• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daerah Aliran Sungai (DAS) Wanggu dan enam DAS mikro (Wua-wua, tipulu, Sodohoa, Benu-benua, Kadia dan Mandonga) disingkat dengan DAS Wanggu Ds, termasuk di dalamnya Taman Hutan Raya (Tahura) Murhum dan Teluk Kendari merupakan satu kesatuan ekologis, meskipun secara administratif dipisahkan oleh batas-batas wilayah kabupaten/kota. Daerah hulu DAS Wanggu Ds yang terletak di sebelah Barat sampai Selatan Teluk Kendari masuk ke dalam wilayah kabupaten Konawe Selatan, sedangkan bagian hilir dan seluruh wilayah perairan teluk Kendari masuk ke dalam wilayah Kota Kendari. Sementara itu, Tahura Murhum yang merupakan gugusan pegunungan di sebelah utara, sebagian besar masuk ke dalam wilayah Kabupaten Konawe, kecuali daerah yang berada pada kaki bukit termasuk ke dalam wilayah Kota Kendari. Secara geografis DAS Wanggu Ds berada pada lintang 3059’ 23”- 4010’ 14” LS dan 122022’ 26”- 1220 33’ 14” BT yang memiliki luas sekitar 45,377.3 ha dan bermuara di Teluk Kendari.

Secara administratif, DAS Wanggu Ds termasuk kawasan teluk Kendari meliputi tiga wilayah kabupaten, yaitu : 1) kabupaten Konawe Selatan, mencakup tiga kecamatan, yaitu : kecamatan Konda, Ranomeeto, dan kecamatan Moramo; 2) Kota Kendari yang terdiri dari sepuluh kecamatan, yaitu : kecamatan Kendari, Kendari Barat, Mandonga, Puwatu, Baruga, Poasia, Abeli, Wua-Wua, Kambu, dan kecamatan Kadia; dan 3) Kabupaten Konawe mencakup dua kecamatan, yaitu :kecamatan Soropia dan Toli-Toli. Peta dan Foto udara DAS Wanggu dan Teluk Kendari disajikan pada Gambar 5.

Teluk Kendari dengan luas perairan + 1.236,77 ha berada di tengah-tengah area perkotaan dan perbukitan. Penampang Teluk Kendari berbentuk mangkuk yang lonjong dengan panjang pantai 7.500 m; lebar terbesar 3.000 m dan lebar terkecil 300 m. Pada bagian timur arah laut lepas terdapat sebuah pulau kecil dan ambang alam sebagai pintu keluar masuknya pasang surut dengan ukuran relatif sempit (+300 m). Karena berada dalam teluk yang sempit, maka perairan Teluk Kendari relatif tenang. Apabila air pasang berpapasan dengan periode banjir,

maka terjadi pembendungan sementara sehingga terjadi banjir pada daerah kerendahan di sekitar pantai sekeliling teluk.

Gambar 5. Teluk Kendari dan sekitarnya tampak dari atas tahun 2009

Kedudukan dan Arti Penting DAS Wanggu Ds dan Teluk Kendari DAS Wanggu Ds dan Teluk Kendari merupakan aset daerah yang memiliki nilai strategis bagi pengembangan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Nilai strategis tersebut terutama disebabkan posisi Teluk Kendari yang berada di tengah-tengah Kota Kendari. Di samping letaknya yang strategis, Teluk Kendari juga memiliki potensi sumberdaya perairan dan fungsi pendukung kehidupan yang sangat penting, terutama sebagai habitat bagi sejumlah organisme seperti ikan, kerang-kerangan, udang dan mangrove. Keunikan tersebut telah menjadikan Teluk Kendari sebagai ciri khas (landmark) Kota Kendari.

