• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN KREDIT PERUMAHAN RAKYAT TERHADAP KLAUSULA BAKU YANG MEMBERATKAN KONSUMEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN KREDIT PERUMAHAN RAKYAT TERHADAP KLAUSULA BAKU YANG MEMBERATKAN KONSUMEN"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN KREDIT PERUMAHAN RAKYAT TERHADAP KLAUSULA BAKU

YANG MEMBERATKAN KONSUMEN ( STUDI PADA BANK CIMB NIAGA MEDAN )

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

WINA REBECA ASTRIA SUSETHETING BANGUN 160200438

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

ABSTRAK WINA

PROF. BISMAR NASUTION, SH., MH

Dr. MAHMUL SIREGAR, SH., M.Hum

Merebaknya kasus perumahan pada dasarnya diawali dengan ketidak sesuaian antara apa yang tercantum dalam brosur/iklan dengan yang tersurat dalam perjanjian jual beli yang ditandatangai oleh konsumen. Perjanjian Kredit perumahan rakyat (KPR) terkadang banyak merugikan nasabah selaku konsumen. Dimana pencantuman klausula-klausula dalam suatu perjanjian kredit telah dibuat sepihak oleh pihak bank dalam bentuk perjanjian standart dimana akan memberikan bank kewenangan yang tidak seimbang jika dibandingkan dengan nasabah debitur. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti tentang pelaksanaan perlindungan hukum bagi nasabah dalam perjanjian kredit perumahan rakyat dan terhadap klausula baku dalam perjanjian kredit perumahan rakyat.

Metode penelitian ini menggunakan metode hukum yuridis normatif dan empiris dengan menggunakan data primer (hasil wawancara dilapangan), dan data sekunder berupa bahan hukum primer yaitu berasal dari peraturan perundang- undangan, bahan hukum sekunder berasal dari kajian pustaka, dan terakhir bahan hukum tersier, yaitu bahan yang melengkapi bahan hukum sebelumnya.

.Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perjanjian kredit perumahan rakyat pada intinya diatur dalam KUH Perdata, UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan UU No.4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman. Klausula baku yang memberatkan nasabah dalam perjanjian kredit perumahan rakyat adalah setiap peraturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha (Bank) yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Upaya Perlindungan hukum dalam perjanjian kredit perumahan rakyat (KPR) selain dilindungi oleh UU, Pihak Bank CIMB NIAGA juga menjelaskan secara jelas isi dari perjanjian kredit tersebut dan memberi kesempatan kepada konsumen untuk membaca dan memahami agar tidak merasa dirugikan atau diberatkan dengan klausula baku tersebut.serta menjelaskan bentuk perlindungan hukum yang bakal diterima oleh nasabah apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi. Saran penulis kepada pihak Bank CIMB Niaga dalam membuat perjanjian KPR kedepannya agar membuat klausula perjanjian yang seimbang antara kreditur dengan debitur, sehingga kedepannya tidak ada nasabah yang merasa diberatkan atas klausula dalam perjanjian KPR.

Kata Kunci : Perlindungan hukum, Kredit Perumahan Rakyat, Klausula Baku

Mahasiswa Fakultas Hukum

 Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

 Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian penelitian ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERUMAHAN RAKYAT (KPR) DI INDONESIA... 26

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ... 26

1. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya... 25

2. Asas-asas Perjanjian ... 28

3. Syarat Sahnya Perjanjian ... 34

4. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya ... 40

B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit ... 42

1. Pengertian Perjanjian Kredit dan Prinsip-prinsip Kredit ... 42

2. Bentuk Perjanjian Kredit Perbankan ... 54

3. Kredit Sebagai Usaha Perbankan ... 59

(5)

C. Perjanjian Kredit Perumahan Rakyat Dalam Sistem Hukum Di Indonesia .. 62

1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Kredit Perumahan Rakyat (KPR) ... 62

2. Para Pihak dan Hubungan Hukum Dalam Perjanjian KPR ... 70

3. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian KPR ... 71

BAB III KLAUSULA BAKU YANG MEMBERATKAN NASABAH PADA PERJANJIAN KREDIT PERUMAHAN RAKYAT (KPR) ... 76

A. Pengertian Klausula Baku ... 76

B. Ciri-ciri dan Klasifikasi Perjanjian Klausula Baku ... 79

C. Landasan Hukum Perjanjian yang Menggunakan Klausula Baku ... 82

D. Klausula Baku yang Memberatkan Nasabah Pada Perjanjian Kredit Perumahan Rakyat (KPR) ... 85

BAB IV UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT PERUMAHAN RAKYAT (KPR) TERHADAP KLAUSULA BAKU PADA BANK CIMB NIAGA CABANG MEDAN ... 99

A. Pelaksanaan Perjanjian Kredit Perumahan Rakyat antara Bank CIMB NIAGA dengan Konsumen ... 99

B. Upaya Perlindungan Hukum Dari Pelaksanaan Perjanjian Kredit Perumahan Rakyat (KPR) Terhadap Klausula Baku Pada Bank CIMB NIAGA Cabang Medan ... 106

(6)

BAB V PENUTUP ... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA ... 122

(7)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Oleh karena itu terdapat dua fungsi Bank di Indonesia, yaitu menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan (funding) dan menyalurkan kembali pada masyarakat dalam bentuk kredit (lending.)1 Untuk memperlancar kegiatan perkembangan usahanya maka seorang pengusaha yang kekurangan modal akan menghubungi pihak bank atapun pihak non-bank untuk memohon fasilitas kredit.

Perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku(standard contract).Berkaitan dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya sudah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditor sedangkan debitor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku (standard contract), di mana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negoisasi atau tawar-menawar, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.

