• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, dalam Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang perjanjian atau persetujuan atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUHPerdata hanya terjadi atas izin atau kehendak (toestemming) dari semua mereka yang terkait dengan persetujuan itu, yaitu mereka yang mengadakan persetujuan atau perjanjian yang bersangkutan.21

Menurut R. Wirjono Projodikoro, suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda

21Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, Cetakan 2, (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 2010), hal. 430

dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.22

Menurut R. Wirjono Projodikoro, suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.23 R. Wirjono Prodjodikoro, juga mendefinisikan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.24

Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.25 Pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjianadalah hubungan hukum/ rechtbetrekking yang oleh hukum itu

22Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, (Bandung: Alumni, 2013), hal. 65

23R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertulis, (Bandung: Subur, 2011), hal.1

24 R. Wirjono Prodjodikoro, 2009,Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Subur, hlm. 9

25Subekti, 1994,Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, hlm. 1

sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda.Salah satu sumber perikatan adalah perjanjian.

Perjanjian melahirkan perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian tersebut.26 Ini berarti suatu perjanjian menimbulkan kewajiban atau prestasi dari satu orang kepada orang lainnya yang berhak atas pemenuhan prestasi tersebut. Dengan kata lain, bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana pihak yang satu wajib untuk memenuhi suatu prestasi dan pihak lain berhak atas prestasi tersebut.Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa perjanjian menimbulkan prestasi terhadap para pihak dalam perjanjian tersebut. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh salah satu pihak (debitur) kepada pihak lain (kreditur) yang ada dalam perjanjian.

Prestasi terlihat baik dalam perjanjian yang bersifat sepihak atau unilateral agreement, artinya prestasi atau kewajiban tersebut hanya ada pada satu pihak tanpa

adanya suatu kontra prestasi atau kewajiban yang diharuskan dari pihak lainnya.27 Prestasi juga terdapat dalam perjanjian yang bersifat timbal balik atau (bilateral or reciprocal agreement), dimana dalam bentuk perjanjian ini masing-masing pihak

26Karitini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. (Jakarta:

Raja Grafindo Perkasa, 2013), hal. 92

27 Sri Soesilowati Mahdi,Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta: Gitama Jaya, 2015), hal. 150

yang berjanji mempunyai prestasi atau kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pihak yang lainnya.28

Pengaturan hukum perikatan menganut sistem terbuka. Artinya setiap orang bebas melakukan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun belum diatur. Dalam Pasal 1338 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk:

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.29 2. Asas- asas Hukum dalam Perjanjian.

Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif.Asas hukum dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Setidaknya adalima asas yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian30 yaitu:

28Ibid, hal. 150

29 Martin Roestamy & Aal Lukmanul Hakim,Bahan Kuliah Hukum Perikatan, (Bogor:

Fakultas Hukum Universitas Djuanda,2008), hal. 5

30 M.Harianto, Asas-Asas Dalam Perjanjian http: // blogmhariyanto. blogspot. com/ 2009/

07/asas-asas-perjanjian.html,diakses tanggal 20 Januari 2020, 17.35 WIB

1) Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian b. mengadakan perjanjian dengan siapapun

c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.31 2) Asas konsensualisme

Dalam hukum perjanjian berlaku asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latinconsensus yang berarti sepakat. Arti asas konsensualisme adalah perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.Perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok walaupun belum ada perjanjian tertulisnya sebagai sesuatu formalitas.

Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

31 Salim H.S,Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hal. 25

Karena suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan,maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan.

Karena perjanjian sudah lahir maka tak dapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin pihak lawan. Pengecualian terhadap asas konsensualisme yaitu penetapan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris dan perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis, dan lain sebagainya. Perjanjian yang memerlukan formalitas tertentu dinamakan perjanjian formil.32

Asas konsensualisme berhubungan dengan saat lahirnya suatu perjanjian yang mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, mengenai saat terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian, yaitu antara lain:

a. Teori Pernyataan (utingstheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat

32 Princip-Principle, Sistem Terbuka dan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perjanjian, http://www.blogprinsip.blogspot.com/2012/10/sistem-terbuka-dan-asas-konsensualisme.htmldiakses tanggal 20 Januari 2020, Pukul 19.20 WIB

menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap kesepakatan terjadi secara otomatis.

b. Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram.

c. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila yang menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum diterimanya atau tidak diketahui secara langsung.

d. Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

3) Asas Pacta Sunt Servanda

Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

4) Asas itikad baik

Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu:

a. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.

b. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku.33

5) Asas kepribadian (personality)

Asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu perjanjian.Asas kepribadian dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1340 ayat (1) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.Pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi

33KUH Perdata Buku II Dan Buku III, pada Pasal 531 dan Pasal 1338

mereka yang membuatnya.Ketentuan mengenai hal ini ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Perjanjian dapat pula diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini memberi pengertian bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang telah ditentukan. Sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Hukum benda mempunyai sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-ndang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dan diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Apabila pihak-pihak yang membuat perjanjian itu tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka berarti mengenai soal tersebut akan tunduk

kepada undang-undang. Karena itu hukum perjanjian disebut hukum pelengkap, karena fungsinya melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap.

Sistem terbuka, yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPerdata lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi demikian:“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Penekanan pada perkataan semua menyatakan

bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.

