• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permintaan dan Penawaran Jagung di Indonesia

Permintaan jagung terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kebutuhan jagung, baik sebagai bahan pangan, bahan pakan, maupun bio-fuel. Kebutuhan jagung nasional khususnya untuk industri pakan meningkat sejalan dengan perkembangan industri pakan dan usaha peternakan ayam ras pedaging (Daryanto 2009).

Hasil analisis Swastika et al (2011) mengenai perilaku permintaan dan penawaran jagung di Indonesia, menunjukkan bahwa tanpa adanya perbaikan teknologi sulit bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri. Defisit jagung diproyeksikan semakin besar, sehingga impor jagung semakin meningkat.

Berbagai studi terkait pengaruh harga terhadap permintaan dan penawaran jagung telah dilakukan beberapa peneliti sebelumnya dengan model persamaan simultan, seperti dilakukan Nurkhalik (1999) dan Imron (2007). Nurkhalik (1999) menganalisis agribisnis jagung dan strategi pengembangannya di Indonesia dan diperoleh bahwa variabel harga jagung, harga pupuk, dan harga beras berpengaruh terhadap penawaran jagung di Indonesia dan tandanya sesuai dengan teori ekonomi. Namun demikian, baik jangka pendek maupun jangka panjang penawaran jagung kurang respon terhadap perubahan dari masing-masing variabel tersebut. Penelitian ini membedakan permintaan jagung untuk kebutuhan pangan dan pakan. Variabel harga jagung, harga kedelai, dan harga beras serta tingkat pendapatan berpengaruh terhadap permintaan jagung untuk pangan. Beras dan kedelai merupakan komoditas substitusi bagi jagung untuk tujuan konsumsi serta komoditas ini merupakan barang normal bagi masyarakat Indonesia. Sedangkan kedelai merupakan komoditas komplementer bagi jagung untuk pembuatan pakan. Imron (2007) mengkaji dampak kebijakan ekonomi dan perubahan faktor eksternal terhadap kinerja pasar jagung dan produk turunannya di Indonesia. Hasil kajian ini antara lain menyebutkan bahwa peningkatan harga jagung dunia menyebabkan penawaran jagung domestik meningkat, namun tidak menyebabkan impor jagung Indonesia menurun.

Agustian (2012) dalam penelitiannya di Jawa Timur dan Jawa Barat menemukan bahwa kebijakan peningkatan harga jagung menyebabkan jumlah jagung yang ditawarkan meningkat. Kenaikan harga jagung juga menyebabkan meningkatnya permintaan input (benih, pupuk, dan tenaga kerja). Sebaliknya, penurunan harga jagung menyebabkan jumlah jagung yang ditawarkan menurun di kedua provinsi. Penurunan harga jagung juga menyebabkan menurunnya permintaan input.

Industri Pakan

Hasil penelitian Rusastra et al (1990) tentang keunggulan komparatif produksi pakan di Lampung dan Jawa Barat menemukan bahwa dinamika harga pakan dipengaruhi oleh fluktuasi harga bahan baku. Hal ini mengindikasikan

bahwa pembenahan industri ayam ras pedaging harus diawali dari pembenahan pada sub-sektor tanaman pangan.

Alim (1996) meneliti tentang efisiensi skala usaha pabrik pakan dengan metode SUR (Seemingly Unrelated Regression). Penelitian ini menggunakan data bulanan selama tiga tahun (1992-1994) pada 3 (tiga) pabrik pakan yang berlokasi di wilayah Bogor dan Bekasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga jagung kuning dominan mempengaruhi tingkat keuntungan dan efisiensi usaha. Hal ini disebabkan jagung kuning mempunyai pangsa yang relatif tinggi dalam penyusunan pakan ternak dan belum tersedia bahan substitusi yang mempunyai kandungan gizi yang setara.

Yusdja et al (2000), meneliti struktur industri unggas nasional yang meliputi produksi, pendapatan peternak, dan struktur industri pakan. Responden terdiri atas peternak, pedagang, pabrik pakan, pengolahan, kelembagaan, dan instansi pemerintah terkait di tiga propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Lampung. Pengkajian dilakukan untuk melihat perubahan struktur industri sebelum dan sesudah krisis moneter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran struktur produksi dari waktu ke waktu. Dikemukakan bahwa pada tahun 1970-an usaha peternakan ayam ras pedaging dikuasai oleh peternakan rakyat dengan dukungan kebijakan PMA. Namun tahun 1990-an sebagian besar pangsa produksi dikuasai oleh perusahaan peternakan (Yusdja et al. 2008).

