• Tidak ada hasil yang ditemukan

laporan lembaga pusjakum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "laporan lembaga pusjakum"

Copied!
263
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Ketua Dewan Perwakilan Daerah

Republik Indonesia

Dinamika Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) terus menunjukkan arah yang lebih baik. Ditandai dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang disempurnakan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 pada tanggal 22 September 2015 yang mengukuhkan DPD RI untuk ikut serta dalam pembahasan bersama Presiden dan DPR RI (tripartit). Oleh karena itu, tantangan DPD RI di Tahun Sidang Kedua 2015-2016 untuk memperjuangkan aspirasi daerah dalam pembentukan regulasi di tingkat pusat semakin terbuka.

Laporan kinerja DPD RI merupakan tingkat capaian, pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang sekaligus wujud pertanggungjawaban kelembagaan DPD RI kepada konstituen di seluruh Indonesia yang menggambarkan konsistensi kelembagaan memperjuangkan suara daerah dalam regulasi dan kebijakan di level nasional. Dibandingkan dengan Tahun Sidang Pertama, dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya memperjuangkan aspirasi daerah di tingkat regulasi nasional DPD RI semakin baik. Hasil pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang yang dilakukan DPD RI pada Tahun Sidang kedua yaitu :

1. 10 (sepuluh) Rancangan Undang-Undang Inisiatif DPD RI

2. 7 (tujuh) Pandangan dan Pendapat Rancangan Undang-Undang Presiden

dan/atau DPR RI yang berkaitan dengan bidang kewenangan DPD RI;

3. 7 (tujuh) Pertimbangan DPD RI yang berkaitan dengan fungsi anggaran dan tindak lanjut Hasil Pemeriksaan Semester (Hapsem) BPK RI; dan

4. 26 Hasil Pengawasan Atas Pelaksanaan Undang-Undang yang berkaitan

dengan bidang kewenangan DPD RI dan tindak lanjut Penelaahan Hapsem BPK RI

Hasil Pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang diatas diharapkan menjadi modal awal bagi DPD RI untuk melakukan peran sebagai representasi dan delibrasi pembentukkan regulasi bersama DPR RI dan Presiden. Kesempatan ini akan semakin terbuka di Tahun Sidang Ketiga 2016-2017.

(2)

Dengan disusunnya buku Laporan Kinerja Tahunan DPD RI Tahun Sidang Kedua 2015–2106 diharapkan menjadi catatan ketatanegaraan peran DPD RI dalam memperjuangkan aspirasi daerah dalam perumusan regulasi dan kebijakan nasional.

Akhirnya saya menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kerja keras seluruh Pimpinan dan Anggota Alat Kelengkapan DPD RI bersama jajaran Sekretariat Jenderal DPD RI, serta semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian laporan ini semoga bermanfaat.

Jakarta, 15 Agustus 2016

PIMPINAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

Ketua,

(3)

DAFTAR ISI

LAPORAN KINERJA LEMBAGA DPD RI TAHUN SIDANG 2015 - 2016

---

Halaman

Kata PengantarKetua DPD RI ... i

Kata Pengantar Sekretaris Jenderal DPD RI ... ii

Daftar Isi ... iii

Daftar Tabel, Bagan dan Grafik ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB III KINERJA DALAM BIDANG LEGISLASI ... 23

A. RUU Inisiatif DPD ... 30

B. Pandangan Pendapat dan pertimbangan DPD atas RUU Bidang Tertentu ...65

C. Refleksi Fungsi Legislasi……... ...108

BAB IV KINERJA PERTIMBANGAN ANGGARAN (APBN)... .123

A.Pertimbangan DPD Terhadap RUU APBN Tahun Anggaran 2015.. ... 123

B. Pertimbangan DPD terhadap RUU Tentang Pertanggungjawaban Atas Pelaksanaan APBN Tahun 2014... ... 150

BAB V KINERJA DALAM BIDANG PENGAWASAN ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG... 159

A.Kinerja Pengawasan Berkaitan dengan Otonomi Daerah; Hubungan Pusat Daerah; Pembentukan, Pemekaran dan Penggabungan Daerah……….. ... 161

B. Kinerja Pengawasan Terkait Dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pengelolaan Sumber Daya Ekonomi Lainnya ... 203

C. Kinerja Pengawasan Terkait dengan Persoalan Pendidikan, Agama, Kesehatan, Kebudayaan serta Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak... ... 240

D.Kinerja Pengawasan berkaitan dengan APBN, Pajak serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah ... 252

BAB VI KINERJA DALAM BIDANG PENGAWASAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH MELALUI TINDAK LANJUT HAPSEM BPK RI ... 270

A.Hapsem BPK RI ... 272

B. Tindak Lanjut oleh Badan Akuntabilitas Publik ... 285

BAB VII KINERJA DALAM FUNGSI REPRESENTASI DAN ARTIKULASI PERMASALAHAN DAERAH ... 293

A.Pengaduan Masyarakat (BAP DPD) ………... 294

(4)

BAB VIII KINERJA DALAM PEMANTAPAN DAN PENGEMBANGAN

PERAN DPD RI... ... 310

A.Pemantapan Keberadaan DPD RI ……….. ... 311

B. Kerjasama Lembaga dan Hubungan Luar Negeri ... 318

C. Upaya Penguatan Kelembagaan……….. ... 331

D.Pelaksanaan Fungsi Anggaran... ... ...348

BAB IX SEKRETARIAT JENDERAL DPD RI... ... ....349

A.Kedudukan... ... ... 311

B. Dukungan Keahlian... ... ... 315

C. Dukungan Keuangan... ... 318

D.Capaian Kinerja Sekretariat Jenderal DPD RI ... 329

E. Realisasi Anggaran DPD RI Tahun 2015 ... 343

(5)

BAB I

(6)

ewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) periode 2014-2019 memasuki tahun kedua masa jabatannya pada tahun 2015. Pada tahun kedua ini, ketatanegaraan Indonesia lebih dinamis ini ditandai kenaikan dana transfer pusat ke daerah dan desa sebesar 770,2 triliun rupiah dalam APBN 2016, atau naik sekitar 105,6 triliun rupiah dari tahun sebelumnya (2015) sebesar 664,6 triliun. Transparansi dan demokrasi yang semakin baik, indeks korupsi Indonesia semakin mengecil pada urutan 88 dunia pada tahun 2015, sementara persepsi demokrasi di Indonesia tahun 2015 relatif sama dengan tahun sebelumnya yaitu 72,82 atau kategori sedang.

DPD RI yang terbentuk sejak tahun 2004 telah terbukti mampu menjawab berbagai persolan ketatanegaraan di Indonesia, terutama sekali permasalahan hubungan pusat dan daerah. Selama 12 tahun kiprah DPD RI senantiasa berupaya meneguhkan perannya sebagai lembaga perwakilan daerah. Sepanjang tahun 2015-2016, peran tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan kewenangan kostitusionalnya dalam pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan, pertimbangan maupun representasi.

Dalam perkembangan internal, sejak tanggal 22 September 2015 MK melalui Putusan Nomor 79/PUU-XII/2014 telah menetapkan kembali kedudukan DPD RI sebagai lembaga perwakilan daerah dalam proses legislasi serta kedudukan DPD RI yang mempunyai kemandirian anggaran.

Penambahan berbagai kewenangan DPD RI sebagaimana diatas, membawa konsekuensi perubahan mekanisme kerja, di bidang legislasi peran DPD RI berubah sampai sebelum pengambilan keputusan antara DPR RI dan Presiden, perubahan itu juga berkaitan dengan bentuk pembahasan legislasi yang dulunya melibatkan fraksi dalam DPR RI dalam bentuk DIM fraksi menjadi tripartit dalam bentuk DIM lembaga. Dalam pelaksanaan fungsi legislasi itu juga DPD RI terlibat aktif sampai pada penentuan prioritas legislasi dalam prolegnas. Di bidang anggaran perubahan konstruksi prosentase dana transfer daerah dalam APBN 2015, dimana anggaran transfer daerah lebih besar dari anggaran belanja pemerintah pusat peran DPD RI dalam mengawal hal tersebut menjadi lebih signifikan, terlebih lagi sebagaimana amanat ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan pengelolaan anggaran desa dilaksanakan secara mandiri oleh desa. Perubahan tersebut mengharuskan peran DPD RI lebih besar dalam konstruksi hubungan pusat daerah. Dalam konstruksi pelaksanaan fungsi pengawasan DPD RI, terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Umum Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, mendorong DPD RI untuk lebih terlibat aktif melakukan pengawasan pelaksanaan UU tersebut, terlebih dalam ketentuan Pasal 98 ayat (3) huruf e UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 pengawasan DPD RI yang disampaikan kepada DPR RI, ada mekanisme klarifikasi dari komisi DPR RI kepada DPD RI.

