• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis

Hubungan keagenan menurut Jensen dan Meckling (1976) adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dan pemegang saham (principal). Hubungan keagenan tersebut sering menimbulkan konflik karena tidak selarasnya kepentingan masing-masing pihak, dan manusia memiliki sifat dasar cenderung mementingkan diri sendiri. Pemegang saham menginginkan pengembalian yang lebih besar dan secepat-cepatnya atas investasi yang mereka tanamkan sedangkan manajer menginginkan kompensasi atau insentif yang sebesar-besarnya atas kinerjanya dalam menjalankan perusahaan. Pemegang saham menilai kinerja manajer berdasarkan kemampuannya menghasilkan laba perusahaan. Sebaliknya, manajer berusaha memenuhi tuntutan pemegang saham untuk menghasilkan laba yang maksimal agar mendapatkan kompensasi atau insentif yang diinginkan. Namun, manajer sering kali melakukan rekayasa dalam melaporkan kondisi dan kinerja perusahaan untuk mendapatkan kompensasi yang diinginkannya.

Manajer dapat leluasa melaporkan kondisi perusahaan tidak yang sebenarnya karena manajer memiliki informasi mengenai kondisi perusahaan lebih banyiak dibandingkan para pemegang saham. Keadaan seperti ini disebut asimetri informasi. Menurut Richardson dalam Suryani (2010) asimetri informasi antara manajemen (agent ) dan pemilik (principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajemen untuk melakukan manajemen laba. Manajer dalam mengelola

suatu perusahaan cenderung lebih mengutamakan kepentingannya daripada kepentingan perusahaan. Hal ini karena perilaku opurtunistik manajer yang selalu bertindak untuk mencapai keinginannya, padahal seharusnya mereka lebih berpihak kepada kepentingan pemegang saham yang telah memberikan mereka amanat untuk menjalankan perusahaan.

2. Laporan Keuangan

Laporan keuangan adalah media yang digunakan pihak manajemen untuk melaporkan informasi keuangan perusahaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Standar Akuntansi Keuangan No.1 (2007) :

Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.

Menurut Kieso dan Weygandt (2007) laporan keuangan yang disusun manajemen terdiri dari:

a. Neraca

b. Laporan Laba Rugi c. Laporan Arus Kas

d. Laporan Perubahan Ekuitas e. Catatan Atas Laporan Keuangan

Ikatan Akuntan Indonesia mengidentifikasi para pemakai laporan keuangan berdasarkan kepentingan. Pemakai laporan keuangan menggunakan laporan keuangan untuk memenuhi beberapa kebutuhan informasi yang berbeda. Para pemakai laporan keuangan (Chariri dan Ghozali,2007) meliputi:

a. Investor

Investor berkepentingan dengan risiko dan hasil dari investasi yang mereka lakukan. Informasi dibutuhkan untuk menentukan apakah mereka akan menbeli, menahan atau menjual investasi tersebut. Yang biasa dilihat oleh investor adalah informasi mengenai kemampuan perusahaan untuk membayar dividen.

b. Kreditor

Kreditor menggunakan informasi akuntansi untuk membantu mereka memutuskan apakah pinjaman dan bunganya dapat dibayar pada waktu jatuh tempo.

c. Pemasok

Pemasok membutuhkan informasi mengenai kemampuan perusahaan untuk melunasi hutang-hutangnya pada saat jatuh tempo.

d. Karyawan

Karyawan membutuhkan informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan dan kemampuan memberikan pensiun dan kesempatan kerja. e. Pelanggan

Pelanggan berkepentingan dengan informasi tentang kelangsungan hidup perusahaan terutama bagi mereka yang memiliki perjanjian jangka panjang dengan perusahaan.

f. Pemerintah

Pemerintah berkepentingan dengan informasi untuk mengatur aktivitas perusahaan, menetapkan kebijakan pajak, dan untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan lain-lain.

g. Masyarakat

Masyarakat berkepentingan dengan informasi tentang kecenderungan dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan serta berbagai aktivitas yang menyertainya.