Permintaan dan Penawaran Daging Ayam Ras

Studi empiris tentang permintaan dan penawaran daging ayam ras di Indonesia telah dilakukan oleh Sudaryanto et al (1995), Ilham et al (2001), dan Kariyasa dan Sinaga (2007). Kariyasa dan Sinaga (2007) menemukan bahwa penawaran daging ayam ras sangat respon terhadap perubahan harga daging ayam ras, namun kurang respon terhadap perubahan harga pakan. Dengan demikian, kebijakan yang menyebabkan perbaikan harga daging ayam ras sangat efektif untuk meningkatkan produksi daging ayam ras dibanding instrumen lainnya.

Dikaitkan dengan pendapatan, hasil penelitian Sudaryanto et al (1995) pada delapan provinsi di Sumatera dan Kalimantan dengan menggunakan data Susenas 1990 menunjukkan bahwa elastisitas permintaan terhadap pendapatan bertanda positif. Artinya meningkatnya pendapatan masyarakat menyebabkan meningkatnya permintaan daging ayam ras, sehingga daging ayam ras merupakan barang normal bagi masyarakat. Namun untuk provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah daging ayam ras merupakan barang mewah yang ditunjukkan oleh elastisitas permintaan terhadap pendapatan masyakarat lebih besar dari satu. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Ilham et al (2001) yaitu dalam jangka pendek maupun jangka panjang daging ayam ras merupakan barang normal dan bukan termasuk barang mewah bagi masyarakat Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa sifat substitusi dan komplementer komoditas daging ayam ras dengan beberapa komoditas ternak lainnya tidak khas dan berbeda untuk setiap daerah.

Hasil temuan Ilham et al (2001), bahwa daging sapi merupakan barang substitusi dari daging ayam ras, sebaliknya telur dan ikan tongkol merupakan barang komplementer bagi daging ayam ras. Dalam jangka pendek dan jangka

panjang permintaan daging ayam ras sangat respon terhadap perubahan harganya sendiri, harga daging sapi, dan harga telur sebaliknya kurang respon terhadap perubahan harga ikan tongkol dan pendapatan.

Keterkaitan Pasar Jagung, Pakan, dan Daging Ayam Ras

Kariyasa (2003) melakukan kajian tentang keterkaitan pasar jagung dan pasar ternak ayam ras di Indonesia. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pasar jagung seringkali dipandang sebagai pasar tunggal yang berdiri sendiri, sehingga kebijakan terhadap komoditas jagung dampaknya cenderung tidak menyebar pada pasar produk turunannya. Padahal pasar jagung mempunyai hubungan yang erat dengan pasar pakan dan daging ayam ras. Dengan menggunakan metode 2SLS, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara pasar jagung, pakan, dan daging ayam ras. Keterkaitan tersebut tercipta lewat harga jagung, harga pakan, dan harga daging ayam ras. Jika salah satu pasar berubah, maka terjadi perubahan pada pasar lainnya. Hal ini sejalan dengan penelitian Purba (1999) sebelumnya yang menunjukkan bahwa permintaan jagung untuk pakan ditentukan oleh harga jagung dan harga pakan.

Temuan serupa diperoleh Hutabarat dan Yusdja (1994) pada 4 (empat) provinsi (DKI, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan). Besarnya komponen jagung dalam bahan baku pakan ternak disebabkan mengandung kalori yang tinggi dan sangat disukai ternak, sehingga upaya untuk mengganti jagung dengan bahan lain belum berhasil hingga saat ini.

