• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mastitis Subklinis

Mastitis adalah peradangan jaringan internal ambing yang umum terjadi di peternakan sapi perah di seluruh dunia. Mikroorganisme disebut sebagai faktor utama penyebab kejadian mastitis. Mastitis dapat menyebabkan kerugian berupa penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya untuk pengobatan, susu yang terbuang akibat terapi antibiotik dan penyembuhan beberapa infeksi mastitis yang sulit sehingga sapi diafkir lebih awal (Subronto 2003; Giguere et al. 2006).

Mastitis adalah penyakit multifaktorial dan sulit disembuhkan. Kausa mastitis beragam yaitu bakteri, virus, dan cendawan. Mikroba dapat menjadi kausa penyakit pada ambing melalui dua cara yaitu secara ascendens dari lubang puting dan secara descendens melalui pembuluh darah (Sudarwanto 1987; Sunartatie et al. 1990; Lukman et al. 2009).

Kejadian mastitis sering terjadi pada masa kering kandang dan biasanya bersifat subklinis. Hal ini terjadi karena pada masa kering kandang, sel-sel alveol sedang dirombak dan diganti, sehingga sel-sel epitel yang rusak digunakan oleh mikroba untuk masuk sebelum sel epitel alveol yang baru terbentuk (Subronto 2003).

Hurley dan Morin (2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing diawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan multiplikasi. Pembuluh darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi. Adanya filtrasi cairan ke jaringan menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi diapedesis, sel-sel PMN dan makrofag keluar dari pembuluh darah menuju jaringan yang terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran bakteri.

Secara garis besar, mastitis dibedakan menjadi dua, yaitu mastitis klinis dan mastitis subklinis. Diagnosa mastitis klinis dapat dengan mudah ditentukan dari gejala klinis, yaitu adanya pembengkakan atau kemerahan pada ambing. Pemeriksaan fisik menunjukkan hewan mengalami kenaikan suhu tubuh, denyut jantung dan laju pernapasan. Gejala tersebut dapat dideteksi dengan pemeriksaan

fisik, selain itu hewan penderita mengalami gejala sakit secara umum, misalnya demam atau penurunan nafsu makan (Kelly 1986).

Berbeda dengan mastitis klinis, mastitis subklinis tidak menunjukkan gejala klinis. Definisi mastitis subklinis menurut International Dairy Federation (IDF) adalah mastitis yang ditandai peningkatan jumlah sel somatik lebih dari 400 000 sel/ml dan ditemukan bakteri patogen. Susu yang diambil berasal dari kuartir dalam masa laktasi normal (Subronto 2003; Hogeveen 2005; Lukman et al .

2009).

Penurunan kuantitas dan kualitas susu jarang diamati oleh peternak sedangkan penurunan kualitas susu hanya dapat diperiksa di laboratorium, oleh karena itu diagnosa mastitis subklinis jarang dilakukan. Kualitas susu yang diperiksa melalui perubahan kimiawi pada susu, meliputi penurunan jumlah kasein, total protein dan gula susu atau laktosa (Subronto 2003). Diagnosa mastitis subklinis dapat dilakukan dengan berbagai cara pengujian susu, misalnya dengan uji katalase, California Mastitis Test, Whiteside Test, Aulendorfer Mastitis Probe, Wisconsin Mastitis Test, uji mastitis dengan IPB-1 atau pengujian secara langsung dengan menghitung jumlah sel somatik menggunakan metode Breed (Lukman et al. 2009).

Kejadian mastitis subklinis di daerah Bogor dan Cipanas diperiksa dengan metode Breed dan milkcheker. Sebanyak seratus sampel (49.3%) dari 203 sampel kuartir dideteksi positif mastitis subklinis (Sudarwanto 1997). Penelitian Winata (2011) menyatakan bahwa, sebanyak 69.76% sampel susu yang berasal dari KUNAK, Bogor, teridentifikasi positif mastitis subklinis. Hal ini didapatkan dari perhitungan jumlah sel somatik yang melebihi angka 400.000 sel/ml sampel susu menggunakan metode Breed.

