BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan tentang Perjanjian pada Umumnya
Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanaka suatu hal (R.Subekti, 2002 :1). Menurut J. Satrio, pengertian perjanjian secara umum dibagi menjadi dua, yaitu (J Satrio, 1999:52):
1) Perjanjian dalam arti luas
Yaitu suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki atau (dianggap dikehendaki) oleh para pihak termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain.
2) Perjanjian dalam arti sempit
Yang dimaksud perjanjian dalam hal ini adalah hanya ditujukan kepada hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang tercantum dalam Buku III KUHPerdata.
Dalam Pasal perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut dirasa masih belum begitu sempurna dan mengandung banyak kelemahan. Oleh karena itu beberapa ahli mencoba untuk menyempurnakannya. Dari ketentuan Pasal tersebut menurut Abdulkadir Muhammad kurang memuaskan karena mempunyai kelemahan, yaitu (Abdulkadir Muhammad, 1992 :78-79) :
a) Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dengan adanya p satu
datangnya hanya dari salah satu pihak saja, tidak dari kedua belah
terdapat konsensus antara para pihak. b) Di dalam p
konsensus, merupakan tindakan tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung suatu konsensus. Kata yang lebih tepat
commit to user
c) Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut diatas terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin yang sudah diatur dalam hukum perkawinan. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam hal harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki dalam Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
d) Dalam perumusan pengertian mengenai perjanjian tidak dijelaskan dengan mengenai tujuan mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak mempunyai tujuan yang jelas.
Sehubungan dengan alasan-alasan tersebut diatas, maka menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum harta kekayaan (Abdulkadir Muhammad, 1992 :78).
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai perjanjian tersebut maka dapat Penulis simpulkan bahwa perjanjian merupakan suatu persetujuan yang dilandasi dengan hukum dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri terhadap orang lain/lebih untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum harta kekayaan.
b. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian
Dalam beberapa Pasal Buku III KUHPerdata terdapat di dalamnya asas-asas umum hukum perjanjian antara lain :
1) Asas konsesualisme
Bahwa perjanjian itu terjadi sejak tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perjanjian. Asas konsesualisme ini berkaitan erat dengan asas kebebasan berkontrak. Asas ini diatur dalam dalam Pasal 1320 KUHPerdata (Mariam Darus Badrulzaman, 1997: 108).
2) Asas kebebasan berkontrak
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, mempunyai arti bahwa para pihak dalam perjanjian diberi kebebasan untuk menentukan isi perjanjian yang diadakan, asal tidak bertentangan dengan (Mariam Darus Badrulzaman, 1997: 108):
commit to user
b) Ketertiban umum
c) Kesusilaan, kesopanan, dan kepatutan (Pasal 1339 KUHPerdata)
d) Tidak diperoleh dengan paksaan dan penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata).
3) Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja (R. Subekti, 2002 : 49). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan:
untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata
perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan:
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu
4) Asas Kekuatan mengikat
Asas ini disebut juga asas Pacta Sunt Servanda/asas kepastian hukum. Asas ini tercantum dalam Pasal
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang ula tersebut berarti adanya larangan hukum bagi orang lain untuk mencampuri isi dari suatu perjanjian, selama pelaksanaan perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jadi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sah mengikat atau berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. (H. Salim, 2006 : 10).
commit to user
5) Asas Itikad Baik
Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan -tiap orang dalam membuat suatu perjanjian harus dilakukan
Itikad baik ini dapat dibedakan antara Itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Yang dimaksud itikad baik yang subyektif (subjective goeder trow) yaitu yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik sedangkan itikad baik obyektif (Objektive goeder trow) adalah kalau pendapat umum (jadi obyektif) menganggap tindakan yang begitu adalah bertentangan dengan itikad baik (J.Satrio, 1999:37).