Sepanjang tahun sidang 2015-2016 DPD RI telah mengeluarkan 50 keputusan yang terdiri dari:

(7)

Produk Hukum Dewan Perwakilan

Daerah Republik Indonesia Periode

Agustus 2015 - Agustus 2016

RUU

Pandangan Pendapat

Pertimbangan

Pengawasan

26

Bagan 1 Produk DPD RI

Selain itu, DPD RI telah menghasilkan rekomendasi-rekomendasi penyelesaian masalah dalam menjalankan fungsi representasinya di daerah. Ada beberapa kasus-kasus spesifik yang melibatkan komunalitas di daerah yaitu, kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat, tambang batubara di Kalimantan Selatan, mendorong perbenihan gandum yang dihasilkan Universitas Andalas, larangan ekspor bahan baku rotan, mangkraknya pembangunan jembatan tello di Makasar, masalah listrik di Tarakan dan Pulau Nias, masalah hak ulayat Suku Teon Nila Senua di Kabupaten Maluku Tengah, sengketa lahan masyarakat adat Nusawele dengan PT. Wahana Investama Mandiri di Kabupaten Maluku Tengah, sengketa lahan masyarakat dengan TNI AD di Aceh, sengketa lahan di pelalawan Riau, dan tuntutan hak pesangon pensiunan BRI.

Penyusunan laporan kinerja tahun 2015-2016 ini menjadi medium untuk memotret rekam jejak pelaksanaan tugas DPD RI selama tahun sidang 2015-2016. Hal ini sebagai upaya DPD RI untuk melaksanakan UU Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD seta bentuk akuntabilitas dan transparasni DPD RI. Melalui laporan ini DPD RI mempertangungjawabkan seluruh pelaksanaan tugas kepada masyarakat Indonesia.

Laporan ini dibagi dalam beberapa bagian. Bagian pertama akan menampilkan pelaksanaaan tugas DPD RI sesuai dengan kewenangan DPD RI, di dalamnya akan diuraikan pelaksanana fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan serta pelaksanaan fungsi representasi. Pada bagian kedua akan diuraikan bagaimana kiprah dan dinamika DPD RI dalam koteks sistem ketatanegaraan Indonesia, utamanya upaya-upaya penguatan peran DPD RI selaras dengan aspirasi dan keinginan masyarakat dan daerah. Bagian ketiga akan diuraikan berkaitan dengan Dukungan teknis dan Administrasi DPD RI, yang akan menguraikan dukungan Sekretariat jenderal DPD RI sebagi unsur pendukung pelaksanaan tugas DPD RI. Pada bagian terkahir

10

7

(8)
(9)

BAB II

(10)

A. Pembentukan DPD

Keberadaan DPD RI dapat dikatakan merupakan pertemuan dari dua gagasan, yaitu demokratisasi dan mengakomodasi kepentingan daerah demi terjaganya integrasi nasional. DPD RI dibentuk sebagai representasi kepentingan rakyat di daerah.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 22D UUD 1945, DPD mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

DPD melaksanakan fungsi legislasi dalam bentuk menyusun prolegnas, mengajukan RUU kepada DPR, ikut membahas RUU, menyusun dan menyampaikan daftar inventarisasi masalah RUU yang berasal dari DPR atau Presiden, dan memberikan pertimbangan kepada DPR tentang RUU yang berkaitan dengan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

Fungsi pengawasan dilaksanakan dalam bentuk mengawasi pelaksanaan atas UU tertentu dan menyampaikan hasil pengawasan tersebut kepada DPR dan pemerintah sebagai bahan untuk ditindaklanjuti. Selain itu, DPD mengejawantahkan pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dengan memanfaatkan hasil pemeriksaan BPK untuk mewujudkan akuntabilitas publik instansi pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pengelolaan keuangan negara dan administrasi pemerintahan.

DPD dalam melaksanakan fungsi anggaran dibatasi secara formal oleh konstitusi dengan hanya memberikan pertimbangan terhadap hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang RUU yang berkaitan dengan APBN.

(11)

Mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat

dan daerah kepada DPR

I kut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan bidang tertentu

Menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden

yang berkaitan dengan bidang tertentu

Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang-undang-undang yang

berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama

Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan

sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama

B. TUGAS DAN

(12)

C.

Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK

Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti

Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN

(13)

Komposisi Anggota DPD

(14)

0

1) Komposisi Anggota DPD Tahun Sidang 2015-2016 Berdasarkan Usia

Grafik 1

Komposisi Anggota DPD Berdasarkan Usia

Tahun Sidang 2015-2016

2) Komposisi Anggota DPD Tahun Sidang 2015-2016 Berdasarkan

Pendidikan

Grafik 2

(15)

0 10 20 30 40 50 60

3

1 2 1 5

56

6 18

1 1 3 2 1 1 1 9

2 1 1 1 2

0 50 100 150

101

19

6 4 1 0

3) Komposisi Anggota DPD Tahun Sidang 2015-2016 Berdasarkan Latar

Belakang Pekerjaan

Grafik 3

Komposisi Anggota DPD Berdasarkan Latar Belakang Pekerjaan Tahun Sidang 2015-2016

4) Komposisi Anggota DPD Tahun Sidang 2015-2016 Berdasarkan

Agama

Grafik 4

Komposisi Anggota DPD Berdasarkan Agama Tahun Sidang 2015-2016

(16)

0 20 40 60 80 100 120 140

Laki-Laki Perempuan TOTAL 100

31

131

5) Komposisi Anggota DPD Tahun Sidang 2014-2015 Berdasarkan Jenis

Kelamin

Grafik 5

(17)

D. Alat Kelengkapan DPD

Untuk optimalisasi tugas DPD RI sebagaimana UU nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, DPD RI memiliki alat kelengkapan baik yang bersifat tetap maupun yang bersifat sementara. Alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap adalah alat kelengkapan yang bekerja terus-menerus selama satu periode keanggotaan DPD RI. Alat klelengkapan DPD RI yang bersifat sementara dibentuk untuk kebutuhan dan tujuan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.

Merupakan satu kesatuan yang bersifat kolektif kolegial, terdiri atas satu orang ketua dan dua orang wakil ketua. Pimpinan DPD mencerminkan keterwakilan wilayah barat, tengah dan timur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(18)

Mempunyai tugas merancang dan menetapkan program dan arah kebijakan DPD RI

(19)

Membidangi pemerintah daerah; Hubungan pusat daerah; Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; Politik, hukum dan hak asasi manusia; Permasalahan daerah diwilayah perbatasan negara; Pertanahan dan tata ruang; Pemukiman dan kependudukan; Komunikasi dan informatika; Ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat

(20)

Membidangi pertanian dan perkebunan; perhubungan; kelautan dan perikanan; energi sumber daya mineral; kehutanan dan lingkungan hidup; pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan daerah tertinggal; perindustrian dan perdagangan; penanaman modal; pekerjaan umum; ketahanan pangan; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; pembangunan pedesaan dan kawasan tertinggal; meteorologi, klimatologi dan geofisika; dan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Dearah.

(21)

Membidangi pendidikan; agama; kebudayaan; kesehatan; pariwisata; pemuda dan olahraga; kesejahteraan sosial; pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; tenaga kerja dan transmigrasi; ekonomi kreatif; administrasi kependudukan/pencatatan sipil; pengendalian penduduk/keluarga berencana dan perpustakaan serta melakukan pembahasan dan penyusunan pertimbangan DPD mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan dan agama.

(22)

Membidangi APBN; pajak dan pungutan lain; perimbangan keuangan pusat dan daerah; lembaga keuangan dan perbankan; koperasi, usaha kecil dan menengah; serta melakukan pembahasan dan penyusunan pertimbangan DPD mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dan menyusun pertimbangan DPD terhadap hasil pemeriksaan keuangan negara; dan menyusun pertimbangan terhadap calon Anggota BPK yang diajukan ke DPR.