Streptococcus agalactiae

Streptococcus sp. berbentuk sesuai namanya yaitu bulat (coccus) dan berbentuk rantai atau berpasangan. Semua spesiesnya merupakan bakteri non motil dan tidak membentuk spora. Kelompok bakteri ini termasuk bakteri Gram positif anaerob fakultatif, kebanyakan berkembang di udara tetapi beberapa spesies Streptoccus membutuhkan CO2 untuk berkembang. Semua spesies

Streptococcus tidak dapat mereduksi nitrat tetapi mampu memfermentasi glukosa dengan produk utama adalah asam laktat, tidak pernah berupa gas. Banyak spesies merupakan anggota dari mikroflora normal pada membran mukosa dari manusia ataupun hewan, dan beberapa bersifat patogen. Streptococcus

digolongkan berdasarkan kombinasi sifatnya, antara lain sifat pertumbuhan koloni, pola hemolisis pada agar darah (ά-hemolisis, -hemolisis atau tanpa hemolisis/ -hemolisis), susunan antigen pada dinding sel yang spesifik untuk golongan tertentu dan reaksi-reaksi biokimia (Jawetz et al.1960; Jawetz 1986; Black 2005; Songer & Post 2005).

Streptococcus agalactiae merupakan satu-satunya anggota grup B menurut klasifikasi Lancefield (1867), yang diacu dalam Songer dan Post (2005) yang membagi genus Streptococus dengan klasifikasi species spesifik karbohidrat pada antigen dinding sel. Streptococcus agalactie terkenal sebagai penyebab mastitis pada sapi. Pada hewan lain, seperti domba, kambing dan unta, bakteri ini juga menyebabkan mastitis dan laminitis. Streptococcus agalactiae dapat ditemukan pada vagina dan bagian orofaring manusia. Pada manusia, bakteri ini dapat menyebabkan meningitis. Streptococcus agalactiae juga merupakan bakteri yang hanya sedikit berespon terhadap terapi antibiotik (Songer & Post 2005).

Bakteri ini secara khas menghasilkan hemolisin yang dapat menghemolisa sel darah merah secara in vitro. Kelompok Streptococcus dapat menghemolisa eritrosit dengan melepas hemoglobin secara sempurna termasuk dalam kelompok -hemolitik (Jawetz et al. 1960). Streptococcus agalactiae membentuk daerah hemolisis yang hanya sedikit lebih besar dari koloninya (bergaris tengah 1-2 mm).

Streptococcus golongan B menghidrolisis natrium hipurat dan memberi respon positif pada tes CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson), oleh karena itulah

Streptococcus agalactiae biasa diidentifikasi dengan CAMP test (Songer & Post 2005). Strain Streptococcus agalactiae meningkatkan aktivitas hemolitik pada Staphylococcal ß-toksin membentuk tanda seperti anak panah pada reaksi CAMP.

Staphylococcus yang umum digunakan adalah Staphylococcus aureus (Songer & Post 2005).

Streptococcus agalactiae merupakan bakteri patogen penting yang menyebabkan mastitis pada ambing sapi perah sebelum higiene pemerahan dan

penggunaan antibiotik yang tepat dijalankan. Respon awal ambing terhadap invasi Streptococcus agalactiae adalah pembuluh darah ambing mengeluarkan neutrofil dan membentuk udema interstisium. Umumnya bakteri ini tidak hanya menyerang satu puting saja (Carlton & Mc Gavin 1995).

Menurut Wahyuni et al. (2006), di wilayah Bogor, teridentifikasi 63% kejadian mastitis subklinis disebabkan oleh Streptococcus agalactiae. Kejadian yang tinggi ini terjadi karena Streptococcus agalactiae mempunyai kemampuan adesi yang kuat pada reseptor spesifik sel inang. Bakteri ini diwaspadai keberadaannya dalam susu sapi karena merupakan bakteri yang tahan temperatur tinggi, selain itu bakteri ini dapat memproduksi kapsul polisakarida untuk mencegah fagositosis. Bakteri ini dapat mempengaruhi kesehatan manusia yang meminum susu tercemar dan tidak diolah dengan baik.