Penelitian Edward (2008) menunjukkan bahwa pasar pakan kurang memiliki keterkaitan dengan pasar jagung, namun memiliki keterkaitan yang kuat dengan pasar daging ayam ras melalui pengaruh harga daging ayam ras terhadap permintaan pakan. Lebih lanjut hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat suku bunga bank, depresiasi rupiah, harga jagung, harga pakan, harga DOC, dan harga daging ayam ras serta kebijakan penghapusan tarif impor berdampak terhadap perilaku pasar jagung, pakan, dan daging ayam ras di Indonesia. Hal ini berarti harga dan jumlah yang terjadi pada satu pasar tidak hanya ditentukan oleh kekuatan pasar itu sendiri, melainkan juga ditentukan secara bersama-sama oleh kekuatan pasar lainnya.

Keragaan Ekspor dan Impor

Selama tahun 2005-2011 jumlah ekspor dan impor jagung mengalami peningkatan masing-masing sebesar 20.60 dan 194.78 persen. Jumlah impor jagung selalu lebih besar dari ekspor menyebabkan terjadi defisit neraca perdagangan. Impor bersih mengalami peningkatan rata-rata sebesar 270.71 persen. Data perkembangan impor bersih jagung selama tahun 2005-2011 pada Lampiran 4. Peningkatan impor bersih jagung menunjukkan bahwa ketersediaan komoditas jagung di dalam negeri sangat tergantung pada impor.

Demikian halnya untuk beras sebagai komoditas substitusi dari jagung, realisasi impor beras jauh lebih besar dibandingkan ekspornya dan terus mengalami peningkatan rata-rata sebesar 121.81 persen. Selama tahun 2005-2011

impor bersih beras selalu mengalami peningkatan atau terjadi defisit neraca perdagangan. Impor bersih beras selama tahun 2005-2011 cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 133.29 persen (Lampiran 4).

Jumlah ekspor daging ayam ras relatif sangat kecil dibandingkan impor. Hal ini ditunjukkan oleh nilai impor bersih daging ayam ras relatif tinggi yaitu rata- rata 2.12 ribu ton/tahun selama tahun 2005-2011. Hal yang sama untuk komoditas telur ayam ras. Jumlah rata-rata ekspor telur ayam ras sebesar 0.008 ribu ton, sedangkan jumlah impor sebesar 0.30 ribu ton. Selama tahun 2005-2011 jumlah impor bersih telur ayam ras rata-rata sebesar 0.23 ribu ton. Perkembangan impor bersih daging ayam ras dan telur ayam ras selama tahun 2005-2011 terdapat pada Lampiran 4.

Studi Empiris dengan Model Multimarket

Model multimarket merupakan suatu model yang fokus menganalisis dampak langsung dan tidak langsung perubahan harga dan jumlah terhadap sekelompok komoditas yang memiliki penawaran dan permintaan saling terkait kuat. Thomas et al. (2009) menggunakan model multimarket untuk mengetahui dampak wabah flu burung terhadap permintaan dan penawaran komoditas, perekonomian daerah, dan pendapatan rumahtangga. Untuk dapat mengetahui dampaknya secara lebih rinci, model multimarket disesuaikan dengan kondisi negara Ethiopia dengan nama Ehiopia Multimarket Models (EMM). Model ini merepresentasikan perubahan relatif terhadap tahun dasar. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dampak perubahan permintaan dan penawaran unggas akibat adanya wabah flu burung lebih terkonsentrasi di sektor unggas dan relatif kecil dampaknya terhadap sektor lain dalam perekonomian.

Diao dan Sarpong (2007) mengembangkan model multimarket untuk negara Ghana. Pengembangan model dilakukan dengan menghubungkan degradasi lahan pertanian dengan biaya usahatani di Ghana. Secara umum model ini menganalisis dampak degradasi lahan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan dihubungkan dengan produksi dan konsumsi sektor pertanian dan di luar sektor pertanian, baik di tingkat nasional maupun daerah. Analisis dilakukan pada 33 komoditas pertanian.

Lundberg dan Rich (2002) membangun model multimarket yang disesuaikan dengan sistem produksi pertanian dan kebijakan negara Afrika. Langkah pertama dalam pengembangan model yakni menentukan kategori produk yang dianalisis. Misalnya kacang tanah, beras, kakao di Afrika Barat, usaha peternakan di Sahel, serta jagung, tembakau, teh, kopi, dan rempah-rempah di Timur dan Selatan Afrika. Komoditas-komoditas ini kemudian dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelompok yaitu komoditas tanaman pangan dan di luar tanaman pangan. Model ini selanjutnya dibagi dalam 6 (enam) blok persamaan meliputi harga, penawaran, konsumsi, pendapatan, stok, dan keseimbangan. Stifel dan Randrianarisoa (2004), menggunakan model ini untuk menganalisis dampak perubahan harga, subsidi, dan biaya transaksi terhadap kesejahteraan petani di Madagaskar.