1 Try Widiyono, Agunan Kredit dalam Financial Engineering, (Bogor: Ghalia Indonesia,2009), hal 1.

(8)

Perjanjian itu biasanya dalam bentuk formulir yang telah disiapkan oleh bank kemudian diserahkan kepada pihak debitur dengan prinsip take it or leave it contract.

Perjanjian semacam ini telah lazim digunakan dalam perjanjian baku atau perjanjian standart atau disebut juga perjanjian adhesi. Dalam perjanjian seperti ini, pihak kedua (debitur) sama sekali tidak dapat mengajukan usul ataupun masukan dan keberatan terhadap format perjanjian dan klausula-klausula yang ada di dalamnya.2

Klausula-klausula yang dapat dikatakan memberatkan debitur dalam perjanjian kredit yang dilakukan oleh pihak bank dengan debitur antara lain:

1. Kewenangan bank untuk secara sepihak menentukan harga barang dari barang agunan dalam hal dilakukan penjualan barang agunan karena kredit nasabah debitur macet;

2. Kewenangan bank untuk secara sepihak mengubah tingkat suku bunga kredit;

3. Kewajiban nasabah debitur untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan diterapkan kemudian oleh bank;

4. Keharusan nasabah debitur untuk tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan- ketentuan umum hubungan rekening koran dari bank yang bersangkutan, namun tanpa sebelumnya nasabah debitur diberi kesempatan untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening koran tersebut;

2Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 2013), hal, 28

(9)

5. Kuasa nasabah debitur yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank;

6. Kuasa nasabah debitur kepada bank untuk mewakili dan melaksanakan hak-hak nasabah debitur dalam setiap Rapat Umum Pemegang Saham;

7. Pembuktian kelalaian nasabah debitur secara sepihak oleh pihak bank semata;

8. Pencantuman klausula-klausula eksemsi yang membebaskan bank dari tuntutan ganti kerugian oleh nasabah debitur atas terjadinya kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat tindakan bank.3

Pencantuman klausula-klausula yang telah dibuat sepihak oleh pihak bank dalam bentuk perjanjian standart akan memberikan bank kewenangan yang tidak seimbang jika dibandingkan dengan debitur. Hal ini dapat terjadi karena pihak bank merupakan pihak yang lebih unggul secara ekonomis dari pada nasabah yang membutuhkan dana, sehingga menimbulkan keadaan ketentuan yang diatur oleh bank dalam perjanjian kredit, mau tidak mau harus diterima pihak debitur agar dapat memperoleh kredit dari bank yang bersangkutan. Ini memposisikan debitur berada di pihak yang lemah.

Untuk menyikapi permasalahan tersebut, maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas pengawasan industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan debitur dalam berhubungan dengan

3Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 2013), hal. 52

(10)

bank.Sebagaimana diatur dalam UU No. 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bahwa OJK akan mengawasi kegiatan usaha bank seperti sumber dana, penyedia dana, dan segala aktivitas di bidang jasa. Jika selama ini Bank Indonesia selalu berpijak pada UU No. 7/1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No.

10/1998 dan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan UU No. 3/2004 dalam pengaturan aspek kehati-hatian bank, maka dengan telah berlaku efektifnya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen sejak tahun 2001, maka aspek pengaturan perbankan pun harus diperluas dengan aspek perlindungan dan pemberdayaan debitur sebagai konsumen pengguna jasa bank.4

Dalam kaitan dengan pelaksanaan perlindungan konsumen kredit perumahan, ruang lingkung perlindungan konsumen memang sangat luas sekali. Jadi, dalam prakteknya selain perlindungan konsumen perumahan, juga masih banyak lagi konsep perlindungan konsumen yang ada, misalnya perlindungan konsumen pangan, pelayanan, kesehatan, dan sebagainya.

Dengan semakin tumbuh kembangnya perekonomian bangsa, memicu pula semakin meningkatnya permintaan akan perumahan itu sendiri. Permintaan itu sendiri tidak lain dikarenakan semakin tingginya kepadatan penduduk, dimana mendongkrak juga permintaan terhadap perumahan. Hal inilah yang menyebabkan munculnya pengembang-pengembang baru dalam berbagai fasilitas yang di tawarkan kepada masyarakat. Akan tetapi dalam praktek akhir-akhir ini ternyata banyak sekali timbul

4 Denggan Maruli Tobing, Resiko Hukum yang Terjadi di Dalam Perjanjian Bank Dalam Kaitannya dengan Perlindungan Konsumen, (Jurnal Penelitian Hukum, Medan, Universitas Sumatera Utara, 2008), hal. 100

(11)

permasalahan dibidang tersebut yang cenderung merugikan pihak konsumen.

Permasalahan dalam pemasaran perumahan didalam praktek pembangunan yang terjadi itu sudah dapat dikategorikan sebagai kejahatan.5

Mengingat dalam pembangunan perumahan terlibat berbagai pihak, maka banyak yang berpotensi melakukan kejahatan, dimana adalah termasuk :6

1. Pihak pengembang sebagai pihak yang berinisiatif membangun perumahan.

2. Pihak perbankan, khususnya yang menyalurkan KPR, dan

3. Notaris, selaku penyedia jasa professional dalam berbagai transaksi hukum dalam proses jual beli perumahan.

Hubungan ketiga individu tersebut sangatlah erat sekali dimana seringkali terjadi adanya persekongkolan terselubung untuk menipu konsumen secara tidak langsung, walaupun dalam hal ini pembuktian masih sangat perlu dilakukan terlebih dahulu dimana sesuai dengan asas presumption of innocence.7 Biasanya kecurangan- kecurangan yang sering terjadi dilakukan oleh ketiga individu ini melalui klausula baku dalam perjanjian kredit perumahan tersebut. Dengan membuat suatu klausula yang sulit dipahami oleh calon konsumen yang pada akhirnya dapat merugikan konsumen tersebut.