Bahaya Streptococcus agalactiae terhadap Kesehatan Mayarakat

Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus adalah dua bakteri utama penyebab mastitis (Songer & Post 2005; Wahyuni et al. 2006). Sampel yang diambil dari kabupaten Bogor menunjukkan bahwa, sebanyak 35 (63.6%) isolat Streptococcus agalactiae didapatkan dari 75 sampel positif mastitis subklinis yang diperiksa (Wahyuni et al. 2006).

Utama et al. (2000) menyatakan bahwa sebagian besar isolat lapang

Streptococcus agalactiae yang diuji memiliki aktivitas hemaglutinasi pada eritrosit sapi dan ayam, serta sebagian kecil pada eritrosit manusia. Hal ini menunjukkan bahwa Streptococcus agalactiae kemungkinan dapat menginfeksi manusia secara sistemik. Bakteri ini merupakan penyebab penting infeksi

postpartus dan infeksi neonatal pada manusia. Infeksi postpartus yang sering terjadi adalah endometritis dan infeksi neonatus berupa pneumonia, sepsis dan meningitis (Jawetz 1986; Songer & Post 2005; Lukman et al. 2009).

Streptococcus agalactiae juga dapat menyebabkan demam Scarlet atau Scarlatina. Penyakit ini menyerang anak berusia 5-15 tahun dan dapat menimbulkan komplikasi pada hati dan ginjal. Demam Scarlet dipicu oleh bakteri

Streptococcus yang mengeluarkan eksotoksin. Eksotoksin inilah yang menyebabkan demam (Songer & Post2005).

Pengobatan Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah

Antibiotik yang baik adalah antibiotik yang mudah larut dalam cairan tubuh, memiliki toksisitas selektif, sulit terjadi resisten oleh mikroba, non alergenik, stabil konsentrasinya baik sebelum digunakan maupun di dalam tubuh, tidak mudah terjadi toksik, serta bekerja dalam waktu yang lama di dalam tubuh (Black 2005).

Mastitis merupakan penyebab umum penggunaan antibiotik di dalam peternakan sapi perah sebagai terapi untuk mengontrol kejadian mastitis pada sapi masa laktasi dan kering kandang. Mastitis lingkungan adalah mastitis yang penyebabnya berasal dari lingkungan kandang misalnya feses. Feses mengandung flora komensal usus terutama E. coli. Penggunaan antibiotik spektrum luas dilakukan untuk pengobatan mastitis yang disebabkan oleh E. coli. Hal ini disebabkan oleh strain E. coli penyebab mastitis tidak dapat dibedakan dengan strain E. coli normal di usus dan tidak ada faktor virulensi yang sama antar kedua bakteri tersebut yang dapat diidentifikasi. Penggunaan antibiotik spektrum luas inilah yang menyebabkan terjadinya resistensi (White 2006).

Menurut Sunartatie et al. (1990), pengobatan mastitis di peternakan di Bogor menggunakan preparat antibiotika, antara lain: Penisilin, Terramisin (Oxytetrasiklin), Vet Oxy (Oxytetrasiklin), Gantamisin, Kaloxy (Oxytetrasiklin), Propen (Penisilin), Pradipen (Penisilin), Neomastitar, dan Daimeton (Sulfamonometoxine). Antibiotik-antibiotik tersebut sebagian besar sudah tidak efektif terhadap bakteri lapang. Hal ini menyebabkan kegagalan pengobatan dan peningkatan kasus mastitis subklinis di Kabupaten Bogor.

Antibiotik yang paling banyak digunakan di peternakan sapi perah adalah antibiotik untuk pengobatan mastitis (Giguere et al. 2006). Di Amerika Serikat, pengobatan antibiotik melalui intramamaria untuk mastitis dengan penyebab

Streptococcus agalactiae adalah dengan Amoksisilin, Penisilin dan Eritromisin. Pengobatan dengan distribusi melalui saluran pencernaan dengan pemberian per oral juga dapat digunakan selain pengobatan melalui intramamaria (Songer & Post 2005). Kekurangan pemberian antibiotik secara intramamaria adalah dapat menyebabkan masuknya cendawan karena pengobatan tidak aseptis, obat yang terkontaminasi serta obat yang tidak tepat dosis atau jenisnya (Sudarwanto 1987).

