• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

D. Tinjauan tentang Boyongan Rumah

Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Sedangkan dalam Kamus Induk Istilah Ilmiah, tradisi adalah adat kebiasaan dan kepercayaan yang secara turun temurun dipelihara (Rizalatul Umami, 2012:17).

Semua perilaku orang Jawa selalu bertumpu pada keyakinan yang bersifat religius. Rasa religius itu dapat dilihat dalam tradisi Jawa yang berhubungan dengan kelahiran, kematian atau dalam kehidupan keseharian seperti bercocok tanam, mendirikan bangunan rumah, memulai suatu kerja penting dan sebagainya (Munafiah, 2011:19).

Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau slametan. Di dalam upacara slametan ini yang

pokok adalah pembacaan doa (donga) yang dipimpin oleh orang yang

dipandang memiliki pengetahuan tentang Islam, apakah seorang modin,

kaum, lebe, atau kiai. Selain itu, terdapat seperangkat makanan yang

dihidangkan bagi para peserta selamatan, serta makanan yang dibawa pulang ke rumah masing-masing peserta slametan yang disebut dengan berkat

(Munafiah, 2011:27).

Kaitannya dengan tradisi boyongan rumah atau pindah rumah orang

jawa melakukan suatu tradisi atau kegiatan saat akan menempati rumah baru. Upacara atau tradisi boyongan rumah ini dimaksud untuk mengantarkan doa selamat kepada penghuni rumah baru, yang dimulai dengan proses pindah serentak bersama keluarga dalam bahasa Jawa disebut “boyongan”.

Secara rasional, masyarakat jawa mempunyai sopan santun untuk memasuki tempat, daerah, wilayah, atau kawasan lain dengan memohon ijin pada pemiliknya yaitu Yang Maha Pencipta, pemilik semesta alam beserta seluruh isinya. Yang dilakukan adalah bahwa seakan-akan di tempat itu dikatakan berpenghuni yang digambarkan bentuk nyata, meskipun

sebenarnya tidak terlihat, namun disadari, perlu diyakini oleh semua orang tentang keberadaannya. Perbuatan itu seperti kalau ingin mengetuk pintu masuk rumah, dengan segala tata cara yang lebih sedikit daripada kalau mengetuk rumah yang sebenarnya. Timbul anggapan di kalangan masyarakat

Jawa, bahwa hidup di dunia hanyalah sekedar „mampir ngombe‟( singgah

untuk minum). Tinggal di bagian manapun di dunia adalah di tempat yang bukan miliknya sendiri, jadi harus selalu minta ijin pada pemilik yang lebih berhak.Dalam peristiwa pemindahan rumah, hampir sama dengan pembuatan rumah, hanya berbeda karena nilai lebih, yaitu bahwa dari rumah yang semula padanya telah mempunyai suatu perbendaharaan atau modal, yang sebagian akan dipindahkan pada tempat yang baru. Ijinnya ditambahkan niat untuk membawa bekal yang telah dimiliki sebelumnya, yang diakuinya sebagai telah sesuai dengan tata kehidupannya. Permohonan ijin itu seakan-akan memerlukan jawaban, sebagaimana seseorang minta ijin masuk dengan telah membawa bekal sendiri, dengan teman cukup banyak, dan dengan tujuan tinggal yang lebih mantap (Arya Ronald, 1997:399).

Bagi orang Jawa yang masih menjunjung tinggi unsur kejawaan sesuatu hal tidak diputuskan begitu saja, namun dicari rujukan atau tradisi yang ada. Seperti halnya orang yang akan melakukan pindahan rumah, menempati rumah baru atau membuka usaha kebanyakan mencari Sri-nya atau hari baiknya . Ini semua mengacu pada leluhur orang jawa yang tidak secara ngawur melakukan sesuatu hal yang baik. Prinsip mereka sesuatu yang baik harus dicarikan hari baiknya, toh kita tidak akan sulit mencari karena sudah

ada pedoman yaitu buku ”Primbon” yang ditulis orang jaman dahulu. Buku primbon ini sudah berumur ratusan tahun sebagai pedoman atau acuan untuk menapaki kehidupan ini.

