• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Resistensi Streptococcus agalactiae Penyebab Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah Kunak Bogor Terhadap Beberapa Antibotik (Studi Kasus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Resistensi Streptococcus agalactiae Penyebab Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah Kunak Bogor Terhadap Beberapa Antibotik (Studi Kasus)"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

KRISNIA VIRGIHANI. Review of Resistance of Streptococcus agalactiae as A Cause Agent of Subclinical Mastitis to Several Antibiotic in Dairy Farm Kunak Bogor (Case Study). Under direction of MIRNAWATI SUDARWANTO and HERWIN PISESTYANI.

Subclinical mastitis is an inflamation of the mamary gland which cause of decrease milk production. Streptococcus agalactiae is one of pathogenic microorganism agent of subclinical mastitis in dairy farm. This study showed that the percentage of Streptococcus agalactiae infection were 9.79% in dairy farm at KUNAK Bogor and the resistance of those Streptococcus agalactiae to severe antibiotic. In this case showed that Eritromycin were effective as antibiotic to

Streptococcus agalactiae. The broad spectrum antibiotic made the therapy uneffetive to some antibiotic.

(2)

TINJAUAN RESISTENSI Streptococcus agalactiae PENYEBAB

MASTITIS SUBKLINIS DI PETERNAKAN SAPI PERAH

KUNAK BOGOR TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIK

(STUDI KASUS)

KRISNIA VIRGIHANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

ABSTRACT

KRISNIA VIRGIHANI. Review of Resistance of Streptococcus agalactiae as A Cause Agent of Subclinical Mastitis to Several Antibiotic in Dairy Farm Kunak Bogor (Case Study). Under direction of MIRNAWATI SUDARWANTO and HERWIN PISESTYANI.

Subclinical mastitis is an inflamation of the mamary gland which cause of decrease milk production. Streptococcus agalactiae is one of pathogenic microorganism agent of subclinical mastitis in dairy farm. This study showed that the percentage of Streptococcus agalactiae infection were 9.79% in dairy farm at KUNAK Bogor and the resistance of those Streptococcus agalactiae to severe antibiotic. In this case showed that Eritromycin were effective as antibiotic to

Streptococcus agalactiae. The broad spectrum antibiotic made the therapy uneffetive to some antibiotic.

(4)

RINGKASAN

KRISNIA VIRGIHANI. Tinjauan Resistensi Streptococcus agalactiae Penyebab Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah KUNAK Bogor terhadap Beberapa Antibiotik (Studi Kasus). Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO dan HERWIN PISESTYANI.

Susu merupakan bahan pangan asal hewan yang mengandung gizi tinggi yang dibutuhkan oleh anak sapi dan manusia. Susu dapat mengandung mikroorganisme yang berasal dari lingkungan maupun tubuh sapi. Peradangan pada ambing atau mastitis menyebabkan susu yang dihasilkan oleh sapi mengandung berbagai macam mikroba. Streptococcus agalactiae merupakan bakteri yang diwaspadai sebagai penyebab mastitis subklinis. Bakteri ini dapat menyebabkan penyakit tonsilitis dan meningitis pada manusia yang mengkonsumsi susu tercemar tanpa penanganan yang baik. Streptococcus agalactiae diketahui telah resisten terhadap beberapa jenis antibiotik. Resistensi bakteri Streptococcus agalactiae terhadap beberapa antibiotik menyebabkan pengobatan menjadi tidak efektif dan masa pengobatan menjadi lebih panjang serta tidak produktifnya ternak sapi perah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persentase sapi penderita mastitis subklinis yang disebabkan oleh

Streptococcus agalactiae dan resistensi bakteri ini terhadap antibiotik yang sering digunakan untuk pengobatan mastitis subklinis.

Metode dalam penelitian ini meliputi pengambilan sampel susu di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor sebanyak 205 sampel kuartir dari 54 ekor sapi. Pengambilan sampel susu dilakukan secara aseptis. Pengujian sampel susu dilakukan di laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet IPB, Bogor. Sampel susu diuji mastitis subklinis menggunakan metode Breed dan pereaksi IPB-1. Sampel positif mastitis subklinis dikultur dalam agar darah untuk diperiksa koloni yang tumbuh. Koloni yang diduga Streptococcus agalactiae di uji kembali dengan uji CAMP. Koloni positif pada uji CAMP diuji antibiogram menggunakan beberapa cakram antibiotik yang berbeda.

Berdasarkan hasil uji antibiogram, Streptococcus agalactiae telah mengalami resistensi terhadap antibiotik Penisilin, Ampisilin, Tetrasiklin, Eritromisin, Gentamisin, Kanamisin, Siprofloksasin dan Enrofloksasin. Dalam penelitian ini, Eritromisin masih memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan Streptococcus agalactiae.

(5)

TINJAUAN RESISTENSI Streptococcus agalactiae PENYEBAB

MASTITIS SUBKLINIS DI PETERNAKAN SAPI PERAH

KUNAK BOGOR TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIK

(STUDI KASUS)

KRISNIA VIRGIHANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan Judul Tinjauan Resistensi Streptococcus agalactiae Penyebab Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah KUNAK Bogor terhadap Beberapa Antibiotik (Studi Kasus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

Krisnia Virgihani

(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang - Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)
(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya yang telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Judul skripsi yang dipilih dalam penelitian sejak bulan Oktober 2010 ini adalah tinjauan resistensi Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis di peternakan sapi perah kunak bogor terhadap beberapa antibiotik (studi kasus).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto selaku ketua komisi pembimbing dan drh. Herwin Pisestyani, MSi selaku anggota komisi pembimbing, kepada Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi selaku pembimbing akademik. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Japan International Coorporation (JICA) atas bantuannya dalam penyelesaian penelitian, kepada rekan sepenelitian, Fitrian Winata dan Siska Aryana atas kerja sama, pengingat dan penyemangat penyelesaian skripsi serta keluarga (Ayah, Mama, adik-adik) atas kasih sayang, perhatian, dukungan, dan pengorbanan serta doa yang selalu dipanjatkan,

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaaat.

Bogor, Oktober 2011

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 27 Agustus 1990 dari ayah H. Parlan S dan Ibu Hj. Watmani. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.

Pada tahun 2004-2007 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Islam PB Soedirman Jakarta dan pada tahun 2007 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis melanjutkan pendidikan di program Sarjana Kedokteran Hewan diFakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis aktif dalam keanggotaan (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia) IMAKAHI tahun 2008-2009 serta anggota Himpunan Profesi Ornithologi dan Unggas FKH IPB.

(11)
(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Identifikasi bakteri dari biakan agar darah (Poeloengan 2009)... 17

2. Hasil identifikasi bakteri dari pemeriksaan mikroskopis ... 18

3. Zona hambat bakteri terhadap beberapa antibiotik (mm) (Schintzer &

Grunberg 1957; Aaestrup & Schwarz 2006; White 2006)... 19

4. Aktivitas antibiotik pada Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari

pengambilan sampel pertama ... 20

5. Aktivitas antibiotik pada Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari

pengambilan sampel kedua ... 20

6. Aktivitas antibiotik pada Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu merupakan bahan utama makanan bagi hewan mamalia yang baru

lahir. Susu memiliki kandungan gizi yang tinggi sehingga diperlukan oleh bayi

hewan atau manusia, balita dan anak-anak pada masa pertumbuhan. Susu dan

hasil olahannya merupakan makanan yang berfungsi untuk menjaga kondisi

kesehatan tubuh dan mempercepat persembuhan.

Susu merupakan bahan pangan asal hewan yang digunakan sebagai sumber

protein dan glukosa. Susu memiliki aktivitas air yang tinggi. Hal ini

menyebabkan susu menjadi bahan pangan yang sangat potensial untuk

pertumbuhan mikroba. Berbagai macam mikroba dapat tumbuh dalam susu.

Mikroba ini dapat berasal dari lingkungan ataupun dari dalam tubuh hewan itu

sendiri. Pencemaran yang umum terjadi pada hewan sehat berasal dari luar tubuh

hewan, seperti dari peralatan perah, pekerja, maupun udara sekitar tempat

pemerahan. Berbagai macam mikroba ini dapat menyebabkan mastitis.

Mastitis adalah peradangan jaringan interna ambing (Subronto 2003;

Lukman et al. 2009). Secara garis besar, mastitis terbagi dua, yakni mastitis klinis dengan gejala klinis yang terlihat jelas dan mastitis subklinis dengan gejala yang

tidak terlihat. Mastitis dapat terjadi pada berbagai jenis hewan dan secara

ekonomis memiliki dampak merugikan kepada peternak sapi perah. Hal ini

disebabkan kasus mastitis subklinis sering tidak disadari oleh peternak yang

melihat sapi dalam keadaan sehat, tetapi terjadi penurunan produksi susu.