Resistensi Antibiotik

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu jenis mikroba untuk menghambat atau membunuh mikroba lainnya. Banyak antibiotik yang sekarang ini dibuat semisintetik atau sintetik penuh. Sifat antibotik berbeda-beda dan digunakan dalam pengobatan sesuai dengan sifatnya, misalnya obat golongan Penisilin G sangat aktif terhadap bakteri Gram positif sedangkan bakteri Gram negatif tidak peka oleh Penisilin.

Menurut Lechtman dan Wistreich (1980), antibiotik pilihan untuk

Streptococcus agalactiae atau Streptococcus hemolytic adalah Penicilin yang bekerja sebagai bakterisidal. Metode terbaik untuk mengetahui dan membedakan keefektifan antibiotik terhadap mikroba adalah dengan membedakan konsentrasi minimum yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba (Minimum Inhibitory Concentration determination).

Resistensi antibiotik adalah tidak efektifnya penggunaan antibiotik yang digunakan untuk bakteri jenis tertentu. Menurut Setyabudi (2007), secara garis besar, mikroba dapat menjadi resisten terhadap suatu antibiotik melalui tiga mekanisme, yaitu obat tidak dapat mencapai tempat kerja aktif dalam sel mikroba, inaktivasi obat, dan mekanisme mikroba merubah ikatan (binding site). Penyebaran resistensi pada mikroba dapat terjadi secara vertikal (diturunkan dari generasi ke generasi) atau secara horizontal dari suatu sel donor. Resistensi dipindahkan dengan empat cara, yaitu: mutasi, transduksi, transformasi, dan konjugasi.

Diketahui ada beberapa mikroorganisme yang menggambarkan resistensi terhadap antibiotik–antibiotik tertentu akibat mutasi, termasuk diantaranya adalah

Streptococcus agalactiae. Kenyataan ini sangat penting dalam pengobatan penyakit, karena antibiotik yang pada mulanya efektif untuk mengendalikan suatu infeksi bakterial menjadi kurang atau tidak efektif lagi. Hal ini terjadi disebabkan oleh munculnya mutan–mutan oleh bakteri yang bersangkutan (Pelczar & Chan 2007). Mekanisme resistensi yang terjadi adalah mengubah DNA, merusak dinding membran permeabel, mengganggu pembentukan enzim proteolitik, dan mengubah enzim (Black 2005; Pelczar & Chan 2007).

Resistensi antibiotik yang terjadi pada kasus mastitis subklinis dapat disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang sering, berlebihan, serta penggunaan dalam jangka waktu lama. Penggunaan antibiotik pada mastitis dengan penyebab bakteri yang sudah resisten menjadi tidak efektif, oleh karena itu untuk pengobatan mastitis subklinis diperlukan jenis antibiotik yang baru atau dosis yang digunakan lebih tinggi. Beberapa antibiotik yang diuji adalah Penisilin G, Ampisilin, Enrofloksasin, Gentamisin, Siprofloksasin, Eritromisin, Kanamisin, dan Tetrasiklin.

Penisilin G (Benzil Penisilin)

Bangun dasar bentuk antibiotik Penisilin adalah asam 6-aminopentasianat, suatu dipeptida bisiklik dari sitein dan valin. Penisilin didapat dari alam, yakni dari kultur Penicillium notatum dan P. chrysogenum. Penisilin G merupakan antibiotik yang memiliki aktifitas terbaik terhadap bakteri Gram positif yang sensitif. Kerja Penisilin G efektif terhadap bakteri yang sensitif, perkembangan resistensi yang sedikit dan toksisitas yang minimum sehingga Penisilin G lebih sering digunakan. Penisilin G memiliki kelemahan, yaitu tidak tahan terhadap asam lambung, sehingga tidak cocok untuk penggunaan peroral (Mutschler 1991; Istiantoro & Vincent 2007a; Setyabudi 2007).

Mekanisme kerja Penisilin adalah dengan mengikat protein kuman dengan membentuk penicillin-binding protein, menghambat pembentukan dinding sel bakteri dan mengaktivasi enzim proteolitik bakteri sehingga dinding sel bakteri rusak. Daerah kerjanya mencakup kokus Gram positif dan negatif, basil Gram positif dan Spirochaeta.

