinasikan pelaksanaannya dilapangan.5

Pada dasarnya syari‟at Islam tidak membenarkan usaha pengaturan kehamilan

dengan cara sterilisasi karena akan menimbulkan ketidakmampuan menurunkan keturunan, adapun keluarga berencanan yang dikehendaki Islam adalah keluarga

berencana dalam arti “membatasi kelahiran secara mutlak bagi setiap orang dalam berbagai kondisi”. Oleh karena itu, sterilisasi apabila dilaksanakan hanya untuk pencegahan kehamilan serta dijiwai niat segan mempunyai keturunan tanpa alasan lain tidak dibolehkan dalam Islam, karena tindakan sterilisasi itu tidak sesuai dengan tinjauan terhadap keluarga berencana menurut pandangan Islam: “Ikhtiar manusia untuk mengatur kelahiran diseimbangkan dengan kemampuan dan kesanggupan dan

bukan karena adanya rasa segan mempunyai anak”.6

5

A. Rahmat Rosyadi-Soerso Dasar, Indonesia : Keluarga Berencana Ditinjau Dari

Hukum Islam, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1406 H-1986 M), cet. I, hal. 11.

6

BKKBN, Biro Penerangan dan Motivasi, Pandangan Islam Terhadap Keluarga Berencana,

(14)

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis sangat tertarik melakukan penelitian tentang bagaimana sterilisasi dapat digunakan atau diterapkan di dalam Keluarga Berencana terhadap masyarakat. Oleh karena itu, penulis akan mengangkat judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM KELUARGA BERENCANA (Studi Analisa Terhadap Fatwa MUI Tentang

Sterilisasi)”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Secara substantif, pembahasan mengenai fatwa MUI sangat luas cakupannya. Untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam kajian ini, maka penulis membatasi kepada fatwa yang dikeluarkan olah MUI pusat tentang sterilisai, dikarenakan banyaknya fatwa yang dikeluarkan oleh komisi fatwa yang berada ditingkat daerah dan sebagainya.

Melihat dari pembatasan diatas, maka penulis mengambil rumusan-rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Majlis Ulama Indonesia menyikapi permasalahan program keluarga berencana ?

2. Apa dasar hukum yang digunakan komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang sterilisasi ?

(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Supaya penulis lebih mengetahui secara mendalam tentang keluarga berencana pada masyarakat.

b. Agar penulis mengetahui konsep hukum islam terhadap keluarga berencana.

c. Untuk mendapatkan kesejahteraan keluarga. 2. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Kegunaan akademik untuk memenuhi satu syarat guna memperoleh gelar S1 dalam bidang Hukum Islam.

b. Pengembangan dan pengaktualisasian dalam konteks Hukum Islam (syariah) umumnya dan Hukum ber-KB pada khususnya.

c. Sumbangsih kepada masyarakat dalam memberikan pemahaman tentang alat kontrasepsi didalam keluarga berencana.

D. Tinjaun Pustaka

(16)

1. Judul : Masalah Sterilisasi Dan Penggunaan Alat-Alat Kontrasepsi Sebagai Sarana Keluarga Berencana di Tinjau Dari Aspek Sosial Dan Hukum Islam.

Penulis : Ria Fajriah, ASS, Tahun 2004

Skripsi ini membahas tentang program keluarga berencana yang diterapkan di Indonesia yang dilakukan oleh suami istri secara sadar dan sukarela dan membahas alatkontrasepsi yang sudah dikenal dan upaya untuk memperlambat kehamilan, sesuai dengan kondisi kesehatan, sosio-ekonomi masyarakat.

2. Judul : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Vasektomi dan Tubektomi (KB) di Indonesia.

Penulis : Heni Marlina, SJPMH, Tahun 2004

Skripsi ini membahas tentang berbagai cara yang dilakukan oleh dokter ahli dalam upaya (Vasektomi dan Tubektomi). Dan pelaksanaan Vasektomi dan Tubektomi di Indonesia akan besar peranannya untuk menurunkan tingkat kematian ibu (MMR) serta kematian bayi (IMR) di Indonesia serta pelaksanaan program Vasektomi dan Tubektomi itu sendiri.

(17)

mudah-mudah dapat membantu di dalam memahami hukum islam yang berkenaan di dalam masalah keluarga berencana.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data. Data yang diperlukan untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi, disamping itu metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai satu tujuan, sehingga hasil penelitian ini untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat serta obyektif, peneliti melakukan penggabbungan antara dua macam pendekatan yaitu;

a. Field Reseach

Field dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti padang medan daerah, sedangkan reseach adalah pemeriksaan penyelidikkan, field reseach juga diartikan sebagai penelitian lapangan, jenis penelitian ini biasanya di gunakan dalam penelitian yang digunakan pendekatan kaulitatif. Data-data tersebut diperoleh dari sumber-sumber otentik yang terdiri dari:

(18)

2. Sumber data sekunder yaitu : sejumlah literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.

b. Library Reseach

Studi kepustakaan dilakukan dalam penelitian untuk mendapatkan dasar pemikiran, perumusan dan operasinonalisasi konsep yaitu dengan cara mengumpulkan data-data yang bersumber dari buku, artikel-artikel diinternet yang khusus yang membahas kasus dan hal-hal yang berkaitan dengan teori-teori yang mendukung dalam bab analisa yang berkenaan dengan masalah sterilisasi.

2. Teknik Pengumpulan Data

Karena pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data dengan melalui metode wawancara. Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara dialogis terhadap responden mengenai masalah penelitian. Wawancara ini ditunjukan kepada salah satu anggota komisi fatwa MUI dengan memberikan beberapa pertanyaan berkaitan dengan masalah sterilisasi dengan alat bantu perekam seperti walkman, hp dan sebagainya yang dapat digunakan dalam wawancara tersebut. 3. Jenis dan Alat Pengumpulan Data

(19)

pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang telah ditentukan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara merupakan data primer yang nantinya diolah dan kemudian di analisa secara deskriptif, dalam metode wawancara maka instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut :

 Pedoman wawancara, yaitu berlaku sebagai pegangan peneliti dalam melakukan proses wawancara agar tidak menyimpan dan tujuan penelitian. Kemudian untuk melengkapi data maka penelitian ini, selain data primer, peneliti juga menggunakan data sekunder, diperoleh dari buku, dokumen, arsip atau jurnal yang kesemuanya adalah sebagai pelengkap dalam landasan teoritis, karena penelitian ini menggunakan juga pendekatan kuantitatif maka data-data yang mendukung tentunya dari dokumen-dokumen yang dengan kasus-kasus masalah sterilisasi.

4. Analisa Data

Setelah memperoleh data baik yang diperoleh melalui metode pustaka maupun melalui metode wawancara, data-data tersebut kemudian dikumpulkan, diolah, dianalisa, dan diinterprestasikan untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan.

(20)

dari hasil lapangan maka setiap poin pertanyaan-pertanyaan di jawab dari wawancara. Kemudian, dimasukkan kevariabel yang tepat untuk dapat diinterprestasikan.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dan penulisan pada skripsi ini, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I Bab pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, teknik pengumpulan data, jenis dan alat pengumpulan data dan analisa data. sistematika penulisan.