Penurunan produksi susu per hari per ekor sapi penderita mastitis subklinis akan

menyebabkan peternak mengalami kerugian.

Secara ekonomi, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya

penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat

mastitis. Kerugian lain timbul akibat adanya residu antibiotika dalam susu, biaya

pengobatan dan tenaga kerja, pengafkiran dini, meningkatnya biaya penggantian

sapi perah, susu terbuang, dan kematian pada sapi serta adanya penurunan kualitas

(15)

Mastitis subklinis dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme

seperi bakteri, kapang dan khamir. Tingkat keparahan mastitis sangat dipengaruhi

oleh mikroorganisme penyebabnya. Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus adalah dua bakteri utama penyebab mastitis. Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri seperti Coliform, Staphylococcus aureus dan beberapa spesies Streptococcus, dapat diobati dengan beberapa jenis antibiotik (Songer & Post2005; Wahyuni et al. 2005).

Sapi yang teridentifikasi mastitis atau mastitis subklinis dapat segera diobati

dengan berbagai antibiotik. Mycoplasma, Streptococcus sp., Pasteurella dan kapang adalah beberapa mikroba penyebab mastitis subklinis yang memberi

respon rendah dalam pemberian antibiotik. Mikroba-mikroba ini memiliki

mekanisme resisten terhadap antibiotik (Lenski 1998; Giguere et al. 2006).

Streptococcus agalactiae merupakan bakteri Gram positif yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia seperti meningitis pada bayi, Scarlet fever

dan tonsilitis (Songer & Post 2005; Lukman et al. 2009). Resistensi bakteri

Streptococcus agalactiae terhadap beberapa antibiotik menyebabkan pengobatan tidak efektif dan masa pengobatan menjadi lebih panjang serta ternak menjadi

tidak produktif.

Penelitian tentang tingkat resistensi Streptococcus agalactiae perlu dilakukan sehingga dapat memberikan terapi yang efektif. Dalam penelitian ini,

sapi yang terkena mastitis subklinis dengan penyebab bakteri Streptococcus agalactiae diperiksa lebih lanjut keadaan resistensinya terhadap antibiotik.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui persentase sapi penderita mastitis subklinis di peternakan

sapi perah KUNAK Bogor yang disebabkan oleh Streptococcus agalactiae.

2. Mengetahui persentase Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis yang telah mengalami resistensi terhadap beberapa

(16)

3. Mengetahui jenis antibiotik yang masih efektif untuk pengobatan

mastitis subklinis tersebut.

Manfaat

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi:

a. Dokter hewan dan peternak untuk menggunakan antibiotik yang tepat dalam

pengobatan mastitis subklinis yang disebabkan oleh Streptococcus agalactiae.

b. Peternak dalam menerapkan manajemen kebersihan kandang untuk

pencegahan mastitis subklinis yang disebabkan oleh Streptococcus agalactiae.

c. Perusahan pengembangan antibiotik untuk mengembangkan jenis atau dosis

antibiotik yang sesuai dengan tingkat resistensi Streptococcus agalactiae. d. Mahasiswa maupun peneliti lain terhadap kejadian resistensi antibiotik oleh

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Mastitis Subklinis

Mastitis adalah peradangan jaringan internal ambing yang umum terjadi di

peternakan sapi perah di seluruh dunia. Mikroorganisme disebut sebagai faktor

utama penyebab kejadian mastitis. Mastitis dapat menyebabkan kerugian berupa

penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya untuk pengobatan, susu

yang terbuang akibat terapi antibiotik dan penyembuhan beberapa infeksi mastitis

yang sulit sehingga sapi diafkir lebih awal (Subronto 2003; Giguere et al. 2006). Mastitis adalah penyakit multifaktorial dan sulit disembuhkan. Kausa

mastitis beragam yaitu bakteri, virus, dan cendawan. Mikroba dapat menjadi

kausa penyakit pada ambing melalui dua cara yaitu secara ascendens dari lubang puting dan secara descendens melalui pembuluh darah (Sudarwanto 1987; Sunartatie et al. 1990; Lukman et al. 2009).

Kejadian mastitis sering terjadi pada masa kering kandang dan biasanya

bersifat subklinis. Hal ini terjadi karena pada masa kering kandang, sel-sel alveol

sedang dirombak dan diganti, sehingga sel-sel epitel yang rusak digunakan oleh

mikroba untuk masuk sebelum sel epitel alveol yang baru terbentuk (Subronto

2003).

Hurley dan Morin (2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing

diawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan

multiplikasi. Pembuluh darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi

peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat

disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi. Adanya filtrasi cairan ke

jaringan menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi

diapedesis, sel-sel PMN dan makrofag keluar dari pembuluh darah menuju

jaringan yang terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran bakteri.

Secara garis besar, mastitis dibedakan menjadi dua, yaitu mastitis klinis dan

mastitis subklinis. Diagnosa mastitis klinis dapat dengan mudah ditentukan dari

gejala klinis, yaitu adanya pembengkakan atau kemerahan pada ambing.

Pemeriksaan fisik menunjukkan hewan mengalami kenaikan suhu tubuh, denyut

(18)

fisik, selain itu hewan penderita mengalami gejala sakit secara umum, misalnya

demam atau penurunan nafsu makan (Kelly 1986).

Berbeda dengan mastitis klinis, mastitis subklinis tidak menunjukkan gejala

klinis. Definisi mastitis subklinis menurut International Dairy Federation (IDF)

adalah mastitis yang ditandai peningkatan jumlah sel somatik lebih dari 400 000

sel/ml dan ditemukan bakteri patogen. Susu yang diambil berasal dari kuartir

dalam masa laktasi normal (Subronto 2003; Hogeveen 2005; Lukman et al .

2009).

Penurunan kuantitas dan kualitas susu jarang diamati oleh peternak

sedangkan penurunan kualitas susu hanya dapat diperiksa di laboratorium, oleh

karena itu diagnosa mastitis subklinis jarang dilakukan. Kualitas susu yang

diperiksa melalui perubahan kimiawi pada susu, meliputi penurunan jumlah

kasein, total protein dan gula susu atau laktosa (Subronto 2003). Diagnosa

mastitis subklinis dapat dilakukan dengan berbagai cara pengujian susu, misalnya

dengan uji katalase, California Mastitis Test, Whiteside Test, Aulendorfer Mastitis Probe, Wisconsin Mastitis Test, uji mastitis dengan IPB-1 atau pengujian secara langsung dengan menghitung jumlah sel somatik menggunakan metode Breed

(Lukman et al. 2009).

Kejadian mastitis subklinis di daerah Bogor dan Cipanas diperiksa dengan

metode Breed dan milkcheker. Sebanyak seratus sampel (49.3%) dari 203 sampel kuartir dideteksi positif mastitis subklinis (Sudarwanto 1997). Penelitian Winata

(2011) menyatakan bahwa, sebanyak 69.76% sampel susu yang berasal dari

KUNAK, Bogor, teridentifikasi positif mastitis subklinis. Hal ini didapatkan dari

perhitungan jumlah sel somatik yang melebihi angka 400.000 sel/ml sampel susu menggunakan metode Breed.

Streptococcus agalactiae

Streptococcus sp. berbentuk sesuai namanya yaitu bulat (coccus) dan berbentuk rantai atau berpasangan. Semua spesiesnya merupakan bakteri non

motil dan tidak membentuk spora. Kelompok bakteri ini termasuk bakteri Gram

positif anaerob fakultatif, kebanyakan berkembang di udara tetapi beberapa

(19)

Streptococcus tidak dapat mereduksi nitrat tetapi mampu memfermentasi glukosa dengan produk utama adalah asam laktat, tidak pernah berupa gas. Banyak

spesies merupakan anggota dari mikroflora normal pada membran mukosa dari

manusia ataupun hewan, dan beberapa bersifat patogen. Streptococcus

digolongkan berdasarkan kombinasi sifatnya, antara lain sifat pertumbuhan

koloni, pola hemolisis pada agar darah (ά-hemolisis, -hemolisis atau tanpa hemolisis/ -hemolisis), susunan antigen pada dinding sel yang spesifik untuk golongan tertentu dan reaksi-reaksi biokimia (Jawetz et al.1960; Jawetz 1986; Black 2005; Songer & Post 2005).

