• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian

a. Pengertian Pembuktian

M. Yahya Harahap berpendapat, pembuktian adalah ketentuan- ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh Undang-Undang dan boleh dipergunakan Hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M.

Yahya Harahap, 1988: 793).

Berdasarkan pengertian yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup pembuktian meliputi 3 hal, yaitu:

1) Ketentuan atau aturan hukum yang berisi penggarisan dan pedoman cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan Terdakwa, dikenal juga dengan sistem atau teori pembuktian.

2) Ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti yang dibenarkan dan diakui Undang-Undang serta yang boleh digunakan Hakim membuktikan kesalahan.

3) Ketentuan yang mengatur cara menggunakan dan menilai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti.

Ketiga hal inilah yang merupakan obyek dan inti pembahasan hukum pembuktian. Hukum pembuktian memegang peranan penting dalam proses hukum acara pidana dan untuk sebab itu mutlak harus dikuasai oleh semua pejabat pada semua tingkat pemeriksaan, khususnya Penuntut Umum yang berwenang menuntut dan dibebani kewajiban membuktikan kesalahan Terdakwa. Kegagalan Penuntut Umum dalam tugas penuntutan banyak tergantung pada ketidakmampuan menguasai teknik pembuktian.

(2)

commit to user

Penuntut Umum terikat pada pasal ketentuan dan penilai alat bukti yang ditentukan Undang-Undang. Penuntut Umum, Hakim, Terdakwa maupun penasehat hukumnya tidak boleh sekehendak hati dengan kemauannya sendiri dalam menggunakan dan menilai alat bukti di luar apa yang telah digariskan Undang-Undang. Dalam hal ini Penuntut Umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan segala kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa. Pada prinsipnya, Terdakwa atau penasehat hukumnya mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan Penuntut Umum, sesuai dengan cara yang dibenarkan Undang-Undang. Cara tersebut dapat berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan dengan saksi yang meringankan atau saksi de charge. Hakim sendiri harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ada.

b. Asas-Asas Pembuktian

Pembuktian pidana memiliki beberapa prinsip yang harus diketahui, yaitu:

1) Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui Tidak Perlu Dibuktikan Prinsip ini terdapat dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Notoire feiten adalah suatu kesimpulan umum yang didasarkan pada pengalaman umum bahwa suatu keadaan atau peristiwa akan senantiasa menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu demikian. Hanya dengan notoire feiten tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut Undang-Undang. Hakim tidak boleh yakin akan kesalahan Terdakwa.

2) Menjadi Saksi adalah Kewajiban

Pasal 1 butir 26 KUHAP yang berbunyi “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,

(3)

commit to user

penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Syarat seseorang wajib menjadi saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

3) Satu Saksi Bukan Alat Bukti

Prinsip ini terkait dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan Terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis nullus testis yang artinya satu saksi bukan alat bukti. Menurut Undang-Undang, menjadi saksi adalah wajib dan berdasarkan pengalaman praktik, keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling banyak atau dominan dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Hampir tidak ada perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa yang pembuktiannya tidak dikuatkan dengan alat bukti keterangan saksi yang diberikan oleh satu orang saksi tanpa dikuatkan atau didukung saksi lain atau alat bukti lain yang sah.

Kesaksian yang berdiri sendiri yang demikian itu tidak cukup membuktikan kesalahan Terdakwa dan untuk itu Hakim harus membebaskan Terdakwa dari tuntutan Penuntut Umum.

4) Pengakuan Terdakwa tidak Menghapus Kewajiban Penuntut Umum Membuktikan Kesalahan Terdakwa

Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Pasal 184 ayat (4) KUHAP menyatakan keterangan Terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.

(4)

commit to user c. Teori atau Sistem Pembuktian

Pembuktian tentang benar tidaknya Terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting di acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana hakikatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (Andi Hamzah, 2009:

249).

Terdapat beberapa sistem atau teori pembuktian dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, antara lain sebagai berikut:

1) Sistem Keyakinan (Conviction Intime)

Sistem keyakinan menyatakan bahwa Hakim tidak terikatatas alat-alat bukti apapun. Putusan diserahkan kepada kebijaksanaan Hakim, walaupun Hakim secara logika mempunyai alasan-alasan tetapi Hakim tersebut tidak diwajibkan menyebutkan alasan-alasan tersebut. Penilaian berdasarkan sistem ini betul-betul tergantung pada penilaian subyektif dari Hakim tersebut, kecuali atas sistem ini adalah bahwa pengawasan terhadap putusan Hakim sangat teliti (Leden Marpaung, 2011: 26).

M. Yahya Harahap berpendapat, conviction intime menentukan salah tidaknya Terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinanHakim. Keyakinan Hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan Terdakwa. Keyakinan Hakim dapat diambil dan disimpulkan Hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan Hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan Terdakwa (M. Yahya Harahap, 2001: 277).