Sejak Penisilin mulai digunakan, jenis mikroba yang sebelumnya sensitif semakin lama menjadi kurang sensitif. Resistensi Penisilin terjadi dengan beberapa mekanisme yaitu dengan membentuk enzim beta laktamase, merubah

penicillin binding protein serta menginaktivasi enzim autolisin (Istiantoro & Vincent 2007a).

Ampisilin

Senyawa ini merupakan turunan pertama 6-aminopenisilanat. Ampisilin disebut juga sebagai Penisilin spektrum luas karena selain bekerja pada mikroba

yang sama dengan Penisilin G, Ampisilin juga aktif terhadap sejumlah bakteri Gram negatif seperti E. coli. Menurut Mutschler (1991), Ampisilin kurang berkhasiat dibandingkan dengan Penisilin G terhadap bakteri Gram positif. Ampisilin lebih stabil terhadap asam sehingga dapat diberikan secara oral. Laju absorbsi Ampisilin relatif lambat sekitar dua kali lebih lama dibandingkan Penisilin G yaitu 50% terabsorbsi pada waktu paruh plasma 1-2 jam (Mutschler 1991; Istiantoro & Vincent 2007a).

Eritromisin

Eritromisin didapatkan dari Streptomyces erythreus. Eritromisin termasuk kelompok makrolida yang masih aktif dalam kondisi asam lambung. Kelompok ini bekerja efektif pada bakteri Gram positif terutama yang telah resisten terhadap Penisilin dan Tetrasiklin atau alergi terhadap Penisilin. Antara kelompok makrolida dapat terjadi resistensi silang (Mutschler 1991; Istiantoro & Vincent 2007a).

Gentamisin

Gentamisin adalah senyawa yang didapat dari filtrat kultur jenis Mikromonospora. Gentamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida. Secara klinis, Gentamisin sangat berarti karena peranannya terhadap mikroba Gram negatif. Gentamisin digunakan pada infeksi oleh bakteri yang telah resisten terhadap antibiotika lain (Istiantoro & Vincent 2007b). Seperti

antibiotik golongan aminoglikosida lainnya, bakteri dapat menjadi resisten karena kegagalan penetrasi ke dalam sel bakteri, rendahnya afinitas obat pada ribosom atau inaktivasi obat oleh enzim yang dihasilkan bakteri (Mutschler 1991).

Kanamisin

Kanamisin didapat dari filtrat kultur Streptomyces kanamycetius. Antibiotik ini merupakan antibiotik golongan aminoglikosida dengan mekanisme resistensi yang sama dengan Gentamisin. Pemakaian pada oral hampir tidak ada yang diabsorbsi sehingga mengurangi flora usus namun demikian pemberian intramuskular baik digunakan karena cepat diabsorbsi. Toksisitas antibiotik ini

cukup tinggi sehingga saat ini sudah jarang digunakan dan hanya digunakan topikal pada mata (Istiantoro & Vincent 2007b; Setyabudi 2007).

Tetrasiklin

Tetrasiklin termasuk antibiotik dengan spektrum luas yang diisolasi dari berbagai jenis Streptomyces viridifaciens. Tetrasiklin bekerja pada semua mikroba yang peka terhadap Penisilin, berbagai jenis Gram negatif, Mikrospora, Spirochaeta, Riketsia, Chlamidia dan Leptospira. Tetrasiklin terdistribusi dengan merata di seluruh tubuh namun kurang baik menembus sawar otak. Spektrum kerja yang luas antibiotik ini menyebabkan pemakaian yang sering dalam pengobatan medik sehingga resistensi beberapa galur bakteri meningkat. Sama dengan antibiotik spektrum luas lain, tetrasiklin per oral dapat mengganggu keseimbangan flora normal dalam saluran cerna (Istiantoro & Vincent 2007a; Setyabudi 2007).