Kegiatan ekonomi yang berkembang pesat di kawasan Teluk Kendari saat ini adalah perdagangan dan jasa. Sebagai pusat kedudukan pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara, Kota Kendari memiliki daya tarik bagi para investor lokal dan nasional untuk mengembangkan usaha perdagangan dan jasa seperti pembangunan ruko, swalayan, dan tempat- tempat hiburan. Di samping itu, di kawasan teluk Kendari juga mulai berkembang industri pariwisata berupa wisata pantai yang mendorong pertumbuhan pusat-pusat ekonomi seperti restoran, restoran terapung dan perhotelan serta pusat pendidikan dan pelatihan olah raga

dayung yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Namun demikian, potensi sumberdaya alam di kawasan teluk tersebut telah banyak mengalami alih fungsi/gangguan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah provinsi dan Kota serta perilaku masyarakat yang cenderung tidak peduli pada upaya pelestarian teluk Kendari. Alih fungsi penggunaan lahan yang tak terkendali, baik untuk permukiman, pertanian maupun pengembangan kawasan komersial dan pembangunan infrastruktur di wilayah ini menjadi penyebab utama kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Perkembangan pembangunan menyebabkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan sehingga masyarakat menjadi terdesak untuk menempati dan memanfaatkan lahan kering di daerah berlereng curam menjadi areal pertanian yang pada umumnya dilaksanakan tanpa tindakan konservasi tanah yang memadai. Oleh karena itu, lahan ini menjadi rawan erosi dan mudah terdegradasi yang pada gilirannya menjadi lahan kritis yang berdampak pada daerah hilir dan swdimentasi di teluk. Selain itu, para pemilik modal mengembangkan aktivitas ekonomi di bidang properti melalui berbagai usaha antara lain mengangkut tanah- tanah di perbukitan untuk mengurug lahan di sempadan pantai maupun sungai dan menimbun rawa-rawa yang merupakan tempat-tempat resapan/parkiran air di daerah hilir. Di lain pihak, pemerintah juga melakukan hal yang sama melalui pembangunan infrastruktur jalan dengan menimbun sempadan pantai dan merusak mangrove. Selain itu, kerusakan hutan di hulu DAS Wanggu dan pegunungan Nipa-nipa juga menyebabkan terjadinya erosi yang membawa lumpur, pasir, limbah rumah tangga, dan berbagai material lainnya ke Teluk Kendari. Sisa-sisa lumpur dan pasir dari kegiatan penggusuran bukit juga segera dihanyutkan oleh banjir ke teluk pada musim hujan, sehingga tindakan-tindakan tersebut menjadi sumber-sumber utama penyebab pendangkalan di teluk Kendari.

Topografi, Geologi dan Tanah

DAS Wanggu dan enam DAS mikro dalam sistem DAS teluk Kendari dapat dikategorikan sebagai daerah yang memiliki topografi bervariasi antara datar, berbukit sampai bergunung. Sebagian besar wilayah ini (62,3%) adalah daerah landai dengan kemiringan 1 - 8 %, daerah berbukit sampai bergunung

sebesar 21 % dan sisanya merupakan daerah berombak. Ketinggian tempat pada hulu DAS yakni berkisar antara 100 - 475 meter dari permukaan laut dan titik terendah berada pada bagian hilir sekitar 0 - 10 meter dari permukaan laut.

Daerah landai dijumpai di sepanjang pesisir pantai dan bagian barat teluk Kendari, yaitu dari muara dan tengah sungai Wanggu, sungai Anggoeya, Bandar Udara Wolter Monginsidi, areal persawahan di Kecamatan Ranomeeto sampai rawa Tanea di kecamatan Konda. Daerah berombak dan bergelombang (16.8%) hanya dijumpai sedikit terutama di wilayah Kota kendari, seperti Kecamatan Poasia, Abeli, Kambu, Wua-Wua, Mandonga, dan kawasan kota lama sampai Kelurahan Purirano. Daerah berbukit dan bergunung (20.9%) dapat dijumpai di bagian hulu DAS Wanggu Ds terutama di perbukitan Wolasi di sebelah barat dan selatan kecamatan Konda, perbukitan Abeli sampai Moramo di bagian selatan teluk serta perbukitan Nipa-Nipa di sebelah utara yang merupakan kawasan Tahura Murhum. Bentuk topografi dan luas penyebarannya masing-masing di DAS Wanggu dan pesisir teluk Kendari disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Bentuk topografi dan luas penyebarannya di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro bermuara ke teluk Kendari tahun 2009

No. Bentuk Topografi Luas

(Ha) (%)