Bank CIMB Niaga merupakan salah satu Bank di Indonesia yang memberikan fokus di pada bidang perumahan (60 % Perumahan, dan 40 % Non Perumahan). Pada

5Sudaryatmo, Hukum perlindungan Konsumen Indonesia,(Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal.44

6Ibid, hal. 45

7Ibid, hal. 45

(12)

tahun 2017 sampai akhir 2019 Jumlah realisasi KPR pada Bank CIMB Niaga khususnya di Kota Medan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukan bahwa ada peningkatan minat masyarakat terhadap pembelian rumah melalui KPR khususnya melalui Bank CIMB Niaga Medan. Hal ini membuktikan bahwa pelayanan di Bank CIMB Niaga mampu bersaing dengan Bank lain yang bergerak di Bidang Perumahan juga. Dari riset Awal menunjukan bahwa kondisi pelayanan dalam hal pembelian rumah melalui KPR pada Bank CIMB Niaga Cabang Medan cukup baik, hal ini dapat diketahui dari beberapa narasumber yang telah di wawancarai. Akan tetapi belakangan ini masyarakat masih juga dikahwatirkan dengan adanya klausula baku yang memberatkan konsumen dalam suatu perjanjian pembelian rumah melalui KPR. Sehingga tidak sedikit pula masyarakat yang enggan untuk membeli rumah melalui KPR, karena dianggap memiliki resiko yang mungkin akan banyak merugikan konsumen.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dilakukan penelitian dengan judul: “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Kredit Perumahan Rakyat Terhadap Klausula Baku Yang Memberatkan Konsumen (Studi Pada Bank CIMB NIAGA Cabang Medan)”

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini yang selanjutnya akan dibahas dalam bab-bab berikutnya adalah :

1. Bagaimana pengaturan hukum perjanjian kredit perumahan rakyat (KPR) di

(13)

Indonesia ?

2. Bagaimana klausula baku yang memberatkan nasabah dalam perjanjian kredit perumahan rakyat?

3. Bagaimana upaya perlindungan hukum bagi nasabah dalam pelaksanaan perjanjian kredit perumahan rakyat terhadap klausula baku Pada Bank CIMB Niaga Cabang Medan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini, selain sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana hukum adalah :

1) Untuk mengetahui pengaturan hukum perjanjian kredit perumahan rakyat (KPR) di Indonesia.

2) Untuk mengetahui klausula baku yang memberatkan nasabah dalam perjanjian kredit perumahan rakyat.

3) Untuk mengetahui upaya perlindungan hukum bagi nasabah dalam pelaksanaan perjanjian kredit perumahan rakyat terhadap klausula baku Pada Bank CIMB Niaga Cabang Medan.

2. Manfaat Penulisan

Dengan penulisan skripsi ini penulis berharap dapat bermanfaat : 1) Secara Akademis

(14)

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi syarat dalam meyelesaikan program pendidikan sarjana hukum di Universitas Pembangunan Panca Budi Medan.

2) Secara Teoritis

Penelitian ini di harapkan dapat di gunakan sebagai bahan untuk referensi bagi pengaturan lainnya yang berkaitan. Selain itu dapat menambahkan informasi tentang pelaksanaan perlindungan hukum bagi nasabah dalam perjanjian kredit

3) Secara praktis

Sebagai bahan pedoman bagi para penegak hukum dalam meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan perlindungan terhadap nasabah dalam perjanjian kredit, sehingga nasabah menjadi merasa aman dalam melaksanakan perjanjian kredit dengan bank.

D. Keaslian Penulisan

Setelah melakukan daftar penelusuran skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan kearsipan di Departemen Hukum Ekonomi, tidak ditemukan adanya kesamaan judul atau permasalahan yang diangkat oleh penulis yaitu tentang

“Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Kredit Perumahan Rakyat Terhadap Klausula Baku Yang Memberatkan Konsumen (Studi Pada Bank CIMB NIAGA Cabang Medan)” adapun beberapa judul yang berkaitan dengan judul penulis tentang kredit perbankan akan tetapi berbeda substansi penelitian adalah sebagai berikut :

(15)

1. Tinjauan yuridis terhadap personal guarantee sebagai jaminan pemberian kredit oleh bank(studi pada Bank BNI Cabang USU), oleh Zastian Hutapea, Fakultas Hukum USU tamat tahun 2019, dalam judul ini memuat rumusan masalah antara lain :8

a. Bagaimana prosedur pemberian kredit kepada debitur dengan jaminan personal guarantee?

b. Bagaimana akibat hukum terhadap penjamin dalam pemberian kredit dengan jaminan personal guarantee?

c. Bagaimana upaya PT. Bank BNI cabang USU dalam penyelesaian kredit bermasalah yang menggunakan jaminan personal guarantee ?

2. Tinjauan yuridis terhadap pemberian kredit bank dengan jaminan personal guarantee pada BMT IBADI Kabupaten Tegal, oleh Zainur Ichsan, Fakultas

Hukum Muhammadiyah Surakarta, 2015, dalam judul ini memuat rumusan masalah antara lain :9

a. Bagaimana Prosedur Pemberian Kredit Kepada Debitur Dengan Jaminan Personal Guarantee?

b. Bagaimana Akibat Hukum Apabila Terjadi Wanprestasi Terhadap Perkreditan?

8Zastian Hutapea, Tinjauan yuridis terhadap personal guarantee sebagai jaminan pemberian kredit oleh bank(studi pada Bank BNI Cabang USU), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2019.