Dalam penyusunan laporan keuangan, dasar akrual lebih banyak digunakan karena lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi perusahaan secara riil, namun disisi lain penggunaan dasar akrual dapat memberikan keleluasaan kapada pihak manajemen dalam memilih metode akuntansi selama

tidak menyimpang dari aturan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Standar Akuntansi Keuangan memberikan kelonggaran dalam memilih metode akuntansi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan. Hal ini dapat memberikan hasil laba yang berbeda-beda di setiap perusahaan. Satu diantara Metode akuntansi yang sering digunakan untuk menghasilkan nilai laba yang berbeda adalah metode dalam menghitung depresiasi, antara lain metode penyusutan garis lurus, saldo menurun,dan metode jumlah angka tahun. Perusahaan yang lebih memilih metode penyusutan garis lurus, maka laba yang dihasilkan berbeda dengan perusahaan yang menggunakan metode saldo menurun ataupun metode jumlah angka tahun.

3. Manajemen Laba a. Definisi Manajemen Laba

Beberapa peneliti mendefinisikan manajemen laba dalam arti yang berbeda-beda. Baharuddin dan Satyanugraha (2004) mengutip dua definisi manajemen laba yaitu:

1) Fisher dan Rosenzweig (1995)

Manajemen laba adalah tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabakan kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan jangka panjang.

2) Healy dan Wahlen (1999)

Manajemen laba terjadi apabila manajer menggunakan penilaian dalam laporan keuangan dan dalam struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan guna menyesatkan pemegang saham mengenai prestasi ekonomi perusahaan atau besarnya laba.

Sedangkan Sugiri dalam Widyaningdyah (2001) membagi definisi manajemen laba menjadi dua, yaitu:

1) Definisi sempit

Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajemen untuk “bermain” dengan komponen discretionary accrual dalam menentukan besarnya laba.

2) Definisi luas

Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit di mana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan kenaikan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut.

Maka manajemen laba adalah suatu tindakan yang sengaja dilakukan oleh manajer perusahaan melalui pemilihan metode akuntansi yang dibutuhkan untuk memenuhi keinginannya dalam merekayasa laba demi tujuan dan kepentingan pribadinya.

b. Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Manajemen Laba

Menurut Watt dan Zimmerman dalam Rahmawati dan Qomariyah (2006) ada tiga hipotesis yang mendorong terjadinya manajemen laba, yaitu:

1) Bonus Plan Hypothesis

Perusahaan yang memberikan bonus kepada manajernya berdasarkan laba yang diperoleh akan mendorong manajer memilih metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba agar manajer tersebut memperoleh bonus yang tinggi.

2) Debt Covenant Hypothesis

Manajer yang ingin menjaga nama baik terhadap pihak luar dengan tidak melanggar perjajnjian kredit, akan menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba.

3) Polytical Cost Hypothesis

Manajemen laba dapat juga dilakukan karena alasan pajak, laba yang tinggi akan meningkatkan pajak penghasilan perusahaan. Oleh karen itu perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang menurunkan laba. Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya manajemen laba semuanya karena keadaan dan tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh manajer perusahaan. Manajer perusahaan akan menaikkan laba jika dalam keadaan ingin memperoleh insentif atau bonus atas kinerjanya, ingin menjaga nama baik perusahaan terhadap pihak kreditur agar tetap diberikan pinjaman, dalam masa-masa-masa akan pensiunnya CEO agar mendapat bonus, dan pada

saat penawaran perdana saham agar harga saham perusahaan tersebut naik. Dan manajer perusahaan akan menurunkan laba misalnya untuk tujuan menurunkan pajak.

c. Teknik Manajemen Laba

Teknik manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im dalam Rahwawati dan Qomariyah (2006) ada tiga yaitu:

1) Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi, yaitu manajemen mempengaruhi laba melalui estimasi piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap dan amortisasi aktiva tidak berwujud, estimasi biaya garansi,dan lain-lain. Teknik ini misalnya dilakukan dengan merekayasa beban perusahaan seperti beban piutang tak tertagih, beban garansi dan beban amortisasi. Apabila manajer ingin menaikkan laba pada tahun tertentu, maka beban-beban tersebut akan dikurangi jumlahnya pada tahun tersebut yang berakibat beban terlalu rendah dan akhirnya akan meningkatkan laba. Apabila manajer ingin menurunkan laba pada tahun tertentu, maka beban-beban tersebut akan ditingkatkan jumlahnya pada tahun tersebut yang berakibat beban terlalu tinggi dan akhirnya akan menurunkan laba.