1. Datar/Landai 28.288,2 62,3

2. Berombak - bergelombang 7.641,5 16,8

3. Berbukit sampai bergunung 9.447,6 20,9

Total 45.377,3 100,0

Sumber: BP-DAS Sampara, 2008 dan Hasil interpertasi Citra Satelit, 2009

Berdasarkan geologi, DAS Wanggu dan Wilayah Pesisir Teluk Kendari meliputi beberapa sistem lahan dan litologi yaitu : (1) punggung metamorfik terorientasi terjal, (2) dataran bergelombang yang berbukit kecil di atas napal dan batu gamping, (3) dataran gabungan endapan muara dan sungai, (4) dataran berbukit kecil di atas batuan metamorfik campuran, (5) punggung bukit sediment asimetrik tak terorientasi, (6) kipas alluvial non vulkanik yang berlereng landai, (7) gunung karstik di atas marmer, (8) dataran lumpur antar pasang surut di bawah halofit, (9) dataran sedimen campuran yang berombak sampai bergelombang, (10) bukit karst di atas marmer dan batu gamping, (11) kipas

alluvial non vulkanik yang berlereng sedang, dan (11) dataran berbukit kecil di atas batu sediment campuran. Berdasarkan peta zone seismik yang disusun oleh Biro Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan Bandung (1981), kawasan ini memiliki kerawanan gempa yang sedang dengan koefisien gempa z = 1.

Tanah di DAS Wanggu dan wilayah pesisir Teluk Kendari kebanyakan bertekstur pasir dengan jenis tanah yang dominan adalah asosiasi Inceptisol-Ultisol yang mencapai 75,2 % dari luas wilayah DAS (Tabel 6). Di samping itu, terdapat jenis tanah Gleisol (11,3%), Ultisol (11,4%) dan Entisol (2,1%). Tekstur dan jenis tanah seperti ini banyak memiliki permasalahan, terutama tingkat kesuburan yang rendah, masam (pH rendah), kurang menyimpan air, mudah mengalami pencucian hara dan peka terhadap erosi.

Tabel 6. Jenis tanah dan luas penyebarannya di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2009

No. Jenis Tanah Luas Erodibilitas*

(Ha) (%)

1. Inceptisol-Ultisol 34.123,7 75,2 Kurang peka - peka

2. Gleisol 5.127,6 11,3 Tidak peka

3. Ultisol 5.173,1 11,4 Peka

4. Entisol 952,9 2,1 Agak peka

Total 45.377,3 100,0

Sumber: BPN Sultra dan BP-DAS Sampara (2008), * = disempurnakan

Iklim dan Hidrologi

Unsur iklim yang menjadi penyebab utama terjadinya erosi adalah curah hujan. Curah hujan sangat dipengaruhi oleh musim di suatu wilayah. Di wilayah penelitian dikenal adanya dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh arus angin yang bertiup di atas wilayah tersebut dan mempengaruhi jumlah hujan yang jatuh. Sekitar bulan April arus angin tidak menentu dengan curah hujan kadang-kadang kurang dan terkadang lebih tinggi yang sering dikenal sebagai musim pancaroba. Pada bulan Mei sampai Agustus, angin yang bertiup dari Benua Australia kurang membawa uap air, sehingga menyebabkan curah hujan rendah. Selanjutnya Pada bulan Agustus sampai Oktober, terjadi musim kemarau, Pada bulan November sampai Maret,

angin yang bertiup banyak mengandung uap air yang berasal dari Benua Asia dan Samudera Pasifik. Pada bulan-bulan tersebut tarjadi musim hujan dengan curah hujan yang tinggi. Perubahan-perubahan kondisi alam yang tidak menentu mengakibatkan terjadi penyimpangan, sehingga curah hujan yang terjadi cukup fluktuatif. Data curah hujan rataan selama 30 tahun terakhir di DAS Wanggu DS

dan Teluk Kendari selengkapnya disajikan pada Tabel 7.