Streptococcus agalactiae merupakan satu-satunya anggota grup B menurut klasifikasi Lancefield (1867), yang diacu dalam Songer dan Post (2005) yang

membagi genus Streptococus dengan klasifikasi species spesifik karbohidrat pada antigen dinding sel. Streptococcus agalactie terkenal sebagai penyebab mastitis pada sapi. Pada hewan lain, seperti domba, kambing dan unta, bakteri ini juga

menyebabkan mastitis dan laminitis. Streptococcus agalactiae dapat ditemukan pada vagina dan bagian orofaring manusia. Pada manusia, bakteri ini dapat

menyebabkan meningitis. Streptococcus agalactiae juga merupakan bakteri yang hanya sedikit berespon terhadap terapi antibiotik (Songer & Post 2005).

Bakteri ini secara khas menghasilkan hemolisin yang dapat menghemolisa

sel darah merah secara in vitro. Kelompok Streptococcus dapat menghemolisa eritrosit dengan melepas hemoglobin secara sempurna termasuk dalam kelompok

-hemolitik (Jawetz et al. 1960). Streptococcus agalactiae membentuk daerah hemolisis yang hanya sedikit lebih besar dari koloninya (bergaris tengah 1-2 mm).

Streptococcus golongan B menghidrolisis natrium hipurat dan memberi respon positif pada tes CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson), oleh karena itulah

Streptococcus agalactiae biasa diidentifikasi dengan CAMP test (Songer & Post 2005). Strain Streptococcus agalactiae meningkatkan aktivitas hemolitik pada Staphylococcal ß-toksin membentuk tanda seperti anak panah pada reaksi CAMP.

Staphylococcus yang umum digunakan adalah Staphylococcus aureus (Songer & Post 2005).

(20)

penggunaan antibiotik yang tepat dijalankan. Respon awal ambing terhadap

invasi Streptococcus agalactiae adalah pembuluh darah ambing mengeluarkan neutrofil dan membentuk udema interstisium. Umumnya bakteri ini tidak hanya

menyerang satu puting saja (Carlton & Mc Gavin 1995).

Menurut Wahyuni et al. (2006), di wilayah Bogor, teridentifikasi 63% kejadian mastitis subklinis disebabkan oleh Streptococcus agalactiae. Kejadian yang tinggi ini terjadi karena Streptococcus agalactiae mempunyai kemampuan adesi yang kuat pada reseptor spesifik sel inang. Bakteri ini diwaspadai

keberadaannya dalam susu sapi karena merupakan bakteri yang tahan temperatur

tinggi, selain itu bakteri ini dapat memproduksi kapsul polisakarida untuk

mencegah fagositosis. Bakteri ini dapat mempengaruhi kesehatan manusia yang

meminum susu tercemar dan tidak diolah dengan baik.

Bahaya Streptococcus agalactiae terhadap Kesehatan Mayarakat

Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus adalah dua bakteri utama penyebab mastitis (Songer & Post 2005; Wahyuni et al. 2006). Sampel yang diambil dari kabupaten Bogor menunjukkan bahwa, sebanyak 35 (63.6%)

isolat Streptococcus agalactiae didapatkan dari 75 sampel positif mastitis subklinis yang diperiksa (Wahyuni et al. 2006).

Utama et al. (2000) menyatakan bahwa sebagian besar isolat lapang

Streptococcus agalactiae yang diuji memiliki aktivitas hemaglutinasi pada eritrosit sapi dan ayam, serta sebagian kecil pada eritrosit manusia. Hal ini

menunjukkan bahwa Streptococcus agalactiae kemungkinan dapat menginfeksi manusia secara sistemik. Bakteri ini merupakan penyebab penting infeksi

postpartus dan infeksi neonatal pada manusia. Infeksi postpartus yang sering terjadi adalah endometritis dan infeksi neonatus berupa pneumonia, sepsis dan meningitis (Jawetz 1986; Songer & Post 2005; Lukman et al. 2009).

Streptococcus agalactiae juga dapat menyebabkan demam Scarlet atau Scarlatina. Penyakit ini menyerang anak berusia 5-15 tahun dan dapat

menimbulkan komplikasi pada hati dan ginjal. Demam Scarlet dipicu oleh bakteri

(21)

Pengobatan Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah

Antibiotik yang baik adalah antibiotik yang mudah larut dalam cairan tubuh,

memiliki toksisitas selektif, sulit terjadi resisten oleh mikroba, non alergenik,

stabil konsentrasinya baik sebelum digunakan maupun di dalam tubuh, tidak

mudah terjadi toksik, serta bekerja dalam waktu yang lama di dalam tubuh (Black

2005).

Mastitis merupakan penyebab umum penggunaan antibiotik di dalam

peternakan sapi perah sebagai terapi untuk mengontrol kejadian mastitis pada sapi

masa laktasi dan kering kandang. Mastitis lingkungan adalah mastitis yang

penyebabnya berasal dari lingkungan kandang misalnya feses. Feses mengandung

flora komensal usus terutama E. coli. Penggunaan antibiotik spektrum luas dilakukan untuk pengobatan mastitis yang disebabkan oleh E. coli. Hal ini disebabkan oleh strain E. coli penyebab mastitis tidak dapat dibedakan dengan strain E. coli normal di usus dan tidak ada faktor virulensi yang sama antar kedua bakteri tersebut yang dapat diidentifikasi. Penggunaan antibiotik spektrum luas

inilah yang menyebabkan terjadinya resistensi (White 2006).

Menurut Sunartatie et al. (1990), pengobatan mastitis di peternakan di Bogor menggunakan preparat antibiotika, antara lain: Penisilin, Terramisin

(Oxytetrasiklin), Vet Oxy (Oxytetrasiklin), Gantamisin, Kaloxy (Oxytetrasiklin), Propen (Penisilin), Pradipen (Penisilin), Neomastitar, dan Daimeton

(Sulfamonometoxine). Antibiotik-antibiotik tersebut sebagian besar sudah tidak

efektif terhadap bakteri lapang. Hal ini menyebabkan kegagalan pengobatan dan

peningkatan kasus mastitis subklinis di Kabupaten Bogor.

Antibiotik yang paling banyak digunakan di peternakan sapi perah adalah

antibiotik untuk pengobatan mastitis (Giguere et al. 2006). Di Amerika Serikat, pengobatan antibiotik melalui intramamaria untuk mastitis dengan penyebab

Streptococcus agalactiae adalah dengan Amoksisilin, Penisilin dan Eritromisin. Pengobatan dengan distribusi melalui saluran pencernaan dengan pemberian per

oral juga dapat digunakan selain pengobatan melalui intramamaria (Songer & Post

2005). Kekurangan pemberian antibiotik secara intramamaria adalah dapat

menyebabkan masuknya cendawan karena pengobatan tidak aseptis, obat yang

(22)

Resistensi Antibiotik

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu jenis mikroba untuk

menghambat atau membunuh mikroba lainnya. Banyak antibiotik yang sekarang

ini dibuat semisintetik atau sintetik penuh. Sifat antibotik berbeda-beda dan

digunakan dalam pengobatan sesuai dengan sifatnya, misalnya obat golongan

Penisilin G sangat aktif terhadap bakteri Gram positif sedangkan bakteri Gram

negatif tidak peka oleh Penisilin.

Menurut Lechtman dan Wistreich (1980), antibiotik pilihan untuk

Streptococcus agalactiae atau Streptococcus hemolytic adalah Penicilin yang bekerja sebagai bakterisidal. Metode terbaik untuk mengetahui dan membedakan

keefektifan antibiotik terhadap mikroba adalah dengan membedakan konsentrasi

minimum yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba (Minimum Inhibitory Concentration determination).

Resistensi antibiotik adalah tidak efektifnya penggunaan antibiotik yang

digunakan untuk bakteri jenis tertentu. Menurut Setyabudi (2007), secara garis

besar, mikroba dapat menjadi resisten terhadap suatu antibiotik melalui tiga

mekanisme, yaitu obat tidak dapat mencapai tempat kerja aktif dalam sel mikroba,

inaktivasi obat, dan mekanisme mikroba merubah ikatan (binding site). Penyebaran resistensi pada mikroba dapat terjadi secara vertikal (diturunkan dari

generasi ke generasi) atau secara horizontal dari suatu sel donor. Resistensi

dipindahkan dengan empat cara, yaitu: mutasi, transduksi, transformasi, dan

konjugasi.