(23)

Membidangi perancangan undang-undang DPD RI; harmonisasi, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU dari DPD RI; melakukan koordinasi , konsultasi dan evaluasi dalam rangka mengikuti perkembangan materi usul RUU yang sedang dibahas komite, serta merencanakan dan menyusun program dan urutan prioritas pembahasan RUU dari DPD RI; mengoordinasikan kegiatan law center DPD RI serta menyusun peraturan DPD RI

(24)

Mempunyai tugas membantu pimpinan dalam menentukan Kebijakan kerumahtanggaan DPD RI termasuk kesejahteraan anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal DPD RI

(25)

(ganti foto)

Mempunyai tugas melakukan penyelidikan dan verifikasi

atas pengaduan terhadap anggota DPD RI; melakukan

evaluasi dan penyempurnaan tata tertib dan kode etik DPD

RI

(26)

Mempunyai tugas melakukan penelaahan lanjutan terhadap temuan hasil BPK RI yang berpotensi merugikan keuangan negara; melakukan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan yang berpotensi mal administrasi.

(27)

Membina, mengembangkan dan meningkatkan

hubungan persahabatan dan kerjasama antara

DPD RI dengan lembaga sejenis, lembaga

pemerintah maupun non pemerintah baik secara

bilateral maupun multilateral.

(28)

Melakukan fungsi pengembangan kapasitas kelembagaan termasuk memerankan tugas sebagai kelompok DPD RI di MPR RI .

(29)

Pansus dibentuk untuk menjalankan tugas tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam sidang paripurna.

(30)

BAB III

(31)

Selama kurun waktu 12 tahun sejak berdiri, DPD RI senantiasa berupaya meneguhkan perannya sebagai lembaga perwakilan daerah yang membawa aspirasi dan keinginan daerah. Peneguhan peran tersebut ditegaskan melalui Putusan MK Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 dan Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014. Pelaksanaan peran DPD RI dalam perwakilan daerah dan demokrasi telah dijamin dalam konstitusi Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945.

Dalam pelaksanan fungsi legislasi, terdapat dua hal penting yang selalu beriringan yaitu desain konstitusional DPD RI dan alat kelengkapan yang membahasnya. Kedua hal tersebut mempunyai pengaruh dalam kinerja DPD RI bidang legislasi. Hal ini disebabkan bahwa legislasi bukan sekedar merancang sesuatu yang mengatur tetapi juga melahirkan sebuah keinginan untuk mencapai tujuan tertentu, oleh karenanya sifat politik dari undang-undang sangatlah kuat, DPD RI menyadari bahwa sebagai produk politik tentunya undang-undang sering dijadikan justfikasi untuk berbagai kompromi yang dibuat. Oleh karenanya, bagi DPD RI pemilihan perspektif dan kepentingan daerah mutlak menjadi rujukan dalam setiap RUU yang diusulkan.

Ukuran kualitas legislasi yang digunakan oleh DPD RI dalam setiap produk yang dihasilkan adalah konstitusi dan prinsip-prinsip universal yang dipahami dalam konteks hubungan pusat-daerah seperti akuntabilitas, pelestarian lingkungan dan SDA, kesetaraan gender, keadilan, dan kemandirian daerah. Selain hal tersebut, dalam pandangan DPD RI legislasi semestinya juga berpihak kepada kelompok rentan. Sebab, hukum dibentuk dengan memperhatikan konteks yang melingkupi masyarakat yang hendak diaturnya.

(32)

Bagan 2

Dalam laporan ini, kinerja dalam bidang legislasi mulai dari perencanaan legislasi sampai dengan pembahasan sebuah RUU dengan DPR dan Pemerintah.

Melalui Keputusan DPR RI Nomor 06A/DPR RI/II/2014-2015 tentang Program Legislasi Nasional Tahun 2015-2016 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2015, politik hukum perundang-undangan Indonesia untuk 5 (lima tahun) ditetapkan. Sesuai dengan ketetuan Pasal 1 angka 9 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Prolegnas ditempatkan sebagai instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis. Prolegnas 2015-2019 telah menetapkan sasaran kebijakan politik legislasi nasional menjadi dua besar yaitu meningkatkan daya saing perekonomian nasional dan mewujudkan penegakan dan kesadaran hukum.

Melalui Keputusan DPD RI Nomor 17/DPD RI/II/2014-2015 tentang Program Legislasi Nasional di Lingkungan DPD RI Prioritas Tahun 2015 dan Prioritas Tahun 2015-2019, DPD RI menyampaikan Usul DPD RI Untuk Prolegnas 2015-2019 dan Prolegnas 2015. Dalam pembahasan Prolegnas Prioritas Tahun 2016 memakan waktu yang sangat lama dan disahkan

setelah RUU tentang APBN disahkan. Secara normatif bahwa Prolegnas

(33)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

RUU DPR RI RUU DPD RI RUU Pemerintah

DPR RI

DPD RI

Pemerintah Grafik 6

Pembahasan Prolegnas RUU Tahun 2016

Dalam pembahasan Prolegnas 2016 yang dimulai pada bulan November 2015 sampai dengan bulan Januari 2016, disepakati 40 (empat puluh) RUU Prioritas Prolegnas dan 32 (tiga puluh dua) RUU Perubahan Prioritas Prolegnas 2016 dengan menggunakan parameter sebagai berikut:

1. RUU dalam tahap Pembicaraan Tingkat I;

2. RUU sedang menunggu Surat Presiden;

3. RUU dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi;

4. RUU dalam tahap penyusunan yang sudah siap Naskah Akademik

dan draft RUU; serta

5. RUU baru yang memenuhi urgensi tertentu.

Adapun hasil pembahasan Prolegnas Prioritas Tahun 2016, usul RUU dari DPD RI telah diakomodirnya sebanyak 3 (tiga) RUU Usul DPD RI yaitu:

1. RUU tentang Wawasan Nusantara (yang merupakan luncuran dari

Tahun 2015);

2. RUU tentang BUMD (yang akan digabungkan substansinya dalam

RUU tentang BUMN dan BUMD); dan

3. RUU tentang Ekonomi Kreatif.

Begitu pula dengan Perubahan Prolegnas Prioritas Tahun 2016, terdapat 4 (empat) RUU Usul dari DPD RI juga telah diakomodir yaitu:

1. RUU tentang Sistem Budidaya Tanaman;

2. RUU tentang Penyelenggaraan Pemerintah di Wialayah Kepulauan;

87

(34)

0

10

20

Tahun 2015 Tahun 2016

Pengajuan

Diterima

3. RUU tentang Pengelolaan Terpadu di Kawasan Megapolitan Jakarta,

Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur; dan

4. RUU tentang Pengadaaan Barang dan Jasa Negara (RUU Usul DPD

bersama dengan Pemerintah).

Terkait dengan RUU Kumulatif Terbuka untuk Tahun 2016 sebagaimana telah disepakati bahwa untuk RUU Kumulatif terbuka Tahun 2016, baru RUU Perkoperasian (yang merupakan Usul DPD RI) yang akan menjadi prioritas dalam pembahasan 2016.

Pembahasan Prolegnas Prioritas Tahun 2016 ini mengalami kenaikan

700% karena apabila dibandingkan dengan Prolegnas Prioritas Tahun

2015 dimana RUU Usul dari DPD hanya diakomodir 1 (satu) RUU, sedangkan untuk Prolegnas Prioritas Tahun 2016, RUU Usul DPD diakomodir sebanyak 8 (delapan) RUU.

Grafik 7

Jumlah Pengajuan RUU DPD RI ke DPR RI

18

8

(35)

A. RUU dari DPD RI

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 lebih memberikan ruang bagi DPD RI untuk berkiprah dalam pembuatan regulasi dan keputusan publik di tingkat nasional. Posisi dan peran DPD RI mampu berdiri sejajar dengan DPR RI dan Presiden RI untuk bersama-sama memilihi hak mengajukan rancangan undang-undang yang menjadi bidang kewenangan DPD RI sebagaimana amanat Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Keterlibatan DPD RI dalam pengajuan rancangan undang-undang merupakan konsistensi lanjutan dari keikutsertaannya

secara tripartit bersama DPR RI dan Presiden RI dalam melakukan

penyusunan perencanaan program legislasi nasional (prolegnas).

Kedua Bagan di bawah ini menjelaskan rangkaian proses penyusunan rancangan undang-undang dari DPD RI dan proses pembahasan rancangan undang-undang dari DPD RI dengan Presiden RI dan DPR RI.