Analisis model multimarket digunakan Suparna et al (2009), untuk melihat keterkaitan pasar jagung, etanol, dan pasar daging di Amerika Serikat dengan

menggunakan Equilibrium Displacement Model (EDM). Pasar diagregasi dalam 5 (lima) kelompok yaitu pasar daging sapi, babi, ayam, jagung, dan etanol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan sebesar 10 persen terhadap permintaan etanol meningkatkan harga jagung sebesar 4.48 persen. Hal ini menyebabkan penurunan permintaan jagung sebesar 4.05 persen untuk sapi, babi 2.38 persen, dan 8.55 persen untuk ayam. Keterbatasan model ini yakni tidak memasukkan variabel luas lahan dan produktivitas sebagai variabel yang mempengaruhi produksi jagung.

Sayaka et al (2007), melakukan penelitian untuk menganalisis dampak perubahan tarif impor beras terhadap kesejahteraan rumahtangga petani di Indonesia. Komoditas yang dianalisis yakni padi, jagung, kedelai, tebu, pisang, dan komoditas peternakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghapusan tarif impor beras menurunkan penawaran beras dan pendapatan rumahtangga petani dari usahatani padi. Kondisi sebaliknya jika terjadi peningkatan tarif impor beras. Kebijakan tarif impor di pasar beras mempengaruhi pasar komoditas tanaman pangan dan peternakan yang dianalisis.

Barraud dan Calfat (2006) menggunakan model multimarket untuk menganalisis dampak liberalisasi perdagangan terhadap pasar jagung kuning dan pasar lain yang terkait di Guatemala. Model yang dikembangkan mendisagregasi kelompok rumahtangga berdasarkan wilayah (perdesaan dan perkotaan) dan pendapatan (miskin dan kaya).

Schmitz dan Roy (2009) mengembangkan model multimarket untuk menganalisis dampak wabah flu burung terhadap rumahtangga produsen unggas berskala kecil di Ghana. Rumahtangga dikelompokkan berdasarkan wilayah dan pendapatan. Setiap wilayah (perdesaan dan perkotaan) dibedakan 3 (tiga) kelompok rumahtangga yaitu sangat miskin, miskin, dan kaya, sehingga jumlah rumahtangga yang dianalisis menjadi 6 (enam) rumahtangga. Terdapat 5 (lima) blok persamaan yang dibangun yakni harga, penawaran, konsumsi, pendapatan, dan keseimbangan.

Hutabarat et al (2012) mengkaji dampak perubahan iklim terhadap produksi, impor, dan konsumsi produk hortikultura. Komoditas dikategorikan menjadi: (1) komoditas tanaman pangan terdiri atas beras, jagung, kedelai, ubi jalar, pisang, coklat, kopi, gula, dan gandum, (2) komoditas peternakan terdiri atas daging, telur, dan susu, dan (3) input pertanian yaitu pupuk urea, pupuk fosfor, dan potassium serta jagung sebagai pakan ternak. Rumahtangga dikelompokkan dalam 2 (dua) kelompok utama yaitu rumahtangga perdesaan dan perkotaan. Masing-masing kelompok rumahtangga dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok berdasarkan tingkat pendapatan: (1) kaya, (2) sedang, dan (3) miskin. Terdiri atas 6 (enam) blok persamaan yaitu harga, penawaran, permintaan input, konsumsi, pendapatan, dan keseimbangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahun 2050 dampak perubahan iklim terhadap produksi, impor, dan konsumsi komoditas hortikultura akan berbeda untuk masing-masing kelompok rumahtangga.