Diketahui ada beberapa mikroorganisme yang menggambarkan resistensi

terhadap antibiotik–antibiotik tertentu akibat mutasi, termasuk diantaranya adalah

Streptococcus agalactiae. Kenyataan ini sangat penting dalam pengobatan penyakit, karena antibiotik yang pada mulanya efektif untuk mengendalikan suatu

infeksi bakterial menjadi kurang atau tidak efektif lagi. Hal ini terjadi disebabkan

oleh munculnya mutan–mutan oleh bakteri yang bersangkutan (Pelczar & Chan

2007). Mekanisme resistensi yang terjadi adalah mengubah DNA, merusak

dinding membran permeabel, mengganggu pembentukan enzim proteolitik, dan

(23)

Resistensi antibiotik yang terjadi pada kasus mastitis subklinis dapat

disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang sering, berlebihan, serta penggunaan

dalam jangka waktu lama. Penggunaan antibiotik pada mastitis dengan penyebab

bakteri yang sudah resisten menjadi tidak efektif, oleh karena itu untuk

pengobatan mastitis subklinis diperlukan jenis antibiotik yang baru atau dosis

yang digunakan lebih tinggi. Beberapa antibiotik yang diuji adalah Penisilin G,

Ampisilin, Enrofloksasin, Gentamisin, Siprofloksasin, Eritromisin, Kanamisin,

dan Tetrasiklin.

Penisilin G (Benzil Penisilin)

Bangun dasar bentuk antibiotik Penisilin adalah asam 6-aminopentasianat,

suatu dipeptida bisiklik dari sitein dan valin. Penisilin didapat dari alam, yakni

dari kultur Penicillium notatum dan P. chrysogenum. Penisilin G merupakan antibiotik yang memiliki aktifitas terbaik terhadap bakteri Gram positif yang

sensitif. Kerja Penisilin G efektif terhadap bakteri yang sensitif, perkembangan

resistensi yang sedikit dan toksisitas yang minimum sehingga Penisilin G lebih

sering digunakan. Penisilin G memiliki kelemahan, yaitu tidak tahan terhadap

asam lambung, sehingga tidak cocok untuk penggunaan peroral (Mutschler 1991;

Istiantoro & Vincent 2007a; Setyabudi 2007).

Mekanisme kerja Penisilin adalah dengan mengikat protein kuman dengan

membentuk penicillin-binding protein, menghambat pembentukan dinding sel bakteri dan mengaktivasi enzim proteolitik bakteri sehingga dinding sel bakteri

rusak. Daerah kerjanya mencakup kokus Gram positif dan negatif, basil Gram

positif dan Spirochaeta.

Sejak Penisilin mulai digunakan, jenis mikroba yang sebelumnya sensitif

semakin lama menjadi kurang sensitif. Resistensi Penisilin terjadi dengan

beberapa mekanisme yaitu dengan membentuk enzim beta laktamase, merubah

penicillin binding protein serta menginaktivasi enzim autolisin (Istiantoro & Vincent 2007a).

Ampisilin

Senyawa ini merupakan turunan pertama 6-aminopenisilanat. Ampisilin

(24)

yang sama dengan Penisilin G, Ampisilin juga aktif terhadap sejumlah bakteri

Gram negatif seperti E. coli. Menurut Mutschler (1991), Ampisilin kurang berkhasiat dibandingkan dengan Penisilin G terhadap bakteri Gram positif.

Ampisilin lebih stabil terhadap asam sehingga dapat diberikan secara oral. Laju

absorbsi Ampisilin relatif lambat sekitar dua kali lebih lama dibandingkan

Penisilin G yaitu 50% terabsorbsi pada waktu paruh plasma 1-2 jam (Mutschler

1991; Istiantoro & Vincent 2007a).

Eritromisin

Eritromisin didapatkan dari Streptomyces erythreus. Eritromisin termasuk kelompok makrolida yang masih aktif dalam kondisi asam lambung. Kelompok

ini bekerja efektif pada bakteri Gram positif terutama yang telah resisten terhadap

Penisilin dan Tetrasiklin atau alergi terhadap Penisilin. Antara kelompok

makrolida dapat terjadi resistensi silang (Mutschler 1991; Istiantoro & Vincent

2007a).

Gentamisin

Gentamisin adalah senyawa yang didapat dari filtrat kultur jenis

Mikromonospora. Gentamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida.

Secara klinis, Gentamisin sangat berarti karena peranannya terhadap mikroba

Gram negatif. Gentamisin digunakan pada infeksi oleh bakteri yang telah

resisten terhadap antibiotika lain (Istiantoro & Vincent 2007b). Seperti

antibiotik golongan aminoglikosida lainnya, bakteri dapat menjadi resisten karena

kegagalan penetrasi ke dalam sel bakteri, rendahnya afinitas obat pada ribosom

atau inaktivasi obat oleh enzim yang dihasilkan bakteri (Mutschler 1991).

Kanamisin

Kanamisin didapat dari filtrat kultur Streptomyces kanamycetius. Antibiotik ini merupakan antibiotik golongan aminoglikosida dengan mekanisme resistensi

yang sama dengan Gentamisin. Pemakaian pada oral hampir tidak ada yang

diabsorbsi sehingga mengurangi flora usus namun demikian pemberian

(25)

cukup tinggi sehingga saat ini sudah jarang digunakan dan hanya digunakan

topikal pada mata (Istiantoro & Vincent 2007b; Setyabudi 2007).

Tetrasiklin

Tetrasiklin termasuk antibiotik dengan spektrum luas yang diisolasi dari

berbagai jenis Streptomyces viridifaciens. Tetrasiklin bekerja pada semua mikroba yang peka terhadap Penisilin, berbagai jenis Gram negatif, Mikrospora,

Spirochaeta, Riketsia, Chlamidia dan Leptospira. Tetrasiklin terdistribusi dengan

merata di seluruh tubuh namun kurang baik menembus sawar otak. Spektrum

kerja yang luas antibiotik ini menyebabkan pemakaian yang sering dalam

pengobatan medik sehingga resistensi beberapa galur bakteri meningkat. Sama

dengan antibiotik spektrum luas lain, tetrasiklin per oral dapat mengganggu

keseimbangan flora normal dalam saluran cerna (Istiantoro & Vincent 2007a;

Setyabudi 2007).

Streptococcus β-hemolisis merupakan salah satu bakteri yang memiliki tingkat resistensi tinggi terhadap tetrasiklin. Mekanisme terjadinya resistensi

adalah dengan dibentuknya protein pompa yang dapat mengeluarkan obat dari

dalam sel bakteri. Protein ini dikode di dalam plasmid dan dipindahkan dari satu

bakteri ke bakteri lain melalui proses transduksi atau konjugasi (Istiantoro &

Vincent 2007a).

Siprofloksasin

Siprofloksasin merupakan obat golongan flouroquinolon yang sering

digunakan untuk pengobatan bakteri Gram positif. Golongan floroquinolon

mudah mengalami resistensi dengan mekanisme pembentukan protein binding

yang berbeda. Keefektifan Siprofloksasin dapat dipengaruhi pula oleh mekanisme

resistensi silang oleh anggota golongan quinolon atau fluroquinolon (Istiantoro &

Vincent 2007a).

Enrofloksasin

Enrofloksasin juga termasuk antibiotik golongan fluroquinolon.

Enrofloksasin dapat digunakan per oral karena lebih tahan terhadap asam

(26)

flouroquinolon dengan mengubah mekanisme ikatan protein kuman dengan obat

(27)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu pengambilan sampel dan

pengujian di laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan di peternakan rakyat

KUNAK, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor dan pengujian sampel

dilakukan di laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu

Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB. Penelitian

dimulai pada bulan Oktober hingga Desember 2010.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah botol sampel steril,

rak, label, lap bersih, tisu, sarung tangan, icepack, icebox, serta kapas beralkohol. Alat yang digunakan untuk pemeriksaan di laboratorium adalah cawan Petri,

tabung reaksi, gelas objek, ose, spatel, pipet steril, mikroskop, tube sheaker, inkubator.

Bahan yang digunakan adalah sampel susu, alkohol 70%, disinfektan

(larutan klorin 1.5-2 ppm), Blood Agar Base No.2 (Oxoid® CM0271) ditambah dengan 5% darah domba, Müller-Hinton agar (Oxoid® CM0337), Brain Heart Infusion (Bacto® 237500), pewarnaan methylen blue löffler, cakram antibiotik yang digunakan yaitu Penisillin G, Ampisillin, Eritromisin, Enrofloksasin,

Gentamisin, Kanamisin, Siprofloksasin dan Tetrasiklin.