Bagan 3

(36)

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia selama Tahun Sidang Kedua, Agustus 2015 s.d Juli 2016 telah menghasilkan 10 (sepuluh) Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pembentukan, Pemekaran dan Penggabungan Daerah, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi Lainnya, Pendidikan, Agama, Kesehatan, Kebudayaan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, APBN, Pajak, serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

(37)

(P3) yang dihasilkan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU); dan 2 (dua) Rancangan Undang-Undang yang mengatur Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang dihasilkan Panitia Khusus (Pansus) dengan keanggotaan yang berasal dari perwakilan Komite dan PPUU.

1. Keputusan DPD RI Nomor 28/DPD RI/II/2015-2016 tentang RUU

tentang Sistem Budidaya Tanaman disahkan tanggal 18 Desember 2015.

DPD RI menerima aspirasi dari daerah bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman telah memisahkan antara petani dengan aktivitasnya sebagai pemulia tanaman. Semangat undang-undang lebih memfasilitasi industri benih untuk memonopoli perbenihan telah mempersempit dan menghalangi kesempatan bagi petani untuk berperan serta dalam pengembangan budidaya tanaman, sehingga penerapan Undang-Undang ini berpotensi menjadi penghalang bagi akses masyarakat khususnya petani dalam pemenuhan terhadap hak atas pangan, hak atas pekerjaan, hak atas pengetahuan, dan hak untuk hidup yang layak.

Aspirasi tersebut diartikulasi oleh DPD RI menjadi Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Budidaya Tanaman sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang dianggap sudah tidak mampu lagi mengakomodir tuntutan perkembangan budidaya tanaman di Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman juga dinilai telah mengabaikan tradisi turun-temurun petani sebagai pemulia tanaman.

(38)

asing pada bidang budidaya tanaman pangan pokok, Kewajiban pemerintah untuk menyediakan informasi agroklimat, pengaturan tentang jaminan ketersediaan pupuk oleh pemerintah, Pengaturan tentang pembinaan dan fasilitasi produksi pupuk organik, pengaturan tentang bahan perlindungan tanaman yang ramah lingkungan dan berbasis produk setempat, pengaturan mengenai standar mutu alat dan mesin pertanian, ketentuan mengenai pengembangan teknologi budidaya tanaman, pembangunan sistem informasi budidaya tanaman, ketentuan tentang pembiayaan/ permodalan usaha budidaya tanaman, kewajiban pemerintah untuk menyediakan infrastruktur pendukung penyelenggaraan budidaya tanaman, dan kewajiban pemerintah untuk melaksanakan pembinaan dalam setiap proses budidaya tanaman, termasuk dalam hal input budidaya tanaman.

2. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor

29/DPD RI/II/2015-2016 tentang RUU tentang Pengadaan Barang dan Jasa Negara disahkan tanggal 18 Desember 2015.

Rancangan Undang-Undang tentang pengadaan Barang dan Jasa Negara dilatarbelakangi karena tingginya penyimpangan dalam proses Pengadaan yang ditandai dengan banyaknya kasus tindak pidana korupsi di bidang Pengadaan. Disamping itu, pengaturan pengadaan barang dan jasa melalui Peraturan Presiden tidak mampu mengatasi permasalahan pengadaan barang dan jasa yang timbul serta dipengaruhi adanya peraturan lain yang lebih tinggi berupa beberapa Undang-Undang seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Sistem Administrasi Pemerintahan dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Perindustrian. Peraturan Presiden yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa juga terlalu sempit cakupannya. Peraturan presiden dimaksud hanya mengatur pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari Belanja negara saja, belum mengatur pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari pendapatan negara.

Oleh karena itu diperlukan payung hukum khusus pengadaan barang dan jasa yang lebih tinggi kedudukannya sebagai upaya untuk menerapkan prinsip dan tujuan pengadaan barang dan jasa yang mampu mengatasi penyimpangan dan penyelewengan pengadaan. Payung hukum dimaksud berupa Undang-Undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa Negara.

(39)

Barang dan Jasa Negara yang lebih luas, meliputi pengadaan barang dan jasa pada Pemerintah, Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Kabupaten/Kota, Pemerintahan Desa, BUMN, BUMD, KKKS, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dan Perguruan Tinggi Negeri, penguatan tugas dan fungsi Lembaga Pengadaan, Kedudukan Lembaga Pengadaan sebagai lembaga yang mandiri yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, Kewajiban penggunaan produk dalam negeri untuk barang yang telah diproduksi dalam negeri dan memenuhi standar, kewajiban untuk mempertimbangkan karakteristik daerah yang meliputi kondisi daerah, jarak tempuh, kondisi jalan, transportasi antar pulau, kondisi cuaca dan daerah terpencil serta pemberdayaan produk lokal, penyederahanaan proses pengadaan dimana untuk barang terstandar dilaksanakan berdasarkan katalog pengadaan sedangkan pelelangan dilakukan untuk pengadaan barang dan jasa yang bersifat kompleks, pengembangan e-katalog dari yang semula terpusat dikembangkan menjadi e-katalog nasional, e-katalog sektoral dan e-katalog lokal serta pengembangan e-procurement, dan pemberdayaan UMKM dan/atau koperasi dalam pengadaan barang dan jasa dengan menyusun rencana pengadaan berupa paket pekerjaan yang khusus dikerjakan oleh UMKM dan/atau koperasi.

3. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor

33/DPD RI/II/2015-2016 tentang Rancangan Undang-Undang tentang Ekonomi Kreatif disahkan tanggal 17 Desember 2015.

Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif di Indonesia mulai sering diperbincangkan kira-kira di awal tahun 2006. Dari pihak pemerintah sendiri, melalui Kementerian Perdagangan, pada tahun 2006 meluncurkan program Indonesia Design Power di jajaran Kementerian Perdagangan RI, suatu program pemerintah yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia dipasar domestik maupun ekspor. Program ini terus bergulir dengan dicanangkannya tahun 2009 (Intruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009) sebagai Tahun Indonesia Kreatif oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ditandai dengan penyelenggaraan pameran virus kreatif—mencakup 14 sub-sektor industri kreatif—danpameran pangan nusa 2009 mencakup kreativitas industri pangan Indonesia oleh UKM. Dan Pemerintah Indonesia saat ini telah menetapkan bahwa Ekonomi Kreatif adalah

sebuah soft power yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Soft power

yang berbeda dan unik, yang menjadikan Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu penggerak untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera.

(40)

menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa serta memberikan dampak sosial yang positif. Maka agar pengembangan ekonomi kreatif ini menjadi optimal dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, pengembangannya perlu dilakukan secara sistemik yang memungkinkan dapat dilakukan kajian dan evaluasi secara terpadu, terarah dan terukur. Regulasi pengembangan dan pemberdayaan potensi ekonomi kreatif menjadi sangat urgen melalui lahirnya RUU Ekonomi Kreatif. Secara garis besar muatan substansi materi RUU Ekonomi Kreatif antara lain :

a) Dalam melakukan pengembangan dan pemberdayaan

ekonomi kreatif harus didukung dengan sistem peningkatan Sumber Daya Manusia yang memadai sehingga Pelaku ekonomi kreatif dapat terus mening-katkan kualitas kemampuan dan keterampilannya dalam melakukn inovasi dan kreatifitas. Pada Bagian Sumber Daya Manusia Terpadu Ekonomi Kreatif pengaturannya mencakup hak dan kewajiban pelaku ekonomi kreatif hingga ketentuan sistem pendidikan bagi pengembangan ekonomi kreatif.

b) Rumah kreatif merupakan infrastruktur untuk

mengembangkan dan memberdayakan Ekonomi Kreatif, yang juga berfungsi sebagai etalase bagi karya Ekonomi Kreatif setempat. Rumah kreatif dapat menjadi sarana bagi segala kegiatan para pelaku ekonomi kreatif. Rumah kreatif wajib didirikan selain dibentuk oleh Menteri dan/atau Pemerintah Daerah), Rumah Kreatif dapat didirikan oleh perguruan tinggi, lembaga penelitian dan/atau masyarakat

c) Dalam mendukung pengembangan ekonomi kreatif,

Pemerintah dalam hal ini kementerian yang tugas khususnya di bidang Ekonomi Kreatif dan/atau Pemerintah Daerah harus memfasilitasi kewirausahaan kreatif pemula untuk memulai usahanya. Kewirausahaan tersebut dapat dilakukan dengan cara Mitra Kreasi; dan/atau Mitra Produksi antarusaha kreatif di tingkat nasional dan global

d) Untuk memberikan bantuan pembiayaan kepada pengusaha

Ekonomi Kreatif maka dalam hal ini Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dan/atau Pengusaha Ekonomi Kreatif dapat mencari bantuan luar negeri atau sumber pembiayaan lain yang sah untuk pengembangan Ekonomi Kreatif. Pemerintah dalam hal ini Kementerian yang menangani bidang Ekonomi Kreatif dan/atau Pemerintah Daerah memberikan kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana dan prasarana yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(41)

4. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 34/DPD RI/II/2015-2016 tentang Rancangan Undang-Undang tentang Bahasa Daerah disahkan tanggal 17 Desember 2015.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa ”Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan budayanya.” Selanjutnya pada Pasal 32 ayat (2) ditegaskan bahwa ”Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”. Dengan adanya ketentuan tersebut di atas maka kedudukan bahasa daerah sebagai kekayaan budaya bangsa sangatlah kuat karena memiliki landasan konstitusional.