Dampak Kebijakan Tarif Impor

Selama tahun 1974-1979 tarif impor jagung di Indonesia sebesar 5 persen, kemudian meningkat menjadi 10 persen selama tahun 1980–1993. Selanjutnya

tarif impor kembali diturunkan menjadi 5 persen pada tahun 1994 dan kemudian dihapus sejak tahun 1995. Tahun 2005 tarif impor jagung kembali dinaikkan menjadi 5 persen (Imron 2007). Beberapa negara ASEAN mengenakan tarif impor jagung berkisar 35-65 persen untuk melindungi petaninya.

Imron (2007), melakukan analisis simulasi untuk melihat dampak pemberlakuan tarif impor jagung sebesar 10 persen. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan harga jagung domestik sebagai akibat diterapkannya tarif impor jagung sebesar 10 persen, menyebabkan turunnya produksi dan permintaan pakan masing-masing sebesar 3.15 dan 0.05 persen. Namun karena penurunan produksi lebih besar dibanding penurunan permintaan pakan, maka harga pakan meningkat sebesar 4.96 persen. Peningkatan harga pakan ini menyebabkan produksi daging ayam ras dan telur ayam ras menurun masing-masing sebesar 0.49 dan 2.92 persen.

Edward (2008), melakukan simulasi kombinasi penghapusan tarif impor jagung dan daging ayam ras serta depresiasi rupiah sebesar 20 persen. Hasil analisis menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan ini menyebabkan impor jagung turun sebesar 21.07 persen, produksi jagung meningkat sebesar 0.01 persen, dan penawaran jagung menurun sebesar 2.36 persen. Penurunan penawaran meningkatkan harga riil jagung domestik sebesar 0.36 persen, sehingga permintaan jagung menurun sebesar 0.10 persen. Harga riil jagung domestik yang meningkat menyebabkan produksi pakan ayam ras menurun sebesar 0.42 persen. Kondisi ini menyebabkan menurunnya produksi daging ayam ras sebesar 0.001 persen, sehingga penawaran daging ayam ras menurun sebesar 0.40 persen. Harga riil daging ayam ras domestik yang mengalami penurunan menyebabkan peningkatan ekspor daging ayam ras, karena harga daging ayam ras di pasar dunia lebih tinggi dibanding di pasar domestik. Penurunan harga daging ayam ras di pasar domestik meningkatkan permintaan daging ayam ras sebesar 0.06 persen. Kombinasi kebijakan penghapusan tarif impor jagung dan daging ayam ras serta depresiasi rupiah sebesar 20 persen meningkatkan impor daging ayam ras sebesar 17.94 persen.

Zulkarnaen (2012) menyatakan bahwa kebijakan penghapusan tarif impor berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini mampu meningkatkan konsumsi masyarakat akibat harga menjadi lebih murah. Namun demikian untuk meningkatkan perekonomian suatu negara, kebijakan pengurangan/penghapusan tarif impor hanyalah merupakan kebijakan yang bersifat jangka pendek (Benson et al. 2013).

Kebijakan Pemerintah dalam Industri Ayam Ras Pedaging

Pengembangan sub-sektor peternakan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan peternak skala kecil sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA). Implikasinya berbagai peraturan pemerintah diarahkan untuk membangun usaha peternakan rakyat. Hal ini penting karena Indonesia menghadapi masalah penggangguran dan kemiskinan (Yusdja et al. 2004).

Dikeluarkannya UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, diikuti UU No. 6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri (PMDN),

memberikan kesempatan bagi para investor, baik dalam maupun luar negeri untuk terlibat dalam mata rantai kegiatan produksi usaha peternakan ayam ras pedaging, walaupun awalnya hanya berperan dalam penyediaan bibit dan pakan. Hal ini berarti tujuan kebijakan untuk menyediakan lapangan kerja bagi rakyat dengan dukungan UU No. 1 tahun 1967 tidak efektif, bahkan mendorong percepatan pertumbuhan skala besar, sehingga usaha peternakan rakyat ayam ras pedaging menjadi tidak kondusif. Kondisi ini terjadi seiring dengan perubahan peraturan yang berlaku.