Metode Penelitian

Pengambilan Sampel

Sampel susu diambil dari 54 ekor sapi dalam masa laktasi normal serta sehat

secara klinis. Sampel diambil pada waktu pemerahan pagi. Ambing sapi yang

akan diperah dibersihkan dengan air bersih, dilap dengan lap yang dibasahi

desinfektan dan kemudian dilap dengan tisu yang dibasahi alkohol 70%. Tangan

pemerah menggunakan sarung tangan steril. Susu pancaran pertama dibuang dan

pancaran selanjutnya diambil sebanyak 10 ml, sampel ditampung dalam botol

(28)

Pengujian Laboratorium

Pengujian Mastitis Subklinis

Pengujian mastitis subklinis dilakukan dengan uji IPB-1 dan penghitungan

jumlah sel somatik menggunakan metode Breed (Sudarwanto 2009).

Pengujian Jenis Bakteri

Cawan Petri berisi agar darah dibagi menjadi empat bagian sesuai letak

kuartir puting susu sapi (kanan depan, kanan belakang, kiri belakang dan kiri

depan) menggunakan spidol marker. Sampel susu dari masing–masing kuartir

digoreskan sebanyak satu ose pada setiap bagian dan diinkubasikan selama 20-24

jam dalam suhu 37 °C. Koloni yang terbentuk setelah 24 jam diamati bentuk,

warna, ukuran serta kemampuan menghemolisa darah. Koloni yang diamati

dipastikan dalam pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan methylen blue. Koloni yang diduga Streptococcus agalactiae diperiksa dengan CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson). CAMP test dilakukan pada agar darah dengan bakteri Staphylococcus aureus sebagai penanda. Biakkan diinkubasi selama 24-48 jam dalam suhu 37 °C, biakkan diamati kembali. Koloni Streptococcus agalactiae memperlihatkan hasil positif CAMP yaitu dengan membentuk zona setengah bulan. Hasil positif uji CAMP kemudian diuji antibiogram.

Pengujian Antibiogram

Uji antibiogram dilakukan setelah koloni memperlihatkan hasil positif uji

CAMP. Koloni dibiakkan dalam Brain Heart Infusion broth selama 30-60 menit pada suhu 37 °C. Hasil biakkan diambil sebanyak 0.1 ml dengan pipet dan

disebarkan dalam agar Müller-Hinton menggunakan spatel. Cakram antibiotik

yang akan diuji (Penisilin G, Ampisilin, Enrofloksasin, Eritromisin, Gentamisin,

Kanamisin, Siprofloksasin dan Tetrasiklin) diletakkan di permukaan agar dan

diiinkubasi dalam inkubator bersuhu 37 °C selama 24 jam. Setiap cawan Petri

berisi 4-5 cakram antibiotik yang berbeda dengan satu cakram kontrol negatif

(29)

yang telah resisten terhadap antibiotik tertentu tidak membentuk zona bening atau

hanya membentuk zona bening pudar yang kurang dari diameter normal efektif.

Pengamatan awal membuktikan banyaknya bakteri penyebab mastitis

subklinis telah resisten terhadap antibiotik yang diuji maka antibiotik yang

diujikan diubah. Penisilin G, Ampisilin, Eritromisin dan Tetrasiklin tetap diuji

karena antibiotik tersebut sering digunakan oleh peternak serta mudah didapatkan.

Gentamisin dan Siprofloksasin juga diuji untuk mengetahui keefektifan antibiotik

ini pada bakteri lapang di KUNAK.

Analisa Data

Analisa data yang digunakan adalah analisa deskriptif untuk

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejumlah 205 sampel susu kuartir yang diambil dari 54 ekor sapi di 7

kandang peternakan rakyat KUNAK, Bogor, diidentifikasi 143 (69.76%) sampel

positif mastitis subklinis (Winata 2011). Identifikasi mastitis subklinis ditandai

dengan jumlah sel somatis yang melebihi 400 000 sel/ml sampel (metode Breed)

serta ditemukan bakteri patogen pada sampel. Sampel susu mastitis subklinis

dapat mengandung lebih dari satu jenis mikroba patogen. Sebanyak 14 (9.79%)

sampel positif mengandung Streptococcus agalactiae.

Streptococcus agalactiae diidentifikasi pertama kali melalui biakan pada agar darah, selain itu dapat ditemukan juga koloni seperti Staphylococcus sp.

Streptococcus agalactiae merupakan Streptococcus golongan B yang menghasilkan zona hemolitik sempurna pada agar darah. Diameter koloni bakteri

ini 1-2 mm, berwarna agak kehijauan dan menghasilkan zona hemolitik hanya

sedikit lebih besar di sekeliling koloni (Pelczar & Chan 2007).

Tabel 1 Identifikasi bakteri dari biakan agar darah (Poeloengan 2009)

Bakteri Bentuk Permukaaan Warna Hemolisis

Menurut Poeloengan (2009), pada biakan agar darah, Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus dapat menghemolisa darah. Kedua koloni ini dibedakan dari warna koloni, Streptococcus agalactiae transparan kehijauan sedangkan Staphylococcus aureus berwarna putih kekuningan (Tabel 1). Penelitian ini menitikberatkan pada Streptococcus agalactiae karena bakteri ini dapat menyebabkan penyakit pada manusia yaitu meningitis dan infeksi

menyeluruh pada bayi yang baru lahir.

(31)

positif lainnya berdasarkan bentuk koloni yang berantai ketika dilihat melalui

mikroskop (Tabel 2) dan dapat membentuk zona hemolisa pada agar darah.

Tabel 2 Hasil identifikasi bakteri dari pemeriksaan mikroskopis

Bakteri Bentuk Sifat

Staphylococcus sp. Bulat Bergerombol seperti anggur

Streptococcus agalactiae Bulat Berantai

Streptococcus agalactiae atau bakteri diduga Streptococcus β-hemolytic

yang akan diuji antibiogram adalah bakteri yang positif dalam uji CAMP. Positif

uji CAMP adalah hasil yang menunjukkan zona hemolisa sempurna membentuk

mata anak panah atau setengah bulan pada daerah yang berdekatan dengan koloni

Staphylococcus aureus (garis horisontal).

Gambar 1 menunjukkan hasil uji CAMP yang dilakukan pada koloni yang

berasal dari tiga individu dengan perbandingan 1:2 terhadap aslinya. Koloni yang

membentuk garis horisontal adalah Staphylococcus aureus dan tiga koloni vertikal yang membentuk zona setengah bulan ke arah Staphylococcus aureus adalah

Streptococcus agalactiae yang membentuk hemolisa sempurna.

Gambar 1 Hasil uji CAMP menentukan Streptococcus agalactiae (skala 1:2).

Uji untuk mengetahui keefektifan antibiotik dilakukan dengan uji

antibiogram. Hasil yang diamati adalah penghitungan zona hambat berupa daerah

bening di sekitar cakram antibiotik. Antibiotik yang masih efektif terhadap

(32)

Tabel 3 Zona hambat bakteri terhadap beberapa antibiotik (mm) (Aarestrup & Schwarz 2006*; White 2006**)

Antibiotik Konsentrasi R S/C S

Penisilin G 10 ≤ β8 ≥ β9

Ampisilin 10 ≤ β8 ≥ β9

Eritromisin 5 ≤ 1γ 14-18 ≥19

Tetrasiklin 10 ≤ 1β 13-27 ≥ β8

Kanamisin* 5 ≤ 14 15-20 ≥ β1

Gentamisin* 10 ≤ 14 15-20 ≥ β1

Enrofloksasin** 5 ≤ 17 18-21 ≥ ββ

Siprofloksasin** 15 ≤ 17 18-21 ≥ ββ

Keterangan: R = Resisten S/C = Cukup sensitif S = Sensitif

Zona hambat bakteri Gram positif berbeda-beda tergantung jenis

antibiotiknya (Tabel 3). Zona hambat kurang dari standar R (resisten)

menandakan bahwa bakteri telah resisten terhadap antibiotik tersebut, zona

hambat di atas atau sama dengan standar S (sensitif) menunjukkan bakteri yang

masih sensitif terhadap bakteri tersebut, sedangkan zona hambat yang berada

diantara diameter standar R dan S menunjukkan bahwa bakteri tersebut cukup

sensitif terhadap antibiotik yang diuji.

Gambar 2 Hasil uji antibiogram (skala 1:2).