9Zainur Ichsan, Tinjauan yuridis terhadap pemberian kredit bank dengan jaminan personal guarantee pada BMT IBADI Kabupaten Tegal, Fakultas Hukum Muhammadiyah Surakarta, 2015

(16)

3. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Debitur dalam Perjanjian Kredit dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Hasta Prasojo di Jaten Karanganyar). Oleh Harris Budi Hartanto, Fakultas Hukum Muhammadiyah Surakarta, 2015,dalam judul ini memuat rumusan masalah antara lain :10

a. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi debitur dari risiko yang timbul dalam perjanjian kredit?

b. Apakah perjanjian kredit yang dilakukan Bank Perkreditan Rakyat Tri Hasta Prasojo telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa skripsi yang disusun ini merupakan karya asli dari penulis dan tidak meniru kepunyaan orang lain. Apabila ditemukan kesamaan judul dan Pidana Universitas Pembangunan Panca Budi maka penulis akan mempertanggung jawabkannya.

E. Tinjauan Pustaka 1. Perjanjian Kredit

Perjanjian terkait dengan dua istilah yang berasal dari bahasa belanda, yaitu istilah Verbintenis dan Overeenkomst diatur dalam Buku III KUH Perdata. Pengertian perjanjian itu sendiri dimuat di dalam pasal 1313 yang menyatakan bahwa perjanjian

10Harris Budi Hartanto, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Debitur dalam Perjanjian Kredit dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Hasta Prasojo di Jaten Karanganyar), Fakultas Hukum Muhammadiyah Surakarta, 2015

(17)

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam menerjemahkan istilah Verbintenis dan Overeenkomst dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang luas, sehingga

menimbulkan perbedaan dan beragam pendapat dari para sarjana hukum.11

Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara Debitur dengan Kreditur (dalam hal ini Bank) yang melahirkan hubungan hutang - piutang, dimana Debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak12. Dari pengertian perjanjian kredit di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit merupakan kesepakatan yang dibuat antara bank selaku kreditur dengan nasabah selaku debitur mengenai pinjaman dana untuk dijadikan modal dalam suatu usaha yang akan dijalankan debitur, dengan pengembalian dana tersebut pada waktunya yang ditentukan disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha debitur.

Menurut Ch. Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :

a. Perjanjian kredit berfungssi sebagai perjanjian pokok;

b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur;

c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring

11R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 3.

12Ibid, hal. 14

(18)

kredit.13

Dalam praktiknya, perjanjian kredit ini disetujui oleh bank hanya berdasarkan kepercayaan bahwa debitur akan segera melunasi utangnya pada waktunya tertentu yang telah ditentukan. Oleh karena itu, bank sebelum menyepakati suatu perjanjian kredit harus memiliki keyakinan mengenai kesanggupan, kemampuan, dan kemauan debitur untuk melunasi utangnya.Untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur.

Namun, sekalipun bank telah melakukan penilaian yang ketat terhadap para calon debiturnya, kredit yang diberikan selalu mengandung risiko. Risiko yang mungkin akan dihadapi terutama oleh pihak perbankan selaku kreditur adalah apa yang biasa dikenal dengan istilah kredit macet, yakni suatu keadaan dimana seorang nasabah atau debitur tidak mampu membayar lunas kredit bank pada waktunya14. Maka dari itu kreditur harus menggugat pihak debitur atas dasar wanprestasi.Akan tetapi sebelum menggugat debitur, kreditur harus melakukan somasi terlebih dahulu agar debitur memenuhi prestasinya. Apabila debitur tidak juga memenuhi prestasinya maka kreditur dapat menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Bila Pengadilan sudah memutuskan bahwa debitur telah wanprestasi, maka kreditur dapat melakukan eksekusi atas barang, jaminan yang diberikan oleh debitur. Jadi, dapat atau tidaknya barang jaminan dieksekusi tidak hanya bergantung pada apakah jangka waktu

13Ibid, hal. 14

14 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, suatu Tinjauan Yuridis, ( Jakarta:

Djambatan, 1995), hal. 92.

(19)

pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Akan tetapi, apabila debitur melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, itu juga merupakan bentuk wanprestasi dalam membuat kreditur berhak untuk melaksanakan haknya mengeksekusi barang jaminan.

2. Kredit Perumahan Rakyat ( KPR )

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman, “Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga, adapun Perumahan didefinisikan sebagai kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan15” KPR adalah kredit yang digunakan untuk membeli rumah atau untuk kebutuhan konsumtif lainnya dengan jaminan/anggunan berupa rumah. Agunan yang diperlukan untuk KPR adalah rumah yang akan dibeli itu sendiri untuk KPR Pembelian. Sedangkan untuk KPR Multiguna atau KPR Refinancing yang menjadi agunan adalah rumah yang sudah dimiliki.Menurut Ibrahim KPR adalah kredit yang diberikan dalam bentuk untuk membantu konsumen dalam memerlukan kebutuhan papan yang digunakan untuk keperluan pribadi maupun untuk keluarga yang bersifat komersial dan tidak mempunyai nilai tambah barang atau jasa di masyarakat16.

Pada KPR terdapat jenis suku bunga, yaitu : 1. Bunga Tetap (Fixed Rate).

15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992, Pasal 1-2

16 Ibahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2004 ), hal.229

(20)

Bunga tetap adalah tingkat bunga yang sama selama periode tertentu sehingga dimana dalam kondisi ini cicilan KPR akan flat atau sama selama periode bunga tetap. Meskipun bunga kredit di pasaran mengalami perubahan, namun jika KPR masih dalam periode bunga tetap, maka tingkat suku bunga yang dibebankan ke nasabah akan sama. Bagi nasabah, bunga tetap ini menguntungkan karena umumnya tingkat bunga di diskon selama bunga tetap sehingga cicilan KPR menjadi relatif rendah.