Perkembangan selanjutnya tahun 1981 pemerintah mengeluarkan Keppres No. 50 tahun 1981 tentang pembinaan usaha peternakan ayam yang bertujuan melakukan restrukturisasi perunggasan di Indonesia melalui pembatasan skala usaha. Keppres No. 50 tahun 1981 menetapkan skala maksimal pemeliharaan ayam ras pedaging sebanyak 750 ekor per periode. Ini berarti perusahaan- perusahaan skala besar harus menutup usahanya. Keppres ini pada dasarnya bermaksud untuk mengembangkan peternakan rakyat dan memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat yang memiliki modal terbatas untuk ikut dalam kegiatan produksi karena dianggap dapat memberikan keuntungan dan meningkatkan pendapatan. Namun kebijakan ini tidak berjalan sesuai dengan harapan, bahkan peternak kecil semakin kehilangan kesempatan berusaha. Yusdja et al (2004) menyatakan bahwa penyebab kegagalan kebijakan ini karena pemerintah tidak melakukan kontrol terhadap pasar secara efektif dan pembatasan skala usaha sesuai Keppres pada tingkat skala usaha yang tidak menguntungkan bagi peternak rakyat.

Berdasarkan kegagalan kebijakan ini pemerintah membuat kebijakan pembenahan struktur industri unggas menjadi berbentuk PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Pola PIR merupakan bentuk struktur kerjasama antara perusahaan peternakan (inti) dan peternakan rakyat (plasma). Perusahaan peternakan berfungsi sebagai lembaga pemasaran yang bertugas menyediakan input terutama bibit dan pakan secara kredit dan membeli produksi peternakan rakyat. Peternak rakyat harus membayar input yang dibeli dari hasil produksinya. Secara konseptual, peternak rakyat mendapat jaminan dalam pemasaran dan mendapat perlindungan perusahaan peternakan dengan harga yang menguntungkan, namun kenyataan tidak demikian. Pola PIR tidak berjalan karena sebagian besar peternak rakyat rugi dan menutup usahanya.

Pemerintah selanjutnya mengeluarkan peraturan baru yang tertuang dalam Keppres No. 22 tahun 1990 tentang pembinaan usaha peternakan ayam ras. Perusahaan peternakan diperkenankan melakukan budidaya ayam ras pedaging asalkan bekerjasama dengan peternakan rakyat dan skala budidaya diperbesar dalam bentuk kawasan industri peternakan (KINAK) sebagaimana diatur dalam SK Mentan No. 362/Kpts/TN.120/5/1990. Bentuk-bentuk kerjasama: (1) KINAK- PRA (KINAK Peternakan Rakyat Agribisnis), (2) KINAK-PIR (Peternakan Inti Rakyat), dan KINAK-SUPER (KINAK Sentra Usaha Peternakan Ekspor). Selanjutnya pola kemitraan ini diatur dalam SK Mentan No. 472/Kpts/Tn.330/6/1996 dengan memperkenalkan pola PIR dan pola pengelola. Dalam pola kerjasama ini perusahaan peternakan berfungsi sebagai penyedia sarana produksi, modal kerja, dan modal investasi serta memasarkan hasil produksi peternakan rakyat.

Pembatasan skala usaha peternakan rakyat sebesar 15000 ekor per periode produksi dimanfaatkan perusahaan peternakan dengan membagi-bagi usahanya dalam berbagai nama kepemilikan, sehingga pangsa pasar perusahaan peternakan semakin besar. Selain itu Keppres No. 22 tahun 1990 memberikan peluang kepada perusahaan peternakan memiliki usaha pembibitan dan pabrik pakan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap UU No. 6 tahun 1967 yang menyebabkan pangsa produksi peternakan rakyat terus mengalami penurunan.

Tahun 2000 pemerintah mencabut Keppres No. 22 tahun 1990 dan berakhirlah intervensi pemerintah dalam pengaturan skala usaha (Yusdja et al. 2004). Pemerintah gagal melakukan intervensi untuk mengarahkan pembentukan struktur industri ayam ras pedaging dalam bentuk usaha rakyat. Kebijakan pemerintah mendorong pembentukan struktur pasar oligopoli (Daryanto dan Saptana 2010). Tekanan terhadap usaha peternakan rakyat ayam ras pedaging terus terjadi sampai saat ini dengan berlakunya UU No. 18 Tahun 2009. Peternakan ayam ras pedaging sepenuhnya merupakan industri dan pangsa produksi peternak rakyat tinggal sedikit (Pulungan 2011).

Dokumen terkait