Seperti halnya pindahan rumah di buku ”Kitab Primbon Betal Jemur

Adammakna” dituliskan : “Neptune dina lan pasaran anggone mangkat boyongan kagunggung, banjur kapetung : Pitutur, Demangkandhuwur, Satriyapinayungan, Mantrisinaroja, Macanketawang, Nujupati.”

1. Yen tiba Pitutur, akeh prakara.

2. Yen tiba Demangkandhuwuran, lelaranen

3. Yen tiba Satriya pinayungan, kajen keringan, slamet sinuyudan ing akeh. 4. Yen tiba Mantrisinaroja, didhemeni ing akeh.

5. Yen tiba Macanketawang, kerep padu lan prakaran. 6. Yen tiba Nujupati, tansah duka cipta, sangsara.

Dene neptune dina : Neptune pasaran :

Jumuah 1 Kliwon 1 Saptu 2 Legi 2 Akad 3 Paing 3 Senen 4 Pon 4 Slasa 5 Wage 5 Rabo 6

Kamis 7

Maksudnya neptu hari dan neptu pasaran jika digabungkan akan tersimpul:

1. Pitutur yang berarti banyak menimbulkan perkara

2. Demangkandhuwuran berarti akan sakit-sakitan

3. Satriya Pinayungan berarti dihormati, selamat dan mendapat banyak teman 4. Mantri Sinaroja yang berarti disenangi orang banyak

5. Macan Ketawang berarti sering berselisih dan banyak masalah

6. Nujupati berarti sering berduka cita , hidup sengsara dan penuh dengan kesedihan

Sebagai contoh, apabila ingin menempati rumah baru mengambil hari dan pasaran Sabtu Paing maka perhitungannya adalah Sabtu (2) dan Paing (3), jika di jumlah menjadi (5), maka jatuh pada Macan ketawang, dan kesimpulannya kurang bagus karena sering berselisih dan banyak masalah. Selain adanya boyongan rumah saat membuat rumah baru pun menggunakan

perhitungan-perhitungan waktu untuk mendirikan rumah. Dalam bukunya Arya Ronald (1997:318-319) untuk mendirikan rumah, perlu diperhitungkan saat yang akan berkaitan dengan musim (dengan menggunakan perhitungan jawa), yaitu:

- Kasa (musim 1), masuk musim kemarau baik untuk mendirikan rumah dan akan senantiasa selamat dan tenteram,

- Karo (musim 2), dalam musim kemarau tidak baik untuk mendirikan rumah, karena akan berpengaruh pada penghuninya selalu bertengkar dan juga tidak baik untuk memindahkan rumah,

- Katigo (musim 3), pertengahan musim kemarau tidak baik untuk mendirikan rumah, karena berpengaruh pada timbulnya musibah kebakaran atau pencurian,

- Kapat (musim 4), akhir musim kemarau, hujan belum turun akan baik untuk mendirikan rumah, karena berpengaruh bahwa penghuninya akan disenangi oleh sesama dan selamat sampai dengan keturunannya,

- Kalimo (musim 5) peralihan musim ke musim penghujan baik untuk mendirikan rumah, karena akan berpengaruh bahwa penghuninya akan selamat semua, tetapi tidak baik untuk memindahkan rumah,

- Kanem (musim 6), masuk musim penghujan baik untuk mendirikan rumah, tetapi dapat kurang baik untuk memindahkan rumah,

- Kapitu (musim 7), masa paling banyak hujan tidak baik untuk mendirikan rumah,

- Kawolu (musim 8), musim banyak hujan tidak baik untuk mendirikan rumah, karena akan berpengaruh bahwa penghuninnya akan menerima musibah kematian atau pencurian,

- Kasongo (musim 9), musim hujan sudah mulai berkurang tetapi banyak mengandung petir tidak baik untuk mendirikan rumah, karena akan dapat berpengaruh bahwa penghuninya akan menderita kesusahan,

- Kasepuluh (musim 10), musim jarang ada hujan baik untuk mendirikan rumah, karena akan berpengaruh bahwa penghuninya akan memperoleh kesenangan,

- Destha (musim 11), masuk musim kemarau tidak baik untuk mendirikan rumah, karena akan berpengaruh bahwa penghuninya akan sering menderita sakit dan sulit pengobatannya,

- Sadha (musim 12), masuk musim kemarau tidak baik untuk mendirikan rumah, karena akan berpengaruh bahwa nanti penghuninya akan menerima musibah perceraian.

