• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Perubahan Harga terhadap Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Indonesia Analisis Model Multimarket

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Perubahan Harga terhadap Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Indonesia Analisis Model Multimarket"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK PERUBAHAN HARGA TERHADAP KINERJA

USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PEDAGING

DI INDONESIA: ANALISIS MODEL MULTIMARKET

SINTYA J.K. UMBOH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Dampak Perubahan Harga terhadap Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Indonesia: Analisis Model Multimarket adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

(4)

RINGKASAN

SINTYA J.K. UMBOH. Dampak Perubahan Harga terhadap Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Indonesia: Analisis Model Multimarket. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM, BONAR MARULITUA SINAGA dan I KETUT KARIYASA.

Kelangsungan usaha peternakan ayam ras pedaging ditentukan oleh perubahan harga input (pakan) dan harga output (daging ayam ras). Perubahan harga pakan mempengaruhi alokasi input dan keputusan produksi peternak ayam ras pedaging. Perubahan harga pakan dipengaruhi oleh perubahan harga jagung, karena jagung merupakan bahan baku utama penyusun pakan. Meningkatnya harga jagung menyebabkan harga pakan meningkat, sehingga biaya produksi pakan menjadi lebih mahal. Jika harga jual daging ayam ras tetap, maka pendapatan peternak menurun. Hal ini menunjukkan bahwa pasar jagung tidak dapat dipandang sebagai pasar tunggal yang berdiri sendiri, dimana kebijakan yang mempengaruhi pasar jagung akan berdampak terhadap pasar daging ayam ras. Selama tahun 2005-2011 harga jagung di tingkat konsumen, harga jagung impor, dan harga pakan ayam ras pedaging meningkat masing-masing sebesar 11.15, 12.14, dan 9.19 persen. Pada periode yang sama harga daging ayam ras meningkat sebesar 5.53 persen. Harga pakan ditentukan oleh industri pakan yang terintegrasi dengan perusahaan peternakan ayam ras pedaging.

Penelitian bertujuan untuk menganalisis dampak: (1) kenaikan harga jagung dan harga daging ayam ras terhadap kinerja usahatani jagung dan usaha peternakan ayam ras pedaging di Indonesia, (2) kombinasi kenaikan harga jagung, harga daging ayam ras, dan kebijakan penghapusan tarif impor jagung terhadap kinerja usahatani jagung dan usaha peternakan ayam ras pedaging di Indonesia, dan (3) perubahan marjin harga pakan antara perusahaan peternakan dan peternakan rakyat terhadap pendapatan rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging di Indonesia. Penelitian ini menggunakan analisis model multimarket yang dikembangkan dari Lundberg dan Kaya (2002) dan Stifel dan Randrianarisoa (2004). Terdapat 3 (tiga) kelompok pelaku usaha, yaitu: (1) perusahaan peternakan, (2) peternakan rakyat, dan (3) rumahtangga lainnya. Data yang digunakan yakni data harga, produksi, penggunaan input, konsumsi, dan pendapatan dari BPS dan Kementerian Pertanian, sedangkan untuk elastisitas menggunakan data hasil penelitian sebelumnya dari Sayaka et al (2007) dan Sugema dan Roy (2010).

(5)

Kenaikan harga daging ayam ras menyebabkan peternak meningkatkan produksi, sehingga membutuhkan pakan lebih banyak. Kenaikan permintaan terhadap pakan menyebabkan permintaan jagung oleh pabrik pakan meningkat. Kondisi ini direspon petani jagung menggunakan input produksi lebih banyak (produktivitas meningkat) dan menanam jagung lebih banyak (mengurangi luas pertanaman padi), sehingga pada akhirnya menyebabkan produksi jagung meningkat. Namun demikian, kenaikan harga daging ayam ras menyebabkan permintaan daging ayam ras menurun.

Kenaikan harga jagung dan daging ayam ras secara bersamaan menyebabkan produksi daging ayam ras meningkat, karena peternak lebih respon terhadap kenaikan harga daging ayam ras dibanding kenaikan harga jagung. Hal ini terutama terjadi pada perusahaan peternakan yang menerapkan manajemen integrasi vertikal. Di sisi lain, kenaikan harga jagung dan daging ayam ras menyebabkan konsumsi jagung dan daging ayam ras menurun.

Kombinasi kenaikan harga daging ayam ras dan kebijakan penghapusan tarif impor jagung menyebabkan pendapatan peternak ayam ras pedaging meningkat, namun di sisi lain menyebabkan produksi jagung dalam negeri menurun dan menyebabkan impor bersih jagung meningkat. Kenaikan pendapatan ini terutama berasal dari meningkatnya produksi daging ayam ras dan harga daging ayam ras, serta kenaikan pendapatan dari usahatani padi yang dapat mengimbangi penurunan pendapatan dari usahatani jagung akibat harga jagung menurun.

Penghapusan marjin harga pakan antara perusahaan peternakan dan peternakan rakyat direspon peternak rakyat dengan meningkatkan produksi daging ayam rasnya, sehingga menyebabkan pendapatan meningkat. Namun demikian, ketika marjin harga pakan dihapus menyebabkan menurunnya harga jagung dan petani jagung mengurangi produksi (produktivitas dan luas tanam jagung menurun), sehingga impor jagung bersih meningkat. Pada kondisi ini, petani lebih tertarik untuk menggantikan lahan jagungnya untuk tanaman padi.

Untuk meningkatkan kinerja usahatani jagung, kinerja usaha peternakan ayam ras pedaging, dan pendapatan rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging dilakukan melalui: (1) penerapan teknologi produksi dan pasca panen jagung, (2) penerapan teknologi berbiaya rendah pada usaha peternakan rakyat dan sosialisasi pada masyarakat tentang pentingnya gizi berimbang, (3) kebijakan penghapusan tarif impor jagung, (4) segmentasi pasar daging ayam ras, dan (5) pembentukan koperasi peternak rakyat ayam ras pedaging.

(6)

SUMMARY

SINTYA J.K. UMBOH. Impact of Price Changes on the Performance of Broiler Farming in Indonesia: A Multimarket Model Analysis. Supervised by DEDI BUDIMAN HAKIM, BONAR MARULITUA SINAGA, and I KETUT KARIYASA.

The sustainability of broiler farming is determined by price changes of inputs (feed) and outputs (broiler meat). Changes in feed prices are affected input

allocation and broiler farmers’ production decisions. Increases in feed price are

affected by the price of maize, as maize is the main ingredient of broiler feed. An increase in the price of maize would cause an increase in feed price which making feed production costs more expensive. If the broiler selling price does not rise, the farmers’ income will decrease. This showed that the maize market cannot be seen as a market which is independent, because policies pertaining to maize would

spread to its derivative products’ markets. Between 2005 and 2011, there was an

increase in the prices of consumer level maize, imported maize, and broiler feed for 11.15, 12.14, and 9.19 percent, respectively. In the same period, the price of broiler meat increased 5.53 percent. Feed price is determined by the feed industry which is integrated with large-scale farms.

This study aimed to analyze the impact of: (1) increased prices of maize and broiler meat on the performance of maize farming and broiler farming in Indonesia, (2) the combined increase in maize and broiler meat prices and the elimination of import tariffs on maize on the performance of maize farming and broiler farming in Indonesia, and (3) changes in feed-price margins between large-scale and small-large-scale broiler farms on the household income of small-large-scale broiler farmers in Indonesia. This study used a multimarket model analysis derived from Lundberg and Kaya (2002) and Stifel and Randrianarisoa (2004). There were three groups of business actors i.e.: (1) large-scale broiler farms, (2) small-scale broiler farms, and (3) other households. The data used were price, production, input use, consumption, and income obtained from the Central Bureau of Statistics and the Ministry of Agriculture, whereas for elasticity, the data were obtained from previous studies by Sayaka et al (2007) and Sugema and Roy (2010).

The analysis result showed that the increase in the price of maize has a positive impact on the performance of maize farming (productivity, land allocation, and income), but has a negative impact on the performance of broiler farms (production and income). An increase in the price of maize causes the production cost of feed to increase, making the farmers reduce their feed purchases, which in turn causes the broiler meat production to fall. An increase in the price of maize also causes a decrease in the demand for maize for consumption. An increase in maize production and a decrease in maize demand will cause the net maize import to drop.

An increase in broiler meat price would cause the farmers to increase their production, resulting in an increased demand for feed. The increase in the demand

(7)

Urea and TSP fertilizers, improving both maize productivity and production. However, an increase in broiler price would cause the demand for broiler meat to fall.

A simultaneous increase in the both of maize and broiler meat prices would cause an increase in broiler meat production because the farmers are more responsive to the increase in broiler meat prices than to the increase in maize prices. This is happened mainly in large-scale farms which apply the vertical integration management. On the other hand, an increase in both maize price and broiler meat price would cause a decrease in not only maize consumption but also broiler meat consumption.