BAB II Berisikan tentang pandangan umum Majlis Ulama Indonesia (MUI) sebagai institusi, yang mencakup kepada sejarah singkat pembentukan

MUI, peranan MUI dalam masyarakat indonesia, dan metode MUI dalam

menetapkan fatwa, serta kedudukan fatwa dalam Islam.

BAB III Landasan teoritis terdiri dari penjabaran konsep-konsep mulai dari pengertian keluarga berencana dan sterilisasi sampai alat-alat kontrasepsi yang digunakan di dalam program keluarga berencana. BAB IV Dalam bab ini akan dijelaskan kajian terhadap fatwa MUI tentang

(21)

fatwa MUI tentang sterilisasi dalam keluarga berencana, dan analisa terhadap fatwa MUI mengenai sterilisasi .

(22)

15

TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA BERENCANA DAN STERILISASI

A. Pengertian KB dan Sterilisasi

Setiap kalimat yang telah dirumuskan dalam bentuk suatu istilah, ada baiknya dijelaskan lebih dahulu makna maksudnya secara definitif, agar terdapat kesatuan pengertian pada pihak-pihak yang bersangkutan dalam memahamkan persoalan sebaik-baiknya.

Yang dimaksud dengan keluarga di sini ialah suatu kesatuan sosial yang diikat oleh tali perkawinan yang sah, atau dapat dikatakan kelompok orang yang ada hubungan darah atau perkawinan dan yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah bapak, ibu, dan anak-anaknya.1

1. Keluarga Berencana

Keluarga berencana adalah pasangan suami istri yang telah mempunyai perencanaan yang konkrit mengenai kapan anak-anaknya diharapkan lahir dan pasangan suami istri tersebut juga merencanakan beberapa anak yang dicita-citakan,

1

A. W. Widjaja, Manusia Indonesia, Individu, Keluarga dan Masyarakat, (Jakarta:

(23)

yang sesuai dengan kemampuannya sendiri dan situasi kondisi masyarakat dan negaranya.2

Jadi keluarga berencana dititikberatkan pada perencanaan, pengaturan, dan pertanggungan jawaban orang terhadap anggota-anggota keluarganya, berbeda dengan istilah birth control yang artinya pembatasan/penghapusan kelahiran.3 Jika dilihat dari definisi keluarga berencana seperti tersebut di atas maka tidak ada alasan kita menolaknya. Hanya sekarang yang dipermasalahkan cara pelaksanaan keluarga berencana dimana dari sebagaian prakteknya ada cara-cara yang dilarang oleh agama (Islam), misalnya vasektomi dan tubektomi.

Keluarga berencana di Indonesia selain untuk kepentingan Nasional juga berkaitan erat dengan kepentingan pribadi dari suami isteri. Sebagai kepentingan Nasional sebab keluarga berencana oleh Pemerintah dimaksudkan untuk menekan laju pertambahan penduduk. Kalau keluarga berencana berhasil berarti Pemerintah akan lebih mudah menanggulangi masalah kependudukan yang semakin rumit, masalah sandang, pangan, perumahan, penanggulangan, kependudukan akan mudah diatasi jika program keluarga berencana berhasil dilaksanakan.

Setelah kita mengetahui betapa pentingnya keluarga berencana, baik untuk kepentingan pribadi maupun demi kepentingan umum, dalam upaya mendukung program pemerintah, maka kita tidak perlu lagi menyaksikan atau ragu-ragu menjadi

2

Aminudin Yakub, Kb Dalam Polemik: Melacak Pesan Substantif Islam, (Jakarta: Pusat

Bahasa dan Budaya, UIN Syarif Hidayatullah, 2003), hal. 24.

3

Masjfuk Zuhdi, Islam dan Keluarag Berencana di Indonesia, (Surabaya : PT Bina Ilmu,

(24)

peserta keluarga berencana. Hanya saja untuk menjadi peserta keluarga berencana harus berpijak pada tiga dasar yaitu:

a. Tidak hanya dengan cara yang bertentangan dengan ajaran agama (Islam). b. Tidak menggangu dan merusak hubungan suami isteri.

c. Mendapat izin dari suami atau dari isteri.

Keputusan ikut dan tidaknya menjadi keluarga berencana ada sepenunya ditangani suami isteri, tetapi ada juga yang berdasarkan nasehat dokter. Menurut Nasaruddin Latif menjelaskan bahwa usaha-usaha keluarga berencana di Negara-negara Demokrasi dijalankan secara sukarela.4

Mengenai keluarga berencana yang dijalankan oleh seseorang untuk membatasi jumlah anak dalam rumah tangganya, memang boleh dan tidak mengapa selama tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Perinsip yang demikian ini, khusus sifatnya bukanlah menjadi ukuran bagi seluruh umat Islam. Jika mempergunakan suatu cara untuk mencegah kehamilan karena ini merupakan perbuatan khusus antara suami isteri yang bersifat darurat.5

Keluarga berencana salah satu bentuk yang ditempuh untuk mengatasi masalah pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi, cara pengaturan kelahiran (fertilitas) dengan tujuan mencapai suatu kelurag (ayah, ibu, dan anak) yang sehat, baik fisik dan mental maupun sosial ekonomis. Dalam tujuan keluarga berencana

4

Nasaruddin Latif, KB Dipandang Dari sudut Hukum Islam, (Jakarta : BKKBN, 1972), hal.

16.

5

Muhammad Alwi Al Maliki Al Hasani, Etika Dalam Rumah Tangga Islam, (Surabaya : PT.

(25)

tersebut terdapat kemaslahatan, yaitu kesejahteraan materiil dan s[iritual. Dalam pengertian ini, keluarga berencana adalah salah satu bentuk usaha menyiapkan generasi yang tanggung. Dengan demikian, selama cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan itu dapat dibenarkan ajaran Islam. Allah SWT berfirman :





































Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”. (Q.S. An nisaa : 9).6

Tujuan keluarga berencana itu dicapai dengan, misalnya menghindari kehamilan yang tidak atau belum diinginkan, mengatur jarak kehamilan, serta mengatur waktu kehamilan dan persalinan agar terjadi pada usia terbaik bagi ayah serta ibu. Meskipun tujuannya baik, tidak semua cara untuk mencapai tujuan itu diperkenankan oleh Islam.7

Motivasi keluarga berencana dapat diberikan dengan berbagai cara, akan tetapi diharapkan caranya itu adalah yang mudah dan dapat diterima oleh rakyat banyak. Jika selama ini dari berbagai macam segi sudah mendukung, bagaimanapun agama diharapkan dapat memberikan motivasi kea rah sukesnya bangsa kita hidup

6

Al-Qur‟an dan Terjemahnya.

7

Departemen Pendidikan Nasional Pusat Perbukuan Proyek Buku Agama Pendidikan Dasar

(Pusat) Tahun Anggaran 2001, Ensiklopedia Islam 3 KAL – NAH, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van

(26)

beragama, serta selalu mengaitkan seluruh permasalahan hidup mereka dengan aspek keagamaan.

