• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

14

1. Tinjauan Sistem Peradilan Pidana Anak

Sub-sistem dalam sistem peradilan anak mempunyai kekhususan terhadap anak sebagai suatu kajian hukum yang khusus, membutuhkan

aparat-aparat yang secara khusus diberi wewenang untuk

menyelenggarakan proses peradilan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Secara garis besar, aparat peradilan pidana bagi anak yang melakukan kenakalan sama dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang berlaku bagi orang dewasa (ada Polisi, Jaksa Penuntut Umum, Hakim pemutus perkara, dan Lembaga Kemasyarakatan). Akan tetapi bagi anak ada kekhususan-kekhususan yang dipersyaratkan bagi aparat penegak hukum tersebut sehingga sistem peradilan pidana anak adalah sistem peradilan pidana bagi anak.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain :

a.Batasan Umur Anak

Batasan umur anak merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam perkara pidana anak, hal tersebut dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk dalam kategori anak atau bukan (Gatot Supramono.2000 : 19). Batasan umur anak juga sudah disebutkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan.

Pengetian anak menurut beberapa undang-undang antara lain :

(MZ INYONK.2011.http://dunkdaknyonk.blogspot.co.id/2011/03/

pengertian-anak-menurut-beberapa-uu.html diakses tanggal 17

(2)

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Pasal 330 ayat (1) memuat batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan Pendewasaan (venia aetetis).

2)Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak

Pasal 1 angka 2 mendefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun.

3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia 16 (enam belas) tahun.

4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga

Pemasyarakatan

Pasal 1 angka 8 huruf a, b dan c Undang-Undang tentang Lembaga Pemasyarakatan menyebutkan bahwa anak didik pemasyarakatan baik Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil untuk dapat dididik di Lembaga Pemasyarakaan Anak adalah paling tinggi sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia

Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.

6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-undang ini tidak secara eksplisit mengatur tentang batas usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 ayat (5) memberi

(3)

wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang

7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mendefenisikan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

8) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-undang ini juga mendefenisikan bahwa anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun.

Batasan umur yang terdapat dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan menunjukan bahwa yang disebut anak yang dapat diperkarakan secara pidana dibatasi ketika berumur 12 (dua belas) tahun sampai dengan sebelum genap 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka anak dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Walaupun pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, akan tetapi kedua peraturan perundang-undangan tersebut sama-sama mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun. (Penjelasan

(4)

Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).

b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 20012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak membagi anak dalam beberapa pengertian yaitu :

1) Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak :

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindakan pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Disebut anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

2) Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak : Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

3) Pasal 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak :

Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan /atau ia alami sendiri

c. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak

Tujuan sistem peradilan pidana berupa resosialisasi pelaku karena penyelenggaraan peradilan pidana berguna untuk pembinaan pelaku sehingga ketika kembali ke masyarakat sudah menjadi baik, sedangkan tujuan pencegahan kejahatan maksudnya dengan putusan

(5)

pengadilan dapat menjaga pelaku untuk berbuat kejahatan. Tujuan ini lebih bersifat pada fungsinya hukum preventif bagi masyarakat umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana (Barda Nawawi Arief.2007:143).

Substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain mengatur tentang penempatan anak yang menjalani proses peradilan, dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi

yang paling mendasar dalam undang-undang ini adalah

pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan

Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Begitu juga tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak dapat diselesaikan dengan jalur perdamaian perdamaian. Penyidik menerapkan restorative justice dalam proses penyidikan terhadap anak sebagai pelaku (Rahmawati.2015.http:// hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1022 diakses tanggal 22 Februari 2016).

Sedangkan diversi adalah pengalihan penyelesaian Perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

(6)

Undang-Undang mengamanatkan adanya upaya diversi dalam sistem peradilan anak. Oleh karena itu hakim yang diminta oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih memahami segala hal ikhwal anak, agar tidak begitu saja menjatuhkan pidana penjara yang di dalam aturan positif Indonesia adalah sebagai upaya yang terakhir. Beberapa ketentuan mengenai diversi adalah :

1) Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan tujuan Diversi yaitu :

a) Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

b) Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

c) Menghindari Anak dari perampasan kemerdekaan;

d) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

e) Menanam rasa tanggung jawab kepada Anak.