The combination between increased maize and broiler prices and the elimination of tariffs on maize import had caused the income of broiler farmers increased, but on the other hand, it caused a decrease in national maize production and an increase in the net import of maize. The increase in income originated from the increased production, the increased price of broiler meat, and the increase in income from rice farming which was able to compensate for the decreased income of maize farming due to the decrease in maize price

The elimination of the feed price margin between large-scale and smallholding farm is responded by the smallholding farm through the increasing of their broiler meat production which caused the increasing of their income. However, the elimination of the feed price margin is caused a drop in maize price, so maize farming decrease their production (the productivity and land use for maize deceases), the net maize import would rise. In this condition, farmers would be more interested in replacing their maize field with paddy field.

In order to improve the performance of maize farming, broiler farming, and to increase the income of small-scale broiler farmer income, these measures could be taken: (1) the implementation of maize production and post-harvest technology, (2) the implementation of low-cost technology in small-scale farms and educating the public about the importance of a balanced diet, (3) the elimination of maize import tariffs, (4) broiler market segmentation, and (5) the formation of small-scale broiler farmer cooperatives.

(8)

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

DAMPAK PERUBAHAN HARGA TERHADAP KINERJA

USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PEDAGING

DI INDONESIA: ANALISIS MODEL MULTIMARKET

SINTYA J.K. UMBOH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup:

Dr. Alla Asmara, MSi

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS

Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

Penguji pada Ujian Terbuka:

Prof (R). Dr. Ir. Budiman Hutabarat

Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian RI

Dr. Ir. Atien Priyanti, MSc

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena hanya berkat dan penyertaanNya, sehingga penulisan disertasi yang berjudul “Dampak Perubahan Harga terhadap Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Indonesia: Analisis Model Multimarket” dapat diselesaikan setelah melalui proses perbaikan dalam berbagai tahapan penulisan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa dukungan komisi pembimbing, para penguji, staf sekretariat, dan keluarga. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Komisi pembimbing, Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc, Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, dan Dr. Ir. I Ketut Kariyasa, MS yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan arahan dalam substansi materi, teori, dan penulisan. 2. Para penguji pada ujian tertutup, Dr. Alla Asmara, MSi dan Dr. Ir. Nunung

Kusnadi, MS atas kritik dan saran yang konstruktif untuk perbaikan disertasi ini. Penguji pada Ujian Terbuka, Prof (R) Dr. Ir. Budiman Hutabarat dan Dr. Ir. Atien Priyanti, MSc.

3. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS atas arahan dan saran selama proses penyusunan disertasi mulai ujian kualifikasi sampai ujian tertutup.

4. Rektor Universitas Sam Ratulangi Manado dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi yang telah memberikan tugas belajar untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

5. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, dan seluruh staf civitas akademika yang membantu kelancaran dalam penyelesaian studi.

6. Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB yang selalu mengingatkan dan memotivasi.

7. Seluruh staf pengajar di Fakultas Ekonomi dan Manajemen atas ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti perkuliahan di IPB.

8. Seluruh staf sekretariat EPN yang telah membantu penyelesaian administrasi, sehingga proses penyusunan dan ujian disertasi dapat berjalan lancar.

9. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas tugas belajar yang diberikan kepada penulis serta dukungan pembiayaan, sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan dengan baik.

10. Teman-teman mahasiswa EPN IPB angkatan 2010 dan teman-teman mahasiswa IPB asal Sulut atas kerjasama yang baik dan dukungan semangat selama kuliah dan proses penyusunan disertasi ini.

11. Orang tua, suami, anak, dan semua keluarga atas doa, dukungan, pengertian, dan kasih sayang yang selalu menyemangati penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.

Bogor, Agustus 2014

(13)

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 7

Hipotesis 7

Kegunaan Penelitian 8

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 8

Kebaruan dan Posisi Penelitian 12

2 TINJAUAN STUDI TERDAHULU 15

Permintaan dan Penawaran Jagung di Indonesia 15

Industri Pakan 15

Permintaan dan Penawaran Daging Ayam Ras 16

Keterkaitan Pasar Jagung, Pakan, dan Daging Ayam Ras Keragaan Ekspor dan Impor

17 17

Studi Empiris dengan Model Multimarket 18

Dampak Kebijakan Tarif Impor 19

Kebijakan Pemerintah dalam Industri Ayam Ras Pedaging 20

3 KERANGKA TEORITIS 23

Keterkaitan Pasar Jagung, Pakan, dan Daging Ayam Ras 23

Produksi dan Penawaran Jagung 28

Permintaan Jagung dan Penawaran Pakan 30

Permintaan Pakan dan Penawaran Daging Ayam Ras 31

Permintaan Daging Ayam Ras 32

Marjin Pemasaran 33

Dampak Kebijakan Tarif Impor 34

4 METODOLOGI 37

Data dan Sumber Data 37

Rumusan Rumahtangga Peternak Rakyat Ayam Ras Pedaging 41 Produksi dan Konsumsi Rumahtangga Peternak Rakyat Ayam Ras

Pedaging 44

Asumsi-asumsi 46

Konstruksi Model 48

Simulasi Model 71

(14)

Kinerja Usahatani Jagung 73

Kinerja Industri Pakan 74

Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging 75

6 DAMPAK PERUBAHAN HARGA TERHADAP KINERJA

USAHATANI JAGUNG, USAHA PETERNAKAN AYAM RAS

PEDAGING DAN PENDAPATAN 77

Dampak Peningkatan Harga Jagung

Dampak Peningkatan Harga Daging Ayam Ras

77 Rekapitulasi Skenario Simulasi

103

Implikasi Kebijakan Saran Penelitian Lanjutan

114

Elastisitas pangsa lahan jagung dan padi Elastisitas produktivitas jagung dan padi

Elastisitas harga output untuk produksi daging dan telur ayam ras Elastisitas harga input untuk produksi daging dan telur ayam ras Elastisitas permintaan input

Elastisitas permintaan jagung untuk pakan Elastisitas permintaan jagung untuk konsumsi Elastisitas pendapatan

Produksi jagung, beras, daging ayam ras, dan telur ayam ras di Indonesia, tahun 2011

sepuluh provinsi terpilih di Indonesia, tahun 2004–2008 74

12 Susunan ransum ayam ras pedaging dan petelur 74

13 Jumlah pabrik pakan berdasarkan sebaran lokasinya di Indonesia,

(15)

16 Hasil simulasi dampak peningkatan harga jagung sebesar 10 persen

terhadap usahatani jagung di Indonesia 79

17 Hasil simulasi dampak peningkatan harga jagung sebesar 10

persen terhadap usaha peternakan ayam ras pedaging di Indonesia 80 18 Hasil simulasi dampak peningkatan harga jagung sebesar 10 persen

terhadap pendapatan pelaku usaha peternakan ayam ras pedaging

di Indonesia 81

19 Hasil simulasi dampak peningkatan harga daging ayam ras sebesar 10

persen terhadap usahatani jagung di Indonesia 84

20 Hasil simulasi dampak peningkatan harga daging ayam ras sebesar 10

persen terhadap usaha peternakan ayam ras pedaging di Indonesia 85 21 Hasil simulasi dampak peningkatan harga daging ayam ras sebesar 10

persen terhadap pendapatan pelaku usaha peternakan ayam ras pedaging

di Indonesia 86

22 Hasil simulasi dampak kebijakan penghapusan tarif impor jagung

terhadap usahatani jagung di Indonesia 91

23 Hasil simulasi dampak kebijakan penghapusan tarif impor jagung

terhadap usaha peternakan ayam ras pedaging di Indonesia 92 24 Hasil simulasi dampak kebijakan penghapusan tarif impor jagung

terhadap pendapatan pelaku usaha peternakan ayam ras pedaging di

Indonesia 93

25 Hasil simulasi dampak peningkatan harga jagung dan daging ayam ras

masing-masing sebesar 10 persen terhadap usahatani jagung di Indonesia 96 26 Hasil simulasi dampak peningkatan harga jagung dan daging ayam ras

masing-masing sebesar 10 persen terhadap usaha peternakan ayam ras

pedaging di Indonesia 97

27 Hasil simulasi dampak peningkatan harga jagung dan daging ayam masing-masing sebesar 10 persen terhadap pendapatan pelaku usaha

peternakan ayam ras pedaging di Indonesia 98

28 Hasil simulasi dampak kebijakan penghapusan tarif impor jagung dan peningkatan harga daging ayam ras sebesar 10 persen terhadap usahatani

jagung di Indonesia 100

29 Hasil simulasi dampak kebijakan penghapusan tarif impor jagung dan peningkatan harga daging ayam ras sebesar 10 persen terhadap usaha

peternakan ayam ras pedaging di Indonesia 101

30 Hasil simulasi dampak kebijakan penghapusan tarif impor jagung dan peningkatan harga daging ayam ras terhadap pendapatan pelaku usaha

peternakan ayam ras pedaging di Indonesia 103

31 Hasil simulasi perubahan marjin harga pakan terhadap usaha peternakan

rakyat ayam ras pedaging di Indonesia 106

32 33

Hasil simulasi perubahan marjin harga pakan terhadap pendapatan rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging di Indonesia