Pengaturan dalam konstitusi tersebut juga sejalan dengan kenyataan bahwa Indonesia memiliki khasanah bahasa dearah yang sangat kaya dan tersebar di seluruh wilayah, dari ujung barat sampai ujung timur nusantara. Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para pendiri negara menyadari bahwa keberadaan masyarakat yang majemuk merupakan kekayaan bangsa yang harus diakui, diterima dan dihormati. Hal ini terwujud dalam falsafah yang menjadi pedoman dalam berbangsa yaitu ““Bhineka Tunggal Ika”, yangmengandung semangat dan kesadaran bahwa keberagaman yang ada sebagai dasar dalam membuat langkah dan kebijakan yang diarahkan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan serta senantiasa memperkukuh komitmen kebangsaan.

Sebagai salah satu kekayaan budaya, bahasa daerah memiliki

arti strategis untuk mengekspresikan pandangan hidup,

mengungkapkan nilai-nilai sosial budaya, dan membentuk cara berfikir sebagian besar masyarakatnya. Selain merupakan kekayaan budaya bahasa daerah di Indonesia sebagian besar merupakan bahasa-bahasa ibu (mother languages) di komunitas-komunitasnya masing-masing. Hal itu berarti bahwa Bahasa Daerah merupakan sarana komunikasi yang penting dan menentukan bagi kelangsungan masyarakat.

Selain itu. bahasa daerah juga menjadi sarana pengembangan jati diri dan identitas suatu daerah dan sarana pengintegrasian masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahasa derah berfungsi sebagai penyimpan pengetahuan dan kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai yang luhur dalam masyarakat sehingga harus dijaga keberadaannya secara berkesinambungan agar tetap berfungsi dan lestari.

(42)

penturnya sudah tidak ada lagi. Kondisi inilah yang menjadi dasar pertimbangan sehingga dibentuk RUU Bahasa Daerah sebagai kerangka pengaturan yang kuat dan komprehensif dalam rangka menjaga dan memelihara keberadaan dan pengembangan bahasa daerah selaras dengan pengembangan bahasa nasional.

Mengingat banyaknya masalah yang muncul dalam

melindungi bahasa daerah dan belumadanya pengaturan bahasa daerah yang komprehensif, diperlukan upaya yang sungguh-sungguhdari berbagai pihak untuk mengatasi masalah ini. Salah satu upaya yang pentingadalah memberikan payung hukum yang dapat mengatur bahasa daerah sehinggakelangsungan hidupnya terjamin. Untuk itulah perlu disusun RUU Bahasa Daerah yangnantinya dapat menjadi undang-undang yang dapat menjamin kelangsungan hidup bahasa-bahasadaerah di Indonesia secara terarah, sistematis, dan komprehensif.

Oleh karena itu dalam menjalankan fungsi legislasi sebagai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, DPD RI sebagai representasi daerah memandang perlu adanya pengaturan yang lebih jelas terhadap permasalahan bahasa daerah, salah satunya dengan disusunya rancangan undang-undang. Hal ini dapat dijadikan sebagai bentuk kepedulian negara terhadap perkembangan bahasa daerah di Indonesia. Dan pada Tahun Sidang 2015-2016, DPD RI telah menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tentang Bahasa Daerah.

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia No.

04/DPD RI/I/2015-2016 tentang RUU tentang Perkoperasian disahkan tanggal 10 September 2015.

Pokok-pokok RUU Perkoperasian sebagai Usul Inisiatif DPD RI, antara lain sebagai berikut:

a. “Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang

bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya yang sama melalui usaha bersama yang dimiliki bersama dan dikendalikan secara demokratis.”Berdasarkan difinisi ini dapat disimpulkan:

1) Koperasi adalah people based organization dan bukannya

capital based organization seperti pada perusahaan bentuk lainnya.

2)Perkumpulan koperasi merupakan perkumpulan otonom,

sehingga harus bebas dari berbagai kepentingan lain dan semata-mata hanya bertujuan untuk mempromosikan Anggota.

3)Koperasi bukan perusahaan tapi memiliki perusahaan yang

dibangun untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi anggotanya. Pengertian ini menjelaskan bahwa anggota merupakan pemilik sekaligus pengguna layanan koperasi.

4)Kebutuhan anggota tidak hanya terkait kebutuhan ekonomi,

(43)

usaha koperasi adalah banyak jenis usaha yang bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya.

b. Saat ini masyarakat Indonesia dan dunia sedang menuju era baru

yang diwarnai dengan keinginan untuk bekerjasama secara harmonis antara berbagai bangsa dan negara, berbagai perusahaan, berbagai profesi. Saat ini dan di masa depan kita akan melupakan persaingan yang saling meniadakan (zero sum game) dan memunculkan persaingan yang didasarkan atas kerjasama harmonis (positive sum game), Itulah ruh dari mekanisme kooperatif.

c. Jika dulu koperasi didirikan sebagai bentuk penyatuan kekuatan

untuk mengkoreksi kapitalisme yang eksploitatif terhadap masyarakat. Saat ini koperasi dibutuhkan untuk menyatukan kekuatan untuk menghadapi perjuangan dan tantangan kehidupan yang semakin sulit. Masalah perubahan iklim, populasi manusia yang terus meningkat, masalah ketersediaan pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, kemiskinan dsb, semuanya tidak lagi bisa diatasi secara individual, namun harus secara kolektif yang melibatkan berbagai potensi yang dikembangkan secara sinergis dan konvergens.

d. Sesungguhnya koperasi dikembangkan berdasarkan “nilai-nilai

menolong diri sendiri, tanggung jawab, demokrasi, persamaan, keadilan dan kesetia-kawanan. Mengikuti tradisi para pendirinya, anggota-anggota koperasi percaya pada nilai-nilai etis dari kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial serta kepedulian terhadap orang lain. Inilah nilai-nilai yang disepakati oleh organisasi koperasi dunia” (International Co-operative Alliance).

e. Koperasi merupakan gerakan sosial-ekonomi masyarakat yang

awalnya tumbuh terpisah pada berbagai segementasi masyarakat sesuai dengan kebutuhan spesifik masyarakat. Namun koperasi dapat menjadi kekuatan yang sangat besar manakala terjadinya penguatan kelembagaan koperasi sekunder, baik pada tingkat wilayah, negara maupun dunia. Berbagai kerjasama antara koperasi baik yang sejenis maupun yang berbeda jenis akan menjadikan koperasi sebagai suatu dasar kekuatan sosial ekonomi masyarakat yang tangguh dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup anggotanya.

f. Di negara lain, koperasi tidak hanya mewadahi kelompok

masyarakat ekonomi lemah, namun juga untuk menjembatani berbagai kepentingan masyarakat menengah-atas yang beragam dan tinggi intensitasnya. Sehingga dikenal berbagai bentuk koperasi profesi yang mengantarkan anggotanya semakin professional dalam berkarya. Misalnya koperasi dokter, koperasi apoteker, koperasi konsultan, dsb. Disamping itu, pada saat bersamaan masih terus berkembang koperasi yang berpihak pada masayarakat lemah seperti koperasi petani, koperasi pedagang, koperasi buruh, dsb.

g. Berbagai kegagalan dalam pembangunan koperasi di Indonesia

(44)

dengan masalah laten seperti; rendahnya kualitas SDM koperasi, lemahnya manajemen dan kepemimpinan, serta rendahnya partisipasi dan komitmen anggota; lemahnya permodalan, keterbelakangan pemanfaatan teknologi dll. Indonesia perlu menerapkan strategi baru dalam upaya mengembangkan koperasi dengan mengembangkan segmentasi masyarakat yang terdidik, kuat permodalan dan professional. Pengembangan koperasi profesi akan membalik citra negatif sekaligus dapat menjadi profil yang dibutuhkan masyarakat menengah bawah dalam mengembangkan koperasi yang sejati.