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka terdapat ketentuan lex specialis terhadap tugas dan wewenang kepolisian, kejaksaan dan hakim. Salah satu yang khas dan membedakan adalah bentuk Diversi. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri wajib di upayakan Diversi oleh

aparat penegak hukum. Diversi sebagaimana dimaksud

dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

2) Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai diversi, yaitu :

(7)

a) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orangtua/walinya, korban dan/atau

orangtua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan

Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

b) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.

c) Proses Diversi wajib memperhatikan : kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

3) Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan :

(1) Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam

melakukan Diversi harus mempertimbangkan :

a. Kategori tindak pidana;

b. Umur Anak;

c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan;

d. Dukungan lingkungan keluarga dan

masyarakat.

Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal proses diversi, jika tidak dapat menghasilkan kesepakatan maka diversi tidak dilaksanakan. Oleh karena itu maka akan diberlakukan hukum formil yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam persidangan.

(8)

d. Asas-asas dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan asas-asas dalam sistem peradilan sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Sstem Peradilan Anak (M.Nasir Djamil.2013:131-132), antara lain :

1) Asas perlindungan, meliputi kegiatan yang besifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan/ atau psikis

2) Asas keadilan, adalah bahwa setiap penyelesaian perkara anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak. Penyelesaian suatu perkara anak tidak boleh melanggar hak dari anak tersebut 3) Asas nondiskriminasi, adalah tidak adanya perlakuan yang

berbeda pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik dan/mental

4) Asas kepentingan terbaik bagi anak adalah segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak

5) Asas penghargaan terhadap pendapat anak, adalah

penghormatan atas hak anak untuk berpatisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal yang mempengaruhi anak

6) Asas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh semua pihak baik Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga maupun orang tua

7) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan

8) Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi

(9)

Tujuan dari adanya pengaturan mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak pada dasarnya adalah supaya hak-hak anak tetap terjamin dan anak tidak kehilangan masa depannya yang masih panjang. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga sudah mengatur beberapa hal antara lain mengenai :

e. Hak-Hak Anak Dalam Proses Pemeriksaan Persidangan :

1) Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa :

Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak atas :

a) diperlakukan secara manusiawi dengan

memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

b) dipisahkan dari orang dewasa;

c) memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain

secara efektif;

d) melakukan kegiatan rekreasional;

e) bebas dari penyiksaan, penghukuman atau

perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f) tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur

hidup;

g) tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

h) memperoleh keadilan di muka pengadilan

anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i) tidak dipublikasikan identitasnya;

j) memperoleh pendampingan orang tua/Wali

(10)

k) memperoleh advokasi sosial;

l) memperoleh kehidupan pribadi;

m) memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak

cacat;

n) memperoleh pendidikan;

o) memperoleh pelayananan kesehatan; dan

p) memperoleh hak lain sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Didalam peradilan anak terdapat aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang tertuju pada kepentingan anak yaitu segala aktivitas yang dilakukan polisi, jaksa, hakim, dan pejabat lain harus didasarkan pada prinsip demi kesejahteraan anak dan kepentingan anak (Sudarto.1981:129).

f. Sanksi Hukum Bagi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum

Seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 (empat belas) tahun dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 (lima belas) tahun ke atas.

1) Pasal 82 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan tindakan yang dapat dikenakan pada anak yaitu:

(11)

a. pengembalian kepada orang tua/Wali;

b. penyerahan kepada seseorang;

c. perawatan di rumah sakit jiwa;

d. perawatan di LPKS;

e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;

f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana.

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Anak juga mengatur mengenai sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pasal 71 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pidana Pokok terdiri atas :

(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas :

a. Pidana peringatan

b. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan

(12)

c. Pelatihan kerja

d. Pembinaan dalam lembaga

e. Penjara.