Pelaksanaan keluarga berencana, harus diarahkan pada pembinaan keluarga sebagai suatu alternatif untuk mencapai kesejahteraan keluarga. Alasan pelaksanaan keluarga berencana dalam hubungan ini adalah :

a) Kesehatan dan kemampuan ibu.

b) Kemampuan riil ekonomi orang tua atau rumah tangga. c) Pendidikan anak-anak atau masa depan keluarga.8

Keluarga berencana mempunyai kepentingan vital, bagi keluarga khususnya, dan bagi Negara umumnya. Dasar utama bagi suatu keluarga adalah kesadaran yang tumbuh atas kepentingan kesehatan, juga kesejahteraan. Sebagai salah satu upaya mengurangi lajunya pertambahan penduduk di Indonesia. Keluarga berencana mengandung pengertian usaha penjarakan kelahiran, atas dasar untuk mencapai kemaslahatan. Dengan demikian harus dapat ditingkatkan kesadaran di kalangan masyarakat secara meluas bahwa tujuan keluarga berencana adalah suatu langkah untuk memperkaya manusia, dan bukan menguranginya.

Jelasnya tujuan program keluarga berencana adalah :

1. Memelihara kesehatan ibu dan anak, baik fisik maupun psychis dalam arti yang luas.

8

BKKBN, Keluarga Berencana Ditinjau Dari Segi Agama-agama Besar di Dunia, (Jakarta :

(27)

2. Mengatur kehamilan dan kelahiran sesuai dengan kemampuan manusia yang terbatas.

3. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hakikat dan tanggung jawab keluarga.9

2. Sterilisasi

Sterilisasi ialah memandulkan lelaki atau wanita dengan jalan operasi (pada umumnya) agar tidak dapat menghasilkan keturunan. Dengan demikian sterilisasi berbeda dengan cara/alat kontrasepsi yang pada umumnya hanya bertujuan untuk menghindari atau menjarangkan kehamilan untuk sementara waktu saja.

Sterilisasi pada pria disebut vasektomi (vas ligation) yaitu operasi pemutusan atau pengikatan saluran/pembuluh yang menghubungkan testis (pabrik sperma) dengan kelenjar prostate (gudang sperma), sehingga sperma tidak dapat mengalir ke luar penis (uretra). Sterilisasi pada lelaki merupakan operasi ringan, tidak memerlukan perawatan di rumah sakit dan tidak mengganggu kehidupan seksualnya. Lelaki tidak kehilangan sifat kelakiannya karena operasi.

Sedangkan sterilisasi pada wanita disebut tubektomi (tuba ligation), yaitu operasi pemutusan hubungan saluran/pembuluh sel telur (tuba falopii) yang menyalurkan ovum dan menutup kedua ujungnya, sehingga sel telur tidak dapat ke luar dan memasuki rongga rahim; sementara itu sel sperma yang masuk ke dalam

9

Lembaga Kemaslahatan Kelurga Nahdlatul Ulama dan BKKBN, Membina Kemaslahatan

(28)

vagina wanita itu tidak mengandung spermatozoa sehingga tidak terjadi kehamilan walaupun coitus tetap normal tanpa gangguan apapun.10

Meskipun sterilisasi merupakan tindakan untuk memandulkan wanita atau pria, tetapi tidak dapat disamakan pengertiannya dengan istilah infertilitas; karena istilah tersebut dapat diartikan sebagai berikut :

Infertilitas (kemandulan) menyatakan berkurangnya kesanggupan untuk berkembang biak, tanpa melalui proses operasi.11

Jadi perbedaannya adalah sterilisasi merupakan pemandulan dengan cara yang disengaja, tetapi infertilitas merupakan kemandulan yang tidak disengaja. Maka dapat diketahui bahwa infertilitas (kemandulan) menjadi dua macam; yaitu:12

1. Infertilasi primer, adalah kemandulan yang sama sekali tidak pernah hamil. 2. Infertilitas sekunder, adalah keadaan wanita yang sudah pernah hamil, lalu

menjadi mandul karena factor umur yang sudah lanjut.

Dilaksanakannya sterilisasi karena dilandasi oleh beberapa faktor, antara lain : a. Indikasi Medis yaitu biasanya dilakukan terhadap wanita yang mengidap penyakit

yang dianggap dapat berbahaya baginya, misalnya: 1) Penyakit Jantung;

10

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Hadistah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum

Islam, (Surabaya : . PT RajaGrafindo Persada, 1996), ed. I, cet., I, hal. 53.

11

Bagian Obstetri dan Ginelogi Fak. Kedokteran UNPAD, Teknik Keluarga Berencana

(Peranan Kesuburan), (Bandung : Pen. Elstas, 1980), hal. 152.

12

Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini,

(29)

2) Penyakut ginjal;

3) Hypertensi dan sebagainya.

b. Sosio Ekonomi yaitu biasanya dilakukan, karena suami isteri tidak sanggup memenuhi kewajiban bila mereka melahirkan anak, karena terlalu miskin.

c. Permintaan Sendiri yaitu dilakukan, karena permintaan oleh yang bersangkutan, meskipun ia tergolong mampu ekonominya. Karena mungkin isteri atau suaminya ingin mengarahkan kegiatan-kegiatannya yang lebih banyak di luar rumah tangganya, maka ia tidak mempunyai anak.

Ada beberapa cara yang sering dilakukan dalam proses sterilisasi wanita, antara lain :13

a. Cara Radiasi yaitu merusak fungsi ovarium, sehingga tidak dapat lagi menghasilkan hormon-hormon yang mengakibatkan wanita menjadi menopause. b. Cara Operatif yang terdiri dari beberapa teknik, antara lain :

1) Ovarektomi yaitu mengangkat atau memiringkan kedua ovarium, yang efeknya sama dengan radiasi.

2) Tubektomi yaitu mengangkat seluruh tuba agar wanita tidak bisa lagi hamil, karena saluran tersebut sudah bocor.

3) Ligasi Tuba yaitu mengikat tuba, sehingga tidak dapat lagi dilewati ovum (sel-sel telur).

13

(30)

c. Cara Penyubambatan Tuba yaitu menggunakan zat-zat kimia untuk menyumbat lubang tuba dengan teknik suntikan.

Mengenai cara yang biasa dilakukan dalam proses sterilisasi pria adalah vasektomi dengan teknik membedah dan membuka vas (bagian dalam buah pelir), kemudian diikat atau dijepit, agar tidak dilewati lagi sperma.

Dari berbagai cara yang dilakukan oleh Dokter Ahli dalam upaya sterilisasi, baik yang dianggapnya aman pemakaiannya, maupun yang penuh resiko, kesemuanya dilarang menurut ajaran Islam karena mengakibatkan seseorang tidak mempunyai anak lagi.