h. Berbagai bentuk pra-koperasi atau embrio-embrio koperasi

profesi sudah banyak hadir di kalangan masyarakat (misalnya asosiasi profesi). Namun dikarenakan kekurangpahaman masyarakat terhadap karakter kelembagaan koperasi, sehingga bentuk pra-koperasi ini tidak juga bertransformasi menjadi koperasi. Demikian juga bentuk-bentuk pra-koperasi pada segementasi masyarakat menengah-bawah, baik yang alami atau yang dikembangkan melalui program PNPM pemerintah yang diwujudkan melalui program pemberdayaan masyarakat berbasis kelompok (seperti Gapoktan, KUBE, Posdaya, KWT, dll). Namun pra-koperasi ini juga tidak menjadi koperasi, dikarenakan masalah yang sama.

i. Ketidakpahaman terhadap karakter lembaga koperasi

mengindikasikan pentingnya proses pendidikan perkoperasian yang ditujukan baik bagi pengurus, pengawas, karyawan dan anggota koperasi, termasuk juga para aparat pembina koperasi, pendidik dan pelatih koperasi serta masyarakat pada umumnya.

j. Peran pemerintah dibutuhkan dalam upaya pengembangan

koperasi nasional. Namun peran tersebut dibatasi pada pengembangan regulasi yang kondusif bagi koperasi, dan bukannya pada bentuk intervensi yang melemahkan otonomi koperasi.

6. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor

46/DPD RI/III/2015-2016 tentang Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disahkan tanggal 17 Maret 2016.

a. Usul Inisiatif RUU KUP dilatarbelakangi UU Nomor 16 Tahun 2009

tentang Perubahan Keempat atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan perekonomian global dan domestik, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan kebijakan perpajakan dan administrasi perpajakan yang lebih modern sehingga perlu diganti.

b. Secara garis besar, RUU KUP memuat prinsip-prinsip sebagai

berikut:

1)Aspek Kelembagaan

(45)

penetapan pajak ditangani oleh intitusi yang sama yakni Direktorat Jenderal Pajak.

2) Aspek Pelayanan

(a) Jangka waktu penyelesaian keberatan dipersingkat

menjadi 6 (enam) bulan sedangkan jangka waktu restitusi dipersingkat menjadi 3 (tiga) bulan. Adapun Wajib Pajak mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Keberatan dan Banding.

(b) Ketentuan ini mengubah ketentuan semula bahwa angka

waktu penyelesaian keberatan 12 (dua belas) bulan terlalu lama dan merugikan Wajib Pajak, sementara Wajib Pajak mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.

3)Aspek Keadilan

(a) Pengenaan sanksi Administrasi yang semula 2 (dua) persen

per bulan diubah menjadi 1 (satu) persen per bulan sehingga tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan bunga bank.

(b) Sanksi denda ditiadakan terhadap upaya keberatan dan

banding, semula Sanksi Administrasi denda terhadap upaya hukum keberatan sebesar 50% dan Banding sebesar 100 Persen.

(c) Mengemukakan ketidakbenaran Surat Pajak Terhutang

(SPT) sebelum penyidikan dikenai denda 100 persen, semula dikenai denda 150 persen.

(d) Atas Pajak Penghasilan (PPh) yang tidak atau kurang

dipotong, atau kurang dipungut, dikenai sanksi administrasi denda 1 (satu) persen per bulan paling lama 24 bulan. Apabila PPh yang telah dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor dikenai sanksi administrasi kenaikan 100 persen.

(e) Semula Sanksi administrasi kenaikan 100 persen dari PPh

yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor.

(f) Imbalan bunga diberikan terhadap kelebihan pembayaran

akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas jumlah yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang disetujui maupun yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir hasil pemeriksaan, yang dibayar sebelum pengajuan keberatan (semula tidak diberikan imbalan bunga).

4)Aspek Kepastian Hukum

(a) Kepala Badan dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak

(46)

(b) SKP PPN diterbitkan untuk beberapa masa pajak (bulanan) sepanjang tidak melampaui satu tahun takwim.

(c) Identitas pembeli wajib dicantumkan dalam faktur pajak

(tidak termasuk yang dikecualikan). Semula Identitas pembeli tidak wajib dicantumkan dalam faktur pajak (termasuk yang dikecualikan) dan tidak disertai sanksi administrasi.

(d) Pengaturan penagihan dengan Surat Tagihan Pajak terkait

sanksi administrasi berupa bunga atas kelebihan pembayaran imbalan bunga di tingkat banding karena permohonan peninjauan kembali oleh Terbanding dikabulkan sebagian atau seluruhnya. Adapun dalam Undang-undang saat ini hal tersebut belum diatur.

(e) Pengaturan penagihan dengan Surat Tagihan Pajak terkait

sanksi administrasi berupa bunga karena permohonan keberatan, banding ditolak, atau dikabulkan sebagian. Dalam undang-undang saat ini hal tersebut belum diatur.

5)Sanksi Pidana

(a) Sanksi Pidana hanya dikenakan terhadap Wajib Pajak yang

menimbulkan kerugian pajak dengan minimal Rp1 miliar. Semula, semua Wajib Pajak yang tidak dan atau melaporkan SPT dengan tidak benar hingga menyebabkan kerugian negara dapat dipidana, baik karena kealpaan maupun kesengajaan.

(b) Sanksi pidana terhadap Aparat Pajak diperberat untuk

kealpaan menjadi 1 tahun atau denda maksimal Rp500 juta, dan kesengajaan maksimal 3 tahun atau maksimal Rp1 miliar. Semula sanksi pidana terhadap Aparat Pajak terlalu ringan yaitu pidana kurungan 1 tahun atau denda maksimal Rp25 juta untuk kealpaan; serta pidana kurungan 2 tahun dan denda Rp50 juta untuk kesengajaan.

(c) Sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun

terhadap pihak ketiga dendanya dinaikkan menjadi Rp500 juta yang tidak memberikan data kepada badan penerimaan pajak. Semula Sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25 juta terhadap pihak ketiga yang tidak melaporkan data kepada badan penerimaan pajak.

6)Penyederhanaan Pemeriksaan

Pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana ditiadakan karena pemeriksaan sudah meliputi bagian dari kegiatan untuk mendapatkan bukti permulaan. Semula Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

(47)

Pemerintah Indonesia c.q Kepala Badan Penerimaan Pajak melaksanakan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara mitra, semula mengenai hal ini tidak diatur.

7. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia No.

46/DPD RI/III/2015-2016 tentang RUU Inisiatif DPD RI tentang Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disahkan tanggal 17 Maret 2016.

a. Usul Inisiatif RUU KUP dilatarbelakangi UU Nomor 16 Tahun

2009 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan perekonomian global dan domestik, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan kebijakan perpajakan dan administrasi perpajakan yang lebih modern sehingga perlu diganti.

b. Secara garis besar, RUU KUP memuat prinsip-prinsip sebagai

berikut:

1) Aspek Kelembagaan

Kewenangan pungutan pajak dilakukan oleh suatu badan penerimaan pajak yang bertanggung jawab kepada Presiden. Institusi ini akan menangani permasalahan keberatan pajak pusat demi terwujud rasa keadilan. Semula keberatan dan penetapan pajak ditangani oleh intitusi yang sama yakni Direktorat Jenderal Pajak.

2) Aspek Pelayanan

(a) Jangka waktu penyelesaian keberatan dipersingkat

menjadi 6 (enam) bulan sedangkan jangka waktu restitusi dipersingkat menjadi 3 (tiga) bulan. Adapun Wajib Pajak mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Keberatan dan Banding.

(b) Ketentuan ini mengubah ketentuan semula bahwa

angka waktu penyelesaian keberatan 12 (dua belas) bulan terlalu lama dan merugikan Wajib Pajak, sementara Wajib Pajak mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.

3) Aspek Keadilan

(a) Pengenaan sanksi Administrasi yang semula 2 (dua)

persen per bulan diubah menjadi 1 (satu) persen per bulan sehingga tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan bunga bank.

(b) Sanksi denda ditiadakan terhadap upaya keberatan dan

banding, semula Sanksi Administrasi denda terhadap upaya hukum keberatan sebesar 50% dan Banding sebesar 100 Persen.

(c) Mengemukakan ketidakbenaran Surat Pajak Terhutang

(SPT) sebelum penyidikan dikenai denda 100 persen, semula dikenai denda 150 persen.