(2) Pidana Tambahan terdiri atas :

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh

dari tindak pidana; atau

b. Kewajiban adat.

(3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana

kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

(4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang

melanggar harkat dan martabat Anak.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Tinjauan Tentang Pembuktian dan Alat Bukti a. Pengertian Pembuktian

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap.1988: 793).

Penuntut Umum, hakim, terdakwa maupun penasehat hukumnya tidak boleh menggunakan bukti di luar apa yang telah digariskan undang-undang. Dalam hal ini Penuntut Umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan segala kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

(13)

Terdakwa atau penasehat hukumnya juga mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan Penuntut Umum sesuai dengan cara yang dibenarkan undang-undang. Cara tersebut dapat berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan dengan saksi yang meringankan atau saksi de charge. Hakim sendiri harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ada.

Pasal 183 KUHAP menyebutkan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Pasal 184 ayat (1) telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1) tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.

1) Jenis Alat Bukti yang Sah Menurut Pasal 184 KUHAP

a) Keterangan Saksi

Pengertian Saksi Pasal 1 butir 26 KUHAP : Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Pengertian keterangan saksi Pasal 1 butir 27 KUHAP : Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara

(14)

pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Perluasan pengertian keterangan saksi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUVIII/ 2010, definisi keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia melihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Aturan-aturan khusus tentang keterangan saksi hanya diatur di dalam 1 (satu) pasal saja, yaitu Pasal 185 KUHAP, yang antara lain menjelaskan apa yang dimaksud dengan keterangan saksi, bagaimana tentang kekuatan pembuktiannya.

Pasal 185 KUHAP :

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah: apa yang saksi nyatakan di sidang peradilan.

(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya.

(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat

(15)

digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungan satu dengan yang lainnya sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

(5) Baik berpendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang

saksi, hakim harus bersungguh-sungguh

memperhatikan :

a) Persesuaian antara saksi satu dengan yang lainnya

b) Persesuaian saksi dengan alat bukti lainnya. c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi

untuk memberi keterangan yang tertentu. d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala

sesuatu yang pada umumnya dapat

mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Hukum acara pidana juga mengatur mengenai siapa yang tidak dapat diambil keterangannya sebagai saksi adalah :

(16)

(a) Mereka yang relatif tidak berwenang memberi kesaksian, adalah diatur dalam Pasal 168 KUHAP kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi yaitu :

(1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

(2) Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu dan saudara bapak, juga

mereka yang mempunyai hubungan

karena perkawinan dan anak-anak saudara

terdakwa sampai derajat ketiga;

(3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah

bercerai atau yang bersama-sama sebagai

terdakwa.

Orang-orang yang tersebut dalam Pasal 168 KUHAP disebut Relatif tidak berwenang (Relatif Onbevoegd) untuk memberi kesaksian, karena jika Penuntut Umum dan terdakwa serta orang-orang

tersebut menyetujuinya, maka mereka dapat

didengar sebagai saksi (Pasal 169 (1) KUHAP). Namun demikian, walaupun ketiga golongan tersebut tidak setuju untuk memberi kesaksian, yaitu Penuntut Umum, Terdakwa, dan orang-orang tersebut di atas, hakim masih bisa memutuskan untuk mendengar mereka tetapi hanya untuk memberi keterangan saja tanpa sumpah.

(17)

Pasal 171 KUHAP, yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah :

(1)Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun

dan belum pernah kawin

(2) Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali

Mengingat bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila, meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut Psychopat, mereka ini tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, maka mereka tidak diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.

Para saksi menurut Pasal 265 ayat (3) HIR dan

Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum didengar

keterangannya, harus disumpah lebih dahulu menurut cara yang ditetapkan oleh agamanya masing-masing, bahwa mereka akan memberikan keterangan yang mengandung

kebenaran dan tidak lain dari pada kebenaran.