Sedangkan Andi Hamzah berpendapat conviction intime atau disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan Hakim melulu merupakan teori yang berlawanan dengan teori pembuktian menurut Undang-

(5)

commit to user

Undang. Teori berdasar keyakinan Hakim melulu didasarkan kepada keyakinan hati nurani Hakim sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam Undang-Undang (Andi Hamzah, 2009: 252).

2) Sistem Positif (Positif Wettelijk)

Sistem ini berdasarkan Undang-Undang mengatur jenis alat- alat bukti dan cara mempergunakan atau menentukan kekuatan pembuktian. Keyakinan Hakim dalam hal ini tidak boleh berperan (Leden Marpaung, 2011: 26).

Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif,

“keyakinan Hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan Terdakwa. Keyakinan Hakim tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya Terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang (M. Yahya Harahap, 2003: 278).

D. Simons berpendapat yang dikutip oleh Andi Hamzah (Andi Hamzah, 2008: 251):

“Sistem atau teori pembuktian berdasar Undang- Undang secara positif (positif wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif Hakim dan mengikat Hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana”.

Satu segi sistem ini memiliki kebaikan karena bersifat obyektif dimana Hakim dituntut untuk mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya Terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian yang telah ditentukan Undang-Undang. Dengan pembuktian yang obyektif maka Hakim tidak perlu menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang tidak diletakkan di bawah kewenangan Hakim tetapi di atas kewenangan Undang-Undang yang berlandaskan asas: seseorang baru dapat dihukum dan dipidana jika

(6)

commit to user

apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

3) Sistem Negatif (Negatief Wettelijk)

Hakim ditentukan atau dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat-alat bukti tertentu telah ditentukan Undang-Undang.

Hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara menilai/ menggunakan alat bukti tersebut pun telah diatur oleh Undang-Undang. Hakim harus mempunyai keyakinan atas adanya

“kebenaran”.

M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime. Untuk menentukan salah tidaknya seorang Terdakwa menurut sistem ini, terdapat 2 (dua) komponen, yaitu:

a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

b) Dan keyakinan Hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif’ dalam menentukan salah atau tidaknya Terdakwa.

Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan Terdakwa (M. Yahya Harahap, 2003: 279).

Sistem pembuktian negatif ini dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana) yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

(7)

commit to user

benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwa yang bersalah melakukannya”.

Kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada Undang-Undang (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan Hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Andi Hamzah, 2009: 254).

4) Sistem Pembuktian Bebas

Sistem ini membebaskan Hakim dari keterikatan alat-alat bukti. Hakim menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” atas dasar alasan-alasan yang logis yang dianut dalam putusan. Jadi, keyakinan Hakim tersebut disertai alasan-alasan yang berdasarkan logika (Leden Marpaung, 2011: 28).

Hakimdapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan Hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi (Andi Hamzah, 2008: 253).

d. Beban Pembuktian

Salah satu asas hukum peradilan adalah yang disebut asas praduga tak bersalah (presemption of innocence) yang dirumuskan pada butir c penjelasan umum KUHAP sebagai berikut “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Tersangka atau Terdakwa dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahannya.

Kesalahan Tersangka atau Terdakwa berdasarkan pendapat pengadilan sebagaimana diatur oleh Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi

(8)

commit to user

sebagai berikut “jika pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Pendapat pengadilan yang tercantum dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP, berdasarkan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali bila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah diperoleh berdasarkan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedang pemeriksaan di persidangan didasarkan atas surat dakwaan yang dirumuskan Penuntut Umum yang dilimpahkan ke pengadilan. Hal tersebut berdasarkan Pasal 143 ayat (1) KUHAP Yang berbunyi Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.

Perkara yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri adalah yang menurut pendapat Penuntut Umum memenuhi syarat. Hal ini berarti menurut pendapat Penuntut Umum perbuatan/ delik yang didakwakan kepada Terdakwa telah didukung oleh alat bukti yang cukup. Secara logika, karena Penuntut Umum yang mendakwakan yang didakwakannya. Akan tetapi, secara kenyataan karena alat bukti sah yang tercantum pada berkas perkara bukan ia yang mempersiapkan (dipersiapkan oleh penyidik) maka jika pada pemeriksaan di persidangan ada perubahan-perubahan tentang nilai pembuktian adalah hal yang tidak wajar jika dipertanggung jawabkan kepadanya

Perkara yang hanya didukung 1 (satu) orang saksi dan keterangan Terdakwa yang mengakui perbuatan pemeriksaan di persidangan berubah keterangannya maka Penuntut Umum seharusnya menuntut agar Terdakwa dibebaskan, hal ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan KUHAP. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

(9)

commit to user

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada Pasal 30 ayat (1) huruf e tercantum “Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelakasanaanya dikoordinasikan dengan penyidik”. Maka Penuntut Umum dapat lebih cermat/ teliti tentang “alat bukti sah”

tersebut.