(d) Atas Pajak Penghasilan (PPh) yang tidak atau kurang

(48)

lama 24 bulan. Apabila PPh yang telah dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor dikenai sanksi administrasi kenaikan 100 persen.

(e) Semula Sanksi administrasi kenaikan 100 persen dari

PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor.

(f) Imbalan bunga diberikan terhadap kelebihan

pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas jumlah yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang disetujui maupun yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir hasil pemeriksaan, yang dibayar sebelum pengajuan keberatan (semula tidak diberikan imbalan bunga).

4) Aspek Kepastian Hukum

(a) Kepala Badan dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam waktu 5 (lima) tahun. Adapun semula, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB dan SKPKBT dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.

(b) SKP PPN diterbitkan untuk beberapa masa pajak

(bulanan) sepanjang tidak melampaui satu tahun takwim.

(c) Identitas pembeli wajib dicantumkan dalam faktur pajak

(tidak termasuk yang dikecualikan). Semula Identitas pembeli tidak wajib dicantumkan dalam faktur pajak (termasuk yang dikecualikan) dan tidak disertai sanksi administrasi.

(d) Pengaturan penagihan dengan Surat Tagihan Pajak

terkait sanksi administrasi berupa bunga atas kelebihan pembayaran imbalan bunga di tingkat banding karena permohonan peninjauan kembali oleh Terbanding dikabulkan sebagian atau seluruhnya. Adapun dalam Undang-undang saat ini hal tersebut belum diatur.

(e) Pengaturan penagihan dengan Surat Tagihan Pajak

terkait sanksi administrasi berupa bunga karena permohonan keberatan, banding ditolak, atau dikabulkan sebagian. Dalam undang-undang saat ini hal tersebut belum diatur.

5) Sanksi Pidana

(a) Sanksi Pidana hanya dikenakan terhadap Wajib Pajak

(49)

(b) Sanksi pidana terhadap Aparat Pajak diperberat untuk kealpaan menjadi 1 tahun atau denda maksimal Rp500 juta, dan kesengajaan maksimal 3 tahun atau maksimal Rp1 miliar. Semula sanksi pidana terhadap Aparat Pajak terlalu ringan yaitu pidana kurungan 1 tahun atau denda maksimal Rp25 juta untuk kealpaan; serta pidana kurungan 2 tahun dan denda Rp50 juta untuk kesengajaan.

(c) Sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun

terhadap pihak ketiga dendanya dinaikkan menjadi Rp500 juta yang tidak memberikan data kepada badan penerimaan pajak. Semula Sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25 juta terhadap pihak ketiga yang tidak melaporkan data kepada badan penerimaan pajak.

6) Penyederhanaan Pemeriksaan

Pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana ditiadakan karena pemeriksaan sudah meliputi bagian dari kegiatan untuk mendapatkan bukti permulaan.Semula Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

7) Perpajakan Internasional dan Bentuk Kerjasama lainnya

Pemerintah Indonesia c.q Kepala Badan Penerimaan Pajak melaksanakan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara mitra, semula mengenai hal ini tidak diatur.

8. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor

21/DPD RI/ I/2015-2016 tentang RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disahkan tanggal 29 Oktober 2015.

Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tersebut merupakan kehendak rakyat (volonte generale) tertinggi bangsa Indonesia yang dijadikan hukum dasar dalam penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia. Pilar utama dalam mewujudkan prinsip negara hukum adalah pembentukan peraturan perundang-undangan dan penataan kelembagaan negara. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.

(50)

lebih bersifat positivis-instrumentalis, yaitu menjadi alat yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara. Sedangkan dalam strategi pembangunan hukum responsif, lebih menghasilkan hukum yang bersifat tanggap terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakat.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 92/PUU-X/2012 beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa ketentuan yang lain dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang telah diputuskan oleh MK (unconstitutional conditional/tidak konstitusional bersyarat).

Beberapa ketentuan yang diputus oleh MK tersebut adalah terkait dengan perencanaan pembentukan undang-undang (prolegnas), pengajuan rancangan undang-undang, dan pembahasan rancangan undang-undang. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 perlu dilakukan perubahan dan masuk ke dalam program legislasi nasional sebagai RUU kumulatif terbuka akibat adanya putusan MK.

Tujuan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah:

a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor

92/PUU-X/2012 terkait dengan dinyatakan tidak bmempunyai kekuatan hukum mengikat dan pertentangan bersyarat dengan UUD 1945 beberapa ketentuan dalam UU 12/2011;

b. Mengatur lebih lanjut mekanisme pelaksanaan pembentukan

undang-undang antara DPR, Presiden, dan DPD sesuai dengan UUD 1945 melalui perubahan UU 12/2011; dan

c. Menyerap aspirasi masyarakat dan stakeholders penyelenggara

negara dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sasaran yang diharapkan tercapai dengan adanya penyusunan RUU ini adalah terwujudnya hubungan Presiden, DPR, dan DPD dalam pembentukan undang-undang yang sesuai dengan UUD 1945 sebagaimana diputuskan oleh MK.

Jangkauan pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah :

a. Dalam kerangka pembentukan peraturan

(51)

b. Proses Pembentukan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam butir 1 (satu) di atas meliputi Perencanaan Pembentukan Undang-Undang, Perumusan dan pengajuan Undang-Undang, Pembahasan Undang-Undang, dan Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang dan Undang-Undang. Proses pembentukan Undang-undang inilah yang akan dilakukan perumusan kembali seturut dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012.

c. Prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan normatif dan filosofis yang

terdapat dalam UUD 1945 yang belum diatur dan dijabarkan oleh UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, itu perlu ditambah dan dilengkapi.

Sedangkan arah pengaturan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ini adalah:

a. Menghapus beberapa ketentuan yang dinyatakan bertentangan

dengan UUD 1945 oleh MK, yaitu beberapa frasa dalam Pasal 21 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dan Pasal 65 ayat (3).

b. Mengubah ketentuan-ketentuan yang dinyatakan tidak

konstitusional bersyarat oleh MK meliputi: Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (1), Pasal 68 ayat (2), Pasal 68 ayat (3), Pasal 70 ayat (1), Pasal 70 ayat (2), Pasal 71 ayat (3), Pasal 88 ayat (1), dan Pasal 89.

9. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor

24/DPD RI/II/2015-2016 tentang RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD disahkan tanggal 17 Desember 2015.

Proses amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru sebagai konsekuensi pelaksanaan demokrasi dalam kerangka penciptaan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk sebagai pemenuhan keterwakilan aspirasi daerah dalam tatanan pembentukan kebijakan ditingkat pusat. Pasal 22D UUD 1945 telah menyebutkan kewenangan DPD dibidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut membahas bersama DPR dan Pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu, pemberian pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, pemberian pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu.

(52)

yang tercantum dalam UU MD3 dinilai belum secara maksimal mengejahwantahkan kewenangan DPD sebagaimana UUD 1945 hal ini diperkuat dengan adanya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah mengembalikan kewenangan DPD dalam pemenuhan fungsi legislasinya sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Namun demikian, UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (UU MD3) yang terbit pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan menggantikan UU No. 27 Tahun 2009, tetap saja memuat ketentuan Pasal-pasal yang mereduksi, menegasikan, bahkan mengikis kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk UU MD3 nyata-nyata tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012 tersebut. Kondisi yang demikian ini jelas-jelas tidak memberikan teladan bagi rakyat Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum, karena justru Lembaga Negara setingkat pembentuk UU juga tidak mengindahkan keputusan lembaga yang diberi kewenangan konstitusi untuk memutuskan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945, yakni Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Putusan MK tersebut, DPD berpandangan perlunya dilakukan penyesuaian dan perubahan terhadap UU MD3 terutama kaitannya dengan pelaksanaan kewenangan kelembagaan DPD serta mekanisme pelaksanaan pembahasan legislasi yang konstitusional.

Disisi lain, DPD juga berpandangan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas serta kewenangan DPR, DPD, dan DPRD harus diatur melalui undang-undang yang terpisah. Hal ini sejalan dengan Pasal 22C Ayat (4) jo Pasal 19 Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Susunan dan Kedudukan DPD diatur dengan undang-undang. Makna kata “dengan” dapat diasumsikan bahwa pengaturan tengtang susunan dan kedudukan DPD diatur dalam ketentuan undang-undang sendiri. Begitupun dengan DPR sebagaimana Pasal 19 Ayat (2) UUD 1945.