Pemandulan yang dibolehkan dalam ajaran Islam adalah sifatnya berlaku pada waktu-waktu tertentu saja (temporer) atau istilah menurut istilah Agama, bukan

yang sifatnya selama-lamanya atau

ب

menurut istilah tersebut. Artinya, alat kontrasepsi yang seharusnya dipakai oleh isteri atau suami dalam ber-KB, dapat dilepaskan atau ditinggalkan, bila suatu ketika ia menghendaki anak lagi. Maka alat kontrasepsi berupa sterilisasi dilarang digunakan dalam Islam, karena sifatnya pemandulan untuk selama-lamanya, kecuali alat itu dapat disambung lagi, sehingga dapat disaluri ovum atau sperma, maka hukumnya boleh, karena sifatnya sementara.
(31)

sebagaimana keterangan Qaidah Fiqhiyah yang berbunyi: “Keterpaksaan dapat

memperbolehkan memperoleh hal yang dilarang”.14

B. Alat-alat Kontrasepsi sebagai sarana Pelaksanaan Keluarga Berencana Perencanaan keluarga berencana merujuk kepada penggunaan metode-metode kontrasepsi oleh suami istri atas persetujuan bersama diantara mereka, untuk mengatur kesuburan mereka dengan tujuan untuk menghindari kesulitan kesehatan, kemasyarakatan, dan ekonomi, dan untuk memungkinkan mereka memikul tanggung jawab terhadap anak-anaknya dan masyarakat. Ini meliputi hal-hal sebagai berikut: a) Menjarangkan anak untuk memungkinkan penyusuan dan penjagaan kesehatan

Ibu dan anak;

b) Pengaturan masa hamil agar terjadi pada waktu yang aman;

c) Mengatur jumlah anak, bukan saja untuk keperluan keluarga melainkan juga untuk kemampuan fisik, financial, pendidikan, dan pemeliharaan anak.

Menurut aturannya, pilihan semacam itu harus merupakan sukarela tanpa paksaan hukum yang menetapkan jumlah anak perkeluarga.15

Dewasa ini, untuk keperluan yang dirasakan mendesak, banyak pelaksanaan Keluarga Berencana yang efektif. Menurut istilah fikih semuanya dapat dianalogikan (dikiaskan) kepada dua cara yang pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW,

14

Abdul Wahab Khalaf, Kaedah-kaedah Hukum Islam, (Bandung : Rajawali, 1983), jilid II,

hal. 143.

15

(32)

yang satu diperbolehkan oleh ajaran Islam dan yang lainnya di haramkan. Yang dibolehkan oleh agama Islam adalah cara yang bersifat sementara. Sebagai contoh, senggama terputus („azl atau coitus interuptus), yaitu suatu cara menghindari kehamilan dengan menarik keluar zakar pria dari lubang kemaluan wanita sebelum air mani keluar. Cara ini diperkenankan oleh ajaran Islam. Dalam sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan:

ع ه ىضر ب ج ع

:

اس اص ي ع ه سر ع ى ع ع ك

ع

ع ى ي يش ك ي

.

ي ع

.

س

:

ع ي ف اس اص ي ع ه سر ك غ ف

.

Artinya : “Dari Jabir ra ia berkata, “Kami melakukan „azl pada zaman

Rasulullah SAW, dan al-Qur‟an masih diturunkan, jika ia merupakan sesuatu yang dilarang, niscaya al-Qur‟an

melarangnya kepada kami”. (Muttafaq Alaihi).

Menurut riwayat Muslim: Hal itu sampai kepada Nabi SAW dan beliau tidak melarangnya pada kami.

Mengenai hadist di atas yang di riwayatkan oleh Muslim, dimaksudkan kepada penghindaran kehamilan melalui senggama terputus bersifat sementara

(al-„azl). Apabila suami isteri sudah merasakan adanya kebutuhan untuk mendatangkan kehamilan, maka dengan serta merta mereka dapat meninggalkan praktek senggama terputus itu, maka cara Keluarga Berencana yang lain (yang bersifat sementara) juga diperkenankan oleh ajaran Islam. Cara-cara itu diantaranya adalah pantang berkala,

(33)

seorang wanita; cara kontrasepsi sederhana dengan alat atau obat, dan juga cara kontrasepsi dengan cara efektif, tetapi sementara.

Pemakaian alat-alat seperti spiral, IUD atau Diafragma, kondom, dan lain sebagainya dalam rahim seorang wanita atau pada kemaluan seorang pria, tidak diperbolehkan kecuali jika dipasang sendiri atau dipasang oleh suami atau istrinya sendiri karena melihat atau menjamah aurat orang lain, terutama kemaluannya,

dilarang oleh syari‟at Islam.16

Allah SWT berfirman:





































.

































.

Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari

padanya ….” (QS. An Nuur : 30-31).

Adapun sarana atau metode yang diharamkan oleh ajaran Islam adalah cara yang sifatnya permanent. Sehingga cara pelaksanaan keluarga berencana seperti ini dapat disebut sebagai pengebirian pada masa Nabi dan tindakan ini tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Adapun tindakan pengebirian itu dalam pelaksanaan keluarga berencana dapat dikiaskan atau disamakan dengan sterilisasi, yaitu pemandulan

16

(34)

dengan cara operasi, sehingga praktis dengan demikian hubungan kelamin pria dan wanita tidak akan membuahkan kehamilan lagi. Sterilisasi pada pria disebut vasektomi dan sterilisasi pada wanita disebut tubektomi. Di samping itu, vasektomi dan tubektomi juga dilarang karena mengubah fitrah kejadian manusia.

Bagi umat Islam, vasektomi dan tubketomi hanya diperbolehkan jika pelakunya dihadapkan pada pilihan tunggal, yakni hanya dengan upaya ini keselamatan ibu akan terjamin. Misalnya, apabila seorang ibu melahirkan kembali, sangat boleh jadi dalam kelahiran itu akan terjadi kematian si ibu.

Cara lain yang juga diharamkan dalm Islam adalah pengguguran karena pada dasarnya janin di awal kelahiran adalah manusia juga. Melakukan pengguguran berarti melakukan pembunuhan terhadap manusia. Islam memang melarang pembunuhan, secara lebih khusus disebutkan di dalam Al-Qur‟an sebagai berikut:

































Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (QS. Al-Israa : 31).

C. Macam-macam Alat Kontrasepsi

(35)

Alat kontrasepsi dapat di bagi atas: 1. Cara Kontrasepsi Sederhana:

a. Tanpa memakai alat atau obat, yang disebut dengan cara tradisional :

 Senggama Terputus

Senggama terputus/‟azl/coitus interuptus artinya menarik zakar sebelum terjadinya pancaran sperma, di sini senggama tidak lengkap, terputus, maka ini dinamakan senggama terputus, yang lazim disebut

coitus interuptus.17

 Pantang Berkala

Pantang berkala yaitu usaha menghindari kehamilan dengan

melakukan “puasa” pada masa subur seorang wanita.18

Perlu diingat metode ini dapat dilakukan jika perempuan memliki daur menstruasi yang cukup teratur, perlu diketahui tidak semua perempuan memiliki daur menstruasi sendidri-sendiri. Karena itu sangat dianjurkan untuk meminta petunjuk medis yang bisa membantu menentukan masa subur kita.19

17

A. Rahmat Rosyadi-Soerso Dasar, Indonesia :Keluarga Berencana Ditinjau Dari Hukum

Islam, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1406 H-1986 M), cet. I, hal. 6.