2) Mengubah metode akuntansi, misalnya mengubah metode penyusutan aktiva tetap. Teknik ini dilakukan dengan mengubah metode penyusutan aktiva, misalnya dari metode garis lurus menjadi metode saldo menurun atau menjadi metode jumlah angka tahun atau sebaliknya. Hal ini juga berkaitan dengan menaikkan atau menurunkan beban penyusutan pada tahun tertentu

yang diinginkan oleh manajer sesuai dengan kehendaknya apakah ingin menaikkan atau menurunkan laba.

3) Menggeser periode beban dan pendapatan, antara lain menunda/mempercepat pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai periode akuntansi berikutnya, menunda/mempercepat beban promosi sampai periode akuntansi berikutnya, menunda/mempercepat pengiriman produk ke pelanggan, dan lain-lain. Teknik ini mengakibatkan beban atau pendapatan pada tahun tertentu dicatat tidak sesuai dengan beban atau pendapatan yang sebenarnya terjadi di tahun tersebut. Misalnya untuk menaikkan laba tahun tertentu maka manajer menaikkan pula jumlah pendapatan pada tahun tersebut dengan cara mengakui pendapatan pada tahun tersebut yang seharusnya diterima tahun berikutny. Dapat pula menaikkan laba dengan cara mengurangi beban yaitu menunda beban promosi atau beban lainnya, sehingga beban tersebut yang seharusnya terjadi pada tahun ini tetapi baru akan dicatat pada tahun berikutnya.

4. Good Corporate Governance

a. Definisi Good Corporate Governance Menurut FCGI (2002) :

Corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.

Sedangkan menurut Herawaty (2008) corporate governance merupakan suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang diharapkan dapat memberikan dan meningkatkan nilai perusahaan kepada para pemegang saham.

Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (2002) menjelaskan bahwa corporate governance merupakan acuan bagi perusahaan dalam rangka: 1) Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan

yang didasarkan atas, tranparansi, akuntablitas, reosponsibilitas, independensi, serta kewajaran dan kesetaraan.

2) Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu dewan komisaris, direksi, dan Rapat Umum Pemegang Saham.

3) Mendorong pemegang saham, dewan komisaris, dan anggota direksi agar membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

4) Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.

5) Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.

6) Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.

b. Manfaat good corporate governance

Menurut Maksum (2005), beberapa manfaat yang diperoleh dengan penerapan good corporate governance adalah sebagai berikut:

1) Bagi perusahaan yang menerapkan good corporate governance, maka proses pengambilan keputusan akan berlangsung secara lebih baik sehingga menghasilkan keputusan yang optimal, dapat meningkatkan efisiensi serta terciptanya budaya kerja yang lebih sehat. Ketiga hal ini akan berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, sehinga kinerja perusahaan akan mengalami peningkatan.

2) Perusahaan yang menerapkan good corporate governance dapat menghindari atau sekurang-kurangnya dapat meminimalkan tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pihak direksi dalam pengelolaan perusahaan. Hal ini akan menekan kemungkinan kerugian bagi perusahaan dan pihak lain yang berkepentingan sebagai kaibat tindakan tersebut.

3) Nilai perusahaan di mata investor akan meningkat sebagai akibat dari meningkatnya kepercayaan mereka kepada pengelolaan perusahaan tempat mereka berinvestasi. Peningkatan kepercayaan investor kepada perusahaan dapat memudahkan pula akses dana tambahan kepada perusahaan terutama untuk tujuan ekspansi.

4) Bagai para pemegang saham, dengan peningkatan kinerja perusahaan, maka akan meningkatkan pula nilai saham mereka serta meningkatkan pula jumlah dividen yang mereka terima. Bagi negara, hal ini juga akan menaikkan jumlah

pajak yang akan dibayarkan oleh perusahaan yang berarti akan terjadi peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak.

5) Karena dalam praktik good corporate governance karyawan ditempatkan sebagai salah satu stakeholder yang seharusnya dikelola dengan baik oleh perusahaan, maka motivasi dan kepuasan kerja karyawan akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan pula produktivitas dan sense of belonging ( rasa memiliki) karyawan terhadap perusahaan.

6) Dengan baiknya pelaksanaan corporate governance, maka tingkat kepercayaan para stakeholders kepada perusahaan akan meningkat sehingga citra positif perusahaan akan naik. Hal ini dapat pula menekan biaya yang timbul akibat tuntutan para stakeholders kepada perusahaan.