3. Syarat Sah Perjanjian

Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Cakap untuk membuat suatu perikatan;

3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. Dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara syarat subjektif dengan

syarat objektif.Syarat subjektif adalah kedua syarat yang pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir.34

Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri dari:

a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu.

b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu.

c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu

d. Syarat izin dari yang berwenang.35

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif karena syarat tersebut mengenai subyek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat obyektif, karena mengenai obyek dari perjanjian.Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak diakui oleh hukum. Tetapi bila pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi perjanjian itu tetap berlaku diantara mereka, namun bila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui sehingga timbul sengketa maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.

Keempat syarat di atas merupakan syarat yang esensial dari suatu perjanjian, artinya syarat-syarat tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa suatu syarat ini, perjanjian dianggap tidak pernah ada atau perjanjian itu tidak sah.Namun dengan

34Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 98.

35 Munir Fuady, Hukum Kontrak “Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis”,(Bandung: Citra Aditya Bakti,2014), hal. 34

diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.Dengan kata sepakat suatu perjanjian sudah lahir. Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor, yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Adanya kata sepakat berarti terdapat suatu persesuaian kehendak diantara para pihak yang mengadakan perjanjian.Perjanjian sudah lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak, dikenal dengan asas konsensualisme yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian.Menurut Abdul Kadir Muhammad persetujuan kehendak adalah kesepakatan seia-sekata. Pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya.

Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.Pernyataan kehendak atau persetujuan kehendak harus merupakan perwujudan kehendak yang bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan (dwang) dari pihak manapun juga, harus betul-betul atas kemauan sukarela para pihak.36

Pengertian kehendak atau sepakat itu termasuk juga tidak ada kekhilafan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog).Apabila ada kesepakatan terjadi karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalan kepada hakim (vernietigbaar).Hal ini sesuai dengan

36 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Cipta Aditya Bhakti,1990), hal. 228-229

Pasal 1321 KUHPerdata dinyatakan tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan kegiatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-takuti, sehingga dengan demikian orang itu tidak terpaksa menyetujui perjanjian (Pasal 1324 KUHPerdata). Dan dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting obyek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan penipuan menurut arti Undang-undang (Pasal 1328 KUHPerdata).Penipuan menurut arti Undang-undang ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui.37

Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dari pihak ketiga dan tidak ada gangguan berupa paksaan, yaitu paksaan rohani atau paksaan jiwa, bukan paksaan fisik, misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Kekhilafan, yang terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-halpokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang barang yangmenjadi obyek perjanjian.Penipuan, yang dapat terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan palsu disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lainnya agar menyetujui suatu perjanjian, misalnya menjual

37Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, (Bandung: Citra Aditya Bhakti,2006), hal. 123

mobil bekas yang telah dipoles sedemikian rupasehingga menimbulkan kesan seolah-olah mobil tersebut barudengan mengatakan kepada pembeli bahwa mobil itu baru.

b. Cakap untuk membuat suatu perikatan.

Pada dasarnya semua orang cakap membuat perjanjian, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pasal 1329 KUHPerdata kecuali yang diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum termasuk pula membuat perjanjian ialah bila ia sudah dewasa yaitu berumur 21 tahun dan telah kawin. Ukuran orang dewasa 21 tahun atau sudah kawin, disimpulkan secara a contrario dalam redaksi Pasal 330 KUHPerdata. Sedangkan mereka yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, sebagaimana diatur Pasal 1330 KUHPerdata ialah:

1) Orang-orang yang belum dewasa

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (ketentuan ini sudah dicabut).

c. Adanya suatu hal tertentu.

Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian.Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.Menurut ketentuan Pasal 1234

KUHPerdata dinyatakan bahwa perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dalam ketentuan Pasal 1331 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Mengenai jumlahnya tidak masalah asalkan dikemudian hari ditentukan.

d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal

Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan adanya suatu sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian. Pada pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umumdan kesusilaan.

Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.38

Kedua syarat pertama tersebut, dinamakan dengan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyek yang mengadakan perjanjian.

Sedangkan dua syarat yang terakhirdinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannyasendiri atau obyek dari perjanjian tersebut.Apabila syarat subyektif dilanggar baik salah satu atau keduanyamengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (voidable).Adanyakekurangan terhadap syarat subyektif tersebut tidak

38Sri Soedewi Masjachan,Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,(Yogyakarta: Liberty,2008), hal. 319

begitu sajadiketahui oleh hakim, jadi harus diajukan oleh pihak yangberkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian. Oleh karena itu, undang-undang menyerahkan kepada para pihak, apakah mereka mengkhendaki pembatalan terhadap perjanjian tersebut atau tidak.39 Akan tetapi selama para pihak tidak keberatan atas pelanggaran kedua syarat subyektif tersebut, maka perjanjian itu tetap sah.

Apabila syarat obyektif dilanggar maka perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sejak semula dan tidak mengikat para pihak yang membuat perjanjian atau disebut dengan batal demi hukum (nulland void). Secara yuridis, dianggap dari semula tidak ada suatuperjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yangbermaksud membuat perjanjian itu. Akibat dari batal demi hukum,maka para pihak tidak dapat mengajukan tuntutan melalui pengadilan untuk melaksanakan perjanjian atau meminta ganti rugi, karena dasar hukumnya tidak ada.40

5. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya

Wanprestasi merupakan suatu keadaan dimana seorang nasabah debitur tidak memenuhi atau tidak melaksanakan prestasi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam suatu perjanjian. Menurut Munir Fuady, “wanprestasi adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya dibebankan oleh kontrak

Wanprestasi merupakan suatu keadaan dimana seorang nasabah debitur tidak memenuhi atau tidak melaksanakan prestasi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam suatu perjanjian. Menurut Munir Fuady, “wanprestasi adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya dibebankan oleh kontrak

Dokumen terkait