Adapun tujuan penyusunan RUU Perubahan Kedua atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, adalah:

a. Merumuskan permasalahan yang dihadapi oleh DPD sebagai

lembaga perwakilan daerah dalam proses legislasi khususnya dalam rangka mengemban visi dan misi memperjuangkan kepentingan daerah dalam penentuan kebijakan nasional;

b. Merumuskan permasalahan hukum yang terkait dengan

penentuan norma-norma hukum kewenangan DPD sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 1945 yang kemudian didelegasikan ke undang-undang pelaksanaannya, yaini UU MD3;

c. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,

(53)

Perubahan Kedua Atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan

d. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup

pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang Tentang Perubahan KeduaAtas Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pengaturan tentang susunan dan kedudukan serta pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta pelaksanaan pembahasan legsilasi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Secara umum substansi UU MD3 yang mengatur aspek kelembagaan antara DPR dan DPD sangat timpang (unequal), padahal dalam sistematika UUD 1945 kedua lembaga ini adalah lembaga negara yang dipergunakan untuk mengimplementasikan check and balance dalam paradigma demokrasi-desentralistik. Demokrasi desentralistik adalah konsep partisipasi atau keikutsertaan daerah (teritorial) dalam perumusan kebijakan publik di tingkat nasional. Dengan paradigma seperti ini, peran DPD justru sangat strategis guna mensinkronkan kepentingan daerah (bukan per daerah) dengan kepentingan politik dan pusat. Ketimpangan pengaturan kelembagaan antara DPR dan DPD di dalam UU MD3 secara kasat mata nampak dari 3 (tiga) hal:

a. Pengaturan DPR diatur dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal

245. Sedangkan pengaturan DPD diatur dalam Pasal 246 sampai dengan 262. Hal ini berarti secara umum DPR diatur dalam 178 ketentuan, sedangkan DPD diatur dalam 16 ketentuan. Hal ini menunjukkan bahwa kesungguhan dalam menyusun aturan main sungguh sangat timpang. Padahal keduanya merupakan lembaga perwakilan yang harus saling mengisi demi implemnetasi check and balance dalam demokrasi desentralistik;

b. Alat kelengkapan diantara DPR dan DPD juga timpang, karena

di DPR ada 10 item alat kelengkapan (Pasal 83 ayat 1 UU MD3), sementara di DPD hanya ada 7 item alat kelengkapan (Pasal 259 ayat 1 UU MD3). Hal ini menunjukkan bahwa dukungan aspek struktur organisasi dalam rangka mendukung pelaksanaan wewenang, fungsi, dan tugas sangat tidak seimbang. Ketimpangan semacam ini semata-mata bukan karena persoalan konstitusional, melainkan persoalan politik perundang-undangan yang dibangun oleh pembentuk UU MD3;

c. Hak anggota DPR dan anggota DPD juga mengalami

(54)

secara equal, maka hal ini jelas melanggar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Dengan memperhatikan sistematika pengaturan yang demikian ini, jelas menunjukkan bahwa pelemahan terhadap wewenang, fungsi, dan tugas DPD memang sengaja dilakukan. Pendek kata, kewenangan konstitusional DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945 semakin dikebiri, dan jelas tidak mendukung pelaksanaan fungsi territorial representative yang dalam tataran empirik justru lebih berat ketimbang political representative.

10. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor

25/DPD RI/II/2015-2016 tentang RUU tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah disahkan tanggal 17 Desember 2015.

Untuk memenuhi kemerataan fiskal secara horizontal dan vertikal, perlu dilakukan penyempurnaan formula dan kriteria pengalokasian dana perimbangan. Penyempurnaan sebagaimana dimaksud hendaknya juga diserasikan dengan berbagai aspek atau isu strategis penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang disempurnakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini mengingat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pada dasarnya merupakan subordinate dari pada Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut.

Bila Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan tetap diatur secara terpisah dari Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, sebaiknya pengaturan tentang pengelolaan keuangan daerah dan berbagai aspek pengaturan yang tidak berkaitan langsung dengan Hubungan Keuangan perlu dipertimbankan untuk dikurangi. Hal ini penting mengingat banyak pengaturan yang telah diatur dalam Undang-Undang lainnya tetapi diatur kembali di dalam Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah, sehingga terkesan percuma (useless). Kondisi ini juga dikeluhkan bahkan membingungkan Pemerintah Daerah karena adanya pengaturan terhadap obyek sama dalam berbagai Undang-Undang yang kadang kala saling bertentangan.

(55)

terhadap panjang jalan yang diurus, pelayanan dasar pertanian, perkebunan dan kehutanan, dihitung berdasarkan biaya perunit terhadap luas area pertanian, perkebunan dan kehutanan yang diurus dan belanja umum (general spending) lainnya, dihitung berdasarkan biaya per-unit (unit cost) terhadap jumlah penduduk dan luas wilayah secara konkrit. Alokasi DAU bagi Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

Atas dasar tersebut DPD berpandangan bahwa pelaksanaan hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah harus dikonstruksikan secara komprehensif dan dalam satu undang-undang yang memang khusus mengatur persoalan tersebut.

Sasaran Yang Ingin Diwujudkan

a. mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah yang

efisien dan efektif, perlu diatur perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah;

b. hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan

pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.

Jangkauan dan arah pengaturan RUU tentang Hubungan Keuangan Antara Pemeirintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan dikonsentrasikan pada pengaturan tentang pelaksanaan hubungan keuangan yang lebih memberikan efek langsung terhadap pelaksanaan pembanguan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah. Adapun pengaturan yang akan termuat dalam RUU ini adalah:

a. Prinsip Kebijakan Hubungan Keuangan

1) Prinsip Dasar Kebijakan Hubungan Keuangan

2) Dasar Pendanaan Pemerintahan Daerah

3) Sumber Penerimaan Daerah

4) Pendapatan Asli Daerah

5) Dana Transfer

6) Dana Bagi Hasil (revenues sharing)

7) Dana Bagi Hasil Pajak

8) Pajak Penghasilan (PPh OP)

9) Dana Bagi Hasil

10) Bagi Hasil PPH (Pasal 13 Undang-Undang No 33 Th 2004)

11) DBH Cukai Tembakau

12) PBB & BPHTB (Pajak Bumi & Bangunan, dan Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan)

13) Dana Bagi Hasil Non-Pajak (dari Sumber Daya Alam)

(56)

15) Pertambangan Umum

16) Kehutanan

17) Perikanan

18) Dasar penyaluran DBH

19) Bagi hasil PPN

20) Dana Alokasi Umum

b. Dana Alokasi Khusus (DAK)

c. Lain-lain Pendapatan

1) Hibah

2) Dana Darurat

3) Dana Darurat Karena Krisis Solvabilitas

4) Pinjaman Daerah

5) Obligasi Daerah (Undang-Undang No 33 Th 2004)

6) Pengelolaan Keuangan Dalam Rangka Desentralisasi

d. Pendapatan Asli Daerah

e. Dana Otonomi Khusus dan Dana Alokasi Istimewa

1) Otonomi Khusus Aceh.

2) Otonomi Khusus Papua.

Gambar

Grafik 2 Komposisi Anggota DPD Berdasarkan Pendidikan
Grafik 3  Komposisi Anggota DPD Berdasarkan Latar Belakang Pekerjaan
Grafik 5 Komposisi Anggota DPD Berdasarkan Jenis Kelamin
Grafik 6
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

pada pasien yang menimbulkan peradangan pada kulit (nodul- nodul), saraf tepi, dan organ lain Formulir yang digunakan untuk mendeteksi adanya reaksi berat dengan

Pembuktian terbalik berimbang atau terbatas yang merupakan pembuktian terbalik atau semu tersebut sangat berbeda dengan pembuktian terbalik murni yang membebankan pembuktian pada

Karya Zahra anak berusia 11 tahun merupakan salah satu karya anak di Sanggar Lintang Art Kediri yang EHUWHPDNDQ ³/LEXUDQ´ GDQ EHUMXGXO ³%HUHQDQJ %HUVDPD´ Dalam proses

Dengan penjelasan ayat diatas maka keadaan waris yang akan diterapkan dalam nafas hukum waris menjadi jelas keberadaannya seperti pembagian waris, hak seorang ahli waris dan

4) Memungkinkan biaya produksi yang lebih rendah. Pembuatan emulgel terdiri dari tahapan yang pendek dan sederhana sehingga memungkinkan untuk diproduksi. Tidak ada alat khusus

“Dalam hal Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemahaman matematik dan kemampuan berpikir kritis pada kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan discovery