7) Penerapan good corporate governance yang konsisten juga akan meningkatkan kualitas laporan keuangan perusahaan. Manajemen akan cenderung untuk tidak melakukan rekayasa laporan keuangan, karena adanya kewajiban untuk mematuhi berbagai aturan dan prinsip akuntansi yang berlaku dan penyajian informasi secara transparan.

c. Mekanisme Good Corporate Governance

Menurut Martina (2009) mekanisme good corporate governance meliputi dewan komisaris independen, komite audit dan kepemilikan institusional. Barnhart dan Rosenstein dalam Siallagan dan Machfoedz (2006) menyatakan beberapa mekanisme good corporate governance yaitu mekanisme internal seperti struktur dan dewan komisaris serta mekanisme eksternal seperti pasar untuk

kontrol perusahaan. Penelitian ini mengambil mekanisme good corporate governance yang meliputi kepemilikan institusional, dewan komisaris, komisaris independen, dan komite audit.

1) Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain (Tarjo,2008).Kepemilikan institusional oleh beberapa peneliti dipercaya dapat mempengaruhi kinerja perusahaan dalam memaksimalkan nilai perusahaan. Investor institusional sebagai pemilik mayoritas dianggap memiliki pendanaan yang sangat kuat sehingga aman bagi pemegang saham maupun calon investor jika membeli saham perusahaan tersebut, dengan demikian investor institusional akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap perusahaan berupa meningkatnya volume dan harga saham yang diperdagangkan sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (Praditia, 2010). Menurut Lee et al dalam Rachmawati dan Triatmoko (2007) ada dua pendapat mengenai investor institusional. Pendapat pertama didasarkan pada pandangan bahwa investor institusional adalah pemilik sementara (transfer of owner) sehingga hanya berfokus pada laba sekarang. Perubahan pada laba sekarang dapat mempengaruhi keputusan investor institusional. Jika perubahan ini dirasakan tidak menguntungkan investor, maka investor dapat melikuidasi sahamnya. Pendapat kedua memandang investor institusional sebagai investor yang berpengalaman (sophisticated). Menurut pendapat ini investor lebih berfokus pada laba masa

mendatang yang relatif lebih besar daripada laba sekarang. Investor institusional akan memonitor secara efektif dan tidak akan mudah diperdaya oleh segala tidakan manajer yang melakukan rekayasa laba.

2) Dewan Komisaris

Dewan komisaris memegang peranan yang penting dalam perusahaan. Dewan komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan (FCGI, 2002). Namun dalam praktiknya, dewan komisaris hanya bersifat pasif bahkan tidak menjalankan tugas pengawasannya sama sekali. FCGI (2002) menyatakan bahwa fakta di Indonesia menunjukkan banyak dewan komisaris yang memang tidak memiliki kemampuan dan tidak menunjukkan independensinya (sehingga dalam banyak kasus, dewan komisaris juga gagal untuk mewakili kepentingan stakeholders lainnya selain daripada kepentingan pemegang saham mayoritas). Kepemilikan saham yang berpusat pada satu kelompok atau satu keluarga, dapat menjadi salah satu penyebab lemahnya posisi dewan komisaris, karena pengangkatan anggota dewan komisaris diberikan sebagai rasa penghargaan semata maupun berdasarkan hubungan keluarga atau kenalan dekat. Oleh karena itu keberadaan dewan komisaris, apalagi dalam jumlah yang besar justru tidak meningkatkan kinerja perusahaan.

3) Komisaris Independen

Komisaris independen adalah komisaris yang bukan merupakan anggota manajemen, pemegang saham mayoritas, pejabat atau dengan cara lain yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pemegang saham mayoritas dari suatu perusahaan yang mengawasi pengelolaan perusahaan (FCGI,2002). Keberadaan komisaris independen juga telah diatur oleh Bursa Efek Jakarta tangal 1 Juli 2000. Dikemukakan bahwa perusahaan yang listed di BEJ harus mempunyai komisaris independen yang secara proporsional sama dengan jumlah saham yang dimiliki pemegang saham yang minoritas. Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari seluruh anggota dewan komisaris. Beberapa kriteria lainnya mengenai komisaris independen adalah sebagai berikut:

a) Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali perusahaan tercatat yang bersangkutan.

b) Komisaris independen tidak memiliki hubungan dengan direktur dan/atau komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan.

c) Komisaris independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan.

d) Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

e) Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

(FCGI,2002).