Selain dari perhitungan tersebut diatas menurut Suwardi Endraswara (2003 : 11) jika orang jawa membangun rumah atau gedung biasanya, di tengah-tengah empat tiang besar (saka guru) diberi tumbal berupa cikal

(benih kelapa) dan sejumlah sajian lain. Tumbal ditanam di dalam tanah, dan jika lantai belum diplester (masih tanah) cikal dapat tumbuh. Cikal tersebut

lalu dipindahkan ke kebun dan dipercaya akan menghasilkan rezeki yang melimpah.

Dalam pindah rumah, ada sesaji yang biasannya disiapkan untuk upacara pindah rumah, diantarannya :

-Tuwuhan : sekumpulan tuwuhan yang dipasang di kanan kiri pintu gapura atau pagar rumah. Macam-macamnya: tebu wulung, janur kuning, cengkir gadhing, daun kluwih, daun andong, daun girang, daun alang-alang, daun opo-opo, daun beringin, daun maja, daun kara dan daun dhadhap serep.

-Suluhan : sekumpulan pisang raja yang dipasang bareng tuwuhan. Sepasang pisang raja suluh dua tandan beserta batangnya, jumlah sisir pada masing-masing tandan sama banyaknya.

-Tumpeng : Tumpeng nasi liwet, 33 telur ayam dan ingkung.

-Kembar Mayang sepasang : melambangkan kehidupaan letakkan di kiri kanan pintu rumah.

-Gunungan : gunungan wayang melambangkan kemauan, tancapkan di tengah sepasang kembar mayang.

-Awer Janur Kuning dibuat berupa rantai, rentangkan menghubungkan kembar mayang kanan dan kiri melewati pangkal batang gunungan, melambangkan pembatas antara suasana lama yang ditinggalkan untuk masuk suasana baru.

-Kembang Setaman : bokor kuningan berisi air jernih dengan kembang talon (mawar, kenanga, melati), melambangkan tanah air seisinya. Taruh di kanan gunungan.

-Jenang Sengkala : Bubur merah putih melambangkan sikap hormat dan eling wong tua dan leluhur, letakkan di kanan gunungan.

-Gedhang ayu : Pisang raja setangkep yang sudah masak, taruh di kanan gunungan

-Suruh Ayu : setangkep suruh ayu temu sore pilihan letakkan di atas gedang ayu.

-Sesajen sederhana : ubarampe berupa tikar, bantal, kendi berisi air yang

diambil dari rumah lama, seperangkat jajan pasar, sapu lidi, pelita yang menyala, kembang setaman dan tungku padupan. (http://sesaji.blogspot.com diakses tanggal 16 april 2014 pukul 10:17)

Dari beberapa sesaji di atas sebagian sesaji ada yang tidak dipakai dikalangan masyarakat saat ini. Dalam pelaksanaan prosesi slup-slupan

adalah ada dua orang yang perlu melakukan ritual ini, satu orang memegang sapu lidi untuk menyapu, dan satu orang lagi memegang lampu minyak dan tempat air. Dua orang ini akan berdoa terlebih dahulu di depan rumah dan setelah berdoa, mulailah mereka mengitari rumah dengan menyapu dan menyirami sekeliling rumah dengan air dari dalam tempatnya tersebut. Setelah selesai, lampu minyak tadi harus menyala selama sehari dan tidak boleh padam. Dan di satukan di salah satu sudut rumah beserta dengan beras, tikar, bumbu dan empon-emponnya. Makna dari kegiatan tersebut ialah

- Air disiram ke sekeliling rumah agar rumah menjadi dingin, anyeb,

tentram. Sapu lidi dan kegiatan menyapu agar semua kotoran bersih, baik dari yang fisik maupun non fisik.

- Lampu agar selalu mendapat sinar terang dalam menjalani hidup.

- Bumbu dapur, sebagai simbol bahwa selalu tersedia bumbu untuk masak dan obat-obatan.

- Kembang setaman, agar rumah dan penghuninya selalu harum, berbuat baik.

- Tikar, simbol bahwa sesungguhnya kita harus satu maksud, satu tujuan yang kesemuanya itu harus di dasari. (http://archive.kaskus.co.id diakses tanggal 23 Juli 14 pukul 11:08)

Dokumen terkait