• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Tentang Pertimbangan Hakim a. Pengertian Pertimbangan Hakim

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 26-34)

Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (Bambang Poernomo.1988:30).

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung (Mukti Arto.2004 : 140).

Hakikat pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :

1) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

2) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

3) Adanya semua bagian dari petitum Penuntut Umum harus dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan (Mukti Arto.2004 : 142).

b. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum

dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Andi Hamzah.1996 : 94).

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.

Seorang hakim dianggap tahu hukum sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Hakim wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap suatu perkara, harus benar-benar memahami dan menghayati arti amanah dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang dapat menunjukkan perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut relevan terhadap amar atau diktum putusan hakim (Lilik Mulyadi.2007:193).

1) Jenis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan yaitu : a) Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan (Muhammad Rusli.2007:212-220).

Pertimbangan yang bersifat yuridis ini diantaranya yaitu : (USU.2015.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/474 8/1/09E01948 diakses tanggal 19 Oktober 2015).

(1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka pengadilan. Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah syarat-syarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi

identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).

(2) Tuntutan Pidana

Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada terdakwa. Dengan menjelaskan karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut di atas. Penyusunan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum disesuaikan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum sampai pada tuntutannya didalam requisitoir. Penuntut Umum menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang ia dakwakan kepada terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut.

(3) Keterangan Saksi

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP.

Keterangan saksi harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi

yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah testimonium de auditu. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan.

(4) Keterangan Terdakwa

Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e : keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri, hal ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. (5) Barang-barang Bukti

Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa. Dengan adanya barang bukti tentu hakim akan lebih yakin

apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi.

b) Pertimbangan Non Yuridis

Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan, tanpa didukung dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis dari diri terdakwa.

Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana, sedangkan aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis pelaku pada saat melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana, sedangkan aspek kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seseorang melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku seseorang yang melakukan tindak pidana. Dengan demikian hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan pelaku.

Selain itu, seorang hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan apakah terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang di dakwakan kepadanya. Hakim juga harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Dalam hal penjatuhan pidana, hakim dipengaruhi oleh banyak hal yang dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan berat ringannya pemidanaan, baik yang terdapat di dalam maupun di luar undang-undang. Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 197 huruf f KUHAP : Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

2) Faktor yang harus diperhatikan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

Faktor yang harus diperhatikan ada 2 (dua) yaitu: a) Pertimbangan yang Memberatkan

Hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu pertama, sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP). Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: “bilamana seseorang pejabat karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiganya”. Yang kedua yaitu recidive atau pengulangan. KUHP menganut sistem Recidive khusus artinya, pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran) tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu, serta gabungan atau semenloop (orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana). Selain itu alasan memberatkan pidana pada putusan pengadilan juga berupa perbuatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat.

b) Pertimbangan yang Meringankan

Alasan-alasan yang dapat meringankan pidana juga diatur dalam KUHP yaitu :

(1) Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47). (2) Percobaan (Pasal 53 ayat (2) dan (3) );

(3) Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1) dan (2)).

Selain itu hal-hal yang dapat meringankan dalam persidangan adalah sebagai berikut :

(1) Sikap correct dan hormat terdakwa terhadap pengadilan, dan pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan;

(2) Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang berhubungan dengan latar belakang publik;

(3) Dalam persidangan, terdakwa telah menyatakan penyesalan atas perbuatannya.

4. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Persetubuhan Anak

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 26-34)

Dokumen terkait