Streptococcus β-hemolisis merupakan salah satu bakteri yang memiliki tingkat resistensi tinggi terhadap tetrasiklin. Mekanisme terjadinya resistensi adalah dengan dibentuknya protein pompa yang dapat mengeluarkan obat dari dalam sel bakteri. Protein ini dikode di dalam plasmid dan dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri lain melalui proses transduksi atau konjugasi (Istiantoro & Vincent 2007a).

Siprofloksasin

Siprofloksasin merupakan obat golongan flouroquinolon yang sering digunakan untuk pengobatan bakteri Gram positif. Golongan floroquinolon mudah mengalami resistensi dengan mekanisme pembentukan protein binding

yang berbeda. Keefektifan Siprofloksasin dapat dipengaruhi pula oleh mekanisme resistensi silang oleh anggota golongan quinolon atau fluroquinolon (Istiantoro & Vincent 2007a).

Enrofloksasin

Enrofloksasin juga termasuk antibiotik golongan fluroquinolon. Enrofloksasin dapat digunakan per oral karena lebih tahan terhadap asam lambung. Mekanisme resistensi Enrofloksasin sama seperti golongan

flouroquinolon dengan mengubah mekanisme ikatan protein kuman dengan obat (Istiantoro & Vincent 2007a).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu pengambilan sampel dan pengujian di laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan di peternakan rakyat KUNAK, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor dan pengujian sampel dilakukan di laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB. Penelitian dimulai pada bulan Oktober hingga Desember 2010.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah botol sampel steril, rak, label, lap bersih, tisu, sarung tangan, icepack, icebox, serta kapas beralkohol. Alat yang digunakan untuk pemeriksaan di laboratorium adalah cawan Petri, tabung reaksi, gelas objek, ose, spatel, pipet steril, mikroskop, tube sheaker, inkubator.

Bahan yang digunakan adalah sampel susu, alkohol 70%, disinfektan (larutan klorin 1.5-2 ppm), Blood Agar Base No.2 (Oxoid® CM0271) ditambah dengan 5% darah domba, Müller-Hinton agar (Oxoid® CM0337), Brain Heart Infusion (Bacto® 237500), pewarnaan methylen blue löffler, cakram antibiotik yang digunakan yaitu Penisillin G, Ampisillin, Eritromisin, Enrofloksasin, Gentamisin, Kanamisin, Siprofloksasin dan Tetrasiklin.

Metode Penelitian Pengambilan Sampel

Sampel susu diambil dari 54 ekor sapi dalam masa laktasi normal serta sehat secara klinis. Sampel diambil pada waktu pemerahan pagi. Ambing sapi yang akan diperah dibersihkan dengan air bersih, dilap dengan lap yang dibasahi desinfektan dan kemudian dilap dengan tisu yang dibasahi alkohol 70%. Tangan pemerah menggunakan sarung tangan steril. Susu pancaran pertama dibuang dan pancaran selanjutnya diambil sebanyak 10 ml, sampel ditampung dalam botol sampel steril kemudian ditutup rapat dan disimpan dalam icebox.

Pengujian Laboratorium Pengujian Mastitis Subklinis

Pengujian mastitis subklinis dilakukan dengan uji IPB-1 dan penghitungan jumlah sel somatik menggunakan metode Breed (Sudarwanto 2009).

Pengujian Jenis Bakteri

Cawan Petri berisi agar darah dibagi menjadi empat bagian sesuai letak kuartir puting susu sapi (kanan depan, kanan belakang, kiri belakang dan kiri depan) menggunakan spidol marker. Sampel susu dari masing–masing kuartir digoreskan sebanyak satu ose pada setiap bagian dan diinkubasikan selama 20-24 jam dalam suhu 37 °C. Koloni yang terbentuk setelah 24 jam diamati bentuk, warna, ukuran serta kemampuan menghemolisa darah. Koloni yang diamati dipastikan dalam pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan methylen blue.

Koloni yang diduga Streptococcus agalactiae diperiksa dengan CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson). CAMP test dilakukan pada agar darah dengan bakteri Staphylococcus aureus sebagai penanda. Biakkan diinkubasi selama 24- 48 jam dalam suhu 37 °C, biakkan diamati kembali. Koloni Streptococcus agalactiae memperlihatkan hasil positif CAMP yaitu dengan membentuk zona setengah bulan. Hasil positif uji CAMP kemudian diuji antibiogram.