4) Komite Audit

Surya dan Yustiavandana (2006) mengemukakan, komite audit adalah organ tambahan yang diperlukan dalam pelaksanaan good corporate governance. Komite audit ini dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan pemeriksaan atau penelitian yang dianggap perlu terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam melaksanakan pengelolaan perusahaan serta melaksanakan tugas penting berkaitan dengan sistem pelaporan keuangan. Tanggung jawab komite audit dalam bidang good corporate governance adalah untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku, melaksanakan usahanya dengan beretika, melaksanakan pengawasannya secara efektif, terhadap benturan kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan. Tugas komite audit dalam bidang ini adalah sebagai berikut:

a) Menilai kebijakan perusahaan yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap undang-undang dan peraturan, etika, benturan kepentingan dan penyelidikan terhadap perbuatan yang merugikan perusahaan.

b) Memonitor proses peradilan yang sedang terjadi ataupun yang ditunda serta yang mengangkut masalah good corporate governance.

c) Memeriksa kasus-kasus penting yang berhubungan dengan benturan kepentingan, perbuatan yang merugikan perusahaan dan kecurangan.

d) Keharusan auditor internal untuk melaporkan hasil pemeriksaan good corporate governance dan temuan-temuan penting lainnya.

Selain di bidang corporate governance, komite audit juga memiliki tugas di bidang pelaporan keuangan, yaitu:

a) Merekomendasikan auditor eksternal.

b) Menilai kebijakan akuntansi dan keputusan yang menyangkut kebijakan-kebijakan tersebut.

c) Meneliti laporan keuangan, yang meliputi laporan paruh tahunan, laporan tahunan, dan opini auditor serta mangement letters.

(FCGI,2002).

Maka mekanisme good corporate governance pada dasarnya adalah suatu cara baik itu melaui kepemilikan saham oleh publik atau melalui komponen-komponen dalam perusahaan itu sendiri yang diharapkan dapat mengurangi manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajer perusahaan.

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian mengenai pengaruh mekanisme good corporate governance terhadap manajemen laba telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Mekanisme-mekanisme good corporate governance yang digunakan peneliti-peneliti terdahulu sebagian besar sama namun ada juga yang berbeda. Hasil yang

diperoleh dari penelitian-penelitian terdahulu pun berbeda. Sriwedari (2009) meneliti pengaruh mekanisme good corporate governance yang diproksikan dengan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen dan komite audit terhadap manajemen laba. Hasilnya menunjukkan bahwa kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan proporsi dewan komisaris independen memberikan pengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap manajemen laba; sedangkan komite audit memberikan pengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap manajemen laba. Ningsaptiti (2010) meneliti pengaruh mekanisme good corporate governance yang diproksikan dengan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komposisi dewan komisaris, komposisi komite audit spesialisasi industri KAP terhadap manajemen laba. hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan dan kualitas auditor dengan spesialisasi industri KAP berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba; sedangkan komposisi komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Suryani (2010) meneliti pengaruh mekanisme good corporate governance yang diproksikan dengan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, komposisi dewan komisaris, dan jumlah rapat komite audit terhadap manajemen laba. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba; sedangkan komposisi komite audit, komposisi dewan komisaris dan ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Praditia (2010) meneliti pengaruh mekanisme good corporate governance yang diproksikan dengan komisaris independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan

kualitas auditor terhadap manajemen laba. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan, komisaris independen dan kualitas auditor tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Ikhtisar hasil penelitian terdahulu tercantum pada tabel 2.1.

Tabel 2.1

Tinjauan Penelitian Terdahulu Nama

Peneliti

Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian Sriwedari,

(2009)

Mekanisme good corporate

governance,manajemen laba dan kinerja

keuangan

Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen dan komite audit. Sedangkan variabel dependennya adalah manajemen laba. Kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan proporsi dewan komisaris memberikan pengaruh negatif tetapi tidak signifikan

terhadap manajemen laba; komite audit memberikan pengaruh positif tetapi tidak sinifikan terhadap manajemen laba; manajemen laba berpangaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap kinerja keuangan. Ningsaptiti,

(2010)

Analisis pengaruh ukuran perusahaan dan mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI

Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komposisi dewan komisaris, komposisi komite audit,spesialisasi industri KAP dan ukuran perusahaan. Sedangkan variabel dependennya adalah manajemen laba Ukuran perusahaan, konsentarsi kepemilikan dan kualitas auditor dengan proksi spesialisasi industri KAP bepengaruh signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan komposisi dewan komisaris dan

komposisi komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap

Dokumen terkait