Berdasarkan Tabel 8, curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Mei sebesar 368.8 mm dengan jumlah hari hujan adalah 22 hari. Curah hujan efektif menimbulkan aliran permukaan sebesar 346.4 mm dengan jumlah hari hujan efektif adalah 14 hari. Sebaliknya, curah hujan terendah terjadi pada bulan september sebesar 73.7 mm dengan jumlah hari hujan 12 hari dan mempunyai curah hujan efektif 78.2 mm dengan jumlah hari hujan efektif adalah 4 hari. Tabel 7. Rataan curah hujan bulanan selama 30 tahun (1980-2010) di DAS

Wanggu dan teluk Kendari No Bulan Curah hujan

(mm) Hari hujan (hari) Curah hujan efektif** (mm) Hari hujan efektif* (hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 187,7 178,2 196,7 272,3 368,8 283,6 212,9 98,9 73,7 91,0 95,7 143,2 10 14 17 19 22 20 19 21 12 13 14 16 169,8 121,1 187,8 193,8 346,4 260,1 194,0 89,4 68,2 81,9 85,6 125,6 6 4 5 10 14 13 7 12 4 2 3 8 Jumlah 2.202,7 196,0 1.923,7 88 Rataan 183,6 16,3 160,3 7,3

Sumber : Lanud Wolter Monginsidi Kendari, 2010 dan data primer, 2009/2010 Keterangan : * = Hari hujan yang menimbulkan aliran permukaan

Total curah hujan di DAS Wanggu DS 2.202,7 mm/tahun dengan rataan

curah hujan bulanan 183.6 mm/bulan dan jumlah hari hujan 16 hari. Selanjutnya jumlah curah hujan efektif yang menimbulkan aliran permukaan sebesar 1.923,7 mm/tahun atau rataan curah hujan 160.3 mm/bulan dengan jumlah hari hujan efektif 88 hari/tahun atau rataan 7.3 hari/bulan. Dengan demikian, curah hujan di atas 100 mm terjadi selama 8 bulan (Desember-Juli), sedangkan curah hujan di bawah 100 mm terjadi selama 4 bulan (Agustus-November). Menurut klasifikasi Scmidth-Ferguson bulan basah adalah bulan yang memiliki curah hujan di atas 100 mm per bulan dan bulan kering adalah bulan yang mempunyai curah hujan di bawah 100 mm per bulan. Berdasarkan hal tersebut, maka DAS Wanggu Ds memiliki 8 bulan basah dan 4 bulan kering, sehingga dapat dikategorikan sebagai daerah yang tergolong tipe iklim B. Namun, berdasarkan klasifikasi Oldeman daerah penelitian mempunyai 4 bulan basah (curah hujan > 200 mm/bulan), yaitu April – Juli, 4 bulan lembab (curah hujan 100 – 200 mm/bulan), yaitu Desember – Maret dan 4 bulan kering (curah hujan di bawah 100/bl), yaitu Agustus – Novemver. Dengan demikian, berdasarkan klasifikasi Oldeman daerah penelitian tergolong tipe iklim C2.

Klasifikasi iklim menurut Oldeman sangat cocok untuk menentukan jenis tanaman pangan yang akan dibudidayakan berdasarkan parameter peluang hujan, hujan efektif, dan kebutuhan air tanaman. Namun, kondisi curah hujan tersebut berpotensi terjadi aliran permukaan yang cukup besar, yang dapat menyebabkan terjadinya erosi tanah apabila tanpa vegetasi penghambat dipermukaan tanah. Disamping itu, curah hujan tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap fluktuasi debit aliran sungai di DAS Wanggu. Hasil studi Bappedalda Provinsi Sulawesi Tenggara (2003) menunjukkan bahwa debit minimum aliran sungai di DAS Wanggu (sungai Lepo-lepo dan sungai Watubangga) pada musim kemarau berkisar antara 0,06 m3/detik - 0,2 m3/detik dengan ketinggian atau kedalaman aliran sebesar 10 - 25 cm, dan bahkan beberapa sungai yang dijumpai dalam keadaan kering, seperti: sungai Tolewaru, sungai Andinu, sungai Lakomea, sungai Wundulako dan sungai Tenduduho. Sebaliknya, debit aliran puncak dari satu kejadian hujan pada musim hujan bervariasi antara 3,06 m3/detik - 33,55 m3/detik (Tabel 8).

