• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian

a. Pengertian Pembuktian

Pembuktian berasal dari kata “bukti” yang mana di dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk menyatakan kebenaran peristiwa atau keterangan nyata (Kamus Pusat Bahasa. 2008: 229).

Secara terminologi, pembuktian memiliki arti usaha menunjukan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.

Pengertian pembuktian yaitu tahapan penyelesaian perkara pidana setelah dilakukannya suatu penyelidikan yang mana merupakan tindakan “membuktikan”

suatu “peristiwa” yang dinilai atau diduga sebagai tindakan pidana. Sistem pembuktian menurut KUHAP dimuat dan dijelaskan dalam Pasal 183 KUHAP yang menjelaskan bahwa: “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dalam KUHAP tidak memberikan pengertian tentang “Pembuktian”, akan tetapi memberikan pengaturan jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum yang terdapat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu, pengertian

“pembuktian” merujuk kepada pendapat para ahli.

Menurut R. Subekti, pembuktian merupakan suatu proses untuk meyakinkan hakim mengenai kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan ( R. Subekti, 2008:1). Dari pendapat tersebut, dapat diketahui bahwasannya R.Subekti menempatkan urgensi pembuktian untuk mendapatkan keyakinan dan dengan keyakinan tersebut memiliki tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang mana akan menjadi pokok permasalahan, sehingga dengan terpenuhinya keyakinan tersebut hakim akan

(2)

lebih jelas dalam memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan/vonis.

M. Yahya Harahap menjelaskan, bahwa pembuktian adalah masalah yang memegang suatu peranan proses pemeriksaan di dalam sidang pengadilan.

Melalui pembuktian ditentukan juga nasib terdakwa. Pembuktian yang merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang mana juga telah dibenarkan dalam Undang-Undang dan dapat dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan (Yahya harahap, 2003:273). Dalam pengertian lain, M. Yahya Harahap juga menjelaskan bahwa, “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan di dalam undang-undang untuk membuktikan suatu kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga dapat di artikan sebagai ketentuan yang mengatur alat- alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam membukitkan kesalahan terdakwa ( M.Yahya Harahap, 2008:279).

Dari beberapa pengertian tersebut diatas, maka bisa ditarik sebuah kesimpulkan bahwa kata dasar dari pembuktian adalah bukti, bukti dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang dapat memperlihatkan suatu kebenaran. Dari pengertian kaca mata hukum, pembuktian adalah suatu pencarian kebenaran materiil dimuka persidangan yang digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa menurut pasal yang didakwakan dengan menggunakan alat-alat bukti menurut undang- undang sebagai pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara.

b. Teori Pembuktian

1) Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)

Sistem ini menganut ajaran yang mana bersalah tidaknya terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung kepada penilaian

"keyakinan" hakim semata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim dan keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti cukup namun hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya jika alat bukti tidak ada tetapi hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan

(3)

bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali (Andi Hamzah, 1985:24).

2) Sistem Keyakinan Dengan Alasan Yang Logis (La Conviction Rais Onne) Pada sistem ini menjelasakan bahwa keyakinan hakim memegang peranan penting dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, namun keyakinan tersebut harus didukung dengan alasan-alasan yang logis dan jelas.

Sistem ini berawal dari keyakinan hakim, akan tetapi keyakinan hakim tetap harus didasarkan pada suatu kesimpulan (conclusive) yang masuk akal, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan (Andi Hamzah, 1985:254). Jadi, hakim tidak terikat oleh ketentuan Undang-Undang atau alat bukti yang sah dalam mengambil keputusan, melainkan hakim bebas membuat alasan yang logis dalam mendukung keyakinannya.

3) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (positief wettelijke stelsel)

Sistem ini memegang prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa.

Terpenuhinya syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup dalam menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Sistem ini disebut teori pembuktian formal (foemele bewijstheorie) (Waluyadi. 2004:39).

4) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (negative wettelijk).

Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu.

Dalam pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah”(Fuady, Munir., 2000:35).