Hasil uji antibiogram pada pengambilan sampel pertama dilakukan pada

kandang 1 (Tabel 4). Dua individu sapi dari kandang 1 (kode sapi 64 dan 65)

diduga menderita mastitis subklinis yang disebabkan oleh Streptococcus agalactiae. Streptococcus agalactiae didapatkan dari sapi berkode 64 yakni sampel kuartir kanan belakang (64/2) dan kiri belakang (64/3) dan sapi berkode

(33)

Tabel 4 Aktivitas antibiotik terhadap Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari

Keterangan: Pen = Penisilin Ery = Eritromisin

Amp = Ampisilin Tet = Tetrasiklin

Bakteri dari sampel 64/2 masih dapat ditekan pertumbuhannya dengan

Penisilin dan Tetrasiklin karena zona hambat yang dibentuk masih berada dalam

kelompok sensitif (Penisilin ≥ β9 dan Tetrasiklin ≥ β8). Ampisilin dan

Eritromisin tidak efektif lagi karena zona hambat yang terbentuk kurang dari zona

hambat minimum sensitif. Hanya Penisilin yang efektif pada sampel 64/3

sedangkan antibiotik yang lain tidak efektif lagi. Koloni bakteri yang berasal dari

sampel dengan kode 65/1 menunjukkan masih cukup sensitif terhadap Tetrasiklin.

Hasil uji antibiogram pada pengambilan sampel kedua dilakukan pada

empat sapi yang diduga terinfeksi Streptococcus agalactiae (Tabel 5). Pada pengujian ini dilakukan perubahan antibiotik yang diuji untuk mengetahui jenis

antibiotik lain yang masih efektif.

Tabel 5 Aktivitas antibiotik pada Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari pengambilan sampel kedua

Keterangan: Pen = Penisilin Amp = Ampisilin

Kana = Kanamisin EnR = Enrofloksasin

Ery = Eritromisin

Pada sampel 81/4, ternyata Penisilin yang diduga memiliki daya bakterisidal

yang baik terhadap bakteri Gram positif sudah tidak efektif lagi. Bakteri dari

(34)

sehingga kedua antibiotik ini tidak efektif untuk pengobatan mastitis subklinis

yang disebabkan bakteri yang diisolasi dari sampel 81/4. Berbeda dengan

antibiotik-antibiotik tersebut, Eritromisin dan Enrofloksasin masih cukup sensitif.

Sampel 82/1 diambil dari sapi berkode 82 yakni kuartir kanan depan.

Antibiotik yang diuji pada sampel 82/1 tidak membentuk zona hambat sempurna

dengan diameter yang sensitif untuk bakteri Gram positif. Kelima antibiotik yang

diujikan tidak efektif untuk bakteri Streptococcus agalactiae yang didapatkan dari sampel 82/1. Sampel 82/4 diambil dari sapi yang sama dengan sampel 82/1 tapi

dari kuartir kiri depan. Sampel 82/4 memiliki zona hambat yang cukup sensitif

pada sekeliling cakram Eritromisin sedangkan pada antibiotik yang lain tidak

sensitif.

Sampel yang diambil dari sapi berkode 91 yakni pada kuartir kanan depan

(91/1) dan kanan belakang (91/2). Kedua sampel ini menunjukkan hasil uji

antibiogram yang hampir sama, yaitu tidak efektifnya Penisilin, Ampisilin,

Kanamisin dan Enrofloksasin. Eritromisin memiliki zona hambat yang cukup

sensitif terhadap bakteri dari kedua sampel ini.

Hasil uji antibiogram terhadap sampel 92/1 menunjukkan kelima cakram

antibiotik tidak efektif. Hasil ini sama dengan hasil uji terhadap sampel 82/1. Hal

ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jenis bakteri yang menginfeksi sapi

82 dan 92 dengan sapi 81 dan 91. Pada penelitian ini tidak dilakukan uji lebih

lanjut terhadap spesies bakteri Streptococcus agalactiae. Spesies bakteri yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan tingkat resistensi.

Uji antibiogram pada pengambilan sampel ketiga dilakukan terhadap lima

sampel kuartir yang telah terinfeksi Streptococcus agalactiae (Tabel 6). Sampel 108/2 menunjukkan, keenam antibiotik yang diuji sudah tidak efektif lagi.

Eritromisin dan Gentamisin dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang

diisolasi dari sampel 110/4. Siprofloksasin masih dapat menghambat

pertumbuhan bakteri dari sampel 110/4 namun kurang baik dibandingkan

(35)

Tabel 6 Aktivitas antibiotik pada Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari

Keterangan: Pen = Penisilin Amp = Ampisilin

Ery = Eritromisin Gent = Gentamisin

CX1= Siprofloksasin Tet = Tetrasiklin

Hasil uji antibiogram terhadap sampel 116/2 menunjukkan bahwa

Eritromisin, Gentamisin dan Siprofloksasin masih cukup sensitif untuk menekan

pertumbuhan bakteri sedangkan Penisilin, Ampisilin dan Tetrasiklin tidak efektif.

Bakteri dari sampel 118/2 memiliki tingkat resistensi yang lebih tinggi terhadap

Penisilin, Ampisilin, Gentamisin, Siprofloksasin dan Tetrasiklin. Bakteri

Streptococcus agalactiae dari sampel 118/2 ini hanya dapat dihambat pertumbuhannya oleh Eritromisin.

Efektivitas antibiotik terhadap bakteri Streptococcus agalactiae berbeda pada setiap kandang, individu sapi terinfeksi, dan bahkan berbeda pada setiap

kuartir dalam satu individu. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh bakteri yang

telah mengalami perubahan protein-binding site, perubahan komponen dinding dan membran sel serta enzim yang dapat melawan antibiotik tertentu.

Perubahan ini terjadi karena pengobatan yang sering dilakukan sebelumnya.

Penggunaan antibiotik bakterisida ataupun bakteriostatik terhadap pengobatan

infeksi Gram positif yang berlebihan dapat menyebabkan Streptococcus yang belum menjadi sasaran utama antibiotik ikut terpapar dengan dosis yang rendah

dan mengalami perubahan serta menyebabkan resistensi (Wattimena et al. 1991; Wahyuni et al. 2005). Resistensi dapat pula diakibatkan oleh adanya kemungkinan perbedaan bakteri yang diisolasi dan perbedaan patogenisitas

bakteri penginfeksi.

Berdasarkan hasil uji antibiogram, diketahui sejumlah 7.14% (1/14 sampel)

bakteri isolat resisten terhadap enam antibiotik yang diujikan, 21.4% (3/14

(36)

resisten terhadap empat jenis antibiotik, 28.6% (4/14 sampel) isolat resisten

terhadap tiga jenis antibiotik dan 7.1% (1/14 sampel) isolat resisten terhadap dua

antibiotik yang diujikan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat resistensi yang

terjadi sudah tinggi dibuktikan dengan besarnya persentase isolat yang resisten

terhadap antibiotik yang diujikan.

Menurut Aarestrup dan Schwarz (2006), Penisilin merupakan drug of choice

penyakit yang disebabkan oleh bakteri Gram positif termasuk Streptococcus agalactiae. Penisilin yang digunakan adalah Penisilin G. Menurut Mutschler (1991), Penisilin merupakan antibiotik yang memiliki daya kerja efektif terhadap

bakteri sensitif, perkembangan resistensi yang rendah dan toksisitas yang

minimum. Daerah kerjanya mencakup kokus Gram positif termasuk

Streptococcus. Dalam penelitian ini didapatkan Penisilin hanya sensitif sebesar 14.3% (2/14 sampel) dari jumlah isolat yang diuji dengan Penisilin.

Ampisilin merupakan obat pilihan setelah Penisilin dan merupakan

antibiotik yang masih efektif untuk Streptococcus agalactiae. Ampisilin bekerja cukup efektif pada bakteri Gram positif, namun dalam pengujian yang dilakukan,

Ampisilin tidak sensitif terhadap Streptococcus agalactiae.

Eritromisin termasuk antibiotik efektif untuk Gram positif termasuk

Streptococcus, namun demikian, mudah terjadi resisten terhadap Eritromisin oleh bakteri Gram positif. Eritromisin masih cukup efektif digunakan terhadap bakteri

Streptococcus agalactiae dalam penelitian ini yaitu dengan persentase sebesar 57.1% (8/14) dari jumlah isolat yang diuji dengan Eritromisin.