Rekapitulasi Skenario Simulasi

(16)

1 2 3

Perkembangan harga konsumen jagung, harga jagung asal impor, dan harga pakan ayam ras pedaging di Indonesia, tahun 2005-2011

Perkembangan produksi dan harga daging ayam ras di Indonesia, tahun 2005-2011

Perkembangan produksi daging ayam ras di perusahaan peternakan dan peternakan rakyat ayam ras pedaging, tahun 2000-2011

3 4 5 4 Keterkaitan pasar jagung, produksi jagung, dan produksi daging ayam ras 24

5 Kurva derived demand industri ayam ras pedaging 25

6 Bagan kerangka pemikiran 27

7 Kurva hubungan kompetitif penggunaan lahan padi dan jagung 29

8 Dampak kebijakan tarif impor jagung 34

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kebutuhan pakan per jenis ternak, tahun 2005-2010 122 2 Kebutuhan jagung per jenis ternak, tahun 2005-2010 122 3

4 5

Perkembangan produksi dan impor jagung nasional,tahun 2000-2010 Perkembangan impor bersih komoditas jagung, beras, daging ayam ras, dan telur ayam ras, tahun 2005-2011

Definisi variabel

122 123 124

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan industri ayam ras pedaging berdampak terhadap kenaikan permintaan dan produksi pakan. Menurut Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), 90 persen dari total produksi pakan dialokasikan untuk usaha peternakan ayam ras (Swastika et al. 2011). Besarnya kebutuhan pakan ini menjadi peluang sekaligus tantangan terhadap industri pakan, terutama bila dikaitkan dengan ketersediaan bahan baku pakan yang hampir 80 persen masih diimpor (PSEKP 2012).

Kebutuhan pakan ternak ayam ras pedaging selama tahun 2005-2010 meningkat sebesar 6.85 persen. Tahun 2010 kebutuhan pakan ayam ras pedaging mencapai 3.51 juta ton (Lampiran 1). Dikaitkan dengan struktur biaya usaha peternakan ayam ras pedaging, biaya terbesar dialokasikan peternak untuk pakan yaitu berkisar 70 persen, sedangkan DOC (bibit) hanya 13 persen (Yusdja dan Pasandaran 1998). Hal ini menunjukkan besarnya peranan pakan dalam produksi daging ayam ras. Perubahan pada pasar pakan mempengaruhi kinerja pasar daging ayam ras.

Meningkatnya permintaan pakan ayam ras pedaging menyebabkan permintaan jagung untuk pakan meningkat, sebab proporsi jagung dalam pakan mencapai 55-65 persen. Kebutuhan jagung untuk pakan ayam ras pedaging meningkat sebesar 6.85 persen, mencapai 1.11 juta ton tahun 2010 (Lampiran 2). Penggunaan jagung yang relatif tinggi disebabkan mengandung kalori yang tinggi, mempunyai protein dengan kandungan asam amino yang lengkap, mudah diproduksi, dan disukai ternak. Upaya untuk menggantikan jagung dengan biji-bijian lain belum berhasil, sehingga jagung tetap menjadi bahan baku utama pakan ayam ras pedaging.

Daging ayam ras merupakan salah satu komoditas pangan asal ternak yang penting untuk pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Permintaan terhadap komoditas ini terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, perbaikan tingkat pendidikan, perubahan gaya hidup, dan peningkatan kesadaran gizi berimbang. Faktor yang menyebabkan daging ayam ras disukai masyarakat Indonesia, yaitu: (1) memiliki kualitas rasa dan tekstur (organoleptik) yang baik, (2) ketersediaannya yang semakin beragam dan mudah untuk dimasak (convenience food), dan (3) memiliki harga relatif murah dibandingkan dengan komoditas peternakan lainnya (Daryanto 2009).

(18)

Berdasarkan uraian di atas diketahui secara jelas adanya keterkaitan antara pasar jagung, pakan, dan daging ayam ras. Ketersediaan jagung berdampak terhadap ketersediaan bahan baku industri pakan ayam ras pedaging. Lebih lanjut ketersediaan pakan ini mempengaruhi ketersediaan daging ayam ras sebagai sumber protein hewani yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Meningkatnya permintaan daging ayam ras menyebabkan meningkatnya permintaan pakan, selanjutnya berdampak terhadap meningkatnya permintaan jagung, demikian sebaliknya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kinerja masing-masing pasar tidak hanya ditentukan oleh faktor internal pasar bersangkutan, tetapi secara bersama-sama ditentukan juga oleh perilaku pasar lainnya (Kariyasa dan Sinaga 2007).

Berkembangnya perusahaan peternakan berdampak negatif terhadap usaha peternakan rakyat ayam ras pedaging, karena harga pakan dan harga daging ayam ras ditentukan oleh perusahaan peternakan. Adanya perbedaan posisi ini menyebabkan respon kedua pelaku usaha berbeda terhadap perubahan harga, baik harga pakan maupun harga daging ayam ras akibat adanya perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Sampai saat ini belum ada studi empiris tentang dampak perubahan harga terhadap kinerja perusahaan peternakan dan peternakan rakyat, sehingga penelitian ini menjadi penting dan menarik untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

Kelangsungan usaha peternakan ayam ras pedaging ditentukan oleh perubahan harga input (pakan) dan harga output (daging ayam ras). Perubahan harga pakan mempengaruhi alokasi input dan keputusan produksi peternak ayam ras pedaging. Harga pakan dalam industri peternakan ayam ras pedaging ditentukan oleh industri pakan yang bekerjasama dengan perusahaan peternakan. Selama tahun 2005-2011 harga pakan ayam ras pedaging rata-rata meningkat sebesar 9.19 persen (Gambar 1).

Peningkatan harga pakan dipengaruhi oleh harga jagung, karena jagung merupakan bahan baku utama penyusun pakan. Rata-rata peningkatan harga pakan ayam ras pedaging terjadi seiring dengan peningkatan harga jagung di tingkat konsumen (harga eceran di pasar) dan harga jagung impor di dalam negeri (harga pembelian jagung impor oleh industri pakan). Selama tahun 2005-2011 harga jagung di tingkat konsumen dan harga jagung impor mengalami peningkatan masing-masing sebesar 11.15 dan 12.14 persen (Gambar 1).

(19)

Sumber: BPS dalam PSEKP (2012), Pusdatin (2012)

Gambar 1 Perkembangan harga konsumen jagung, harga jagung asal impor, dan harga pakan ayam ras pedaging di Indonesia, tahun 2005-2011

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk melindungi petani jagung, diantaranya kebijakan harga dasar dan kebijakan tarif impor jagung. Namun kedua instrumen kebijakan yang bersifat parsial ini berdampak negatif terhadap kinerja usaha peternakan ayam ras pedaging. Meningkatnya harga jagung menyebabkan harga pakan meningkat, sehingga biaya produksi pakan menjadi lebih mahal. Pada tingkat harga jual tetap menyebabkan pendapatan peternak menurun, bahkan menyebabkan kerugian. Hal ini menunjukkan bahwa pasar jagung tidak dapat dipandang sebagai pasar tunggal yang berdiri sendiri, karena kebijakan terhadap pasar jagung akan berdampak terhadap pasar daging ayam ras. Kondisi ini menyebabkan peranan pemerintah sebagai pembuat kebijakan menjadi dilematis, selain harus memperhatikan kepentingan petani jagung, juga harus mempertimbangkan kelangsungan usaha peternakan ayam ras pedaging. Implikasinya, analisis kebijakan terhadap pasar jagung dan daging ayam ras tidak dapat dilakukan secara parsial, karena kedua pasar ini merupakan satu sistem pasar yang terintegrasi.

(20)

Sumber: Pusdatin (2012)

Gambar 2 Perkembangan produksi dan harga daging ayam ras di Indonesia, tahun 2005-2011

Konsumsi hasil ternak berupa daging dan telur mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Konsumsi daging tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 10.42 persen dari tahun 2009 yaitu dari 6.29 kg/kapita/tahun menjadi 6.95 kg/kapita/tahun. Demikian halnya untuk telur meningkat sebesar 13.24 persen dari tahun 2009 (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian 2012). Peningkatan konsumsi ini menyebabkan peningkatan produksi daging ayam ras dan telur ayam ras sebagai penyedia protein hewani.

Peternakan ayam ras pedaging di Indonesia merupakan usaha di sektor pertanian yang perkembangannya sangat dinamis. Usaha ini awalnya dibudidayakan dalam skala kecil oleh perorangan hingga tahun 1970-an pemerintah menerapkan kebijakan penanaman modal asing (PMA) untuk peternakan ayam ras. Tujuan kebijakan ini adalah untuk mempercepat perkembangan industri unggas melalui penanaman modal asing dan transfer teknologi dari negara maju. Namun demikian, dalam perkembangannya perusahaan PMA memperluas usaha dengan mendirikan usaha budidaya, sehingga berdampak negatif terhadap perkembangan usaha peternakan rakyat. Pangsa produksi yang awalnya didominasi peternakan rakyat mengalami perubahan dan saat ini didominasi oleh perusahaan peternakan (Gambar 3).