18

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Pedoman dan Tuntunan

Pernikahan Dalam Islam, (Jakarta : BKKBN, 1988), hal. 21.

19

Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bekerjasama dengan Badan Koordinasi Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi DKI Jakarta 2002, Membantu Remaja Memahami Dirinya.

(36)

b. Memakai alat atau obat

 Kondom

Kondom adalah kentung karet yang sangat tipis dan dipakai untuk menutup zakar sehingga yang keluar tidak mencapai vagina.20

Metode ini dinilai bermanfaat baik untuk mencegah kehamilan maupun untuk mencegah penularan penyakit menular seksual jika dipergunakan dengan cara yang benar. Jika perempuan tidak yakin apakah dia berada pada masa tidak subur, maka kondom bisa digunakan sebagai dua pelindung ganda untuk mencegah kehamilan.21

 Diafragma atau cap

Diafragma atau cap menutupi cervix (Mulut Rahim) dari bawah sehingga sel mani tidak dapat memasuki saluran cervix, biasanya dipakai bersamaan dengan spermatisida.22

Diafragma terbuat dari karet tipis halus dengan pinggiran kuat tetapi plexibel, dimasukkan dengan jari tangan ke dalam vagina sampai menutupi lubang rahim. Dengan demikian dicegah masuknya sperma ke dalam rahim sehingga tidak terjadi pembuahan.

20

Departemen Pendidikan Nasional Pusat Perbukuan Proyek Buku Agama Pendidikan Dasar

(Pusat) Tahun Anggaran 2001, Ensiklopedia Islam 3 KAL – NAH, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 2005), hal. 28.

21

Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bekerjasama dengan Badan Koordinasi Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi DKI Jakarta 2002, op. cit, hal. 65.

22

(37)

Diafragma bisa dipasang beberapa jam setelah coitus, dan pemakainya tidak merasakan kalau memakai diafragma. Diafragma dikeluarkan dari rahim selambat-lambatnya 2 jam setelah coitus, dicuci dan dikeringkan, dan bisa dipakai lagi.

 Cream, Jelly dan Cairan Berbusa

Cream, Jelly dan Cairan Berbusa yang disebut juga spermicide, adalah suatu bahan kimia yang menghentikan gerak atau melumpukan spermatozoa di dalam vagina, sehingga tidak bisa membuahi telur.

Bahan kimia yang aktif ini berbentuk tablet, foam (busa) atau cream

yang harus di tempatkan di dalam vagina setinggi mungkin dekat cervix.

Cream dan foam juga bertindak sebagai penghalang spermatozoa yang masuk ke dalam cervix.23

 Tablet Berbusa (vaginal tablet)

Vaginal tablet adalah tablet yang dimasukkan ke dalam vagina sedalam mungkin 2-10 menit sebelum coitus. Vaginal tablet mengandung bahan-bahan kimiawi yang dapat membunuh sel sperma dan dapat menutup lubang rahim.

23

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Pedoman dan Tuntunan

(38)

Vaginal tablet kadang-kadang menimbulkan rasa tidak enak pada vagina (rasa panas dan sebgainya), tetapi tidak berbahaya. Efektifitas vaginal tablet cukup tinggi.24

2. Cara Kontrasepsi dengan metode efektip : a. Tidak Permanen :

 Pil atau Oral Pill

Orall pill dapat mencegah masaknya sel telur dari ovarium, jadi mencegah terjadinya ovulasi, sehingga tidak ada sel telur yang masak atau dibuahi. Sekalipun ada side effect, penggunaan orall pill ini sangat efektif. Tidak semua orang boleh menggunakan orall pill. Orang-orang dengan penyakit tertentu dilarang menggunakan orall pill, misalnya penyakit darah tinggi, ginjal, asma, kanker pada buah dada/rahim, penyakit gula.

 Suntikan

Dengan jalan menyuntikkan preparat-preparat tertentu ke dalam tubuh sehingga mencegah terjadinya ovulasi, yang mekanisme bekerjanya menyerupai orall pill, hanya cara memasukkannya ke dalam tubuh memulai suntikan. Penggunaan cara ini harus dengan petujuk dokter.25

24

Ibid., hal. 26.

25

(39)

 IUD (Intra Uterine Device) atau AKDR (Alat Kontrsasepsi Dalam Rahim) IUD atau alat kontrasepsi dalam rahim adalah suatu alat kontrasepsi yang dipasang pada rahim wanita untuk mencegah suatu kehamilan. IUD sudah dikenal oleh orang sejak dulu sebagai alat kontrasepsi yang efektif dan ekonomis.

Di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan nama spiral, karena memang bentuknya seperti spiral. Benda ini yang dibuat dari bahan plastik

polythelene dipasang ke dalam rahim sehingga mencegah bertemunya sperma dengan telur perempuan.

IUD dipasang 3 bulan setelah melahirkan atau 2-3 hari setelah selesai haid. Pemasangannya dilakukan oleh tenaga terlatih, dan harus dikontrol secara teratur pada saat-saat tertentu.

Dengan alat ini bisa timbul akibat samping, seperti pendarahan, mulas-mulas, alat keluar spontan, tetapi pada umumnya tidak berbahaya dan jumlahnya sangat kecil.26

b. Permanen :

 Tubektomi (sterilisasi untuk wanita)

Tubektomi yang dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui operasi rongga perut atau melalui vagina, telur ovarium tidak adapt

26

(40)

mencapai rongga rahim, sehingga dengan demikian tidak dapat terjadi pembuahan.

 Vasektomi (sterilisasi untuk pria)

Dengan oprasi ringan dan mati rasa setempat (lokal anesthasi) dapat dilakukan vasektomi. Operasi ini membutuhkan waktu kira-kira 10 menit dan tidak memerlukan perawatan rumah sakit.27

27

(41)

34 A. Latar Belakang Komisi Fatwa MUI

Sejalan dengan dinamika sosial keagamaan pada masyarakat, berkembang pula berbagai masalah di seputar fiqh, yang sebagian besar belum terserap dalam pemikiran hukum para ulama.1 Terhadap masalah-masalah yang biasa disebut dengan

masa‟il fiqhiyah al-haditsah. Para ulama sejatinya telah memiliki mekanisme institusional yang digunakan untuk memecahkan problematika tersebut.

Keberadaan Komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dipandang sangat penting, karena komisi ini diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum Islam yang senantiasa muncul dan semakin kompleks, yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia. Tugas mulia yang ditempuh Komisi Fatwa, yakni memberikan fatwa, bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan oleh setiap orang, melainkan pekerjaan sulit dan mengandung resiko berat yang kelak dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Hal ini mengingat tujuan pekerjaan tersebut adalah menjelaskan hukum Allah SWT. kepada masyarakat yang akan mempedomani dan mengamalkannya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika hampir seluruh kitab ushul fiqh membicarakan masalah ifta‟ (Fatwa) dan menetapkan

1

Jaih Mubarok, Metode Pengambilan Keputusan Hukum Bahtsul Masa‟il NU, (Ciamis:

(42)

sejumlah prinsip, Adab (kode etik), dan persyaratan sangat ketat berat yang harus dipegang teguh oleh setiap orang yang akan memberikan fatwa.