(4)

Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif. Artinya, bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk, wettelijk berarti berdasarkan undang-undang, sedangkan negative maksudnya adalah walaupun di dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum mendapat keyakinan tentang kesalahan terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita 2003:122).

c. Alat Bukti dan Jenis Alat Bukti

Hukum Acara Pidana mengatur mengenai alat bukti yang dikenal dengan 5 (lima) alat bukti yang sah yang terdapat di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Selain alat-alat bukti yang telah diatur di dalam pasal tersebut maka dikatakan tidak sah digunakan di dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim ketua sidang, penuntut umum, terdakwa, ataupun penasehat hukum tidak diperkenankan untuk menggunakan alat bukti di luar alat bukti yang sudah ditetapkan di dalam Pasal 184 KUHAP. Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang sah, yaitu:

1) Keterangan saksi;

2) Keterangan ahli;

3) Surat;

4) Petunjuk;

5) Keterangan terdakwa.

Penjelasan mengenai alat-alat bukti yang sah diatas, sebagai berikut:

(a) Keterangan Saksi

(5)

Pada Pasal 185 KUHAP ayat (1) menjelaskan keterangan saksi sabegai alat bukti, yaitu apa yang saksi nyataka dalam pengadilan dan bukan termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain. Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan bahwa keterangan saksi merupakan salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan atau pengetahuan yang mana trlah dialami oleh saksi serta menjelaskan alasan dari pengetahuannya.

Menurut Andi Hamzah (Andi Hamzah, 2000:260) sesuai dengan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, hukum acara pidana dilakukan dengan mencari kebenaran materiil dan untuk melindungi hak-hak asasi manusia. Jika keterangan saksi adalah didapatkan dari keterangan orang lain maka keterangan tersebut tidak terjamin kebenarannya.

(b) Keterangan Ahli

Dalam Pasal 186 KUHAP menjelaskan bahwasannya keterangan seorang ahli adalah seseorang ahli yang menyatakan dalam sidang peradilan. Keterangan ahli juga memberikan waktu pada saat dilakukannya pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum dalam bentuk laporan. KUHAP menerangkan bahwa keterangan seorang ahli di persidangan sebagai alat bukti “keterangan ahli” dan keterangan seorang ahli secara tertulis di luar pengadilan sebagai alat bukti

“surat” (Pasal 187 butir c KUHAP). Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan pada saat sidang pengadilan yang diberikan sesuai dengan kemampuan ilmu dan pengetahuan yang dikuasai.

(c) Surat

Pasal 187 KUHAP menjelaskan bahwa surat merupakan salah satu dalam alat bukti, di dalam Pasal 187 menjelaskan alat bukti surat dibagi menjadi empat macam, yaitu (Karjadi dan Soesilo, 1997:166):

(1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang memiliki wewenang yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau di dalamya, disertai dengan alasan tentang keterangan itu.

(6)

(2) Surat yang dibuat menurut peraturan Undang-Undang atau surat yang dibuat oleh pejabat yang berwenang mengenai hal menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau keadaan.

(3) Surat ketentuan dari seorang ahli yang berisikan pendapat berdasarkan keahliannya tentang suatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.

(4) Surat lain yang hanya bisa berlaku jika terdapat hubunganya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

(d) Petunjuk

Dalam Pasal 188 KUHAP menjelaskan mengenai pengertian pentujuk, petunjuk merupakan perbuatan dalam suatu kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menegaskan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Sebagaimana dimaksud dalam pengertian tersebut, petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

Andi Hamzah menjelaskan dalam bukunya bahwasannya persoalan petunjuk dikembalikan kepada hakim, hal tersebut menjadi sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Pengamatan yang mana dilakukan oleh hakim selama persidangan, dengan apa yang diketahui dan dialami oleh hakim sebelumnya tidak dapat menjadi dasar untuk melakukan pembuktian, kecuali jika sudah diketahui oleh umum.

(e) Keterangan Terdakwa

Pasal 189 KUHAP menjelaskan mengenai alat bukti berupa keterangan terdakwa, keterangan terdakwa yaitu apa yang telah terdakwa dinyatakan dalam persidangan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri, keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan dalam membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya, keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sediri,

(7)

keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk bisa membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus juga disertai dengan alat bukti yang lain.

Berdasarkan pada Pasal 189 KUHAP, bahwa terdakwa keterangan terdakwa harus diberikan hanya didepan persidangan, sedangkan di luar sidang hanya dapat digunakan untuk menemukan bukti pada sidang. Jika terdakwa lebih dari satu orang, maka keterangan terdakwa dengan terdakwa lain tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti bagi terdakwa lainnya.

d. Prinsip Pembuktian Dalam Perkara Pidana

Prinsip-prinsip dalam pembuktian, yaitu meliputi:

1) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Prinsip ini terdapat pada pasal 184 ayat (2) KUHAP (Hari Sasongko dan Lily Rosita, 2003:20). Prinsip ini dapat disebut dengan istilah notoire feiten atau fakta notoir. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

(1) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.