(21)

Sumber: Yusdja et al (2008), Ilham dan Yusdja (2010), Pulungan (2011), Ditjennak (2012)

Gambar 3 Perkembangan produksi daging ayam ras di perusahaan peternakan dan peternakan rakyat ayam ras pedaging di Indonesia, tahun 2000-2011

Berbagai peraturan dikeluarkan pemerintah untuk mendorong perkembangan usaha peternakan rakyat seperti Keppres No. 50 tahun 1981 tentang pembinaan usaha peternakan ayam, Keppres No. 22 tahun 1990 pembinaan usaha peternakan ayam ras dan Keputusan Menteri Pertanian No. 404/Kpts/OT.210/6/2002 tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan. Keputusan Menteri ini antara lain menerangkan bahwa terdapat 2 (dua) bentuk usaha peternakan yaitu peternakan rakyat dan perusahaan peternakan. Peternakan rakyat adalah peternakan yang tidak diwajibkan memiliki izin usaha, namun harus memiliki tanda daftar peternakan rakyat dengan skala usaha, yaitu: (1) ayam ras petelur sampai dengan 10000 ekor induk dan (2) ayam ras pedaging sampai dengan 15000 ekor produksi per siklus. Perusahaan peternakan diwajibkan memiliki izin usaha dan skala usaha lebih besar dari skala usaha peternakan rakyat. Namun kebijakan ini tidak berjalan sesuai harapan, bahkan peternak kecil semakin kehilangan kesempatan berusaha. Hal ini disebabkan pembatasan skala usaha sesuai peraturan tersebut pada tingkat skala usaha yang tidak menjamin pengembangan peternakan rakyat. Peternak rakyat yang memiliki keterbatasan modal hanya mampu memelihara di bawah skala usaha yang ditetapkan.

(22)

peternakan menguasai pasar input melalui kesepakatan-kesepakatan bisnis dengan perusahaan pakan yang tergabung dalam asosiasi-asosiasi serta melakukan integrasi vertikal secara penuh dari hulu hingga hilir, seperti PT. Charoen Phokphan Indonesia, PT. Japfa Comfeed, dan PT. Sierad Produce. Hal ini menyebabkan struktur pasar input kurang bersaing. Selain itu, beberapa pabrik pakan merupakan usaha terintegrasi dengan perusahaan pembibitan, perusahaan budidaya, dan pengolahan hasil. Meskipun dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini tidak mempunyai hubungan dalam alokasi input dan output peternakan, namun mempunyai kaitan erat dalam menguasai pasar input dan output, sehingga kondisi ini mempengaruhi kelangsungan usaha peternakan rakyat.

Pulungan (2011) menyatakan bahwa perusahaan Breeding Farm (BF) dan Feed Mill (FM) perusahaan PMA menjual harga DOC dan pakan kepada peternak rakyat dengan harga yang cukup mahal. Seperti tercatat sejak November 2010 hingga Maret 2011, harga DOC Rp 4500 s/d Rp 4700 per ekor dan harga pakan Rp 5000 s/d Rp 5500 per kg, sehingga harga daging ayam ras di peternakan rakyat menjadi Rp 13500 s/d Rp 14000 per kg (harga jual menjadi mahal karena harga input mahal). Sedangkan harga jual di perusahaan peternakan Rp 10500 s/d Rp 11000 per kg. Terdapat marjin berkisar 20 persen antara perusahaan peternakan dan peternakan rakyat ayam ras pedaging. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Indarsih et al (2010) yaitu terdapat marjin berkisar 30-50 persen antara peternakan rakyat dan perusahaan peternakan terintegrasi. Apabila semua produksi daging ayam ras bermuara ke pasar tradisional, maka peternak rakyat mengalami kerugian. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya marjin harga pakan antara perusahaan peternakan dan peternakan rakyat menyebabkan peternak rakyat tidak mampu bersaing dengan perusahaan peternakan.

Berdasarkan uraian di atas, struktur industri ayam ras pedaging di Indonesia memiliki karakteristik: (1) industri pakan bertindak sebagai penerima harga di pasar input dan penentu harga di pasar output, sehingga industri pakan tidak khawatir dengan perubahan harga pakan tetapi lebih berkepentingan dengan perubahan harga jagung, (2) perusahaan peternakan di pasar input terintegrasi vertikal dengan industri pakan, sedangkan di pasar output perusahaan peternakan menguasai pasar output, sehingga bertindak sebagai penentu harga, dan (3) di tingkat peternakan rakyat, baik di pasar input maupun output peternak rakyat bertindak sebagai penerima harga.

Kondisi ini disebabkan di pasar pakan harga ditentukan oleh industri pakan, sedangkan di pasar output perusahaan peternakan lebih menguasai pasar, sehingga peternak rakyat tidak memiliki kemampuan untuk menentukan harga. Sebagai penerima harga, kelangsungan usaha peternakan rakyat rentan terhadap perubahan harga input dan harga output yang ditentukan oleh perusahaan peternakan. Jika terjadi penurunan harga pakan memberikan insentif bagi peternak untuk mengembangkan usahanya, sebaliknya jika terjadi peningkatan harga pakan menyebabkan berhentinya usaha tersebut.

(23)

bagaimana: (1) dampak kenaikan harga jagung dan harga daging ayam ras terhadap kinerja usahatani jagung dan usaha peternakan ayam ras pedaging, (2) dampak kombinasi kenaikan harga jagung, harga daging ayam ras, dan kebijakan penghapusan tarif impor jagung terhadap kinerja usahatani jagung dan usaha peternakan ayam ras pedaging, dan (3) dampak perubahan marjin harga pakan antara perusahaan peternakan dan peternakan rakyat ayam ras pedaging terhadap pendapatan rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging di Indonesia.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian yaitu:

1. Menganalisis dampak kenaikan harga jagung dan harga daging ayam ras terhadap kinerja usahatani jagung dan usaha peternakan ayam ras pedaging di Indonesia.

2. Menganalisis dampak kombinasi kenaikan harga jagung, harga daging ayam ras, dan kebijakan penghapusan tarif impor jagung terhadap kinerja usahatani jagung dan usaha peternakan ayam ras pedaging di Indonesia.

3. Menganalisis dampak perubahan marjin harga pakan antara perusahaan peternakan dan peternakan rakyat ayam ras pedaging terhadap pendapatan rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging di Indonesia.

Hipotesis

Hipotesis penelitian:

1. Kenaikan harga jagung berdampak positif terhadap kinerja usahatani jagung, namun berdampak negatif terhadap kinerja usaha peternakan ayam ras pedaging. Kenaikan harga daging ayam ras berdampak positif, baik terhadap kinerja usaha peternakan ayam ras pedaging maupun terhadap kinerja usahatani jagung.

2. Kenaikan harga jagung dan harga daging ayam ras secara bersamaan memberikan dampak positif terhadap kinerja usahatani jagung dan usaha peternakan ayam ras pedaging. Demikian halnya dengan kombinasi kenaikan harga daging ayam ras dan kebijakan penghapusan tarif impor jagung. Namun diantara keduanya, kombinasi kenaikan harga daging ayam ras dan kebijakan penghapusan tarif impor jagung memberikan dampak lebih baik terhadap pendapatan.

(24)

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan evaluasi dalam upaya peningkatan produksi dan pendapatan rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging. Selain itu sebagai bahan pertimbangan bagi pengemban kepentingan terutama penentu kebijakan dalam perumusan alternatif kebijakan pengembangan usaha peternakan ayam ras pedaging dan sebagai bahan masukan untuk studi analisis keterkaitan pasar jagung, pakan, dan daging ayam ras dengan menggunakan model multimarket.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan model multimarket yang dikembangkan dari Lundberg dan Rich (2002) dan Stifel dan Randrianarisoa (2004). Model yang dibangun terdiri atas 6 (enam) blok persamaan, yaitu: (1) harga, (2) penawaran, (3) permintaan input, (4) konsumsi, (5) pendapatan, dan (6) kondisi keseimbangan. Model ini merepresentasikan hubungan sistem permintaan dan penawaran di beberapa pasar, sehingga perubahan kebijakan di satu pasar dapat diketahui dampaknya terhadap pasar lain.