Berdasarkan Pasal 66 KUHAP yang berbunyi “Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Demikian juga Penuntut Umum, berdasarkan Pasal 129 KUHAP yang bunyinya “Setelah Penuntut Umum menerima atau menerima kembali hasil penyelidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan”.

Pasal 138 ayat (2) yang berbunyi:

“Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara-perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk melengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum”.

Berdasarkan kedua rumusan Pasal 139 KUHAP dan Pasal 138 ayat (2) dapat diketahui bahwa beban pembuktian pada hakikatnya dilaksanakan oleh “penyidik” yang berupaya maksimal untuk mengumpulkan alat bukti sah yang selanjutnya diteliti oleh Penuntut Umum yang akan menentukan kelanjutan proses perkara tersebut apakah ditutup demi kepentinagn hukum atau dilimpahkan ke Pengadilan Negeri atau dilakukan sendiri pemeriksaan tambahan (Leden Marpaung, 2011:

23-25).

(10)

commit to user 2. Tinjauan Umum tentang Alat Bukti

Alat-alat bukti yang sah yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:

a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan Terdakwa.

Pasal 184 ayat (1) telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Diluar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1) tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.

Selanjutnya akan diuraikan kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut, yaitu:

a. Keterangan Saksi

Pengertian keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah sebagai berikut “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu”.

Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Pengecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP (Andi Hamzah, 2009:

260):

1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari Terdakwa atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa;

2) Saudara dari Terdakwa atau bersama-sama sebagai Terdakwa, saudara ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan

(11)

commit to user

karena perkawinan dan anak-anak saudara Terdakwa sampai derajat ketiga;

3) Suami atau istri Terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa.

Keterangan saksi sebagai alat bukti harus dibedakan apakah termasuk keterangan saksi sebagaimana dicantumkan Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP sebagai “petunjuk” sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP. Hal ini tercantum pada Pasal 185 ayat (7) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut (Leden Marpaung, 2011:

29) “Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu sama lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain”.

Mengenai kekuatan pembuktian saksi sebagai alat bukti yang sah dapat dijelaskan sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 2003: 294-295):

1) Mempunyai Kekuatan Pembuktian Bebas

Alat bukti kesaksian “tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna” (volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas”.

Oleh karena itu, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau dengan singkat dapat dikatakan alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan “tidak sempurna” dan tidak

“menentukan” atau “tidak mengikat”.

2) Nilai Kekuatan Pembuktiannya Tergantung pada Penilaian Hakim Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat Hakim. Hakim

(12)

commit to user

bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian Hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak.

Tidak ada keharusan bagi Hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan “dapat menerima” atau

“menyingkirkannya”.

b. Keterangan Ahli

Pengertian keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah sebagai berikut “Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Rumusan Pasal 1 angka 28 tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1) Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang sedang diperiksa.

2) Maksud keterangan khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa “menjadi terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.

Keterangan ahli juga diatur dalam Pasal 186 KUHAP yang berbunyi “Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.

Penjelasan resmi Pasal 186 tercantum “Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau Penuntut Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan”.

Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau Penuntut Umum maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.

(13)

commit to user

Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan Hakim (Leden Marpaung, 2011: 35).

Pada prinsipnya, alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi.

Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli adalah sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 2003: 304- 305):

1) Mempunyai kekuatan pembuktian yang “bebas” atau

“vrijbewijskracht”. Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian Hakim. Hakim bebas menilaianya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi Hakim untuk mesti menerima kebenaran-keterangan yang dimaksud ahli tersebut. Akan tetapi, seperti apa yang telah pernah diutarakan, Hakim dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian, harus benar-benar bertanggung jawab, atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum.

2) Di samping itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan Terdakwa. Apalagi jika Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2), yang menegaskan, seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Prinsip inipun, berlaku untuk alat bukti keterangan ahli. Bahwa keterangan seorang ahli saja tidak cukup membuktikan kesalahan Terdakwa, harus disertai dengan alat bukti lain.

(14)

commit to user c. Surat

Surat sebagai alat bukti sah yang merupakan urutan ke-3 diatur oleh Pasal 187 KUHAP yang berbunyi:

“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan- alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang- undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain”.

Untuk menentukan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat, dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP (M.

Yahya Harahap, 2003: 309-310):

1) Ditinjau dari Segi Formal

Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang “sempurna”.

Sebab bentuk surat-surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang- undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal dalam pembuatannya serta dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang, dan pembuatan serta keterangan yang

(15)

commit to user

terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan maka ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang bernilai “sempurna”.

Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai nilai

“pembuktian formal yang sempurna”.

2) Ditinjau dari Segi Materiil

Ditinjau dari sudut meteriil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187, “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Pada diri alat bukti surat itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang “bersifat bebas”.

Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formal alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c sifat kesempurnaan formal tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat mempergunakan atau menyingkirkannya.

d. Petunjuk

Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 KUHAP yang berbunyi:

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya;

(2) Petunjuk sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

a. Keterangan saksi;

b. Surat;

c. Keterangan Terdakwa.

(16)

commit to user

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.

Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat kekuatannya dengan alat bukti yang lain. Sebagaimana yang sudah diuraikan mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli, dan alat bukti surat, hanya mempunyai sifat kekuatan pembuktian

“yang bebas” ( M. Yahya Harahap, 2003: 317):

1) Hakim terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu, Hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian;

2) Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan Terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.

e. Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan Terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP yang berbunyi:

(1) Keterangan Terdakwa ialah apa yang Terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;

(2) Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;

(3) Keterangan Terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;

(17)

commit to user

(4) Keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Mengenai Pasal 189 ayat (3) memang selayaknya demikian, karena Terdakwa tidak disumpah dan keterangannya dipertegas disini, hanya untuk dirinya. Perlu diperhatikan bahwa keterangan Terdakwa benar-benar tuntas dalam arti tidak cukup umpamanya pengakuan atas perbuatan yang didakwakan melainkan segala keterangan mengenai perbuatan yang dilakukannya dan cara-cara melakukannya (Leden Marpaung, 2011: 40-41).

Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan atau pengakuan Terdakwa adalah sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 2003:

332-333):

1) Sifat Nilai Pembuktiannya adalah Bebas

Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan Terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya. Jangan hendakanya penolakan akan kebenaran keterangan Terdakwa tanpa alasan yang didukung oleh argumentasi yang tidak proporsional dan akomodatif.

Demikian juga sebaliknya, seandainya Hakim hendak menjadikan alat bukti keterangan Terdakwa sebagai salah satu landasan pembuktian kesalahan Terdakwa, harus dilengkapi dengan alasan yang argumentatif dengan menghubungkannya dengan alat bukti yang lain.

2) Harus Memenuhi Batas Minimum Pembuktian

Hakim harus memperhatikan ketentuan yang dirumuskan pada Pasal 189 ayat (4), yang menentukan “Keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan

(18)

commit to user

perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”.

Ketentuan ini jelas dapat disimak bahwa keharusan mencukupkan alat bukti keterangan Terdakwa dengan sekurang- kurangnya satu lagi alat bukti yang lain, baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup. Penegasan Pasal 189 ayat (4), sejalan dengan dan mempertegas asas batas minimum pembuktian telah menegaskan, tidak seorang Terdakwa pun dapat dijatuhi pidana kecuali jika kesalahan yang didakwakan kepadanya telah dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

3) Harus Memenuhi Asas Keyakinan Hakim

Keyakinan Hakim merupakan hal penting dalam putusan yang akan diambilnya. Sekalipun kesalahan Terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan “keyakinan Hakim”, bahwa memang Terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Asas keyakinan Hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP adalah “pembuktian menurut Undang- Undang secara negatif”. Artinya disamping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan keyakinan Hakim bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

3. Tinjauan Umum tentang Pertimbangan Hakim

Terdapat 2 (dua) kategori pertimbangan Hakim dalam memutus suatu perkara yang khususnya putusan yang mengandung pemidanaan, yaitu pertimbangan Hakim yang bersifat yuridis dan pertimbangan Hakim yang bersifat non yuridis. Berikut adalah penjelasan mengenai pertimbangan yang bersifat yuridis dan yang bersifat non yuridis.

(19)

commit to user a. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan Hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis ini diantaranya yaitu:

1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi Hakim dalam pemeriksaan di muka pengadilan.

Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah syarat-syarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi identitas Terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat Pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).

2) Tuntutan Pidana

Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada Terdakwa, dengan menjelaskan karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut di atas.

Penyusunan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum disesuaikan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum sampai pada tuntutannya di dalam requisitoir itu biasanya Penuntut Umum menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang ia dakwakan kepada Terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut.

(20)

commit to user 3) Keterangan Saksi

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a. Keterangan saksi merupakan keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan alami sendiri, yang harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sabagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah testimonium de auditu. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan.

4) Keterangan Terdakwa

Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e memuat bahwa keterangan Terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan Terdakwa adalah apa yang dinyatakan Terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri, ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP. Keterangan Terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya.

5) Barang-barang Bukti

Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh Terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa untuk

(21)

commit to user

membuktikan kesalahan Terdakwa. Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan Hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa dan sudah barang tentu Hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh Terdakwa maupun para saksi.

6) Pasal-pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak

Rumusan Pasal 197 huruf e KUHAP menyatakan salah satu yang harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan adalah Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan.

Pasal-pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan.

b. Pertimbangan Non Yuridis

Hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis, disamping pertimbangan yang bersifat yuridis.

Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan, tanpa ditopang dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis.

Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana, aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis pelaku pada saat melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana, sedangkan aspek kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seseorang melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku seseorang yang melakukan tindak pidana, dengan demikian Hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan pelaku.