(2) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian.

2) Menjadi saksi adalah kewajiban. Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP, yaitu : “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli”.

3) Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis). Prinsip ini terdapat pada pasal 185 ayat (2) KUHAP, yaitu: “ keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Prinsip ini menjelaskan apabila hanya ada satu

(8)

orang saksi dianggap alat bukti tersebut kurang sempurna, sehingga minimal diperlukannya dua orang saksi.

4) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini menegaskan lawan prinsip

“pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi:

“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.

5) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri. Prinsip ini terdapat di dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menjelaskan apa yang diterangkan terdakwa dalam persidangan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri.

Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing- masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri.

e. Beban Pembuktian

Dikaji dalam perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana, terdapat 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian, yaitu beban pembuktian pada penuntut umum, beban pembuktian pada terdakwa dan beban pembuktian berimbang (Djoko Sumaryanto, 2009:89-90).

1) Beban pembuktian pada penuntut umum. Teori ini menegaskan bahwa penuntut umum harus membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat-alat bukti yang sah lalu dihadapkan dalam persidangan guna meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa.

2) Beban pembuktian pada terdakwa. Dalam teori ini terdakwa sendiri lah yang membuktikan dirinya tidak bersalah dalam suatu perkara pidana.

Implikasi dari teori beban pembuktian ini adalah apabila terdakwa tidak dapat membuktikan ketidakbersalahan dirinya, maka oleh pengadilan

(9)

terdakwa dinyatakan bersalah. Teori beban pembuktian ini disebut dengan teori beban pembuktian terbalik.

3) Beban pembuktian berimbang. Teori beban pembuktian ini penuntut umum maupun terdakwa dan/atau penasehat hukumnya saling membuktikan di depan persidangan.

f. Sistem Pembuktian

Sistem pembuktian, yaitu suatu kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal kegiatan dalam pembuktian yang saling berkaitan satu dengan yang lain yang tidak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan yang utuh (Adhami Chazawi, 2008:24). Di dalam Pasal 183 KUHAP menjelaskan, bahwa pembuktian harus didasarkan sedikitnya pada dua alat bukti yang sah dan disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti. Artinya, penjatuhan pidana seorang terdakwa harus memenuhi dua syarat mutlak, yaitu alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim.

2. Tinjauan Umum Tentang Kesaksian Anggota POLRI a. Pengertian saksi

Dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP menjelaskan, “Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Pengertian lain juga menjelaskan, saksi merupakan seseorang yang dapat memberikan keterangan dalam proses penyelesaian tindak pidana dengan peristiwa hukum yang ia dengar, lihat dan alami sendiri dan atau orang yang memiliki keahlian khusus dalam pengetahuan tertentu guna kepentingan penyelesaian tindak pidana (Andi Muhammad Sofyan dan Abd Asis, 2014:235).

b. Pengertian Kesaksian

Menurut Soesilo, kesaksian merupakan suatu keterangan dimuka hakim dengan sumpah, tentang hal-hal mengenai kejadian tertentu, yang ia dengar, ia lihat dan alami sendiri. Menurut Sudikno Mertokusumo, kesaksian merupakan kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan dilarang atau tidak di perbolehkan oleh

(10)

undang-undang, yang dipanggil di pengadilan (Ibid., hal. 236-238). Dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP mengatur sebagai berikut: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu”.

c. Jenis-Jenis Saksi

Jenis-jenis saksi meliputi :

1) Saksi A Charge (saksi yang memberatkan terdakwa).

Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP menjelaskan, saksi A Charge merupakan saksi yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dengan keterangan atau kesaksiannya dapat memberatkan terdakwa.

2) Saksi A De Charge (saksi yang meringankan terdakwa).

Saksi ini dipilih oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum, guna dalam keterangannya dapat meringankan atau menguntungkan terdakwa, yang terdapat dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP (Ibid., hal. 236). Hal ini juga dilandasi oleh ketentuan Pasal 65 KUHAP, yaitu: “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”.

3) Saksi Ahli

Merupakan seseorang yang memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu guna memberikan penjelasan dan bahan baru bagi hakim dalam memutuskan perkara.

4) Saksi Korban

Korban dapat menjadi saksi karena status korban di pengadilan sebagai saksi yang secara langsung mendengar sendiri, melihat sendiri dan yang pasti mengalami sendiri peristiwa tersebut (Muhandar, 2010:5).