Penyumpahan semacam ini dilakukan secara

“Promissoris” (secara sanggup berbicara benar) lain cara ialah yang dinamakan, secara “Assertoris” (menempatkan kebenaran pembicaraan yang telah lalu), yaitu saksi didengar terlebih dahulu keterangannya kemudian baru disumpah bahwa yang telah diceritakan itu adalah benar. b) Keterangan ahli

Pengertian keterangan ahli Pasal 1 butir 28 KUHAP : Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh

(18)

seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Keterangan Ahli diatur dalam Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli ialah: apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli pada hakikatnya merupakan keterangan pihak ketiga untuk memperoleh kebenaran sejati, ia dijadikan saksi karena keahliannya bukan ia terlibat dalam suatu perkara yang sedang disidangkan. Hakim karena jabatan atau karena permintaan pihak-pihak dapat meminta bantuan seseorang atau lebih saksi saksi ahli, keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus dan obyektif dengan maksud membuat terang suatu perkara atau guna menambah pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal tertentu.

Kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah sebagai alat bukti bebas artinya diserahkan kepada kebijaksanaan penilaian hakim, hakim bebas untuk menerima, percaya, atau tidak terhadap keterangan ahli.

c) Surat

Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan dengan pemeriksaan saksi-saksi dan persidangan terdakwa, pada saat pemeriksaan saksi, ditanyakan mengenai surat-surat yang ada keterkaitan dengan saksi yang bersangkutan dan kepada terdakwa pada saat memeriksa terdakwa.

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, dalam hal ini diatur dalam Pasal 187 KUHAP.

(19)

Pasal 187 KUHAP menyebutkan :

(1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya. Yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.

(2) Surat yang dibuat menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

(3) Surat dari seseorang keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada

hubungannya dengan isi dari alat

pembuktian lain.

Surat dapat digunakan sebagai alat bukti dan mempunyai nilai pembuktian apabila surat tersebut dibuat sesuai dengan apa yang yang diharuskan oleh undang-undang.

(20)

d) Petunjuk

Alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188 KUHAP yang berbunyi :

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainya, baik antara yang satu yang lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

hanya dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi; b. Surat

c. Keterangan terdakwa.

(3) Penilaian atas penilaian pembuktian dari suatu

petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Berdasarkan pasal di atas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain.

e) Keterangan Terdakwa.

Penjelasan mengenai Keterangan Terdakwa terdapat dalam Pasal 189 KUHAP :

(21)

(1) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang

dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup dengan untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

2) Prinsip-prinsip Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana

Pembuktian pidana memiliki beberapa prinsip yang harus diketahui, yaitu:

a) Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui Tidak Perlu

Dibuktikan

Diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang pada intinya, hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Notoire feiten adalah suatu kesimpulan umum yang didasarkan pada pengalaman umum bahwa suatu keadaan atau peristiwa akan senantiasa menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu demikian. Hanya dengan notoire feiten tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. Hakim tidak boleh yakin akan kesalahan terdakwa.

(22)

b) Menjadi Saksi adalah Kewajiban

Syarat seseorang wajib menjadi saksi adalah orang yang

dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

c) Satu Saksi Bukan Saksi (unus testis nullus testis)

Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi. Menurut

undang-undang, menjadi saksi adalah wajib dan

berdasarkan pengalaman praktik, keterangan saksi

merupakan alat bukti yang paling banyak atau dominan dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Hampir tidak ada perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa yang pembuktiannya tidak dikuatkan dengan alat bukti keterangan saksi yang diberikan oleh satu orang saksi tanpa dikuatkan atau didukung saksi lain atau alat bukti lain yang sah. Kesaksian yang berdiri sendiri yang demikian itu tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan untuk itu hakim harus membebaskan terdakwa dari tuntutan Penuntut Umum.

d) Keterangan Terdakwa hanya mengikat dirinya

Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa tidak boleh digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa lainnya.

(23)

e) Pengakuan Terdakwa tidak Menghapus Kewajiban Penuntut Umum Membuktikan Kesalahan Terdakwa Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Pasal 184 ayat (4) KUHAP menyatakan keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.

3) Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana

Sistem atau teori pembuktian dalam hukum acara pidana menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada. Adapun sistem atau teori pembuktian sebagai berikut:

a) Sistem Positif (Positif Wettelijk)

Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang (M. Yahya Harahap.2003: 278).

Sistem ini berdasarkan undang-undang mengatur jenis alat-alat bukti dan cara mempergunakan atau menentukan kekuatan pembuktian. Dengan demikan walaupun hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa.

(24)

Sistem ini memiliki kebaikan karena bersifat obyektif, hakim berkewajiban untuk mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian yang telah ditentukan undang-undang. Dengan pembuktian yang obyektif maka hakim tidak perlu menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya.

b) Sistem Negatif (Negatief Wettelijk)

Sistem Negatief Wettelijk memadukan unsur

subektif dan obyektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu unsur dari keduannya tidak ada maka tidak akan cukup untuk mendukung keterbuktian suatu kesalahan terdakwa.

Pembuktian menurut sistem ini seorang hakim ditentukan/dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat-alat bukti tertentu telah ditentukan undang-undang. Hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara menilai/menggunakan alat bukti tersebut pun telah diatur oleh undang-undang. Hakim harus mempunyai keyakinan atas adanya “kebenaran”.

Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime. Untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa menurut sistem ini, terdapat 2 (dua) komponen, yaitu:

(25)

(1) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. (2) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas

cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Sistem pembuktian negatif ini dianut oleh KUHAP yakni Pasal 183 : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya”.

Kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan pada KUHAP, yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Andi Hamzah.2009: 254).

c) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim

Berdasarkan Alasan Yang Logis (Conviction Rasionee) Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu

kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada

peraturan-peraturan pembuktian tertentu (Andi

Hamzah.2008:253). Sistem pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim tetap memiliki batas dimana setiap keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasan-alasan yang logis dalam menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang

(26)

mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa sehingga bisa mengambil suatu putusan.

d) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Melulu (Conviction In time)

Suatu pengakuan terdakwa tidak menjamin bahwa

terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang

didakwakan. Menurut Andi Hamzah teori Conviction In Time atau disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu merupakan teori yang berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang. Teori berdasar keyakinan hakim melulu didasarkan kepada keyakinan hati nurani hakim sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang (Andi Hamzah.2008: 252).

Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dapat diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa (M. Yahya Harahap.2001: 277).

3. Tinjauan Tentang Pertimbangan Hakim

a. Pengertian Pertimbangan Hakim

Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (Bambang Poernomo.1988:30).

(27)

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung (Mukti Arto.2004 : 140).

Hakikat pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :

1) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal

2) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

3) Adanya semua bagian dari petitum Penuntut Umum harus dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan (Mukti Arto.2004 : 142).

b. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum

(28)

dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Andi Hamzah.1996 : 94).

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.

Seorang hakim dianggap tahu hukum sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Hakim wajib

(29)

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap suatu perkara, harus benar-benar memahami dan menghayati arti amanah dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang dapat menunjukkan perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut relevan terhadap amar atau diktum putusan hakim (Lilik Mulyadi.2007:193).

1) Jenis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan yaitu :

a) Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan (Muhammad Rusli.2007:212-220).

Pertimbangan yang bersifat yuridis ini diantaranya yaitu : (USU.2015.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/474 8/1/09E01948 diakses tanggal 19 Oktober 2015).

(1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka pengadilan. Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah syarat-syarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi

(30)

identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).

(2) Tuntutan Pidana

Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada terdakwa. Dengan menjelaskan karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut di atas. Penyusunan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum disesuaikan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum sampai pada tuntutannya didalam requisitoir. Penuntut Umum menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang ia dakwakan kepada terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut.

(3) Keterangan Saksi

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP.

Keterangan saksi harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi

(31)

yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah testimonium de auditu. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan.

(4) Keterangan Terdakwa

Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e : keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri, hal ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya.