Pertimbangan non yuridis meliputi pertimbangan pada hal-hal yangmemberatkan ataupun yang meringankan hukuman bagi terdakwa.

Seorang Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan apakah Terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Lalu Hakim juga harus mempertimbangkan juga hal-hal yang

(22)

commit to user

memberatkan dan meringankan Terdakwa. Dalam hal penjatuhan pidana, Hakim dipengaruhi oleh banyak hal yang dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan berat ringannya pemidanaan, baik yang terdapat di dalam maupun di luar Undang-Undang, jangan sampai penentuan pidana oleh Hakim itu akan berdampak buruk dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan hukum itu sendiri pada khususnya.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, dalam hal Hakim diberi kebebasan dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, tentunya Hakim juga terikat oleh alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan secara tegas bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Selain alat bukti yang sah, untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa, ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh Hakim, yaitu hal-hal yang meringankan dan hal- hal yang memberatkan.

1) Pertimbangan yang Memberatkan

a) Hal-hal yang Memberatkan Pidana dalam KUHP

KUHP hanya mengatur hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu pertama, sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP) dimana pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

“bilamana seseorang pejabat karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiganya”

(23)

commit to user

Yang kedua yaitu recidive atau pengulangan dimana dalam KUHP menganut sistem Recidive Khusus artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis- jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu, dan yang terakhir yaitu gabungan atau semenloop (adalah orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana).

b) Hal-hal yang Memberatkan pada Putusan Pengadilan

Meresahkan masyarakat adalah hal yang dijadikan dasar alasan memberatkan pidana tersebut.

2) Hal-hal yang Meringankan

KUHP memuat alasan-alasan yang dapat meringankan pidana, yaitu sebagai berikut:

a) Percobaan (Pasal 53 ayat (2 dan 3));

b) Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1 dan 2));

c) Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47).

Hal-hal yang dapat meringankan dalam persidangan adalah sebagai berikut:

a) Sikap correct dan hormat Terdakwa terhadap pengadilan, dan pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan;

b) Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang berhubungan dengan latar belakang publik;

c) Dalam persidangan, Terdakwa telah menyatakan penyealan atas perbuatannya.

4. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim a. Kajian Umum tentang Hakim

Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan keHakiman yang diatur dalam Undang-Undang. Hakim adalah Hakim pada Mahkamah Agung dan pada badan peradilan yang berada dibawahnya

(24)

commit to user

dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hakim pada peradilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Megadili disini diartikan sebagai serangkaian tindakan Hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam Undang-Undang (Fence M. Wantu, 2011: 20).

b. Peranan Hakim di Pengadilan

Soerjono Soekanto menyatakan peranan mempunyai arti perbuatan seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial atau kedudukan berarti juga tempat seseorang dalam suatu pola tertentu (Fence M. Wantu, 2011: 24).

Peranan Hakim dalam melaksanakan kekuasaan keHakiman diperlukan untuk mengimplementasikan tugas yang diemban sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Peranan Hakim memiliki keistimewaan dalam masyarakat, hal ini karena Hakim diberi kewenangan istimewa dalam peradilan yang tidak diberikan kepada jabatan manapun.

Athur L. Corbin mengemukakan sebagai berikut, “A judge who is ready to decide what is justice and for the public weal without any knowledge of history and precedent is an egoist and an ignoranmus”.

Artinya seorang Hakim yang siap memutus atas nama keadilan kesejahteraan umum tanpa memiliki pengetahuan tentang sejarah yurisprudensi adalah egois dan bersikap masa bodoh (Fence M. Wantu, 2011: 40).

(25)

commit to user c. Proses Penjatuhan Putusan Hakim

Putusan Hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh Hakim tersebut. Proses penjatuhan putusan Hakim merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman dan kebijaksanaan.

Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang Hakim harus meyakini apakah seseorang Terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak (Ahmad Rifai, 2010: 94-95).

Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh Hakim dalam perkara pidana menurut Moelyatno dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:

1) Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana

Perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Pada saat Hakim menganalisis apakah Terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat yaitu perbuatan segi tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana.

2) Tahap Menganalisis Tanggung Jawab Pidana

Apabila seorang Terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu pasal tertentu, Hakim menganalisis apakah Terdakwa dapat dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Menurut Moelyatno, unsur-unsur pertanggung jawaban pidana untuk membuktikan pidana untuk membuktikan adanya kesalahan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut (Ahmad Rifai, 2010: 96-100):

a) Melakukan perbuatan pidana (bersifat melawan hukum);

b) Diatas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab;

c) Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan;

d) Tidak adanya alasan pemaaf;

(26)

commit to user 3) Tahap Penentuan Pemidanaan

Hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah atas perbuatannya, dan kemudian perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan oleh si pelaku. Besarnya pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tersebut, dengan melihat pasal-pasal Undang-Undang yang dilanggar oleh si pelaku. Besarnya pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim telah diatur dalam KUHP, dimana KUHP telah mengatur mengenai pemidanaan maksimal yang dapat dijatuhkan Hakim dalam perbuatan pidana tertentu.

d. Teori Penjatuhan Putusan

Mackenzia berpendapat bahwa ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh Hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

1) Teori Keseimbangan

Teori ini menjelaskan mengenai keseimbangan antara syarat- syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang dan kepentingan pihak- pihak yang bersangkutan atau berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan Terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak tergugat (Ahmad Rifai, 2010:102-103)

2) Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Teori ini menjelaskan bahwa penjatuhan putusan oleh Hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari Hakim.