2. Bunga Mengambang (Floating Rate).

Bunga mengambang adalah tingkat bunga yang berubah sesuai dengan kondisi tingkat bunga kredit pasar.Jika sudah menggunakan bunga mengambang, maka cicilan KPR bisa berubah mengikuti kondisi bunga di pasaran. Saat bunga di pasaran naik, maka bunga mengambang KPR ikut naik dan implikasinya cicilan KPR akan naik begitu sebaliknya.

Dalam praktek di lapangan, bank biasanya menerapkan bunga tetap dalam beberapa tahun pertama saja dalam masa kredit KPR, misalnya 2 tahun pertama atau maksimum 5 tahun pertama, lalu setelah itu bank menerapkan bunga mengambang dalam KPR. Itu sebabnya nasabah KPR mengalami kenaikkan cicilan KPR yang cukup tinggi dikarenakan bunga yang digunakan bank tidak lagi bunga tetap tetapi sudah bunga mengambang. Simulasi KPR adalah merupakan sebuah gambaran proses mengenai kredit sebuah rumah yang wajib dilakukan oleh setiap nasabah yang

(21)

hendak membeli rumah melalui sistem KPR. Proses simulasi kredit tersebut akan dilakukan oleh pihak kreditur atau pemberi kredit (biasanya dari pihak Bank) dengan pihak nasabah yang hendak mengajukan permohonan pembelian rumah secara kredit KPR.

Pihak developer rumah atau pemilik rumah tidak akan terlibat dalam simulasi ini. Ini disebabkan oleh pihak tersebut pada nantinya adalah pihak yang akan mendapatkan atau menerima pembayaran dari pihak kreditur. Selanjutnya, sesuai dengan perjanjian yang sudah dibuat, maka pihak nasabah harus membayar kredit.Nasabah berhak untuk memintas simulasi kredit rumah ini dari setiap bank yang hendak dijadikan penyedia kredit KPR. Walaupun pada umumnya apabila Anda membeli rumah dari developer, pihak nasabah akan langsung mendapatkan beberapa pilihan bank serta pilihan jangka waktu yang hendak diambil dan berapa besar cicilan kredit. Ini karena pihak developer sudah melakukan hubungan kerja sama dengan beberapa bank yang dijadikan pilihan oleh nasabah.

KPR juga memiliki macam yaitu,

a.KPR Syariah adalah pinjaman KPR yang diberikan sesuai prinsip syariah. Salah satu keuntungan KPR Syariah adalah jumlah cicilan KPR tetap sampai dengan akhir masa pinjaman. Ini berbeda dengan KPR konvensional yang mana jumlah cicilan bisa naik atau turun seiring dengan perubahan bunga kredit.

b. KPR Subsidi adalah kredit pemilikan rumah program kerjasama dengan Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan

(22)

suku bunga rendah dan cicilan ringan dan tetap sepanjang jangka waktu kredit, terdiri atas KPR untuk pembelian rumah tapak dan rumah susun. Menurut data Kementerian PUPR, Total penyaluran KPR Subsidi sudah mencapai 516.292 unit dengan nilai Rp 30 T sampai akhir 2017.

Manfaat adanya KPR :

1. Tidak perlu dana besar untuk memiliki rumah.

2. Bias langsung ditempati, membeli sebuah rumah secara KPR bias langsung ditempati tanpa harus menunggu KPR tersebut lunas.

3. Nilainya meningkat terus, membeli rumah secara KPR sama seperti menabung dengan kenaikan investasi yang signifikan. Tentu dalam memilih sebuah rumah untuk dibeli perlu dipertimbangkan peningkatan dari investasi tersebut.

4. Rumah yang dibeli dapat mengangsur sendiri. Jika nilai sew lebih tinggi dari pada besarnya biaya angsuran KPR, dapat dikatakan bahwa rumah tersebut mencicil angsurannya sendiri.

3. Klausula Baku

Klausula baku merupakan isi atau bagian dari suatu perjanjian. Perjanjian yang menggunakan klausula baku ini disebut dengan perjanjian baku. Didalam suatu perjanjian baku tercantum klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh pihak-pihak

(23)

yang memiliki kedudukan yang lebih kuat yang mengakibatkan sangat merugikan pihak yang lemah yang dapat menimbulkan penyalahgunaan keadaan17.

Didalam suatu perjanjian pada umumnya terdiri dari empat bagian yaitu:

1. Nama Perjanjian 2. Komparisi 3. Batang Tubuh 4. Penutup

Klausula baku didalam suatu perjanjian baku merupakan batang tubuh dari perjanjian tersebut. Adapun pengertian klausula baku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 ayat (10) menyatakan bahwa:

“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”18

Klausula yang dapat dikatakan memberatkan debitur dalam perjanjian kredit yang dilakukan oleh pihak bank dengan debitur antara lain:

1. Kewenangan bank untuk secara sepihak menentukan harga barang dari barang agunan dalam hal dilakukan penjualan barang agunan karena kredit nasabah debitur macet;

17Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 115

18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1Ayat ( 10 )

(24)

2. Kewenangan bank untuk secara sepihak mengubah tingkat suku bunga kredit;

3. Kewajiban nasabah debitur untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada, dan yang masih akan diterapkan kemudian oleh bank;

4. Keharusan nasabah debitur untuk tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan- ketentuan umum hubungan rekening koran dari bank yang bersangkutan, namun tanpa sebelumnya nasabah debitur diberi kesempatan untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening koran tersebut;

5. Kuasa nasabah debitur yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank ; 6. Kuasa nasabah debitur kepada bank untuk mewakili dan melaksanakan

hak-hak nasabah debitur dalam setiap Rapat Umum Pemegang Saham ; 7. Pembuktian kelalaian nasabah debitur secara sepihak

8. Pencantuman klausula-kalusula eksemsi yang membebaskan bank dari tuntutan ganti kerugian oleh nasabah debitur atas terjadinya kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat tindakan bank.