Komoditas yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi: jagung, beras, daging ayam ras, dan telur ayam ras. Pelaku usaha dibedakan menjadi: (1) perusahaan peternakan ayam ras pedaging, (2) peternakan rakyat ayam ras pedaging, dan (3) rumahtangga lainnya. Penentuan komoditas ini berdasarkan pertimbangan di sisi produksi dan konsumsi. Di sisi produksi jagung dan padi merupakan tanaman kompetitif dalam pemanfaatan lahan. Hal ini disebabkan terjadi pergeseran pemanfaatan lahan untuk budidaya jagung dari lahan padi (Agustian 2012). Budidaya jagung di Indonesia yang selama ini didominasi pada lahan kering yaitu sekitar 79 persen dan hanya berkisar 11 persen di sawah irigasi, serta 10 persen di sawah tadah hujan (Badan Litbang Pertanian 2005 dalam Agustian 2012), saat ini terjadi peningkatan luas lahan tanaman jagung yaitu masing-masing sebesar 10-15 persen di lahan sawah beririgasi dan 20-30 persen di sawah tadah hujan (Zubachtirodin et al. 2007). Selain itu, penggunaan lahan pertanian di Indonesia tidak dispesifikkan untuk jenis tanaman tertentu. Di sisi konsumsi, jagung dan beras merupakan komoditas substitusi.

Blok harga menunjukkan hubungan harga produsen dan konsumen. Mengingat keempat komoditas yang dianalisis dalam penelitian ini merupakan komoditas impor, maka transmisi harga untuk setiap komoditas dimulai dari harga impor. Harga komoditas impor ditentukan oleh harga dunia, nilai tukar, dan tarif impor. Selanjutnya harga impor dihubungkan dengan harga domestik melalui marjin. Nilai marjin pemasaran domestik ditetapkan sebesar 25 persen. Penetapan besaran marjin ini berdasarkan selisih harga impor dan harga domestik tahun 2011 dan disesuaikan dengan penggunaan nilai marjin oleh peneliti-peneliti sebelumnya yang menggunakan marjin berkisar 25-35 persen (Sayaka et al. 2007, Sugema dan Roy 2010, dan Hutabarat et al. 2012).

(25)

marjin sebesar 25 persen antara harga di perusahaan peternakan dengan harga di rumahtangga peternak rakyat dan rumahtangga lainnya. Harga pembelian oleh rumahtangga peternak rakyat dan rumahtangga lainnya diasumsikan sama. Transmisi harga selanjutnya diperoleh harga produsen. Perbedaan harga produsen dan konsumen dikarenakan adanya marjin pemasaran. Nilai marjin positif, sehingga harga produsen lebih rendah dibanding harga konsumen.

Spesifikasi model merepresentasikan perubahan jumlah yang diproduksi dan dikonsumsi sebagai dampak perubahan harga relatif. Di sisi produksi, produsen memiliki kecenderungan untuk meningkatkan produksi suatu komoditas yang dianggap lebih menguntungkan. Dalam penelitian ini, peningkatan produksi dilakukan melalui peningkatan pangsa lahan dan produktivitas. Diasumsikan tanaman jagung dan padi memiliki hubungan kompetitif dalam penggunaan lahan, maka petani meningkatkan pangsa lahan tanaman jagung jika harga jagung meningkat, sebaliknya mengalihkan sebagian lahan jagung untuk ditanami padi jika harga beras meningkat.

Di sisi konsumsi, perubahan harga relatif menyebabkan terjadinya efek substitusi. Dalam penelitian ini, konsumen merespon perubahan harga suatu komoditas relatif terhadap harga komoditas lainnya. Diasumsikan jagung dan beras, serta daging ayam ras dan telur ayam ras sebagai komoditas substitusi dan hubungan kedua komoditas tanaman pangan dengan daging ayam ras dan telur ayam ras saling melengkapi (komplementer), maka perubahan harga relatif antar komoditas ini akan mempengaruhi tingkat konsumsi komoditas tersebut.

Blok penawaran dibagi 2 (dua) yaitu komoditas tanaman pangan dan peternakan. Komoditas tanaman pangan merepresentasikan produksi jagung dan beras domestik. Produksi jagung dan beras oleh masing-masing pelaku usaha ditentukan oleh total ketersediaan lahan, pangsa lahan yang dialokasikan untuk masing-masing tanaman tersebut, dan produktivitas yang dikoreksi dengan faktor konversi. Luas lahan pertanian di Indonesia tahun 2011 sebesar 64.3 juta hektar. Dari luasan tersebut 15.96 persen untuk jagung, 52.62 persen untuk padi, 3.27 persen untuk kedelai, dan 5.39 persen untuk umbi-umbian. Sedangkan pangsa lahan untuk jagung dan padi oleh rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging masing-masing sebesar 2.5 dan 7.8 persen (Sugema dan Roy 2010 dan Ilham dan Yusdja 2010, diolah). Produktivitas masing-masing tanaman ditentukan oleh harga produsen dan harga konsumen. Produktivitas jagung berkisar 3.50-4.56 ton/ha dan padi berkisar 4.207-5.580 ton/ha. Lebih lanjut rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging diklasifikasikan pada nilai produktivitas terendah yaitu masing-masing 3.50 ton/ha untuk jagung dan 4.207 ton/ha untuk padi. Hal ini berdasarkan pertimbangan rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging menjadikan usaha tanaman pangan sebagai usaha sambilan, sedangkan rumahtangga lainnya merujuk pada nilai produktivitas tertinggi, karena didalamnya terdapat rumahtangga tanaman pangan yang mengusahakan secara intensif.

(26)

meningkat hingga berkisar 85 persen di tahun 2011. Pangsa produksi ini kemudian dikalikan dengan produksi daging ayam ras nasional tahun 2011. Jumlah ini sangat besar dibanding data produksi perusahaan peternakan berdasarkan data Statistik Perusahaan Peternakan Unggas tahun 2011 yang hanya sebesar 5.37 persen dari total produksi nasional (BPS 2011). Hal ini disebabkan data Statistik Perusahaan Peternakan Unggas hanya mengakomodir produksi perusahaan yang berbadan hukum. Data ini tidak dapat menjelaskan permasalahan dalam industri ayam ras pedaging, dimana secara empiris produksi perusahaan peternakan mendominasi pangsa pasar daging ayam ras.

Data produksi telur ayam ras oleh rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging diperoleh dari data jumlah rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging dikalikan pangsa rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging yang memelihara ternak ayam ras petelur dikalikan rata-rata penguasaan ternak ayam ras petelur oleh rumahtangga dikalikan persentase betina produktif dikalikan produktivitas (BPS 2011, Ditjennak 2012, diolah).

Produksi jagung, beras, dan telur ayam ras diasumsikan hanya dilakukan oleh rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging dan rumahtangga lainnya, sehingga total produksi jagung, beras, dan telur ayam ras merupakan penjumlahan dari produksi rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging dan rumahtangga lainnya, sedangkan produksi daging ayam ras merupakan penjumlahan dari produksi perusahaan peternakan dan rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging.

Blok permintaan input merupakan fungsi dari harga output dan input. Permintaan pupuk (Urea dan TSP) merupakan fungsi dari harga output (jagung dan beras) dan harga pupuk, sedangkan permintaan jagung untuk pakan merupakan fungsi dari harga output (daging dan telur ayam ras) dan harga jagung. Total permintaan pupuk merupakan penjumlahan permintaan pupuk Urea dan TSP oleh rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging dan rumahtangga lainnya, sedangkan permintaan jagung untuk pakan merupakan penjumlahan permintaan jagung untuk pakan oleh perusahaan peternakan dan peternakan rakyat ayam ras pedaging.

(27)

Blok pendapatan merupakan penerimaan pelaku usaha dari masing-masing usaha setelah dikurangi biaya. Perusahaan peternakan hanya memperoleh pendapatan dari usaha peternakan ayam ras pedaging karena diasumsikan tidak memiliki usaha lainnya. Rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging memperoleh pendapatan dari keempat jenis usaha, karena diasumsikan selain memiliki usaha peternakan ayam ras pedaging, juga memiliki usahatani jagung, padi, dan usaha peternakan ayam ras petelur. Rumahtangga lainnya memperoleh pendapatan dari 3 (tiga) jenis usaha yaitu usahatani jagung, padi, dan usaha peternakan ayam ras petelur. Dalam penelitian ini usahatani jagung dan padi hanya dikurangi biaya pupuk (Urea dan TSP), sedangkan usaha peternakan ayam ras pedaging dan petelur hanya dikurangi biaya pakan.

Kondisi keseimbangan merupakan total penawaran (produksi + impor bersih) sama dengan total permintaan, baik untuk konsumsi manusia maupun untuk pakan. Nilai impor bersih dalam permodelan ini merupakan residual yaitu selisih dari produksi dan konsumsi. Dengan demikian terdapat beberapa kemungkinan jika terjadi perubahan terhadap nilai impor bersih, yaitu: (1) perubahan terhadap jumlah impor dan diasumsikan jumlah ekspor tetap, (2) perubahan jumlah ekspor dan diasumsikan jumlah impor tetap, dan (3) perubahan terhadap jumlah impor dan ekspor.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:

1. Spesifikasi model membatasi perubahan produksi dan konsumsi suatu komoditas sebagai dampak perubahan harga relatif, dimana harga komoditas lain tetap.