5) Saksi de Auditu

Saksi de Auditu atau di dalam ilmu hukum acara pidana disebut testimonium de auditu atau sering juga disebut dengan saksi hearsay. Saksi

(11)

ini merupakan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain. Saksi ini bukanlah alat bukti yang sah, akan tetapi keterangannya perlu didengar oleh hakim untuk memperkuat keyakinannya.

6) Saksi Mahkota (Kroongetuide)

Menurut Firma Wijaya, saksi mahkota atau crown witnes merupakan salah satu seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang juga melakukan perbuatan pidana dan ditarik sebagai saksi kunci untuk mengungkap para pelaku lain dengan iming-iming pengurangan ancamaman hukuman. Hal ini juga tertuang dalam memori kasasi Putusan Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan bahwa:

“Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai saksi mahkota (kroongetuide), namun dalam perspektif empirik maka dapat didefinisikan sebagai saksi yang berasal dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama telah melakukan perbuatan pidana, serta kepada saksi tersebut diberikan mahkota.

Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan (http://www.pn- sabang.go.id/?p=1656).

7) Saksi Pelapor (Whistleblower)

Saksi ini adalah orang yang melihat, mendengar, mengalami terkait dengan tindak pidana dan melaporkan dugaan tentang suatu tindak pidana kepada peyelidik atau penyidik.

8) Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator)

Saksi yang juga sebagai pelaku tindak pidana yang bersedia membantu dalam mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana serta mengembalikan aset-aset atau hasil dari tindak pidana kepada negara dengan memberikan sebuah informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian dalam proses peradilan (Nanda Alysia Dewi, 2019:27-31).

(12)

d. Syarat-Syarat Keterangan Saksi

Keterangan saksi supaya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah harus memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:

1) Syarat Formil

Dalam praktiknya syarat formil ini menjelaskan bahwa keterangan saksi harus diberikan di bawah sumpah menurut agamanya masing-masing sebelum memberikan keterangan sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP).

Dalam Pasal 185 ayat 7 KUHAP dijelaskan, bahwa keterangan saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan sebuah bukti, tetapi apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah, dapat digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

2) Syarat Materiil

Seorang yang menjadi saksi harus melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana (Pasal 1 butir 26 atau 27 KUHAP). Pengaturan lebih lanjut dari keterangan saksi sebagai pembuktian dapat dilihat seperti apa yang tercantum dalam Pasal 185 KUHAP.

Dalam pemeriksaan penyidik atau penuntut umum tidak boleh mengadakan tekanan. Tekanan itu misalnya berupa ancaman dan sebagainya yang bisa menyebabkan terdakwa atau saksi menerangkan hal yang berlainan dari pada hal yang dapat dianggap sebagai pernyataan pikirannya yang bebas. Saksi di dalam memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan haruslah bebas (Pasal 153 ayat (2) huruf b KUHAP) (Prasetyo Margono, 2014:50).

e. Pengertian Anggota POLRI

POLRI merupakan singkatan dari Polisi Republik Indonesia. Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata polisi adalah suatu badan yang bertugas memelihara keamanan, ketentraman, ketertiban umum

(13)

(menangkap orang yang melanggar hukum) dan merupakan suatu anggota badan pemerintah (W.J.S Purwodarminto, 1986:763). Istilah “polisi” pada semulanya berasal dari perkataan Yunani “Politeia”, yang berarti seluruh pemerintahan negara kota (Momo Kelana, 1994:13).

Di Indonesia istilah “polisi” dikemukakan oleh salah satu pakar ilmu hukum yang bernama Dr.Sadjijono, menurutnya istilah “polisi” adalah sebagai organ atau lembaga pemerintah negara, sedangkan istilah “Kepolisian” adalah sebagai organ dan sebagai fungsi. Sebagai organ, merupakan suatu lembaga pemerintahan yang teroganisasi dan terstruktur. Sedangkan sebagai fungsi, memiliki tugas dan wewenang serta tanggungjawab lembaga atas kuasa undang- undang untuk menyelenggarakan fungsinya, antara lain menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayom dan pelayan masyarakat (Sadjijono, 2006:6).