4. Konsumen

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.Kalimat yang

(25)

menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenangnya yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. Dengan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan (hukum) yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban produsen, serta cara-cara mempertahankan hak dan kewajiban itu.19 Pada Pasal 4 menjelaskan yang menjadi hak konsumen, yaitu :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang/jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

19Janus Sidabolok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 45.

(26)

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pada Pasal 5 menjelaskan konsumen juga memiliki kewajiban, yaitu :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan, dan

keselamatan.

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Hukum konsumen menurut Az. Nasution adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah- kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup20

F. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian yang sifatnya deskriptif analisis.Adapun yang dimaksud penelitian deskriptif analisis yaitu penelitian bertujuan untuk melukiskan tentang seskuatu hal yang di daerah tertentu dan pada

20Ibid, hal.45

(27)

saat tertentu dan menganalisisnya. Dari hasil penelitian yang diperoleh, diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai perlindungan hukum bagi konsumen dalam pelaksanaan perjanjian kredit perumahan rakyat pada PT.Bank CIMB NIAGA Cabang Medan, serta permasalahnya dan menganalisisnya sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang bersifat umum.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian yuridis normatif dan empiris, yaitu suatu metode pendekatan yang menekankan pada teori-teori hukum dan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Yuridis normatif dalam penelitian ini ditinjau dari sudut hukum perjanjian yang tertulis sebagai data-data sekunder, sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan secara empiris yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan empiris tentang hubungan dan pengaruh hukum terhadap masyarakat dengan jalan melakukan penelitian atau terjun langsung ke lapangan (Bank CIMB NIAGA Cabang Medan) untuk mengumpulkan data yang obyektif data ini merupakan data primer.

3. Metode Pengumpulan Data

Adapun Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain menggunakan metode-metode sebagai berikut:

(28)

a. Studi pustaka, yaitu dengan mempelajari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah perlindungan hukum terhadap nasabah dalam perjanjian kredit perumahan rakyat.

b. Wawancara, yaitu dengan melakukan tanya jawab secara lisan, tertulis dan terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu. Dalam hal ini, dilakukan wawancara dengan beberapa narasumber antara lain dengan nasabah Bank CIMB NIAGA dan Staff dari Bank CIMB NIAGA.

4. Jenis Data

Jenis data yang digunakan sebagai bahan penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, antara lain sebagai berikut:

a) Data Primer

Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber data yang pertama atau para pihak yang langsung menjadi obyek dari penelitian.

b) Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung atau data yang terlebih dahulu dibuat seseorang dalam suatu kumpulan data, seperti dokomen, buku atau hasil penelitian terlebih dahulu dan sebagainya.

1) Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer merupakan bahan yang diperoleh dari KUH Perdata, Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Undang-undang

(29)

No.4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman, PBI No.10/10/PBI/2008 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, SEBI No.

27/7/UPPB Tahun 1995 Tentang Kewajiban Penyusunan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum Sekunder adalah bahan yang diperoleh dari kepustakaan.

Data ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier adalah bahan yang berasal dari gabungan bahan hukum primer dan sekunder

5. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan di dalam memahami isi dan tujuan dari penelitian, maka penulis memaparkan rancangan dari bentuk dan isi skripsi secara keseluruhan.dalam skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, dimana setiap bab memiliki sub bab. Adapun bab- bab tersebut antara lain :

(30)

Bab I Pendahuluan, Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Pengaturan Hukum Tentang Perjanjian Kredit Perumahan Rakyat ( KPR ) Di Indonesia, Bab ini menjelaskan tentang tinjauan umum tentang perjanjian, penjelasan tentang perjanjian kredit, dan perjanjian kredit perumahanrakyat dalam system hukum di Indonesia.

Bab III Tinjauan Umum Tentang Klausula Baku Yang Memberatkan Nasabah Pada Perjanjian Kredit Perumahan Rakyat ( KPR ), Bab ini menjelaskan tentang pengertian klausula baku, ciri-ciri, dan klasifikasi klausula baru, menjelaskan tentang pengaturan pembatasan klausula dan larangannya, menjelaskan pengawasanterhadap klausula baku, dan klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit perumahannya.

Bab IV Upaya Perlindungan Hukum Pelaksanaan Perjanjian Perumahan Rakyat Terhadap Klausula Baku Pada Bank Cimb Niaga Cabang Medan, Bab ini menjelaskan tentang pelaksanaan perjanjian kredit perumahan rakyat antara Bank CIMB Niaga dengan konsumen, upaya perlindungan hukum dari pelaksanaan perjanjian kreditperumahan rakyat terhadap klausula baku pada Bank CIMB Niaga Medan, penyelesaian perjanjian kredit apabila nasabahWanprestasi pada Bank CIMB Niaga Cabang Medan

Bab V Kesimpulan Dan Saran, Bab ini menjadi bab penutup dari skripsi penulis, pada bab ini berisi penjelasan mengenai kesimpulan dari keseluruhan skripsi

(31)

penulisan dan saran. Yang terakhir terdapat daftar pustaka dan lampiran pada penulisan skripsi ini.

(32)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERUMAHAN RAKYAT (KPR) DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, dalam Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang perjanjian atau persetujuan atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUHPerdata hanya terjadi atas izin atau kehendak (toestemming) dari semua mereka yang terkait dengan persetujuan itu, yaitu mereka yang mengadakan persetujuan atau perjanjian yang bersangkutan.21

Menurut R. Wirjono Projodikoro, suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda

21Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, Cetakan 2, (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 2010), hal. 430

(33)

dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.22

Menurut R. Wirjono Projodikoro, suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.23 R. Wirjono Prodjodikoro, juga mendefinisikan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.24

Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.25 Pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjianadalah hubungan hukum/ rechtbetrekking yang oleh hukum itu

22Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, (Bandung: Alumni, 2013), hal. 65

23R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertulis, (Bandung: Subur, 2011), hal.1

24 R. Wirjono Prodjodikoro, 2009,Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Subur, hlm. 9

25Subekti, 1994,Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, hlm. 1

(34)

sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda.Salah satu sumber perikatan adalah perjanjian.