(5) Barang-barang Bukti

Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi,

keterangan ahli, dan keterangan terdakwa untuk

membuktikan kesalahan terdakwa.

Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa. Dengan adanya barang bukti tentu hakim akan lebih yakin

(32)

apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi.

b) Pertimbangan Non Yuridis

Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk

menentukan nilai keadilan, tanpa didukung dengan

pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis dari diri terdakwa.

Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana, sedangkan aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis pelaku pada saat melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana, sedangkan aspek kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seseorang melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku seseorang yang melakukan tindak pidana. Dengan demikian hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan pelaku.

Selain itu, seorang hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan apakah terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang di dakwakan kepadanya. Hakim juga harus

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan

meringankan terdakwa. Dalam hal penjatuhan pidana, hakim dipengaruhi oleh banyak hal yang dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan berat ringannya pemidanaan, baik yang terdapat di dalam maupun di luar undang-undang. Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 197 huruf f KUHAP : Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

(33)

pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

2) Faktor yang harus diperhatikan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

Faktor yang harus diperhatikan ada 2 (dua) yaitu:

a) Pertimbangan yang Memberatkan

Hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu pertama, sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP). Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: “bilamana seseorang pejabat karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiganya”. Yang kedua yaitu recidive atau pengulangan. KUHP menganut sistem Recidive khusus artinya, pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran) tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu, serta gabungan atau semenloop (orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana). Selain itu alasan memberatkan pidana pada putusan pengadilan juga berupa perbuatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat.

b) Pertimbangan yang Meringankan

Alasan-alasan yang dapat meringankan pidana juga diatur dalam KUHP yaitu :

(1) Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47). (2) Percobaan (Pasal 53 ayat (2) dan (3) );

(34)

(3) Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1) dan (2)).

Selain itu hal-hal yang dapat meringankan dalam persidangan adalah sebagai berikut :

(1) Sikap correct dan hormat terdakwa terhadap

pengadilan, dan pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan;

(2) Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang berhubungan dengan latar belakang publik;

(3) Dalam persidangan, terdakwa telah menyatakan

penyesalan atas perbuatannya.

4. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Persetubuhan Anak

a. Pengertian Persetubuhan

Pengertian persetubuhan adalah tindakan memasukan kemaluan laki laki kedalam kemaluan perempuan yang pada umumnya menimbulkan kehamilan, dengan kata lain bilamana kemaluan itu mengeluarkan air mani di dalam kemaluan perempuan (Andi Zainal Abidin Farid.2007:339).

Menurut kalangan ahli hukum suatu persetubuhan tidak harus diakhiri dengan ejakulasi. Bahkan penetrasi yang ringan, yaitu masuknya kepala zakar diantara kedua bibir luar, sudah dapat dianggap sebagai tindakan persetubuhan (Dahlan Sofwan.2000: 108). Persetubuhan dibagi menjadi dua macam yaitu persetubuhan yang dilakukan secara legal dan tak legal. Persetubuhan terhadap wanita dianggap legal jika wanita itu sudah cukup umur, tidak dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki dan dilakukan dengan izinnya atau persetujuannya. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia,

(35)

seorang wanita dianggap cukup umur dalam soal persetubuhan jika ia sudah genap berumur 15 (lima belas) tahun.

Sedangkan yang dimaksud dengan persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur ialah persetubuhan dengan wanita bukan istrinya yang umurnya belum genap 15 (lima belas) tahun.

b. Pengaturan Sanksi Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak

Tindak pidana kesusilaan yang melibatkan anak di dalamnya diatur dalam Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur tentang tindak pidana persetubuhan terhadap seorang anak.

Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakkan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(36)

Hukum Pidana Indonesia berlaku asas “lex specialis derogat legi generalis” menurut asas ini peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang umum. Oleh karena itu, dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang mengatur mengenai persetubuhan pada anak yaitu Pasal 81 maka ketentuan didalam Pasal 287 KUHP yang mengatur mengenai persetubuhan pada anak tidak dapat lagi diterapkan.