3. Tinjauan Umum Tentang Penyalahguna Narkotika a. Pengertian Narkotika

Kata narkotika secara etimologis berasal dari bahasa Inggris “narcose”

atau “narcois” artinya menidurkan dan pembiusan. Kata narkotika juga berasal dari Bahasa Yunani yaitu “narke” artinya terbius sehingga tidak merasakan apa- apa (Hari Sasangka, 2003:35). Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 Ayat (1) menjelaskan, narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.

Dari istilah farmakologis yang digunakan adalah kata drug yaitu sejenis zat jika digunakan menimbulkan efek pada tubuh pemakai seperti mempengaruhi kesadaran, merangsang dan menimbulkan halusinasi (Soedjono, D, 1977:3).

Secara terminologis narkotika yaitu obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk dan merangsang (Anton M. Moelyono, 1988:609).

(14)

b. Golongan Narkotika

Narkotika merupakan zat atau obat yang banyak digunakan oleh tenaga medis yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian yang memiliki beberapa penggolongan. Berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Narkotika digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :

1) Narkotika Golongan I yaitu narkotika yang hanya dapat dipergunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

2) Narkotika Golongan II yaitu narkotika yang berkhasiat sebagai pengobatan pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

3) Narkotika Golongan III yaitu narkotika yang memiliki khasiat pengobatan dan banyak dipergunakan di dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

c. Jenis-Jenis Narkotika

Narkotika adalah bahan atau zat aktif yang berefek pada sistem saraf pusat (otak), menyebabkan penurunan hingga hilangnya kesadaran dari rasa sakit (nyeri), serta menimbulkan ketergantungan atau ketagihan (Setiyawati dkk, 2015:16). Adapun berdasarkan jenisnya adalah sebagai berikut:

1) Morfin, merupakan jenis narkoba yang terkandung candu yang masih mentah yang diolah dan mengandung dosis lebih tinggi daripada candu, morfin dapat menjadi cikal bakal heroin (Maswari M Adnan, 2015:8).

2) Candu, yang mentah berwarna coklat tua dan kenyal bentuknya, rasa dari candu mentah berwarna coklat adalah pahit (Ibid., 2015:8).

(15)

3) Heroin, umumnya berbentuk serbuk yang menyerupai tepung, lebih kuat daripada morfin. Morfin dan Heroin sama-sama serbuk yang berasal dari candu dan berbahaya (Ibid., 2015:8).

4) Kokain, merupakan jenis narkoba dari tanaman kokain (koka), efek kokain yaitu tubuh menjadi segar, bersemangat, stamina meningkat, daya tahan kuat (Maswari M Adnan, 2015:9).

5) Ganja, disebut dengan mariyuana sama halnya dengan candu, ganja (mariyuana) adalah tanaman. Efek negatif ganja dapat meningkatkan semangat, kenikmatan dan berfungsi sebagai pengobatan (Maswari M Adnan, 2015:10).

6) Ekstasi, termasuk narkoba jika digunakan berlebihan dapat menimbulkan efek samping yang negatif. Efek negatifnya seperti rasa gembira yang berlebihan, mata merah, suka menggeleng-gelengkan kepala tanpa sebab, mual, muntah dan kedinginan (Ibid., 2015:10).

7) Sabu-sabu, narkoba yang berefek negatif bagi jiwa dan raga, berbentuk serbuk serta digunakan dengan cara dihisap (Ibid, 2015:10).

8) Pil Koplo (Depresan), jenis obat penenang bagi orang yang banyak pikiran, susah tidur, gelisah dan strees (Maswari M Adnan, 2015:11).

d. Pengertian Penyalahguna Narkotika

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Pasal 1 ayat 15) menerangkan, yang dimaksud dengan penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

Dalam Pasal 54 Undang-Undang. Nomor 35 Tahun 2009 menjelasakan, bahwa pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pengertian pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis, sedangkan yang dimaksud dengan “korban penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk

(16)

menggunakan Narkotika. Penyalahguna zat dapat dikategorikan sebagai hal menyimpang, sehingga kondisi penyalahguna tidak normal dalam melakukan aktifitas di lingkungan. Penyalahguna zat mempunyai masalah-masalah yang berhubungan dengan obat-obatan dan alkohol dikehidupan mereka. Masalah- masalahnya meliputi fisik, mental, bahkan spiritual.

e. Sanksi Pidana Penyalahguna Narkotika

Pemidanaan penyelahguna narkotika tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum di Indonesia. Tujuan sistem pemidanaan yaitu untuk penegakan hukum oleh sistem peradilan berdasarkan perangkat hukum yang mengatur berupa kriminalisasi penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, yakni Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Dani Krisnawaty dan Eddy O.S. Hiariej, 2006:99).