Tetrasiklin merupakan antibiotik dengan spektrum luas yang memiliki

efektivitas cukup baik untuk pengobatan infeksi oleh Streptococcus agalactiae, namun demikian bakteri ini mudah resisten terhadap Tetrasiklin. Hal ini dapat

menyebabkan penurunan keefektifan penggunaan Tetrasiklin.

Gentamisin dan Kanamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida

yang memiliki spektrum luas. Resistensi silang antar golongan aminoglikosida

dapat terjadi. Hal ini dapat terjadi karena Streptococcus agalactiae di lapangan sudah diberi pengobatan mastitis sebelumnya dengan golongan aminoglikosida

lain seperti Streptomisin (Mutschler 1991; Istiantoro & Vincent 2007).

(37)

diuji sedangkan Gentamisin efektif sebesar 40% (2/5 sampel). Hal ini juga terjadi

pada Siprofloksasin dan Enrofloksasin yang hanya efektif terhadap 20% (1/5

(38)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Kejadian mastitis subklinis oleh bakteri Streptococcus agalactiae dalam penelitian ini adalah sebesar 9.79% dari 205 sampel susu.

2. Sejumlah 7.14% (1/14 sampel) bakteri isolat resisten terhadap enam antibiotik

yang diujikan, 21.4% (3/14 sampel) isolat resisten terhadap lima jenis

antibiotik, 35.7% (5/14 sampel) isolat resisten terhadap empat jenis antibiotik,

28.6% (4/14 sampel) isolat resisten terhadap tiga jenis antibiotik dan 7.1%

(1/14 sampel) isolat resisten terhadap dua antibiotik yang diujikan. Hal ini

menunjukkan bahwa tingkat resistensi yang terjadi sudah tinggi.

3. Dalam penelitian ini, Eritromisin dibuktikan sebagai antibiotik yang paling

efektif dibanding dengan antibiotik yang diuji lainnya dengan persentase

efektivitasnya 57.1%.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jenis antibiotik yang

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Aarestrup FM, Schwarz S. 2006. Antimicrobial resistance in Staphylococci and Streptococci of animal origin. Di dalam: Aarestrup FM, editor.

Antimicrobial Resistance in Bacteria of Animal Origin. Washington DC: ASM Pr. hlm 187-212.

Black JG. 2005. Microbiology Principles and Explorations. USA: Willey. Carlton WW, Mc Gavin MD. 1995. Special Veterinary Pathology. Ed ke-2.

USA: Mosby-Year. hlm 539-540.

Giguere S, Prescott JF, Baggot JD. 2006. Antimicrobial Therapy in Veterinary Medicine. Ed ke-4. Iowa: Iowa State Univ Pr.

Hogeveen H. 2005. Mastitis in Dairy Production Current Knowledge and Future Solutions. Netherland: Wageningen Academic.

Hurley WL, Morin DE. 2000. Mastitis Lesson A. Lactation Biology. ANSCI 308. [terhubung berkala] http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [20 April 2010].

Istiantoro YH, Vincent HSG. 2007a. Penisilin, Cephalosporin, dan antibiotik betalactam lainnya. Di dalam: Sulistia GG, editor. Farmakologi dan Terapi.

Ed ke-5. Jakarta: UI Pr. hlm 664-693.

Istiantoro YH, Vincent HSG. 2007b. Aminoglikosid. Di dalam: Sulistia GG, editor. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-5. Jakarta: UI Pr. hlm 705-717. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 1960. Review of Medical Microbiology.

California: Lange Medical Publication.

Jawetz EAA. 1986. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Terjemahan dari:

Medical Microbiology.

Kelly WR. 1986. Veterinary Clinical Diagnosis. London: Bailliere Tindall. hlm 297-298.

Lechtman MD, Wistreich GA. 1980. Microbiology. Ed ke-3. London: Collier Macmillan.

Lenski RE. 1998. Bacterial evolution and the cost of antibiotic resistence. Int Microbiol 1:265-270.

(40)

Mutschler Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bandung: ITB. hlm 634-652, 656.

Pelczar MJJr, Chan ECS. 2007. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Volume ke-4. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Depok: UI Pr. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.

Poeloengan M. 2009. Pengaruh minyak atsiri serai (Andropon citratus, DC) terhadap bakteri yang diisolasi dari sapi mastitis subklinis. Berita Biol 9(6): 715-719.

Setyabudi R. 2007. Pengantar Antimikroba. Di dalam: Sulistia GG, Editor.

Farmakologi dan Terapi. Ed ke-5. Jakarta: UI Pr. hlm 585-598.

Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology Bacterial and Fungal Agents of Animal Disease. Elsevier Saunders.

Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gajah Mada Univ Pr. Sudarwanto M. 1987. Mastitis mikotik pada sapi perah. Laporan Penelitian.

Bogor: Jurusan Penyakit Hewan dan Kesmavet, Institut Pertanian Bogor.

Sudarwanto M. 1997. Milkcheker, suatu alat untuk mendeteksi mastitis subklinik. Med Vet (4):1

Sudarwanto M. 2009. Pemeriksaan mastitis subklinis. Di dalam: Lukman DW dan Purnawarman T, editor. Penuntun Praktikum Higiene Pangan. Bogor: Kesmavet IPB.

Sunartatie T et al. 1990. Mastitis dilihat dari segi mikrobiologi, epidemiologi dan kesehatan masyarakat veteriner. Laporan penelitian. Bogor: Jurusan Penyakit Hewan dan Kesmavet, Institut Pertanian Bogor.

Utama IH, Kendran AAS, Wibawan IWT, Pasaribu FH, Wahyuni AETH. 2000. Aktivitas hemagglutinasi isolat Streptococcus agalactiae pada berbagai sel darah merah hewan dan manusia. Med Vet 7(2):5-8.

Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Wibowo MH. 2005. Karakterisasi hemaglutinin Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus

penyebab mastitis subklinis pada sapi perah. J Sains Vet 3( 2):79-86.

Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Pasaribu FH, Priosoeryanto BP. 2006. Distribusi serotipe Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis pada sapi perah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. J Sains Vet 7(1):1-8 Wattimena J et al. 2001. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Yogyakarta:

(41)

White DG. 2006. Antimicrobial resistance in pathogenic Escherichia coli from animals. Di dalam: Aarestrup FM, editor. Antimicrobial Resistance in Bacteria of Animal Origin. Washington DC: ASM Pr. hlm 145-166.

(42)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu merupakan bahan utama makanan bagi hewan mamalia yang baru

lahir. Susu memiliki kandungan gizi yang tinggi sehingga diperlukan oleh bayi

hewan atau manusia, balita dan anak-anak pada masa pertumbuhan. Susu dan

hasil olahannya merupakan makanan yang berfungsi untuk menjaga kondisi

kesehatan tubuh dan mempercepat persembuhan.

Susu merupakan bahan pangan asal hewan yang digunakan sebagai sumber

protein dan glukosa. Susu memiliki aktivitas air yang tinggi. Hal ini

menyebabkan susu menjadi bahan pangan yang sangat potensial untuk

pertumbuhan mikroba. Berbagai macam mikroba dapat tumbuh dalam susu.

Mikroba ini dapat berasal dari lingkungan ataupun dari dalam tubuh hewan itu

sendiri. Pencemaran yang umum terjadi pada hewan sehat berasal dari luar tubuh

hewan, seperti dari peralatan perah, pekerja, maupun udara sekitar tempat

pemerahan. Berbagai macam mikroba ini dapat menyebabkan mastitis.

Mastitis adalah peradangan jaringan interna ambing (Subronto 2003;

Lukman et al. 2009). Secara garis besar, mastitis terbagi dua, yakni mastitis klinis dengan gejala klinis yang terlihat jelas dan mastitis subklinis dengan gejala yang

tidak terlihat. Mastitis dapat terjadi pada berbagai jenis hewan dan secara

ekonomis memiliki dampak merugikan kepada peternak sapi perah. Hal ini

disebabkan kasus mastitis subklinis sering tidak disadari oleh peternak yang

melihat sapi dalam keadaan sehat, tetapi terjadi penurunan produksi susu.

Penurunan produksi susu per hari per ekor sapi penderita mastitis subklinis akan

menyebabkan peternak mengalami kerugian.