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Perkara Persetubuhan Oleh Anak Terhadap Anak

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Alat Bukti Pasal 184 KUHAP Pembuktian KUHAP Pertimbangan Hakim

Pasal 183 KUHAP joPasal 193 (1) KUHAP

Kerja Sosial

Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak Pidana Penjara

Pasal 71 (1) huruf e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak

Putusan Nomor 2/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Dps

(37)

Keterangan:

Persetubuhan anak adalah persetubuhan yang dilakukan terhadap anak yang berusia di bawah 18 tahun. Tindak Pidana persetubuhan disebut sebagai tindak pidana persetubuhan anak dilihat berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di pengadilan. Alat bukti tersebut diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Pada kasus dalam Putusan Nomor 2/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Dps alat-alat bukti yang terungkap di pengadilan yaitu keterangan dari 3 (tiga) orang saksi. Saksi I yaitu Saksi Korban, saksi II yaitu Saksi AAPIA (dalam kasus ini saksi merupakan teman dekat saksi I), dan saksi III yaitu Saksi AANDN (yang merupakan ayah kandung dari saksi I). Keterangan ketiga saksi tersebut membenarkan bahwa Terdakwa melakukan persetubuhan terhadap Saksi Korban.

Terdapat juga alat-alat bukti surat berupa Kutipan Akta Kelahiran Nomor 5171.L.T.05012012.0117 tertanggal 19 Januari 2012 umur dari Saksi Korban adalah 13 (tiga belas) tahun dan 10 (sepuluh) bulan saat disetubuhi oleh terdakwa. Selain itu, hasil Visum Et Repertum dari RSUP Sanglah Denpasar Nomor UK.01.15/IV.E.19/VER/36/2015 a.n. Anak Agung Putri Ditami Suryningrum Als. Saksi Korban tanggal 24 Januari 2015. Dan yang terakhir alat bukti berupa keterangan terdakwa.

Berdasarkan persesuaian alat-alat bukti yang disebutkan diatas, dalam persidangan dilakukan pembuktian untuk menguatkan dakwaan yang dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan KUHAP. Setelah dilakukan pembuktian hakim mengeluarkan putusannya dalam Putusan Nomor 2/ Pid.Sus.Anak/2015/ PN.Dps yang menjatuhkan hukuman bagi terdakwa yaitu Pidana Penjara sesuai dengan Pasal 71 (1) huruf e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Kerja Sosial sesuai dengan Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kitab qiroati adalah suatu pembelajaran membaca Al-Qur’an yang langsung memasukkan dan mempraktekkan

Penggunaan arus pengelasan yang berbeda akan mempengaruhi hasil las.Perbedaan hasil di tentukan pada tingkat besar penggunaan arus, jika arus yang di berikan rendah

Telekomunikasi (Telkom) Akses Jambi dirasakan menyulitkan calon pelanggan baru dalam proses pelayanan untuk pemasangan telepon, dan modem speedy, selain itu informasi

Hanya 3 dari 28 buah single classifier terjadi peningkatan akurasi yang signifikan berdasarkan t-test 99% significance dari nilai akurasi multi-classifiers yang

Menurut Yamin dan Sanan (2010:1) anak sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia adalah sebait ungkapan yang sarat makna dan merupakan semboyan dalam pengasuhan, pendidikan dan

Untuk penggunaan bahan baku selama satu minggu berbeda, untuk hari senin dan jumat lebih banyak menggunakan bahan baku yaitu, sebanyak 11 Kg kacang kedelai

Grafik 1 Diagram Batang Strategi Koping Siswa Kelas XII SMAN Jatinangor yang akan Menghadapi Ujian Nasional 2012 secara keseluruhan Dari grafik 1 di atas maka dapat

Komunikasi lisan terhadap arahan dilihat sebagai proses penyampaian maklumat daripada guru kepada murid selaku penerima.Berdasarkan kajian yang telah dilakukan ini, terdapat tiga