Tabel 8. Debit aliran puncak satu kejadian hujan sungai-sungai di DAS Wanggu tahun 2003

No Sub DAS debit puncak (m3/detik)

1 Nanga-nanga 3,06

2 Amohola 33,55

3 Amboli 9,83

4 Lepo-Lepo 19,79

5 DAS Wanggu hulu 22,25

Sumber : Bappedalda Sultra, 2003

Tabel 8 menunjukkan bahwa debit puncak terkecil umumnya terjadi di sub DAS Nanga-nanga sebesar 3,06 m3/detik dan debit puncak terbesar terjadi di sub DAS Amohola sebesar 33,55 m3/detik. Di sub-sub DAS lainnya seperti sub DAS Ambololi sebesar 9,83 m3/detik, Lepolepo sebesar 19,79 m3/detik, dan sub DAS Wanggu hulu sebesar 22,25 m3/detik. Pertemuan debit puncak pada musim hujan di sungai Lepolepo dan sungai Wanggu umumnya menyebabkan beberapa kawasan di sekitarnya mengalami genangan setinggi 3,5 - 4,0 meter di Konda dan Poasia. Berdasarkan data tersebut, maka fluktuasi debit maksimum dan debit minimum di DAS Wanggu sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim hujan akan terjadi banjir dan pada musim kemarau akan terjadi kekeringan. Suatu DAS dikatakan baik, jika perbandingan antara debit maksimum dan debit minimum lebih kecil dari 30. Sebaliknya, Jika perbandingan tersebut lebih besar dari 30 maka DAS tersebut dapat dikatakan dalam kondisi kritis atau rusak.

Pola aliran sungai di DAS Wanggu menyerupai cabang-ranting-pohon (dendritic pattern) dengan bentuk bundar (radial), sehingga seluruh aliran sungai tersebut bermuara ke Teluk Kendari. Pola aliran seperti ini dapat mempercepat gerakan limpasan air permukaan, terutama pada kondisi hulu DAS telah kritis, di mana pohon-pohon pada daerah up-stream yang merupakan ciri khas hutan tropis sudah gundul. Daerah perbukitan di hulu DAS yang merupakan daerah tangkapan air (cathment area) sungai Wanggu hanya dominan ditumbuhi rumput dan semak yang tidak bisa menahan air selama musim hujan. Oleh karena itu, aliran sungai di DAS Wanggu tidak dapat lagi tertampung, sehingga dapat menyebabkan luapan dan menggenangi beberapa kawasan di Kota Kendari. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah melakukan perbaikan pola aliran melalui pelurusan aliran sungai dalam bentuk kanal di bagian tengah DAS

di Kecamatan Konda. Namun, upaya tersebut justeru mempercepat aliran air menuju ke daerah hilir. Disamping itu, beberapa sungai juga telah dibuat chekdam untuk kebutuhan sumber air irigasi seperti di Desa Sindangkasih dan Kelurahan Ranomeeto. Namun, jumlah air yang tertampung dalam chekdam tersebut, tidak mencukupi untuk kebutuhan air irigasi sawah. Hal ini disebabkan menurunnya debit sungai dari tahun ke tahun akibat kerusakan hutan di daerah hulu. Untuk mengatasi hal tersebut, maka masyarakat memanfaatkan sumberdaya air bawah tanah dengan sistem pompanisasi.

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di suatu DAS sangat mempengaruhi besarnya laju aliran permukaan karena erat kaitannya dengan vegetasi yang ada di DAS tersebut. Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan dan data-data pada peta menunjukkan bahwa pada umumnya penggunaan lahan di DAS Wanggu Ds di dominasi oleh pemanfaatan sebagai kebun campuran (34.3 %) dari luas DAS Wanggu Ds, hutan (23.1 %), tambak/sawah & tegalan (8.9 %), pemukiman (13.1 %) dan sisanya berupa tegalan, rumput alang-alang, tambak dan vegetasi pantai (20.0%). Secara rinci luasan masing-masing penggunaan lahan di DAS Wanggu Ds tahun 2009 disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Jenis dan luas penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2009

No. Jenis penggunaan lahan Luas (ha) Luas (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pemukiman