Diantara prinsip dan persyaratan tersebut ialah bahwa seorang mufti (orang yang memberikan fatwa) harus mengetahui hukum Islam secara mendalam berikut dalil-dalilnya.2 Ia tidak dibenarkan berfatwa hanya dengan dugaan-dugaan semata tanpa didasari pada dalil. Tegasnya, setiap yang menyatakan suatu hukum haruslah menunjukkan dalilnya baik dari Al-qur‟an, Hadits nabi, maupun dalil hukum lainnya.

Komisi Fatwa adalah salah satu komisi yang ada di MUI disamping komisi lainnya seperti Komisi Ukhuwah, Pemberdayaan Perempuan Remaja dan Keluarga, Pengkajian dan Pengembangan, Dakwah, Pengembangan Pendidikan Islamiyah, luar negeri, Ekonomi Islam, dan Kerukunan Antar Umat Beragama.

Komisi Fatwa MUI mempunyai beberapa program umum. Salah satu program tersebut diklasifikasikan dalam bentuk kegiatan, seperti penyempurnaan pedoman mekanisme kerja (tata kerja); penyempurnaan pedoman penetapan fatwa; penyempurnaan pedoman penetapan sertifikat halal; dan mengupayakan terbentuknya peraturan perundang-undangan tentang pengawasan produk-produk halal (yang telah mendapat sertifikat halal MUI).3

Termasuk dalam program umum komisi fatwa ini adalah pengkajian dan pengembangan masalah-masalah syari‟ah (Hukum Islam). Program tersebut

2

Yusuf al-qardhawy, Al-Fatwa bainal Indhibath wat Tasayyub (Terj), (Jakarta, Pustaka

Al-Kautsar, 1996), hal. 32.

3

(43)

diklasifikasikan dalam bentuk kegiatan pengkajian dan penetapan fatwa masalah aktual yang diperlukan fatwanya, terutama yang dimintakan fatwa oleh masyarakat maupun pemerintah, seperti tentang cash wakaf, hal-hal yang berkaitan dengan Haji. Jenis kegiatan lainnya adalah mengkaji ulang fatwa-fatwa MUI terdahulu yang dipandang perlu ditinjau dan dimantapkan, misalnya fatwa tentang kepeloporan pejabat dalam melaksanakan ibadah dan jenis kegiatan yang ketiga adalah menyelenggarakan muzakarah/seminar/loka karya nasional tentang masalah-masalah aktual.

Jenis kegiatan keempat adalah melakukan penelitian terhadap kehalalan makanan, minuman, bentuk obat-obatan dan kosmetika produk luar negeri, baik yang belum memperoleh sertifikat halal maupun sudah namun masih diragukan. Kelima adalah melakukan penelitian tentang respon masyarakat terhadap fatwa-fatwa MUI. Keenam adalah mengusahakan agar fatwa-fatwa MUI baik pusat maupun daerah mempunyai kekuatan hukum positif.

(44)

B. Kedudukan Komisi Fatwa dalam Hukum Islam

Secara etimologi, kata fatwa berasal dari bahasa arab, merupakan bentuk mashdar yang berarti jawaban pertanyaan, atau hasil ijtihad atau ketetapan hukum mengenai suatu kejadian sebagai jawaban atas pertanyaan yang belum jelas hukumnya. Kata fatwa juga berarti memberikan penjelasan (al-Ibanah). Dikatakan

aftahu al-amr mempunyai arti memberikan penjelasan kepadanya atau memberikan jawaban atas persoalan yang di ajukan.

Sedangkan secara terminologis, fatwa adalah menerangkan hukum agama dari suatu persoalan sebagai jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafi), baik perseorangan maupun secara kolektif, baik di kenal maupun tidak di kenal.4

Fatwa berarti ketentuan yang berisi jawaban dari mufti tentang hukum

syari‟ah kepada pihak yang meminta fatwa. atau fatwa adalah jawaban resmi terhadap

pertanyaan atau persoalan penting yang menyangkut dogma atau hukum yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukannya.5

Fatwa mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Fatwa dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa

4 M. Asroru Ni‟am, disertasi

Sadd Al-dzari‟ah dan Aplikasinya dalam Fatwa Majlis Ulama Indonesai, hal. 82-83.

5

Catur Nopianto, skripsi Penerapan Fatwa MUI dalam Melahirkan Produk Halal, PMH

(45)

terlepas dari dalil-dalil keagamaan (an-nushush as-syari‟iyah) menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang yang tidak tercover dalam nash-nash keagamaan. Nash-nash keagamaan telah berhenti secara kuantitasnya, akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasus semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Sebagaimana ungkapan para ulama: “Sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang timbul tidak terbatas. Atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan

permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti”.

Dalam kondisi seperti inilah fatwa menjadi salah satu alternatif jalan keluar mengurai permasalahan dan peristiwa yang muncul tersebut. Salah satu syarat menetapkan fatwa adalah harus memenuhi metodologi (manhaj) dalam berfatwa, karena menetapkan fatwa tanpa mengindahkan manhaj termasuk yang dilarang oleh agama. Menetapkan fatwa yang didasarkan semata karena adanya kebutuhan (li al-hajah), atau karena adanya kemaslahatan (li al-mashlahah), atau karena intisari ajaran agama (li maqashid as-syari‟ah), dengan tanpa berpegang pada nushus

syar‟iyah, termasuk kelompok yang kebablasan (ifrathi).

Sebaliknya, kelompok yang rigid memegang teks keagamaan (an-nushus

(46)

Oleh karenanya, dalam berfatwa harus tetap menjaga keseimbangan, antara harus tetap memakai manhaj yang telah disepakati para ulama, sebagai upaya untuk tidak terjerumus dalam kategori memberikan fatwa tanpa pertimbangan dalil hukum yang jelas. Tapi di sisi lain juga harus memperhatikan unsur kemaslahatan dari fatwa tersebut, sebagai upaya untuk mempertahankan posisi fatwa sebagai salah satu alternatif pemecah kebekuan dalam perkembangan hukum Islam.

Keberadaan metode dalam penetapan fatwa adalah sangat penting, sehingga dalam setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metode tersebut. Sebuah fatwa yang ditetapkan tanpa mempergunakan metodologi, keputusan hukum yang dihasilkannya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh. Oleh karenanya, implementasi metode (manhaj) dalam setiap proses penetapan fatwa merupakan suatu keniscayaan.

Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapan fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash Qath‟i, Pendekatan

Qauli dan Pendekatan Manhaji.