2. Perubahan harga terjadi melalui perubahan marjin dan tidak disebabkan oleh kekuatan permintaan dan penawaran.

3. Penelitian ini fokus untuk menganalisis dampak perubahan suatu kebijakan terhadap usaha peternakan ayam ras pedaging yang dibagi atas 2 (dua) pelaku usaha yaitu perusahaan peternakan dan peternakan rakyat.

4. Penelitian ini belum mendisagregasi pelaku usaha peternakan ayam ras pedaging berdasarkan: (1) skala usaha, sistem pemeliharaan, dan produksi (pengelompokkan Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanian (PSEKP)) dan (2) status permodalan dan badan hukum (pengelompokkan BPS).

5. Perusahaan peternakan ayam ras pedaging diasumsikan tidak memiliki usaha lain, sehingga sumber pendapatan hanya berasal dari usaha peternakan ayam ras pedaging. Kenyataannya perusahaan peternakan juga memiliki usaha lainnya yang tidak dimasukkan dalam model. Demikian halnya untuk rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging hanya membatasi pada 4 (empat) jenis usaha yang dimiliki yaitu usahatani jagung dan padi, serta usaha peternakan ayam ras pedaging dan petelur. Secara empiris, rumahtangga peternak rakyat ayam ras pedaging memiliki usaha yang bervariasi selain 4 (empat) jenis usaha ini.

(28)

rumahtangga memiliki keempat jenis usaha ini, bahkan ada yang memiliki usaha selain 4 (empat) jenis usaha ini.

7. Penelitian ini secara agregat mengasumsikan bahwa lahan yang dimiliki digunakan untuk tanaman jagung dan padi yang kompetitif dalam penggunaan lahan. Konsekuensinya, lahan yang diperuntukkan untuk tanaman lain tidak dimasukkan dalam model ini.

8. Penelitian ini hanya memasukkan biaya pupuk Urea dan TSP sebagai biaya dalam usahatani jagung dan padi. Berdasarkan data struktur ongkos usahatani tanaman pangan, untuk tanaman jagung biaya pupuk hanya sebesar 16.64 persen. Biaya ini kecil dibanding biaya tenaga kerja yang mencapai 45.01 persen dan sewa lahan 19.43 persen. Demikian halnya untuk tanaman padi, hanya sebesar 14.13 persen untuk pupuk dan mencapai 38.29 dan 25.64 persen masing-masing untuk biaya tenaga kerja dan sewa lahan (BPS 2011). 9. Penelitian ini tidak membangun persamaan untuk permintaan pakan sebagai

input langsung dari usaha peternakan ayam ras pedaging. Permintaan pakan diproksi dari permintaan jagung. Hal ini dimungkinkan atas pertimbangan bahwa komposisi jagung dalam pakan mencapai 65 persen dan biaya pakan dalam struktur biaya usaha ayam ras pedaging sebesar 70 persen. Selain itu, hasil penelitian Kariyasa (2003), Fitriani (2006), dan Edward (2008), menyatakan bahwa pertimbangan utama pabrik pakan memutuskan jumlah pakan yang akan diproduksi ditentukan oleh harga jagung. Demikian juga dengan permintaan jagung ditentukan oleh harga jagung itu sendiri dan bukan harga pakan. Dikaitkan dengan data, tren permintaan pakan untuk ayam ras pedaging memiliki kecenderungan yang sama dengan tren permintaan jagung untuk pakan (Swastika et al. 2011).

10. Penelitian ini belum memisahkan permintaan jagung oleh rumahtangga dan industri pangan.

11. Nilai impor bersih (impor-ekspor) merupakan residual yaitu selisih antara produksi dan konsumsi, sehingga perubahan suatu kebijakan tidak dapat diketahui dampaknya terhadap masing-masing impor dan ekspor.

Kebaruan dan Posisi Penelitian

Penelitian keterkaitan pasar jagung, pasar pakan, dan pasar daging ayam ras telah dilakukan Purba (1999), Kariyasa (2003), Kariyasa dan Sinaga (2007), dan Edward (2008) dengan menggunakan model ekonometrika. Hasilnya terdapat keterkaitan antara pasar jagung, pasar pakan, dan pasar daging ayam ras, dimana perubahan pada satu pasar berdampak terhadap pasar lainnya. Hal ini berarti perubahan yang terjadi pada satu pasar tidak hanya ditentukan oleh kekuatan pasar itu sendiri, melainkan ditentukan oleh kekuatan pasar lainnya.

(29)

Stifel dan Randrianarisoa (2004) mengembangkan model Lundberg dan Rich (2002) untuk menganalisis dampak kebijakan di sektor pertanian terhadap rumahtangga petani di Madagaskar. Sebagaimana model yang dibangun Lundberg dan Rich (2002), keterbatasan model ini tidak memasukkan variabel harga input untuk produksi komoditas peternakan, sehingga produksi komoditas peternakan hanya merupakan fungsi dari harga output.

Sayaka et al (2007), Sugema dan Roy (2010), dan Hutabarat et al (2012) telah melakukan penelitian dengan mengembangkan model Lundberg dan Kaya (2002) dan Stifel dan Randrianarisoa (2004). Sayaka et al (2007) melakukan penelitian untuk melihat dampak perubahan tarif impor beras terhadap kesejahteraan rumahtangga petani di Indonesia. Analisis dilakukan pada komoditas beras, jagung, kedelai, tebu, pisang, dan komoditas peternakan. Sebagaimana model Lundberg dan Rich (2002) dan Stifel dan Randrianarisoa (2004) rumahtangga dikelompokkan berdasarkan wilayah dan tingkat pendapatan. Kelompok rumahtangga yang sama digunakan Sugema dan Roy (2010) dan Hutabarat et al (2012) masing-masing untuk mengetahui dampak wabah flu burung terhadap perekonomian Indonesia dan mengkaji dampak perubahan iklim terhadap produksi, impor, dan konsumsi komoditas hortikultura.

Penelitian ini membangun model multimarket untuk usaha peternakan ayam ras pedaging di Indonesia. Model yang dibangun terdiri atas 6 (enam) blok persamaan, yaitu: (1) harga, (2) penawaran, (3) permintaan input, (4) konsumsi, (5) pendapatan, dan (6) keseimbangan. Pelaku usaha dibedakan menjadi: perusahaan peternakan ayam ras pedaging, rumahtangga peternakan rakyat ayam ras pedaging, dan rumahtangga lainnya.

(30)
(31)

2 TINJAUAN STUDI TERDAHULU

Permintaan dan Penawaran Jagung di Indonesia

Permintaan jagung terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kebutuhan jagung, baik sebagai bahan pangan, bahan pakan, maupun bio-fuel. Kebutuhan jagung nasional khususnya untuk industri pakan meningkat sejalan dengan perkembangan industri pakan dan usaha peternakan ayam ras pedaging (Daryanto 2009).

Hasil analisis Swastika et al (2011) mengenai perilaku permintaan dan penawaran jagung di Indonesia, menunjukkan bahwa tanpa adanya perbaikan teknologi sulit bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri. Defisit jagung diproyeksikan semakin besar, sehingga impor jagung semakin meningkat.

Berbagai studi terkait pengaruh harga terhadap permintaan dan penawaran jagung telah dilakukan beberapa peneliti sebelumnya dengan model persamaan simultan, seperti dilakukan Nurkhalik (1999) dan Imron (2007). Nurkhalik (1999) menganalisis agribisnis jagung dan strategi pengembangannya di Indonesia dan diperoleh bahwa variabel harga jagung, harga pupuk, dan harga beras berpengaruh terhadap penawaran jagung di Indonesia dan tandanya sesuai dengan teori ekonomi. Namun demikian, baik jangka pendek maupun jangka panjang penawaran jagung kurang respon terhadap perubahan dari masing-masing variabel tersebut. Penelitian ini membedakan permintaan jagung untuk kebutuhan pangan dan pakan. Variabel harga jagung, harga kedelai, dan harga beras serta tingkat pendapatan berpengaruh terhadap permintaan jagung untuk pangan. Beras dan kedelai merupakan komoditas substitusi bagi jagung untuk tujuan konsumsi serta komoditas ini merupakan barang normal bagi masyarakat Indonesia. Sedangkan kedelai merupakan komoditas komplementer bagi jagung untuk pembuatan pakan. Imron (2007) mengkaji dampak kebijakan ekonomi dan perubahan faktor eksternal terhadap kinerja pasar jagung dan produk turunannya di Indonesia. Hasil kajian ini antara lain menyebutkan bahwa peningkatan harga jagung dunia menyebabkan penawaran jagung domestik meningkat, namun tidak menyebabkan impor jagung Indonesia menurun.