Tambak/Sawah & Tegalan Semak belikar/ilalang Kebun campuran Hutan Lapangan Golf 5.959,3 4.022,4 9.342,4 15.585,8 10.467,8 295,6 13,1 8,9 20,0 34,3 23,1 0,6 Total 45.377,3 100,0

Sumber : Peta penggunaan lahan, 2009

Tabel 9 menunjukkan bahwa penggunaan lahan hutan di DAS Wanggu Ds hanya berkisar 23.1% dari luas DAS. Hal ini mengindikasikan bahwa luas hutan dalam peranannya sebagai fungsi perlindungan di dalam DAS tidak lagi

memenuhi syarat. Untuk memenuhi fungsi perlindungan daerah hilir, suatu DAS disyaratkan memiliki luas hutan minimal 30% dari total luas DAS. Penurunan luas hutan di DAS Wanggu terjadi akibat alih fungsi kawasan hutan menjadi peruntukan lainnya, terutama untuk areal pertanian dan permukiman. Hal ini telah dikemukakan oleh Marwah (1998) bahwa selama kurun waktu 1992-1998 di DAS Wangggu telah terjadi perubahan penggunaan lahan berupa penurunan luas hutan sebesar 1 % per tahun, penurunan semak belukar sebesar 1,6 % pertahun, penurunan alang-alang 6,2 % pertahun. Sedangkan yang mengalami penambahan adalah tegalan sebesar 36,9 % per tahun, pemukiman sebesar 4,2 % per tahun dan sawah sebesar 8 % per tahun.

Perubahan penggunaan lahan dominan terjadi pada bagian tengah dan bagian hilir DAS Wanggu. Di bagian tengah DAS tersebut, terdapat lahan rawa yang telah beralih fungsi menjadi lahan persawahan. Rawa berfungsi sebagai penyangga (buffer) dan menampung air aliran permukaan (parkiran air) yang berasal dari hulu DAS. Fungsi rawa tersebut tidak berperan lagi, karena adanya alih funsi sawah sawah, sehingga tanahtidak dapat lagi melalukan air akibat terjadinya pemadatan tanah dan mempercepat aliran air ke bagian hilir. Di bagian hilir DAS Wanggu, terutama di sekitar Teluk Kendari penggunaan lahan sangat kompleks, umumnya didominasi oleh kawasan permukiman, kawasan komersial, industri, dan pembangunan sarana infrastruktur perkotaan dan fasilitas sosial.

Vegetasi Penutup Tanah

Vegetasi penutup tanah di sub DAS Wanggu bagian hulu umumnya terdiri dari vegetasi hutan dengan kerapatan tinggi, sedang dan rendah. Jenis-jenis pepohonan yang dominan adalah kayu besi (Metrosideros petiolata), eha (Castanopsis buruana), bolo-bolo (Adenandra celebica) bolo-bolo putih (Thea lanceolata), puta (Barringtonia racemosa), Parinari Sp., Pandanus aurintiacus, serta berbagai jenis palem dan rotan. Pertumbuhan vegetasi umumnya mengelompok, diselingi dengan ilalang dan semak belukar yang semakin lama semakin meluas.

Kawasan hutan dengan potensi keanekaragaman vegetasi yang tinggi masih dapat dijumpai di pegunungan nipa-nipa (sebelah utara Teluk Kendari) yang sebagian arealnya masuk dalam kawasan Tahura Murhum (Gambar 6). Jenis-jenis tumbuhan yang dapat dijumpai di dalam kawasan ini antara lain : kayu besi (Metrosideros petiolata), eha (Castanopsis buruana), bolo-bolo (Adenandra celebica), bolo-bolo putih (Thea lanceolata), kayu puta (Baringtonia racemosa), pandan tikar (Pandanus aurantiacus), berbagai jenis palem (Nengelfa Sp., Pinanga caesia, dan Ucuala Sp.), serta rotan batang (Calamus zolfingeri), dan rotan lambing (Calamus ornatus var. celebicus). Kawasan ini juga merupakan habitat satwa liar terutama anoa, rusa, kuskus, musang Sulawesi, rangkong, burung kasturi Sulawesi, elang laut (Haliastus leucogaster), dan beberapa jenis kupu-kupu.