3) Teori Pendekatan Keilmuan

Penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan- putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan Hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan

(27)

commit to user

bahwa dalam memutus suatu perkara, Hakim tidak boleh semata- mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan Hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskan.

4) Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang Hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapai perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang Hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5) Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta mempertimbangkan Hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

6) Teori Kebijaksanaan

Landasan dalam teori ini menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan yang harus ditanam, dipupuk dan dibina. Selanjutnya aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya (Ahmad Rifai, 2010: 105).

(28)

commit to user

e. Jenis-Jenis Putusan Hakim dalam Perkara Pidana

Putusan Hakim dalam hukum pidana yang dikenal selama ini terdapat 2 (dua) macam, yaitu putusan sela dan putusan akhir. Berikut adalah penjelasannya:

1) Putusan Sela

Masalah terpenting dalam peradilan pidana adalah mengenai surat dakwaan Penuntut Umum, sebab surat dakwaan merupakan dasar atau kerangka pemeriksaan terhadap Terdakwa di suatu persidangan. Sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat berupa antara lain sebagai berikut:

a) Menyatakan Keberatan (eksepsi) Diterima

Apabila keberatan (eksepsi) Terdakwa atau penasihat hukum Terdakwa diterima, maka pemeriksaan terhadap pokok bergantung kepada jenis eksepsi mana yang diterima oleh Hakim. Jika eksepsi Terdakwa yang diterima mengenai kewenangan relatif, maka perkara tersebut dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dilimpahkan kembali ke wilayah Pengadilan Negeri yang berwenang mengadilinya.

b) Menyatakan Keberatan (eksepsi) Tidak Dapat Diterima

Apabila dalam putusan selanya Hakim menyatakan bahwa keberatan dari Terdakwa atau pensihat hukum Terdakwa dinyatakan tidak dapat diterima atau Hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan Penuntut Umum dinyatakan sah sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP dan persidangan dapat dilanjutkan untuk pemeriksaan materi pokok perkara (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).

2) Putusan Akhir

Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh Hakim, maka sampailah Hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi

(29)

commit to user

antara negara dengan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai putusan akhir (Ahmad Rifai, 2010: 112).

Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a) Putusan Bebas (vrijspraak)

Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim yang berupa pembebasan Terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap Terdakwa dipersidangan.

b) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (onslaag van allerecht vervolging)

Putusan pelepasan Terdakwa dari segala tuntutan dijatuhkan oleh Hakim apabila dalam persidangan ternyata Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap Terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP) (Ahmad Rifai, 2010: 113).

c) Putusan Pemidanaan

Terdakwa telah terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Penuntut Umum, maka terhadap Terdakwa harus dipatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya.

5. Tinjauan Umum tentang Kekerasan Seksual a. Pengertian Umum Kekerasan Seksual

Yang termasuk kategori kekerasan seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan

(30)

commit to user

kegiatan seksual (sexual intercourse), melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta meninggalkan seorang (termasuk yang tergolong usia anak-anak) setelah melakukan hubungan seksualitas. Segala perilaku yang mengarah pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak baik di sekolah, di dalam keluarga, maupun di lingkungan sekitar tempat tinggal anak termasuk kategori kekerasan seksual (Bagong Suyanto, dkk, 2001: 25).

Adapun pengertian lain tentang kekerasan seksual adalah segala bentuk perilaku yang berorientasi seks, yang ditujukan kepada orang lain dan menimbulkan perasaan tidak senang atau merugikan. Perilaku tersebut bervariasi mulai dari pandangan mata yang penuh nafsu sampai dengan perkosaan yang membuat lecet alat kelamin.

Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual (sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya mempunyai kekuatan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya (Abdul Wahid, 2001: 32).

Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat.

Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat yang serius yang membutuhkan perhatian.

Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampokan kemerdekaan secara

(31)

commit to user

sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.

b. Tindak Kekerasan Seksual dalam KUHP

Semua tindak kekerasan seksual diatur dalam BAB XIV buku II KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, yang di dalam Wetboek Van Starfrecht juga disebut sebagai misdrijven tegen de zeden (Leden Marpaung, 2011: 16).

Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam bab ini dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk Undang-Undang dengan maksud untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang dianggap perlu untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan kekerasan seksual dan terhadap perilaku-perilaku baik dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pendapat orang tentang kepatutan-kepatutan bidang kehidupan seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat dimana kata-kata itu telah diucapkan atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan sosial. Tindak kekerasan seksual dalam KUHP ada berbagai jenis yaitu seperti:

1) Tindak pidana terhadap kesopanan sosial (diatur dalam Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283 dan Pasal 283 bis KUHP);

2) Tindak pidana terhadap kesusilaan seksual (diatur dalam Pasal 284, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 299 KUHP).

Sebagian besar dari tindak kekerasan seksual meliputi perbuatan yang tidak senonoh dalam pergaulan masyarakat. Pelanggaran terhadap Pasal 281, Pasal 284, Pasal 285 sampai dengan Pasal 297, merupakan pasal-pasal yang menjelaskan tentang tindak kekerasan seksual atau tindak pidana kesusilaan. Perbuatan-perbuatan cabul tersebut tampak sebagai akibat nafsu seksual tampak sifat seksualnya yang berkembang

(32)

commit to user

secara tidak sadar pada perbuatan terhadap anak perempuan dibawah umur 16 (enam belas) tahun. Pasal 281, Pasal 289, Pasal 290 merupakan pengaturan mengenai kejahatan terhadap perikemanusiaan, berhubung perbuatan-perbuatan tersebut mengganggu perkembangan anak (H.A.K.

Moch. Anwar, 1981: 12).

Delik ini paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian baik pada tahap penyidikan, penuntutan maupun tahap pengambilan putusan. Selain kesulitan dalam batasan juga kesulitan pembuktian, misalnya perkosaan atau pencabulan yang pada umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain.

c. Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Anak

KUHP mengatur beberapa hal mengenai tindak kekerasan seksual, namun untuk lebih memfokuskan mengenai permasalahan yang diteliti maka akan dijelaskan tentang pasal yang mengatur tentang pencabulan yaitu Pasal 290 (perbuatan cabul terhadap seseorang yang sekiranya dapat dikira atau dapat sepantasnya diduga bahwa orang tersebut belum mencapai umur 15 (lima belas) tahun.

Tindak pidana melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kesusilaan dengan orang, dalam keadaan tidak berdaya atau yang belum mencapai usia 15 (lima belas) tahun. Hal ini dimuat dan diatur dalam Pasal 290 KUHP yang berbunyi:

(1) Barangsiapa melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan seseorang yang ia ketahui bahwa orang tersebut sedang berada dalam keadaan pingsan atau sedang dalam keadaan tidak berdaya;

(2) Barangsiapa melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusialaan dengan seseorang yang ia ketahui atau sepantasnya harus dapat ia duga bahwa orang tersebut belum mencapai usia 15 (lima belas) tahun, atau jika tidak dapat diketahui dari usianya, orang tersebut belum dapat dinikahi;

(33)

commit to user

(3) Barangsiapa membujuk seseorang yang ia ketahui atau sepantasnya dapat ia duga bahwa orang tersebut belum mencapai usia 15 (lima belas) tahun atau jika dapat diketahui dari usianya, orang tersebut belum dapat dinikahi, untuk melakukan atau untuk membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan atau untuk melakukan hubungan kelamin di luar pernikahan dengan pihak ketiga.

Tindakan yang dilarang dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 angka 1 KUHP ialah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kesusialaan dengan seseorang yang sedang dalam keadaan pingsan atau sedang dalam keadaan tidak berdaya.

Walaupun di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 angka 1 KUHP itu, Undang-Undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur “kesengajaan” pada diri pelaku, akan tetapi tidak dapat disangkal kebenarannya bahwa tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 290 angka 1 KUHP itu merupakan suatu opzettelijk delict atau merupakan suatu tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja, karena perbuatan melakukan tindakan kekerasan seksual itu sudah jelas tidak dapat dilakukan dengan tidak sengaja.

Tindakan yang dilarang dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 angka 1 KUHP ialah melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan seseorang yang diketahui atau yang sepantasnya harus diduga oleh pelaku bahwa orang tersebut belum mencapai usia 15 (lima belas) tahun atau jika tidak dapat diketahui dari usianya, orang itu belum dapat dinikahi.

6. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Anak a. Pengertian Anak

Hukum positif yang berlaku di Indonesia terdapat pluralisme mengenai definisi anak. Hal ini dikarenakan setiap peraturan perundang-

(34)

commit to user

undangan mengatur secara tersendiri mengenai pengertian anak. Definisi anak sendiri terdapat banyak pengertiannya, pengertian tersebut terdiri dari beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia, diantaranya yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang ini, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang ini, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berumur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa batasan umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah anak yang sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapain 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 butir 1 Undang-Undang ini pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam kandungan ibu menurut Undang- Undang ini telah mendapatkan suatu perlindungan hukum. Selain terdapat pengertian anak, dalam Undang-Undang ini terdapat pengertian mengenai anak terlantar, anak yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat dan anak asuh.