Agustian (2012) dalam penelitiannya di Jawa Timur dan Jawa Barat menemukan bahwa kebijakan peningkatan harga jagung menyebabkan jumlah jagung yang ditawarkan meningkat. Kenaikan harga jagung juga menyebabkan meningkatnya permintaan input (benih, pupuk, dan tenaga kerja). Sebaliknya, penurunan harga jagung menyebabkan jumlah jagung yang ditawarkan menurun di kedua provinsi. Penurunan harga jagung juga menyebabkan menurunnya permintaan input.

Industri Pakan

(32)

bahwa pembenahan industri ayam ras pedaging harus diawali dari pembenahan pada sub-sektor tanaman pangan.

Alim (1996) meneliti tentang efisiensi skala usaha pabrik pakan dengan metode SUR (Seemingly Unrelated Regression). Penelitian ini menggunakan data bulanan selama tiga tahun (1992-1994) pada 3 (tiga) pabrik pakan yang berlokasi di wilayah Bogor dan Bekasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga jagung kuning dominan mempengaruhi tingkat keuntungan dan efisiensi usaha. Hal ini disebabkan jagung kuning mempunyai pangsa yang relatif tinggi dalam penyusunan pakan ternak dan belum tersedia bahan substitusi yang mempunyai kandungan gizi yang setara.

Yusdja et al (2000), meneliti struktur industri unggas nasional yang meliputi produksi, pendapatan peternak, dan struktur industri pakan. Responden terdiri atas peternak, pedagang, pabrik pakan, pengolahan, kelembagaan, dan instansi pemerintah terkait di tiga propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Lampung. Pengkajian dilakukan untuk melihat perubahan struktur industri sebelum dan sesudah krisis moneter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran struktur produksi dari waktu ke waktu. Dikemukakan bahwa pada tahun 1970-an usaha peternakan ayam ras pedaging dikuasai oleh peternakan rakyat dengan dukungan kebijakan PMA. Namun tahun 1990-an sebagian besar pangsa produksi dikuasai oleh perusahaan peternakan (Yusdja et al. 2008).

Permintaan dan Penawaran Daging Ayam Ras

Studi empiris tentang permintaan dan penawaran daging ayam ras di Indonesia telah dilakukan oleh Sudaryanto et al (1995), Ilham et al (2001), dan Kariyasa dan Sinaga (2007). Kariyasa dan Sinaga (2007) menemukan bahwa penawaran daging ayam ras sangat respon terhadap perubahan harga daging ayam ras, namun kurang respon terhadap perubahan harga pakan. Dengan demikian, kebijakan yang menyebabkan perbaikan harga daging ayam ras sangat efektif untuk meningkatkan produksi daging ayam ras dibanding instrumen lainnya.

Dikaitkan dengan pendapatan, hasil penelitian Sudaryanto et al (1995) pada delapan provinsi di Sumatera dan Kalimantan dengan menggunakan data Susenas 1990 menunjukkan bahwa elastisitas permintaan terhadap pendapatan bertanda positif. Artinya meningkatnya pendapatan masyarakat menyebabkan meningkatnya permintaan daging ayam ras, sehingga daging ayam ras merupakan barang normal bagi masyarakat. Namun untuk provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah daging ayam ras merupakan barang mewah yang ditunjukkan oleh elastisitas permintaan terhadap pendapatan masyakarat lebih besar dari satu. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Ilham et al (2001) yaitu dalam jangka pendek maupun jangka panjang daging ayam ras merupakan barang normal dan bukan termasuk barang mewah bagi masyarakat Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa sifat substitusi dan komplementer komoditas daging ayam ras dengan beberapa komoditas ternak lainnya tidak khas dan berbeda untuk setiap daerah.

(33)

panjang permintaan daging ayam ras sangat respon terhadap perubahan harganya sendiri, harga daging sapi, dan harga telur sebaliknya kurang respon terhadap perubahan harga ikan tongkol dan pendapatan.

Keterkaitan Pasar Jagung, Pakan, dan Daging Ayam Ras

Kariyasa (2003) melakukan kajian tentang keterkaitan pasar jagung dan pasar ternak ayam ras di Indonesia. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pasar jagung seringkali dipandang sebagai pasar tunggal yang berdiri sendiri, sehingga kebijakan terhadap komoditas jagung dampaknya cenderung tidak menyebar pada pasar produk turunannya. Padahal pasar jagung mempunyai hubungan yang erat dengan pasar pakan dan daging ayam ras. Dengan menggunakan metode 2SLS, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara pasar jagung, pakan, dan daging ayam ras. Keterkaitan tersebut tercipta lewat harga jagung, harga pakan, dan harga daging ayam ras. Jika salah satu pasar berubah, maka terjadi perubahan pada pasar lainnya. Hal ini sejalan dengan penelitian Purba (1999) sebelumnya yang menunjukkan bahwa permintaan jagung untuk pakan ditentukan oleh harga jagung dan harga pakan.

Temuan serupa diperoleh Hutabarat dan Yusdja (1994) pada 4 (empat) provinsi (DKI, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan). Besarnya komponen jagung dalam bahan baku pakan ternak disebabkan mengandung kalori yang tinggi dan sangat disukai ternak, sehingga upaya untuk mengganti jagung dengan bahan lain belum berhasil hingga saat ini.

Penelitian Edward (2008) menunjukkan bahwa pasar pakan kurang memiliki keterkaitan dengan pasar jagung, namun memiliki keterkaitan yang kuat dengan pasar daging ayam ras melalui pengaruh harga daging ayam ras terhadap permintaan pakan. Lebih lanjut hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat suku bunga bank, depresiasi rupiah, harga jagung, harga pakan, harga DOC, dan harga daging ayam ras serta kebijakan penghapusan tarif impor berdampak terhadap perilaku pasar jagung, pakan, dan daging ayam ras di Indonesia. Hal ini berarti harga dan jumlah yang terjadi pada satu pasar tidak hanya ditentukan oleh kekuatan pasar itu sendiri, melainkan juga ditentukan secara bersama-sama oleh kekuatan pasar lainnya.

Keragaan Ekspor dan Impor

Selama tahun 2005-2011 jumlah ekspor dan impor jagung mengalami peningkatan masing-masing sebesar 20.60 dan 194.78 persen. Jumlah impor jagung selalu lebih besar dari ekspor menyebabkan terjadi defisit neraca perdagangan. Impor bersih mengalami peningkatan rata-rata sebesar 270.71 persen. Data perkembangan impor bersih jagung selama tahun 2005-2011 pada Lampiran 4. Peningkatan impor bersih jagung menunjukkan bahwa ketersediaan komoditas jagung di dalam negeri sangat tergantung pada impor.

(34)

impor bersih beras selalu mengalami peningkatan atau terjadi defisit neraca perdagangan. Impor bersih beras selama tahun 2005-2011 cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 133.29 persen (Lampiran 4).

Jumlah ekspor daging ayam ras relatif sangat kecil dibandingkan impor. Hal ini ditunjukkan oleh nilai impor bersih daging ayam ras relatif tinggi yaitu rata-rata 2.12 ribu ton/tahun selama tahun 2005-2011. Hal yang sama untuk komoditas telur ayam ras. Jumlah rata-rata ekspor telur ayam ras sebesar 0.008 ribu ton, sedangkan jumlah impor sebesar 0.30 ribu ton. Selama tahun 2005-2011 jumlah impor bersih telur ayam ras rata-rata sebesar 0.23 ribu ton. Perkembangan impor bersih daging ayam ras dan telur ayam ras selama tahun 2005-2011 terdapat pada Lampiran 4.

Studi Empiris dengan Model Multimarket

Model multimarket merupakan suatu model yang fokus menganalisis dampak langsung dan tidak langsung perubahan harga dan jumlah terhadap sekelompok komoditas yang memiliki penawaran dan permintaan saling terkait kuat. Thomas et al. (2009) menggunakan model multimarket untuk mengetahui dampak wabah flu burung terhadap permintaan dan penawaran komoditas, perekonomian daerah, dan pendapatan rumahtangga. Untuk dapat mengetahui dampaknya secara lebih rinci, model multimarket disesuaikan dengan kondisi negara Ethiopia dengan nama Ehiopia Multimarket Models (EMM). Model ini merepresentasikan perubahan relatif terhadap tahun dasar. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dampak perubahan permintaan dan penawaran unggas akibat adanya wabah flu burung lebih terkonsentrasi di sektor unggas dan relatif kecil dampaknya terhadap sektor lain dalam perekonomian.

Diao dan Sarpong (2007) mengembangkan model multimarket untuk negara Ghana. Pengembangan model dilakukan dengan menghubungkan degradasi lahan pertanian dengan biaya usahatani di Ghana. Secara umum model ini menganalisis dampak degradasi lahan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan dihubungkan dengan produksi dan konsumsi sektor pertanian dan di luar sektor pertanian, baik di tingkat nasional maupun daerah. Analisis dilakukan pada 33 komoditas pertanian.