Pengujian Antibiogram

Uji antibiogram dilakukan setelah koloni memperlihatkan hasil positif uji CAMP. Koloni dibiakkan dalam Brain Heart Infusion broth selama 30-60 menit pada suhu 37 °C. Hasil biakkan diambil sebanyak 0.1 ml dengan pipet dan disebarkan dalam agar Müller-Hinton menggunakan spatel. Cakram antibiotik yang akan diuji (Penisilin G, Ampisilin, Enrofloksasin, Eritromisin, Gentamisin, Kanamisin, Siprofloksasin dan Tetrasiklin) diletakkan di permukaan agar dan diiinkubasi dalam inkubator bersuhu 37 °C selama 24 jam. Setiap cawan Petri berisi 4-5 cakram antibiotik yang berbeda dengan satu cakram kontrol negatif (blank control) di tengah cawan Petri. Hasil uji berupa zona bening pada sekeliling cakram antibiotik dan diukur diameternya. Streptococcus agalactiae

yang telah resisten terhadap antibiotik tertentu tidak membentuk zona bening atau hanya membentuk zona bening pudar yang kurang dari diameter normal efektif.

Pengamatan awal membuktikan banyaknya bakteri penyebab mastitis subklinis telah resisten terhadap antibiotik yang diuji maka antibiotik yang diujikan diubah. Penisilin G, Ampisilin, Eritromisin dan Tetrasiklin tetap diuji karena antibiotik tersebut sering digunakan oleh peternak serta mudah didapatkan. Gentamisin dan Siprofloksasin juga diuji untuk mengetahui keefektifan antibiotik ini pada bakteri lapang di KUNAK.

Analisa Data

Analisa data yang digunakan adalah analisa deskriptif untuk menggambarkan persentase Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis yang resisten terhadap beberapa jenis antibiotik di KUNAK Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejumlah 205 sampel susu kuartir yang diambil dari 54 ekor sapi di 7 kandang peternakan rakyat KUNAK, Bogor, diidentifikasi 143 (69.76%) sampel positif mastitis subklinis (Winata 2011). Identifikasi mastitis subklinis ditandai dengan jumlah sel somatis yang melebihi 400 000 sel/ml sampel (metode Breed) serta ditemukan bakteri patogen pada sampel. Sampel susu mastitis subklinis dapat mengandung lebih dari satu jenis mikroba patogen. Sebanyak 14 (9.79%) sampel positif mengandung Streptococcus agalactiae.

Streptococcus agalactiae diidentifikasi pertama kali melalui biakan pada agar darah, selain itu dapat ditemukan juga koloni seperti Staphylococcus sp.

Streptococcus agalactiae merupakan Streptococcus golongan B yang menghasilkan zona hemolitik sempurna pada agar darah. Diameter koloni bakteri ini 1-2 mm, berwarna agak kehijauan dan menghasilkan zona hemolitik hanya sedikit lebih besar di sekeliling koloni (Pelczar & Chan 2007).

Tabel 1 Identifikasi bakteri dari biakan agar darah (Poeloengan 2009)

Bakteri Bentuk Permukaaan Warna Hemolisis

Staphylococcus aureus Bulat Cembung Putih

kekuningan

(+)

Streptococcus nonhemolytic Bulat Cembung Putih

kehijauan

(-)

Streptococcus agalactiae/hemolytic

Bulat Cembung Transparan

kehijauan

(+)

Menurut Poeloengan (2009), pada biakan agar darah, Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus dapat menghemolisa darah. Kedua koloni ini dibedakan dari warna koloni, Streptococcus agalactiae transparan kehijauan sedangkan Staphylococcus aureus berwarna putih kekuningan (Tabel 1). Penelitian ini menitikberatkan pada Streptococcus agalactiae karena bakteri ini dapat menyebabkan penyakit pada manusia yaitu meningitis dan infeksi menyeluruh pada bayi yang baru lahir.

Streptococcus agalactiae memiliki bentuk bulat berwarna ungu dan berantai

Dokumen terkait