Perjanjian melahirkan perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian tersebut.26 Ini berarti suatu perjanjian menimbulkan kewajiban atau prestasi dari satu orang kepada orang lainnya yang berhak atas pemenuhan prestasi tersebut. Dengan kata lain, bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana pihak yang satu wajib untuk memenuhi suatu prestasi dan pihak lain berhak atas prestasi tersebut.Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa perjanjian menimbulkan prestasi terhadap para pihak dalam perjanjian tersebut. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh salah satu pihak (debitur) kepada pihak lain (kreditur) yang ada dalam perjanjian.

Prestasi terlihat baik dalam perjanjian yang bersifat sepihak atau unilateral agreement, artinya prestasi atau kewajiban tersebut hanya ada pada satu pihak tanpa

adanya suatu kontra prestasi atau kewajiban yang diharuskan dari pihak lainnya.27 Prestasi juga terdapat dalam perjanjian yang bersifat timbal balik atau (bilateral or reciprocal agreement), dimana dalam bentuk perjanjian ini masing-masing pihak

26Karitini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. (Jakarta:

Raja Grafindo Perkasa, 2013), hal. 92

27 Sri Soesilowati Mahdi,Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta: Gitama Jaya, 2015), hal. 150

(35)

yang berjanji mempunyai prestasi atau kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pihak yang lainnya.28

Pengaturan hukum perikatan menganut sistem terbuka. Artinya setiap orang bebas melakukan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun belum diatur. Dalam Pasal 1338 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk:

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.29 2. Asas- asas Hukum dalam Perjanjian.

Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif.Asas hukum dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Setidaknya adalima asas yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian30 yaitu:

28Ibid, hal. 150

29 Martin Roestamy & Aal Lukmanul Hakim,Bahan Kuliah Hukum Perikatan, (Bogor:

Fakultas Hukum Universitas Djuanda,2008), hal. 5

30 M.Harianto, Asas-Asas Dalam Perjanjian http: // blogmhariyanto. blogspot. com/ 2009/

07/asas-asas-perjanjian.html,diakses tanggal 20 Januari 2020, 17.35 WIB

(36)

1) Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian b. mengadakan perjanjian dengan siapapun

c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.31 2) Asas konsensualisme

Dalam hukum perjanjian berlaku asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latinconsensus yang berarti sepakat. Arti asas konsensualisme adalah perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.Perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal- hal yang pokok walaupun belum ada perjanjian tertulisnya sebagai sesuatu formalitas.

Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

31 Salim H.S,Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hal. 25

(37)

Karena suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan,maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan.

Karena perjanjian sudah lahir maka tak dapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin pihak lawan. Pengecualian terhadap asas konsensualisme yaitu penetapan formalitas- formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris dan perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis, dan lain sebagainya. Perjanjian yang memerlukan formalitas tertentu dinamakan perjanjian formil.32

Asas konsensualisme berhubungan dengan saat lahirnya suatu perjanjian yang mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, mengenai saat terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian, yaitu antara lain:

a. Teori Pernyataan (utingstheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat

32 Princip-Principle, Sistem Terbuka dan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perjanjian, http://www.blogprinsip.blogspot.com/2012/10/sistem-terbuka-dan-asas-konsensualisme.htmldiakses tanggal 20 Januari 2020, Pukul 19.20 WIB

(38)

menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap kesepakatan terjadi secara otomatis.

b. Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram.

c. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila yang menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum diterimanya atau tidak diketahui secara langsung.

d. Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

3) Asas Pacta Sunt Servanda

Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

(39)

4) Asas itikad baik

Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu:

a. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.

b. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku.33

5) Asas kepribadian (personality)

Asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu perjanjian.Asas kepribadian dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1340 ayat (1) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.Pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi

33KUH Perdata Buku II Dan Buku III, pada Pasal 531 dan Pasal 1338

(40)

mereka yang membuatnya.Ketentuan mengenai hal ini ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Perjanjian dapat pula diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini memberi pengertian bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang telah ditentukan. Sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Hukum benda mempunyai sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-ndang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak- pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan- ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dan diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Apabila pihak-pihak yang membuat perjanjian itu tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka berarti mengenai soal tersebut akan tunduk

(41)

kepada undang-undang. Karena itu hukum perjanjian disebut hukum pelengkap, karena fungsinya melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap.

Sistem terbuka, yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPerdata lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi demikian:“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Penekanan pada perkataan semua menyatakan

bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.

3. Syarat Sah Perjanjian

Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Cakap untuk membuat suatu perikatan;

3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. Dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara syarat subjektif dengan

(42)

syarat objektif.Syarat subjektif adalah kedua syarat yang pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir.34

Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri dari:

a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu.

b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu.

c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu

d. Syarat izin dari yang berwenang.35

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif karena syarat tersebut mengenai subyek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat obyektif, karena mengenai obyek dari perjanjian.Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak diakui oleh hukum. Tetapi bila pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi perjanjian itu tetap berlaku diantara mereka, namun bila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui sehingga timbul sengketa maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.

Keempat syarat di atas merupakan syarat yang esensial dari suatu perjanjian, artinya syarat-syarat tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa suatu syarat ini, perjanjian dianggap tidak pernah ada atau perjanjian itu tidak sah.Namun dengan

34Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 98.