Lundberg dan Rich (2002) membangun model multimarket yang disesuaikan dengan sistem produksi pertanian dan kebijakan negara Afrika. Langkah pertama dalam pengembangan model yakni menentukan kategori produk yang dianalisis. Misalnya kacang tanah, beras, kakao di Afrika Barat, usaha peternakan di Sahel, serta jagung, tembakau, teh, kopi, dan rempah-rempah di Timur dan Selatan Afrika. Komoditas-komoditas ini kemudian dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelompok yaitu komoditas tanaman pangan dan di luar tanaman pangan. Model ini selanjutnya dibagi dalam 6 (enam) blok persamaan meliputi harga, penawaran, konsumsi, pendapatan, stok, dan keseimbangan. Stifel dan Randrianarisoa (2004), menggunakan model ini untuk menganalisis dampak perubahan harga, subsidi, dan biaya transaksi terhadap kesejahteraan petani di Madagaskar.

(35)

menggunakan Equilibrium Displacement Model (EDM). Pasar diagregasi dalam 5 (lima) kelompok yaitu pasar daging sapi, babi, ayam, jagung, dan etanol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan sebesar 10 persen terhadap permintaan etanol meningkatkan harga jagung sebesar 4.48 persen. Hal ini menyebabkan penurunan permintaan jagung sebesar 4.05 persen untuk sapi, babi 2.38 persen, dan 8.55 persen untuk ayam. Keterbatasan model ini yakni tidak memasukkan variabel luas lahan dan produktivitas sebagai variabel yang mempengaruhi produksi jagung.

Sayaka et al (2007), melakukan penelitian untuk menganalisis dampak perubahan tarif impor beras terhadap kesejahteraan rumahtangga petani di Indonesia. Komoditas yang dianalisis yakni padi, jagung, kedelai, tebu, pisang, dan komoditas peternakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghapusan tarif impor beras menurunkan penawaran beras dan pendapatan rumahtangga petani dari usahatani padi. Kondisi sebaliknya jika terjadi peningkatan tarif impor beras. Kebijakan tarif impor di pasar beras mempengaruhi pasar komoditas tanaman pangan dan peternakan yang dianalisis.

Barraud dan Calfat (2006) menggunakan model multimarket untuk menganalisis dampak liberalisasi perdagangan terhadap pasar jagung kuning dan pasar lain yang terkait di Guatemala. Model yang dikembangkan mendisagregasi kelompok rumahtangga berdasarkan wilayah (perdesaan dan perkotaan) dan pendapatan (miskin dan kaya).

Schmitz dan Roy (2009) mengembangkan model multimarket untuk menganalisis dampak wabah flu burung terhadap rumahtangga produsen unggas berskala kecil di Ghana. Rumahtangga dikelompokkan berdasarkan wilayah dan pendapatan. Setiap wilayah (perdesaan dan perkotaan) dibedakan 3 (tiga) kelompok rumahtangga yaitu sangat miskin, miskin, dan kaya, sehingga jumlah rumahtangga yang dianalisis menjadi 6 (enam) rumahtangga. Terdapat 5 (lima) blok persamaan yang dibangun yakni harga, penawaran, konsumsi, pendapatan, dan keseimbangan.

Hutabarat et al (2012) mengkaji dampak perubahan iklim terhadap produksi, impor, dan konsumsi produk hortikultura. Komoditas dikategorikan menjadi: (1) komoditas tanaman pangan terdiri atas beras, jagung, kedelai, ubi jalar, pisang, coklat, kopi, gula, dan gandum, (2) komoditas peternakan terdiri atas daging, telur, dan susu, dan (3) input pertanian yaitu pupuk urea, pupuk fosfor, dan potassium serta jagung sebagai pakan ternak. Rumahtangga dikelompokkan dalam 2 (dua) kelompok utama yaitu rumahtangga perdesaan dan perkotaan. Masing-masing kelompok rumahtangga dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok berdasarkan tingkat pendapatan: (1) kaya, (2) sedang, dan (3) miskin. Terdiri atas 6 (enam) blok persamaan yaitu harga, penawaran, permintaan input, konsumsi, pendapatan, dan keseimbangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahun 2050 dampak perubahan iklim terhadap produksi, impor, dan konsumsi komoditas hortikultura akan berbeda untuk masing-masing kelompok rumahtangga.

Dampak Kebijakan Tarif Impor

(36)

tarif impor kembali diturunkan menjadi 5 persen pada tahun 1994 dan kemudian dihapus sejak tahun 1995. Tahun 2005 tarif impor jagung kembali dinaikkan menjadi 5 persen (Imron 2007). Beberapa negara ASEAN mengenakan tarif impor jagung berkisar 35-65 persen untuk melindungi petaninya.

Imron (2007), melakukan analisis simulasi untuk melihat dampak pemberlakuan tarif impor jagung sebesar 10 persen. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan harga jagung domestik sebagai akibat diterapkannya tarif impor jagung sebesar 10 persen, menyebabkan turunnya produksi dan permintaan pakan masing-masing sebesar 3.15 dan 0.05 persen. Namun karena penurunan produksi lebih besar dibanding penurunan permintaan pakan, maka harga pakan meningkat sebesar 4.96 persen. Peningkatan harga pakan ini menyebabkan produksi daging ayam ras dan telur ayam ras menurun masing-masing sebesar 0.49 dan 2.92 persen.

Edward (2008), melakukan simulasi kombinasi penghapusan tarif impor jagung dan daging ayam ras serta depresiasi rupiah sebesar 20 persen. Hasil analisis menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan ini menyebabkan impor jagung turun sebesar 21.07 persen, produksi jagung meningkat sebesar 0.01 persen, dan penawaran jagung menurun sebesar 2.36 persen. Penurunan penawaran meningkatkan harga riil jagung domestik sebesar 0.36 persen, sehingga permintaan jagung menurun sebesar 0.10 persen. Harga riil jagung domestik yang meningkat menyebabkan produksi pakan ayam ras menurun sebesar 0.42 persen. Kondisi ini menyebabkan menurunnya produksi daging ayam ras sebesar 0.001 persen, sehingga penawaran daging ayam ras menurun sebesar 0.40 persen. Harga riil daging ayam ras domestik yang mengalami penurunan menyebabkan peningkatan ekspor daging ayam ras, karena harga daging ayam ras di pasar dunia lebih tinggi dibanding di pasar domestik. Penurunan harga daging ayam ras di pasar domestik meningkatkan permintaan daging ayam ras sebesar 0.06 persen. Kombinasi kebijakan penghapusan tarif impor jagung dan daging ayam ras serta depresiasi rupiah sebesar 20 persen meningkatkan impor daging ayam ras sebesar 17.94 persen.

Zulkarnaen (2012) menyatakan bahwa kebijakan penghapusan tarif impor berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini mampu meningkatkan konsumsi masyarakat akibat harga menjadi lebih murah. Namun demikian untuk meningkatkan perekonomian suatu negara, kebijakan pengurangan/penghapusan tarif impor hanyalah merupakan kebijakan yang bersifat jangka pendek (Benson et al. 2013).

Kebijakan Pemerintah dalam Industri Ayam Ras Pedaging

Pengembangan sub-sektor peternakan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan peternak skala kecil sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA). Implikasinya berbagai peraturan pemerintah diarahkan untuk membangun usaha peternakan rakyat. Hal ini penting karena Indonesia menghadapi masalah penggangguran dan kemiskinan (Yusdja et al. 2004).

Gambar

Gambar 1   Perkembangan harga konsumen jagung, harga jagung asal impor, dan
Gambar  2  Perkembangan produksi dan harga daging ayam ras di Indonesia,
Gambar 5  Kurva derived demand industri ayam ras pedaging
Gambar  6  Bagan kerangka pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis harga pokok produksi ayam ras pedaging probiotik dan non probiotik, laba usaha ayam ras pedaging proiotik dan non probiotik,

1) Usaha peternakan ayam ras pedaging pola mandiri dan kemitraan di Kabupaten Tabanan cukup menguntungkan, hasil penelitian menunjukkan pendapatan rata-rata yang

risiko lebih besar dibandingkan dengan usaha peternakan lainnya. Peternak di- hadapkan pada tingginya risiko produksi serta risiko harga. Hal ini menyebabkan terbentuknya

Tujuan selanjutnya adalah untuk menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi yaitu bibit ayam (DOC) pakan, vaksin, obat-obatan dan vitamin, tenaga kerja, listrik,

Keberhasilan usaha ternak ayam ras pedaging dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari faktor produksi maupun kondisi alam.Faktor produksi terdiri dari bibit, pakan,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis saluran tataniaga ayam ras pedaging yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai, untuk menganalisis share margin

Tujuannya untuk menganalisis orientasi nilai kerja peternak, serta faktor yang berpengaruh dalam memilih pekerjaan sebagai peternak ayam ras pedaging dan menganalisis

risiko lebih besar dibandingkan dengan usaha peternakan lainnya. Peternak di- hadapkan pada tingginya risiko produksi serta risiko harga. Hal ini menyebabkan terbentuknya