Di luar kawasan hutan dijumpai tanaman semusim dan tanaman tahunan. Akan tetapi, tanaman semusim pada tegalan dan pekarangan hanya ditanam pada musim hujan, sedang pada musim kemarau ditumbuhi alang-alang dan semak belukar. Jenis tanaman yang tumbuh di setiap jenis penggunaan lahan pada : (a) lahan terlantar : semak belukar dan alang-alang, (b) Kebun campuran : kakao, mangga, nangka, jambu mete, langsat, durian, pisang, kopi dan lain-lain, (c) tegalan : padi gogo, kacang tanah, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, jagung dan sayur- sayuran dan, (d) sawah : padi dan palawija. Kondisi lahan yang diusahakan pada lahan kering masih bersifat tradisionil dengan produktivitas lahan sangat rendah.

Gambar 6. Vegetasi hutan di Tahura Murhum pada musim kemarau di hulu Wanggu

Dalam kawasan perkotaan di Kota Kendari, selain tanaman budidaya pertanian dan perdu, juga banyak dijumpai jenis-jenis tanaman hias dan tanaman penghijauan kota terutama di sempadan jalan, taman kota, pekarangan gedung perkantoran, permukiman penduduk, serta ruang terbuka hijau (RTH). Jenis-jenis yang banyak dijumpai diantaranya adalah Angsana (Pterocarpus indicus), Asam jawa (Tamarindus indica), Asam londo (Pithecolobium dulce), Beringin (Ficus benyamina), Cemara kipas (Thyja occidentalis), Cempaka (Michelia champaca), Dadap ( Erythrina Sp.), Glodokan tiang (Polyalthia longifolia), Kayu putih (Melaleuca leucadendron), Ketapang (Terminalis cattapa), dan Mahoni (Swietenia macrophylla).

Pada beberapa lokasi sempadan pantai dan muara sungai di teluk Kendari masih dapat dijumpai vegetasi mangrove dengan kerapatan sangat rendah. Hutan mangrove di kawasan ini pada tahun 1990-an diperkirakan mencapai luas sekitar 300 ha. Namun, saat ini telah mengalami degradasi besar-besaran akibat kegiatan sosial ekonomi masyarakat kota Kendari seperti pertambakan, pemukiman, kegiatan komersial dan bangunan infrastruktur. Vegetasi mangrove yang masih tersisa berada pada sebagian sempadan sungai dan pantai (Gambar 7), yang terdiri dari jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Acanthus ebracthetaus, Bruguiera gymnorhiza, Avicennia Sp., dan Nypha fruticans.

Sosial dan Ekonomi Kependudukan

Penduduk yang mendiami wilayah DAS Wanggu hingga pesisir teluk Kendari merupakan percampuran dari berbagai etnis yang ada di Sulawesi Tenggara, seperti Tolaki, Muna, Buton, Bugis, Jawa, dll. Jumlah penduduk yang mendiami kawasan ini pada tahun 2008 telah mencapai lebih dari 303,159 jiwa (Tabel 10).

Tabel 10. Distribusi Penduduk di DAS Wanggu Ds menurut Wilayah Kecamatan tahun 2008

No. Kecamatan Jumlah Penduduk

(Jiwa) Pertumbuhan per tahun (%) 1. Konda 17.137 1,96 2. Ranomeeto 12.930 1,96 3. Kendari 23.548 1,96 4. Kendari Barat 39.854 1,99 5. Mandonga 51.244 1,96 6. Poasia 33.524 1,96 7. Baruga 13.126 1,96 8. Abeli 18.388 1,96 9. Puwatu 23.450 1,96 10. Kambu 20.426 1,97 11. Wuawua 20.343 1,92 12. Kadia 29.189 2,04 13. Soropia - 14. Tolitoli - Jumlah 303.159 Rataan = 1,97

Sumber : BPS Sulawesi Tenggara, 2008

Penduduk di DAS Wanggu sebagian besar berada di Kota Kendari yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang pesat akibat urbanisasi. Konsentrasi penduduk di Kota Kendari umumnya berada di wilayah kecamatan Kendari, Kendari Barat, Poasia dan Mandonga yang merupakan pusat Kota Kendari. Di bagian hulu DAS Wanggu sebagian besar penduduknya masih

Dokumen terkait