Secara ekonomi, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya

penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat

mastitis. Kerugian lain timbul akibat adanya residu antibiotika dalam susu, biaya

pengobatan dan tenaga kerja, pengafkiran dini, meningkatnya biaya penggantian

sapi perah, susu terbuang, dan kematian pada sapi serta adanya penurunan kualitas

(43)

Mastitis subklinis dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme

seperi bakteri, kapang dan khamir. Tingkat keparahan mastitis sangat dipengaruhi

oleh mikroorganisme penyebabnya. Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus adalah dua bakteri utama penyebab mastitis. Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri seperti Coliform, Staphylococcus aureus dan beberapa spesies Streptococcus, dapat diobati dengan beberapa jenis antibiotik (Songer & Post2005; Wahyuni et al. 2005).

Sapi yang teridentifikasi mastitis atau mastitis subklinis dapat segera diobati

dengan berbagai antibiotik. Mycoplasma, Streptococcus sp., Pasteurella dan kapang adalah beberapa mikroba penyebab mastitis subklinis yang memberi

respon rendah dalam pemberian antibiotik. Mikroba-mikroba ini memiliki

mekanisme resisten terhadap antibiotik (Lenski 1998; Giguere et al. 2006).

Streptococcus agalactiae merupakan bakteri Gram positif yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia seperti meningitis pada bayi, Scarlet fever

dan tonsilitis (Songer & Post 2005; Lukman et al. 2009). Resistensi bakteri

Streptococcus agalactiae terhadap beberapa antibiotik menyebabkan pengobatan tidak efektif dan masa pengobatan menjadi lebih panjang serta ternak menjadi

tidak produktif.

Penelitian tentang tingkat resistensi Streptococcus agalactiae perlu dilakukan sehingga dapat memberikan terapi yang efektif. Dalam penelitian ini,

sapi yang terkena mastitis subklinis dengan penyebab bakteri Streptococcus agalactiae diperiksa lebih lanjut keadaan resistensinya terhadap antibiotik.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui persentase sapi penderita mastitis subklinis di peternakan

sapi perah KUNAK Bogor yang disebabkan oleh Streptococcus agalactiae.

2. Mengetahui persentase Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis yang telah mengalami resistensi terhadap beberapa

(44)

3. Mengetahui jenis antibiotik yang masih efektif untuk pengobatan

mastitis subklinis tersebut.

Manfaat

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi:

a. Dokter hewan dan peternak untuk menggunakan antibiotik yang tepat dalam

pengobatan mastitis subklinis yang disebabkan oleh Streptococcus agalactiae.

b. Peternak dalam menerapkan manajemen kebersihan kandang untuk

pencegahan mastitis subklinis yang disebabkan oleh Streptococcus agalactiae.

c. Perusahan pengembangan antibiotik untuk mengembangkan jenis atau dosis

antibiotik yang sesuai dengan tingkat resistensi Streptococcus agalactiae. d. Mahasiswa maupun peneliti lain terhadap kejadian resistensi antibiotik oleh

(45)

TINJAUAN PUSTAKA

Mastitis Subklinis

Mastitis adalah peradangan jaringan internal ambing yang umum terjadi di

peternakan sapi perah di seluruh dunia. Mikroorganisme disebut sebagai faktor

utama penyebab kejadian mastitis. Mastitis dapat menyebabkan kerugian berupa

penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya untuk pengobatan, susu

yang terbuang akibat terapi antibiotik dan penyembuhan beberapa infeksi mastitis

yang sulit sehingga sapi diafkir lebih awal (Subronto 2003; Giguere et al. 2006). Mastitis adalah penyakit multifaktorial dan sulit disembuhkan. Kausa

mastitis beragam yaitu bakteri, virus, dan cendawan. Mikroba dapat menjadi

kausa penyakit pada ambing melalui dua cara yaitu secara ascendens dari lubang puting dan secara descendens melalui pembuluh darah (Sudarwanto 1987; Sunartatie et al. 1990; Lukman et al. 2009).

Kejadian mastitis sering terjadi pada masa kering kandang dan biasanya

bersifat subklinis. Hal ini terjadi karena pada masa kering kandang, sel-sel alveol

sedang dirombak dan diganti, sehingga sel-sel epitel yang rusak digunakan oleh

mikroba untuk masuk sebelum sel epitel alveol yang baru terbentuk (Subronto

2003).

Hurley dan Morin (2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing

diawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan

multiplikasi. Pembuluh darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi

peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat

disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi. Adanya filtrasi cairan ke

jaringan menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi

diapedesis, sel-sel PMN dan makrofag keluar dari pembuluh darah menuju

jaringan yang terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran bakteri.

Secara garis besar, mastitis dibedakan menjadi dua, yaitu mastitis klinis dan

mastitis subklinis. Diagnosa mastitis klinis dapat dengan mudah ditentukan dari

gejala klinis, yaitu adanya pembengkakan atau kemerahan pada ambing.

Pemeriksaan fisik menunjukkan hewan mengalami kenaikan suhu tubuh, denyut

(46)

fisik, selain itu hewan penderita mengalami gejala sakit secara umum, misalnya

demam atau penurunan nafsu makan (Kelly 1986).

Berbeda dengan mastitis klinis, mastitis subklinis tidak menunjukkan gejala

klinis. Definisi mastitis subklinis menurut International Dairy Federation (IDF)

adalah mastitis yang ditandai peningkatan jumlah sel somatik lebih dari 400 000

sel/ml dan ditemukan bakteri patogen. Susu yang diambil berasal dari kuartir

dalam masa laktasi normal (Subronto 2003; Hogeveen 2005; Lukman et al .

2009).

Penurunan kuantitas dan kualitas susu jarang diamati oleh peternak

sedangkan penurunan kualitas susu hanya dapat diperiksa di laboratorium, oleh

karena itu diagnosa mastitis subklinis jarang dilakukan. Kualitas susu yang

diperiksa melalui perubahan kimiawi pada susu, meliputi penurunan jumlah

kasein, total protein dan gula susu atau laktosa (Subronto 2003). Diagnosa

mastitis subklinis dapat dilakukan dengan berbagai cara pengujian susu, misalnya

dengan uji katalase, California Mastitis Test, Whiteside Test, Aulendorfer Mastitis Probe, Wisconsin Mastitis Test, uji mastitis dengan IPB-1 atau pengujian secara langsung dengan menghitung jumlah sel somatik menggunakan metode Breed

(Lukman et al. 2009).

Kejadian mastitis subklinis di daerah Bogor dan Cipanas diperiksa dengan

metode Breed dan milkcheker. Sebanyak seratus sampel (49.3%) dari 203 sampel kuartir dideteksi positif mastitis subklinis (Sudarwanto 1997). Penelitian Winata

(2011) menyatakan bahwa, sebanyak 69.76% sampel susu yang berasal dari

KUNAK, Bogor, teridentifikasi positif mastitis subklinis. Hal ini didapatkan dari

perhitungan jumlah sel somatik yang melebihi angka 400.000 sel/ml sampel susu menggunakan metode Breed.

Streptococcus agalactiae

Streptococcus sp. berbentuk sesuai namanya yaitu bulat (coccus) dan berbentuk rantai atau berpasangan. Semua spesiesnya merupakan bakteri non

motil dan tidak membentuk spora. Kelompok bakteri ini termasuk bakteri Gram

positif anaerob fakultatif, kebanyakan berkembang di udara tetapi beberapa

Gambar

Tabel 6  Aktivitas antibiotik pada Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari
Tabel 6  Aktivitas antibiotik pada Streptococcus agalactiae yang diisolasi dari

Referensi

Dokumen terkait

Setelah saya observasi ke lapangan dan sempat wawancara kepada 30 remaja putri,terdapat 30 remaja putri mengalami keputihan patologis, angka tersebut menunjukkan banyaknya remaja

(3) Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan penundaan penyaluran DAU bagi Daerah yang tidak memenuhi laporan penyesuaian Anggaran Pendapatan dan

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari bagaimana guru menilai hasil belajar anak, sikap dan perilaku Guru dalam mengajar dan berinteraksi dengan anak didik, serta

Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna kadar IL-10 antara kelompok yang tidak mendapat telmisartan ataupun pioglitazon dengan kelompok

   Strong growth in the labor market fueled by economic growth, urban.. employment growth and a supply of

Didasarkan hasil pengamatan lapangan diketahui bahwa di dalam lokasi studi dijumpai ada tujuh jenis mamalia yang masuk ke dalam lima famili, 30 jenis burung

Modul dengan judul “ Istalasi Perangkat Jarinagn Berbasis Luas (WAN) “ merupakan bahan ajar yang digunakan sebagai panduan praktikum peserta diklat

2 Cerita di Desa Arung Pattongko dengan sifat dan watak tersebut diatas adalah generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet kepemimpinan bangsa dari generasi