Dalam pelaksanaan perjanjian itu sendiri, itikad baik yang dipakai yakni itikad baik obyektif yang didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat.
c. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu (R.Subekti, 2002:17-19):
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
adalah bahwa dalam perjanjian mutlak diperlukan adanya kesepakatan sebagai sebuah landasan adanya perjanjian. Menurut Subekti dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat setuju atau seiya sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Pada hakekatnya seseorang yang cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang yang cakap untuk berbuat hukum. Menurut Subekti orang yang berbuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Seseorang diperbolehkan membuat suatu perjanjian apabila ia memenuhi persyaratan di dalam undang-undang. Pada dasarnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baligh dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pada umumnya menurut KUHPerdata seseorang dikatakan cakap melakukan
commit to user
perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah menikah walaupun belum mencapai umur 21 tahun dan tidak berada di bawah pengampuan.
c. Mengenai suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu adalah segala sesuatu yang diperjanjikan itu harus jelas terperinci atau sekurang-kurangnya dapat diperinci, sebagaimana diatur dalam Pasal 1333 KUHPerdata, yang berbunyi
mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal
Obyek perjanjian berupa suatu prestasi yang harus dipenuhi dan apa yang diperjanjikan harus jelas, ditentukan jenisnya mengenai jumlah tidak disebut asal dapat dihitung. Perjanjian harus mengenai hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan harus jelas hak dan kewajibannya bagi para pihak apabila timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.
d. Suatu sebab yang halal
Pengertian sebab yang halal dalam Pasal 1337 KUH Perdata yaitu suatu sebab adalah terlarang, apabila di larang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Pada hakekatnya undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab pada pihak dalam mengadakan perjanjian. Undang-undang hanya memperdulikan isi dari perjanjian tersebut yaitu tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukannya itu.
d. Akibat Hukum Perjanjian
commit to user
Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, dinyatakan bahwa perjanjian yang sah mempunyai akibat hukum sebagai berikut :
a) Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
Pihak-pihak yang mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang. Jika ada yang melanggar, maka dianggap sama dengan melanggar undang-undang dan mempunyai akibat hukum yang berupa sanksi yang telah di tetapkan oleh undang-undang
b) Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak dan perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali, dapat di tarik kembali apabila ada persetujuan dari pihak lain atau ada alasan yang cukup kuat menurut undang-undang.
c) Pelaksanaan dengan ikhtikad baik
Itikad baik dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
(1) Ikhtikad baik subyektif, dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan perbuatan hukum yaitu apa yang terletak dalam sikap batin seseorang pada saat melakukan perbuatan hukum. (2) Ikhtikad baik obyektif merupakan pelaksanaan suatu perjanjian
harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat.
Dalam pelaksanaan perjanjian dengan ikhtikad baik, kebiasaan tidak boleh menyampingkan atau menyingkirkan undang-undang dan apabila ia bertentangan dengan undang-undang maka undang-undang yang dipakai. Ini berarti bahwa undang-undang tetap berlaku meskipun sudah ada kebiasaan yang mengatur.
2) Akibat hukum perjanjian yang tidak sah
Menurut R.Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian dapat Penulis simpulkan bahwa perjanjian yang tidak sah dapat terjadi karena perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat subyektif dan obyektif. Dengan demikian akibat hukum dari perjanjian yang tidak sah, yaitu :
commit to user
a) Perjanjian dapat dibatalkan dan batalnya suatu perjanjian harus dimintakan pembatalan kepada pengadilan negeri yang berwenang. Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian, misalnya karena perjanjian itu dibuat dengan paksaan atau para pihaknya masih di bawah umur maka. Oleh karena itu apabila tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak.
b) Perjanjian batal demi hukum dan batalnya suatu perjanjian tidak perlu lagi dimintakan pembatalan karena tanpa adanya pembatalan perjanjian tersebut akan di anggap batal dengan sendirinya/perjanjian dianggap tidak pernah ada. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, misalnya obyek perjanjian tidak ada atau perjanjian tidak didasari dengan itikad baik.
e. Jenis Perjanjian Menurut Bentuknya
Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk perjanjian. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata maka perjanjian menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu (H. Salim. 2008 : 19):
1) Perjanjian Lisan
Perjanjian lisan adalah perjanjian atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 BW). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata.
2) Perjanjian Tertulis
a) Perjanjian formal, adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu, misalnya : perjanjian hibah harus dibuat dengan akta (Pasal 1682 BW). Perjanjian ini dibagi menjadi dua macam, yaitu
commit to user
dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak. Akta yang dibuat oleh Notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT.
b) Perjanjian standar/perjanjian baku.
Istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dari bahasa Belanda, yaitu standaart contract atau standaart voorwarden. Hukum Inggris menyebut perjanjian baku sebagai standa dized contrac, standaart form of contract. Adapun definisi yang diberikan oleh Darus Mariam Badrulzaman mengenai perjanjian baku yang isinya baku dan diberikan dalam bentuk (Mariam Darus Badrulzaman, 1996: 35). Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian baku mengandung pengertian yang lebih sempit dari perjanjian pada umumnya atau merupakan bentuk perjanjian tertulis yang isinya telah dibakukan atau distandarisasi dan umumnya telah dituangkan dalam bentuk formulir atau bentuk perjanjian lain yang sifatnya tertentu.
Perjanjian baku mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dengan bentuk-bentuk perjanjian bernama lainnya, yakni (Mariam Darus Badrulzaman, 1996: 47):
a) Isinya ditetapkan sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih kuat dari debitur.
b) Debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian.
c) Terdorong oleh kebutuhan, debitur terpaksa menerima perjanjian itu.
d) Bentuknya tertulis
e) Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan individu.
Pada prakteknya, perjanjian baku tumbuh sebagai perjanjian tertulis dalam bentuk formulir. Pembuatan perjanjian sejenis yang selalu terjadi berulang-ulang dan teratur serta melibatkan banyak
commit to user
orang, menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian terlebih dahulu dan kemudian dibakukan lalu dicetak dalam jumlah banyak sehingga setiap saat mudah didapat jika dibutuhkan. Perjanjian baku isinya dibuat secara sepihak, dalam arti salah satu pihak telah menentukan isi dan bentuk perjanjian pada satu bentuk pembuatannya, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian baku ada ketidak seimbangan kedudukan para pihak, karena pihak yang tidak membuat perjanjian baku ini biasanya hanya bisa bersikap menerima atau menolak keseluruhan isi perjanjian dan tidak dimungkinkan untuk merubah isi perjanjian tersebut.
f. Berakhirnya Perjanjian
Pada umumnya, suatu perjanjian akan berakhir bilamana tujuan perjanjian itu telah dicapai, dimana masing-masing pihak telah saling menunaikan prestasi yang diperlukan sebagaimana yang mereka kehendaki bersama-sama dalam perjanjian tersebut. Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat juga berakhir karena hal-hal berikut ini (R. Setiawan, 1999 : 68) :
1) Lama waktu perjanjian yang ditentukan oleh para pihak telah terlewati; 2) Batas maksimal berlakunya suatu perjanjian ditentukan oleh
undang-undang;
3) Ditentukan di dalam perjanjian oleh para pihak atau oleh undang-undang, bahwa dengan suatu peristiwa tertentu, maka perjanjian akan berakhir; 4) Adanya pernyataan penghentian oleh salah satu pihak. Misalnya, perjanjian
sewa-menyewa yang waktunya tidak ditentukan di dalam perjanjian. Pernyataan penghentian ini harus dengan memperhatikan tenggang waktu pengakhiran menurut kebiasaan-kebiasaan setempat;
5) Karena putusan hakim;
6) Adanya kesepakatan para pihak karena yang menjadi tujuan bersama telah tercapai.
commit to user
2. Tinjauan tentang Pelayanan Kesehatan terhadap Pasien selaku Konsumen Jasa dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Kaitannya dengan Perjanjian Terapeutik
a. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pelayanan kesehatan merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien sebab pelayanan kesehatan ini terkait dengan tujuan dari perjanjian terapeutik itu sendiri yakni untuk memberikan upaya semaksimal mungkin terhadap penyembuhan penyakit pasien. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang untuk selanjutnya disebut UU Kesehatan secara umum pelayanan kesehatan mencakup Pelayanan kesehatan promotif (kegiatan yang bersifat promosi kesehatan), Pelayanan kesehatan preventif (kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/ penyakit), Pelayanan kesehatan kuratif (penyembuhan penyakit), dan Pelayanan kesehatan rehabilitatif (pemulihan kesehatan).
Masyarakat selaku pihak yang menggunakan sarana kesehatan tentunya juga diberikan hak guna menjamin mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal. Oleh karena itu perlu adanya kesadaran dan pemahaman, baik dari pelaku medis maupun dari pasien itu sendiri tentang hak dan kewajibannya, khususnya mengenai hak pasien.