35 Munir Fuady, Hukum Kontrak “Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis”,(Bandung: Citra Aditya Bakti,2014), hal. 34

(43)

diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.Dengan kata sepakat suatu perjanjian sudah lahir. Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor, yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Adanya kata sepakat berarti terdapat suatu persesuaian kehendak diantara para pihak yang mengadakan perjanjian.Perjanjian sudah lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak, dikenal dengan asas konsensualisme yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian.Menurut Abdul Kadir Muhammad persetujuan kehendak adalah kesepakatan seia-sekata. Pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya.

Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.Pernyataan kehendak atau persetujuan kehendak harus merupakan perwujudan kehendak yang bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan (dwang) dari pihak manapun juga, harus betul-betul atas kemauan sukarela para pihak.36

Pengertian kehendak atau sepakat itu termasuk juga tidak ada kekhilafan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog).Apabila ada kesepakatan terjadi karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalan kepada hakim (vernietigbaar).Hal ini sesuai dengan

36 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Cipta Aditya Bhakti,1990), hal. 228-229

(44)

Pasal 1321 KUHPerdata dinyatakan tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan kegiatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut- takuti, sehingga dengan demikian orang itu tidak terpaksa menyetujui perjanjian (Pasal 1324 KUHPerdata). Dan dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting obyek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan penipuan menurut arti Undang-undang (Pasal 1328 KUHPerdata).Penipuan menurut arti Undang-undang ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui.37

Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dari pihak ketiga dan tidak ada gangguan berupa paksaan, yaitu paksaan rohani atau paksaan jiwa, bukan paksaan fisik, misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Kekhilafan, yang terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-halpokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang barang yangmenjadi obyek perjanjian.Penipuan, yang dapat terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan palsu disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lainnya agar menyetujui suatu perjanjian, misalnya menjual

37Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, (Bandung: Citra Aditya Bhakti,2006), hal. 123

(45)

mobil bekas yang telah dipoles sedemikian rupasehingga menimbulkan kesan seolah- olah mobil tersebut barudengan mengatakan kepada pembeli bahwa mobil itu baru.

b. Cakap untuk membuat suatu perikatan.

Pada dasarnya semua orang cakap membuat perjanjian, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pasal 1329 KUHPerdata kecuali yang diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum termasuk pula membuat perjanjian ialah bila ia sudah dewasa yaitu berumur 21 tahun dan telah kawin. Ukuran orang dewasa 21 tahun atau sudah kawin, disimpulkan secara a contrario dalam redaksi Pasal 330 KUHPerdata. Sedangkan mereka yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, sebagaimana diatur Pasal 1330 KUHPerdata ialah:

1) Orang-orang yang belum dewasa

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang- undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (ketentuan ini sudah dicabut).

c. Adanya suatu hal tertentu.

Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian.Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.Menurut ketentuan Pasal 1234

(46)

KUHPerdata dinyatakan bahwa perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dalam ketentuan Pasal 1331 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Mengenai jumlahnya tidak masalah asalkan dikemudian hari ditentukan.

d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal

Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan adanya suatu sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian. Pada pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umumdan kesusilaan.

Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.38

Kedua syarat pertama tersebut, dinamakan dengan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyek yang mengadakan perjanjian.

Sedangkan dua syarat yang terakhirdinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannyasendiri atau obyek dari perjanjian tersebut.Apabila syarat subyektif dilanggar baik salah satu atau keduanyamengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (voidable).Adanyakekurangan terhadap syarat subyektif tersebut tidak

38Sri Soedewi Masjachan,Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,(Yogyakarta: Liberty,2008), hal. 319

(47)

begitu sajadiketahui oleh hakim, jadi harus diajukan oleh pihak yangberkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian. Oleh karena itu, undang-undang menyerahkan kepada para pihak, apakah mereka mengkhendaki pembatalan terhadap perjanjian tersebut atau tidak.39 Akan tetapi selama para pihak tidak keberatan atas pelanggaran kedua syarat subyektif tersebut, maka perjanjian itu tetap sah.

Apabila syarat obyektif dilanggar maka perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sejak semula dan tidak mengikat para pihak yang membuat perjanjian atau disebut dengan batal demi hukum (nulland void). Secara yuridis, dianggap dari semula tidak ada suatuperjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yangbermaksud membuat perjanjian itu. Akibat dari batal demi hukum,maka para pihak tidak dapat mengajukan tuntutan melalui pengadilan untuk melaksanakan perjanjian atau meminta ganti rugi, karena dasar hukumnya tidak ada.40

5. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya

Wanprestasi merupakan suatu keadaan dimana seorang nasabah debitur tidak memenuhi atau tidak melaksanakan prestasi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam suatu perjanjian. Menurut Munir Fuady, “wanprestasi adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya dibebankan oleh kontrak

39 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-19,( Jakarta: Intermasa,2002), hal. 22

40Ibid. hal. 22

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian didapatkan bahwa, tingkat kecemasan kecemasan yang paling banyak dialami responden adalah tingkat kecemasan berat (34,78%), sebagian kecil responden mengalami

Frekuensi dukungan penilaian suami pada pemeriksaan inspeksi visual asam asetat lebih banyak adalah kategori baik yakni 18 responden (51,4%).. Frekuensi dukungan instrumental

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Tim Operasional

Universitas Negeri

1) Penguatan UMKM ke depan hendaknya memberi perhatian pada perkuatan modal usaha, fasilitasi sarana dan prasarana, penyiapan pasar grosir.pusat pemasaran produk UMKM,

Universitas Negeri

Dari ke enam corak ilustrasi tersebut yang bisa diaplikasikan dalam konsep raw dan rebel adalah corak ilustrasi realistis, corak ilustrasi dekoratif dan corak

Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) di Panampuang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat.. Balai Pengkajian