(47)

b. Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkannya pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu‟tabarah). Pendekatan Qauli dilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu‟tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika pendapat (qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena sangat sulit untuk dilaksanakan (ta‟assur atau ta‟adzdzur al-„amal atau

shu‟ubah al-„amal) , atau karena alasan hukumnya („illah) berubah. Dalam kondisi seperti ini perlu dilakukan telaah ulang (i‟adatun nazhar), sebagaimana yang dilakukan oleh ulama terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu yang telah ada bila pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untuk didijadikan pedoman. Apabila jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh nash qoth‟i dan juga tidak dapat dicukupi oleh pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu‟tabarah), maka proses penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji.

(48)

pendapat yang berbeda (al-Jam‟u wat taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjihi), menganalogikan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi)

dan istinbathi.

Membiarkan masyarakat untuk memilih sendiri pendapat para ulama yang ada sangatlah berbahaya, karena hal itu berarti membiarkan masyarakat untuk memilih salah satu pendapat (qaul) ulama tanpa menggunakan prosedur, batasan dan patokan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban lembaga fatwa yang memiliki kompetensi untuk memilih pendapat (qaul) yang rajih (lebih kuat dalil dan argumentasinya) untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat. Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada pendapat (qaul) yang menjelaskan secara persis dalam kitab fiqh terdahulu (al-kutub al-mu‟tabarah) namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu‟tabarah.

Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu memperhatikan pula kemaslahatan umum (mashalih „ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid

(49)

C. Komisi Fatwa Sebagai Lembaga Ijtihad MUI 1. Kedudukan dan Fungsi Komisi Fatwa

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang didirikan pada tahun 1975 merupakan wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. Organisai ini di bentuk dengan tujuan untuk mengamalkan ajaran Islam dan ikut serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur dalam Negara Republik Indonesia.6

Sesuai dengan namanya, maka tugas Komisi Fatwa MUI adalah memberikan nasehat-nasehat berupa fatwa yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan dan kemasyakaratan terutama yang berhubungan dengan pembangunan nasional. Komisi Fatwa dan Hukum dibentuk sejak pertama kali MUI didirikan yaitu pada tanggal 26 Juli 1975 (17 Rajab 1395). Tugas memberikan fatwa bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan oleh setiap orang karena kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Hal ini mengingat tujuan dari pemberian fatwa itu adalah menjelaskan hukum-hukum Allah kepada masyarakat yang akan mempedomani dan mengamalkannya. Maka tidak mengherankan jika hampir seluruh kitab ushul fiqh membicarakan masalah ifta‟ dan menetapkan sejulah persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang akan mengeluarkan fatwa. Seorang mufti harus memahami hukum Islam secara mendalam beserta dalil-dalilnya baik dari al-Quran, hadist maupun dalil hukum lainnya.

6

Majlis Ulama Indonesia, Muqaddimah Pedoman dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI,

(50)

Oleh karena itu, kiranya dapat dimaklumi apabila ada kesan bahwa komisi fatwa kurang produktif atau agak lamban dalam merespon persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Sebab untuk mengeluarkan sebuah fatwa, selain keharusan menggali dalil-dalil hukumnya, Komisi Fatwa juga harus memperhatikan situasi dan kondisi, sehingga fatwa tersebut benar-benar membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan sejalaan dengan tujuan pensyariatan hukum Islam (maqasid

at-tasyri‟), yaitu al-masalih al-„ammah atau kemaslahatan umum yang disepakati oleh para ulama.7

2. Cara Kerja Pembuatan Fatwa

Sudah kerap kali bahwa dalam banyak hal MUI mengeluarkan fatwa-fatwa untuk mengumumkan pendirian akhirnya mengenai persoalan-persoalan tertentu. Jika sifat dan cara pembuatannya adalah menurut garis-garis agama, peranan yang dilakukan fatwa-fatwa itu bersifat secular. Fatwa-fatwa itu dimaksudkan untuk mempersatukan pendapat kaum muslimin dan memberikan nasihat kepada pemerintah tentang peraturan hukum agama untuk dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan tertentu.

Penyusunan dan pengeluaran fatwa-fatwa dilakukan oleh komisi fatwa MUI. Komisi ini diberi tugas untuk merundingkan dan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat. Pada waktu pembentukannya tahun 1975, komisi ini mempunyai tujuh orang anggota, tetapi

7

(51)

jumlah itu dapat berubah karena kematian atau penggantian anggota; setiap lima tahun sekali komisi itu diperbaharui melalui pengangkatan baru. Ketua komisi fatwa secara otomatis bertindak selaku salah seorang wakil ketua MUI.

Persidangan-persidangan komisi fatwa diadakan menurut keperluan atau bila MUI telah dimintai pendapatnya oleh umum atau oleh pemerintah mengenai persoalan-persoalan tertentu dalam hukum Islam. Persidangan macam itu biasanya di samping ketua dan para anggota komisi, juga dihadiri oleh undangan dari luar, terdiri dari para ulama dan paraa ilmuwan sekular, yang ada hubungannya dengan masalah yang dibicarakan. Untuk mengeluarkan satu fatwa biasanya diperlukan hanya satu sidang, tetapi adakalanya satu fatwa memerlukan hingga enam kali sidang; sebaliknya, dalam sekali persidangan ada pula yang dapat menghasilkan beberapa fatwa, sepeti dalam masalah vasektomi (pemandulan), tubektomi, dan sumbangan kornea mata.8

Fatwa-fatwa itu sendiri adalah berupa pernyataan-pernyataan, diumumkan baik oleh komisi fatwa sendiri atau oleh MUI. Bentuk lahiriah fatwa selalu sama, dimulai dengan keterangan bahwa komisi telah mengadakan siding pada tanggal tertentu berkenaan dengan adanya pertanyaan yang telah diajukan oleh orang-orang atau badan-badan tertentu.. kemudian dilanjutkan dengan dalil-dalil, yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan fatwa yang dimaksud. Dalil-dalil itu berbeda dalam panjang dan kedalamannya bagi masing-masing fatwa. Dalil bagi kebanyakan

8

Muhammad Atho Mudzar, Fatwa-Fatwa MUI (Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum

(52)

fatwa dimulai berdasarkan ayat Alquran disertai hadist-hadist yang bersangkutan serta kutipan naskah-naskah fiqh dalam bahasa Arab. Dalil-dalil menurut akal (rasional) juga diberikan sebagai keterangan pendukung. Setelah itu barulah pernyataan sebenarnya dari fatwa itu diberikan dan hal itu dicantumkan pada bagian akhir. Akan tetapi, dalam beberapa kejadian sama sekali tidak dicantumkan dalil-dalilnya, baik yang dikutip dari ayat Alquran maupun yang menurut akal, melainkan keputusan itu langsung saja berisi pernyataan fatwa, dimana dalil-dalil mungkin sekali dapat ditemukan dalam catatan persidangan-persidangan. Pada bagian akhir fatwa selalu ada tiga hal yang dicantumkan: tanggal dikeluarkannya fatwa, yang bisa berbeda dengan tanggal diadakan sidangsidang, nama-nama para ketua dan anggota komisi disertai tanda tangan mereka, dan nama-nama mereka yang telah menghadiri sidang. Adakalanya tanda tangan ketua MUI dicantumkan pada fatwa bersangkutan, bahkan telah terjadi pada satu fatwa ada dicantumkan tanda tangan Menteri Agama.