Healthcare shall be considered free from discrimination if, in the course of delivering healthcare services, patients are not discriminated against on grounds of their social status, political views, origin, nationality, religion, gender, sexual preferences, age, marital status, physical or mental disability, qualification or on any other grounds not related to their state of health. (James Macinko, International Journal for Equality in Health, 2002: Vol. IV).
Terjemahannya adalah sebagai berikut :
Kesehatan akan dianggap bebas dari diskriminasi jika dalam rangka memberikan layanan kesehatan, pasien tidak didiskriminasikan atas dasar status sosial mereka, pandangan politik, asal-usul, kebangsaan, agama, jenis
commit to user
kelamin, preferensi seksual, usia, status perkawinan , cacat fisik atau mental, kualifikasi atau alasan lain yang tidak terkait dengan kondisi kesehatan mereka.
Dalam UU Kesehatan telah diatur di dalam Pasal 4, 5 ayat (1), (2), (3), 7, dan Pasal 8, yang dapat disimpulkan bahwa Setiap orang berhak :
Atas kesehatan
Mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau
Berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.
Memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Dalam kaitannya dengan perjanjian terapeutik, UU Kesehatan telah memberikan dasar pengaturan mengenai Tenaga Kesehatan. Berdasarkan Pasal
diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
Kewenangan lainnya mengenai tenaga kesehatan diatur dalam Pasal 23 ayat (1), (2) yakni Tenaga Kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Kewenangan yang dimaksud disini adalah kewenangan yang diberikan berdasarkan pendidikannya setelah melalui proses registrasi dan pemberian izin dari pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Pasal 24 ayat (1), (2), yakni, Tenaga Kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi,
commit to user
hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
Selain itu, dalam UU Kesehatan juga memberikan perlindungan terhadap pasien yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1), 57 ayat (1), dan 58 ayat (1) yakni:
Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
b. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Dibentuknya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang untuk selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi yang pada dasarnya tentu untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan yang baik kepada masyarakat. Bila dikaitkan dengan perjanjian terapeutik, di dalam UU Praktik Kedokteran ini telah memberikan landasan hukum yang pasti tentang penyelenggaraan Praktik Kedokteran, diantaranya disebutkan dalam Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
selaku pihak penerima layanan kesehatan terjamin hak-haknya dalam mendapatkan layanan kesehatan dari orang yang tepat
commit to user
Dalam pelaksanaan praktik, disebutkan dalam Pasal
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Dalam hal ini perjanjian terapeutik yang terjadi harus timbul berdasarkan kesepakatan dari pihak-pihak yang terkait yakni dokter dan pasien itu sendiri.
c. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang untuk selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 butir (2), dijelaskan bahwa "Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, ntaupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan". Sedangkan butir (5) menyatakan bahwa "Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. "
Dalam UU Perlindungan Konsumen memang tidak diatur dengan jelas mengenai pasien, tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan seorang konsumen. Hal ini dikarenakan hubungan tenaga kesehatan/dokter dan pasien adalah hubungan dalam jasa pemberian pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dengan kata lain bahwa pengertian pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan adalah "Setiap orang pemakai jasa layanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter melalui suatu sarana kesehatan yang disediakan bagi masyarakat."
Dibentuknya UU Perlindungan Konsumen, didasari pemikiran bahwa kedudukan konsumen yang lebih lemah dari pelaku usaha, di samping itu konsumen tidak mengetahui hak-haknya. Sebagaimana pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan yang pada dasarnya memerlukan
commit to user
perlindungan agar para penyelenggara pelayanan kesehatan bisa senantiasa menghormati hak-hak pasien.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tetap berlaku pada jasa pelayanan kesehatan dengan dasar hukum sebagai berikut:
1) Penjelasan UU Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa undang-undang tersebut adalah payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen (an umbrella act); 2) Ketentuan peralihan, Pasal 64 Undang UU Perlindungan Konsumen
-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan atau tidak bertentangan dalam
undang-3) Menganut asas lex specialis derogat lex generalis artinya ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum. UU Kesehatan sebagai lex specialis, UU Perlindungan Konsumen sebagai lex generalis. Artinya jika kedua-duannya mengatur, maka yang berlaku adalah yang bersifat khusus, yaitu UU Kesehatan. Namun jika dalam UU Kesehatan tidak mengatur sendiri, maka undang-undang tentang kesehatan tidak mengatur