4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang ini tidak memberikan pengertian anak secara lebih jelas, namun pengertian Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) yang berisi mengenai pembatasan usia anak dibawah kekuasaan orang tua atau dibawah perwalian sebelummencapai 18 (delapan belas) tahun dapat diartikan bahwa pengertian anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun.

(35)

commit to user

5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 butir 5, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.

6) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dulu kawin.

7) Konvensi PBB

Konvensi PBB yang ditanda tangani oleh Pemerintah Republik Indonesia tahun 1990 dikatakan batasan umur anak adalah dibawah umur 18 (delapan belas) tahun.

8) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Seperti halnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pengertian anak tidak diartikan secara lebih lanjut, namun berdasarkan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat disimpulkan mengenai pengertian anak yaitu seseorang yang belum cukup umur, dimana batasan umurnya adalah 16 (enam belas) tahun.

Namun seiring perkembangan zaman, maka ketentuan dari Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini sudah tidak berlaku lagi dan sebagai gantinya digunakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

b. Hak-Hak Anak

Hak pada anak-anak telah ada sejak di dalam kandungan ibu maupun setelah dilahirkan, yang harus diakui dan dilindungi berdasarkan peraturan yang berlaku. Dalam Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hak anak sendiri adalah

(36)

commit to user

bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Hak-hak anak ini diatur dalam berbagai peraturan yang membahas mengenai anak. Peraturan tersebut antara lain:

1) Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak yang telah ditandatangani Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 26 Januari 1990, menyebutkan hak-hak anak antara lain sebagai berikut:

a) Memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman;

b) Negara mengakui hak hidup anak, serta kewajiban negara menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup anak;

c) Melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual;

d) Larangan penyiksaan, hukuman yang tidak manusiawi;

e) Hukuman acara peradilan anak;

f) Hak memperoleh bantuan hukum baik di dalam atau di luar pengadilan (Gatot Supramono, 2000: 5-6);

2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan hak-hak anak antara lain adalah:

a) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan hasil kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar;

b) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna;

c) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan;

d) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar;

(37)

commit to user

e) Dalam keadaan yang membahayakan anaklah yang pertama- tama berhak mendapat pertolongan, bantuan dan perlindungan (Gatot Supramono, 2000: 7).

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan hak-hak anak antara lain sebagai berikut:

a) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ( Pasal 4);

b) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5);

c) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan;

d) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16 ayat (1));

e) Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (Pasal 16 ayat (2));

f) Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16 ayat (3));

g) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:

(a) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

(b) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;

(c) Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum (Pasal 17 ayat (1)).

(38)

commit to user

h) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 ayat (2));

i) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18 ayat (1)).

c. Perlindungan Anak

Anak merupakan generasi penerus suatu bangsa, maka anak juga mempunyai suatu hak-hak yang harus diakui dan dilindungi negara, hak anak juga merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) meskipun anak masih dalam kandungan seorang ibu. Yang dimaksud dengan perlindungan anak sendiri adalah segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik maupun sosialnya (Sholeh Soeaidy, 2001: 4).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memuat tentang pengertian perlindungan anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 butir 2 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Dalam Undang-Undang ini pula diatur mengenai perlindungan anak yang dalam suatu tindak pidana kesusilaan sebagai seorang korban ataupun pelakunya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 17 ayat (2) yang menyatakan

“setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, reliability (kehandalan) dari Galeri Indosat Solo yang ditunjukkan dengan kehandalan dalam bentuk prosedur pelayanan, kesiapan dan kesigapan

Berdasar pada hasil analisis data dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan, dapat dilihat hasil empiris mengenai pengaruh kualitas pelaporan CSR perusahaan, ukuran dewan

Menuju babak 8 besar tim mendapat libur 1 hari, sehingga bisa mendapatkan waktu untuk memulihkan kondisi fisik dan mental setelah 3 hari berturut-turut bermain di tiga

Instrumen penilaian ini berbentuk soal isomorphic dan rubriknya berbasis multirepresentasi dimana dari ada beberapa tipe soal dalam satu indikator, soal-soal

Simpulan penelitian ini berdasarkan analisis tersebut adalah: (1) terdapat perbedaan keterampilan menulis eksposisi yang signifikan antara siswa yang diberi pembelajaran

 beberapa kekurangan, kekurangan, diantaranya adalah diantaranya adalah hipotesa ini hipotesa ini tidak dapat tidak dapat menjelaskan efek menjelaskan efek yang yang lama

 Dibandingkan keadaan Agustus 2016 dengan Agustus 2015 hampir semua pengangguran pada tingkat pendidikan menurun, kecuali tingkat pendidikan Diploma yang mengalami

Dapat disimpulkan bahwa model yang menggunakan metode region growing ini memiliki kemampuan segmentasi daerah makula yang terdegenerasi dengan akurasi yang