(53)

persoalan-persoalannya sudah dirundingkan dalam sidang yang lebih besar. Konferensi nasional para ulama pada tahun 1980 misalnya, mengemukakan persoalan operasi pergantian kelamin, pernikahan antaragama dan gerakan ahmadiyyah.9

Kita beralih sekarang kepada Statuta MUI tentang metode pembuatan fatwa. Ini pertama kali dibuat pada 1975 dan tampak kemudian dalam Himpunan Fatwa MUI 1995 dan 1997. Aturan saat ini dimulai dengan memperhatikan bahwa pada periode 1975-1980 dan 1980-1985, fatwa-fatwa MUI ditetapkan oleh komisi fatwa dan dipimpin oleh Ketua dan Sekretaris komisi fatwa. Atas dasar siding pleno MUI pada 18 Januari 1986, perubahan dalam prosedur itu diputuskan: keputusan yang berkaitan dengan fatwa dari komisi fatwa selanjutnya diambil alih oleh pimpinan

pusat MUI dalam bentuk “Sertifikat Keputusan Penetapan Fatwa” yang dipimpin oleh Ketua Umum dan sekretaris Umum bersama-sama dengan Ketua komisi fatwa MUI. Petnjuk prosedur penetapan fatwa adalah sebagai berikut:

a.Dasar-dasar fatwa adalah: a. Al-Qur‟an.

b. Sunnah (tradisi dan kebiasaan Nabi). c. Ijma‟ (kesepakatan pendapat para ulama). d. Qiyas (penarikan kesimpulan dengan analogi).

b. Pembahasan masalah yang memerlukan fatwa harus mempertimbangkan: a. Dasar-dasar fatwa merujuk ke atas.

9

Majlis Ulama Indonesia, Keputusan-Keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis Ulama

(54)

b. Pendapat imam mazhab mengenai hukum Islam dan pendapat para ulama terkemuka diperoleh melalui penelitian terhadap penafsiarn al-Qur‟an.

c. Pembahasan yang merujuk ke atas adalah metode untuk menentukan metode penafsiran mana yang lebih kuat dan bermanfaat sebagai fatwa bagi masyarakat Islam.

d. Ketika suatu masalah yang memerlukan fatwa tidak dapat dilakukan seperti prosedur di atas, maka harus ditetapkan dengan penafsiran dan pertimbangan (ijtihad).

e. Mereka yang mempunyai otoritas untuk menangani fatwa adalah sebagai berikut:

1. MUI berkaitan dengan:

1) Masalah keagamaan yang bersifat umum dan berkaitan dengan masyarakat Islam Indonesia secara umum.

2) Masalah keagamaan yang relevan dengan wilayah tertentu yang dianggap dapat diterapkan oleh wilayah lain.

(55)

f. Sidang Komisi Fatwa harus dihadiri oleh para anggota Komisi Fatwa yang telah diangkat pimpinan pusat MUI dan pimpinan pusat MUI propinsi dengan kemungkinan mengundang para ahli jika dianggap perlu.

g. Sidang Komisi Fatwa harus diselenggarakan ketika:

a. Ada permintaan atau kebutuhan yang dianggap MUI memerlukan fatwa. b. Permintaan atau kebutuhan tersebut bisa dari pemerintah,

lembagalembaga sosial dan masyarakat atau MUI sendiri.

h. Sesuai dengan aturan sidang Komisi Fatwa, bentuk fatwa yang berkaitan dengan masalah tertentu harus diserahkan Ketua Komisi Fatwa kepada Ketua MUI nasional dan propinsi.

i. Pimpinan pusat MUI nasional/ propinsi akan merumuskan kembali fatwa itu ke dalam bentuk Sertifikat Keputusan Penetapan Fatwa.

Jelaslah dari ringkasan di atas bahwa sumber-sumber fatwa diatur secara hierarkis. Seperti dalam Komisi Fatwa nasional dan propinsi. Sebagaimana akan kita lihat pada praktiknya, fatwa MUI bersandar kepada nash Al-Quran dan hadist yang disertakan dalam bererapa kasus, tetapi tidak semuanya, dengan rujukan kepada teks-teks fiqih. Teks-teks tersebut selalu berasal dari mazhab Syafi‟i. Namun demikian, kadang-kadang kita menemukan rujukan kepada karya-karya Timur-Tengah (Mesir) kontemporer, khususnya karya-karya Syaltut dan beberapa karya lain yang kurang dikenal.10

10

(56)

3. Metode Istinbath Hukum MUI

Secara kelembagaan, Komisi Fatwa mengidentifikasikan diri sebagai mujtahid yang berijtihad untuk menyelsaikan berbagai kasus yang berkenaan dengan hukum Islam. Ijtihad yang dilakukan tergolong ijtihad jama‟i, karena mengandalkan kemampuan ilmu yang secara kolektif memenuhi persyaratan sebagai mujtahid. Dalam berijtihad, komisi ini menggunakan metode yang dipakai imam mujtahid terdahulu, sepanjang metode tersebut masih relevan untuk diterapkan.

Dalam Pedoman umum penetapan Fatwa MUI dinyatakan bahwa setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar-dasar dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang

mu‟tabarah serta tidak beertentangan dengan kemaslhatan umat. Apabila tidak teradapat penjelasan dalam kedua sumber tersebut, maka keputusan fatwa tidak boleh

bertentangan dengan ijma‟ dan qiyas serta dalil-dalil hukum yang lain seperti ihtisan,

Referensi

Dokumen terkait

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik memahami dan mengerti tentang anatomi dari testis, diagnosis dan pengelolaan UDT, work-up penderita UDT dan menentukan tindakan operatif

Dari point di masa sesudah perpisahan dan pendirian anak-anak lembu emas di Dan dan Betel oleh Yerobeam I, penulis sebaliknya dapat berkata, “Lihatlah, ini bukanlah

Inflasi yang disebabkan kenaikan harga ditunjukkan dengan terjadinya kenaikan indeks pada kelompok bahan makanan sebesar 2,05 persen; kelompok makanan jadi, minuman,

Hal ini menunjukkan bahrva semakin banyak serbuk gergaji maka gerak rantai molekul plastiknya menjadi terhambat yang mengakibatkan plastik tidak dapat mengikat partikel

Dengan metode transformasi Box-Cox, nilai parameter λ ( lambda ) yang diperoleh sebesar 1,00 dari selang kepercayaan antara 0,33 sampai dengan 1,35, sehingga data

Apabila dilihat dari pegawai yang merasakan urgency, sebanyak 90% pegawai bersedia ketika diberikan tugas tambahan oleh atasan sehingga mereka harus bekerja lebih lama

Mengingat bentuknya yang tergolong sebagai benda bergerak tidak berwujud dan baru akan diperoleh di kemudian hari, serta tidak adanya bukti pasti mengenai piutang yang

Perkiraan kekurangan dan kapasitas kerja alsintan setelah mobilisasi di tiap kelompok kecamatan dengan jadwal tanam berbeda di Kabupaten Grobogan disajikan