Jika seorang pecandu narkotika telah divonis bersalah oleh hakim atas tindak pidana narkotika yang diperbuat, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan untuk terbebas dari kecanduannya. Begitu juga, apabila pecandu narkotika tidak terbukti bersalah atas tuduhan tindak pidana narkotikanya, dalam arti hanya sebagai pengguna yang termakan bujukan, hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan melakukan pengobatan dan/atau perawatan. Ketentuan ini dimuat dalam Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut:

Berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menjelaskan:

1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:

(a) memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau

(b) menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi, jika pecandu

(17)

narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menganut double track system dalam sanksi tindak pidana penyalahgunaan narkotika, walaupun masih bersifat kebebasan bagi hakim dalam menjatuhkan vonis dan/atau putusannya dalam menangani suatu perkara pengguna atau pecandu narkotika, berdasarkan keyakinan hakim dalam hal memberikan sanksi tindakan.

Hal ini dituangkan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, mengenai ketentuan mengenai penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri yang diatur di dalam Pasal 127:

(a) Setiap Penyalahguna:

(1) Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

(2) Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

(3) Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(b) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

(c) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 54 dan Pasal 55 mengatur kewajiban pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial serta kewajiban melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rehabilitasi sosial bagi pecandu narkotika dan/atau orang tua/wali bagi pecandu narkotika yang belum cukup umur.

(18)

B. Kerangka Berpikir

1. Bagian Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Penyalahgunaan

Narkotika

Pemeriksaan dalam Sidang

Pembuktian oleh Penuntut Umum

Pertimbangan Hakim

Putusan Nomer:

555/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL

Kesesuaian dengan Pasal 184

KUHAP

Kesaksian Anggota POLRI

Kesesuaian dengan

Pasal 183 KUHAP jo. Pasal 112 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo. SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang menempatkan pemakai narkoba ke dalam panti terapi dan rehabilitasi

Rehabilitasi

(19)

2. Penjelasan Kerangka Pemikiran

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh Tedi Bin M. Rasjo yang telah diadili dan diputus oleh Pengadilan Jakarta Selatan melalui Putusan Nomor 555/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL. Dalam perkara tindak pidana ini, terdakwa dan saksi hadir dalam persidangan untuk dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa.

Pembuktian oleh penuntut umum dalam persidangan dikemukakan beberapa macam alat bukti diantaranya keterangan saksi-saksi, beberapa barang bukti dan pengakuan terdakwa yang mana berpedoman pada Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti yang sah. Dalam memutus perkara seorang Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan apabila Hakim sekurang-kurangnya memperoleh dua alat bukti yang sah. Alat-alat bukti dan barang-barang bukti tersebut menjadi pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusan.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Pemeriksaan dalam Sidang Pembuktian oleh Penuntut Umum Pertimbangan Hakim Putusan Nomer: 555/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL  Kesesuaian  dengan Pasal 184 KUHAP Kesaksian Anggota POLRI   Kesesuaia

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik siswa yang akan diajar juga turut diperhatikan oleh guru Pendidikan Agama Islam di MAN 1 Mojokerto dalam mendesain model pembelajaran yang kreatif. Kemudian

Pada penelitian ini dilakukan standardisasi terhadap ekstrak kulit kayu nangka ( Artocarpus heterophylla Lamk.) yang berasal dari tiga daerah yang berbeda yaitu Gondang,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari performa udang vaname yang dipelihara dengan sistem semi intensif pada kondisi air tambak dengan kelimpahan

Kemudian baja diambil lalu dibersihkan terlebih dahulu dengan air biasa lalu ditimbang berat material baja tersebut (Wa), dan didapat hasil seperti pada Tabel 2.

Penjaringan ide sebagai proses awal dalam mencari dan menentukan ide desain buku batik shaho dilakukan dengan mencari data-data visual tentang batik shaho,

mediasi penal ini akan mempunyai implikasi bersifat positif dimana secara filosofis dicapainya penyelesaian perkara secara cepat, sederhana, dan biaya ringan, karena

Data yang dikumpulkan berupa data primer hasil pengamatan gambaran mikroskopis testis tikus wistar dan kadar Pb darah tikus wistar yang terpapar asap kendaraan

Sehingga menendang adalah teknik dasar yang paling dominan dalam permainan sepakbola dari beberapa teknik dasar yang ada, dikarenakan kemampuan menendang bola dengan