• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja Pengawasan berkaitan dengan APBN, Pajak serta Usaha

Dalam dokumen laporan lembaga pusjakum (Halaman 172-184)

BAB V KINERJA DALAM BIDANG PENGAWASAN ATAS PELAKSANAAN

D. Kinerja Pengawasan berkaitan dengan APBN, Pajak serta Usaha

Kecil dan Menengah

1. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor

12/DPD RI/I/2015-2016 tentang Hasil Pengawasan atas Pelaksanaan UU Bidang Lembaga Keuangan disahkan tanggal 17 Desember 2015.

a. Pengawasan Lembaga Keuangan

1) Pengelola“bank konglomerasi” sangat berhati-hati dalam penyaluran kreditdan pembiayaannya. Implikasinya sebagian bank yang memiliki loan to deposit ratio (LDR) tinggi berupaya menjaga non performing loan (NPL) dalam batas aman. Hal itu

dilakukan guna mengantisipasi dampak perlambatan

pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor yang memperoleh kreditdan pembiayaan tersebut.

2) Bank Pembangunan Daerah (BPD) mengalami kesulitan dalam pemenuhan modal dasar (CAR) dan modal inti (core) untuk melakukan ekspansi usaha. Keterbatasan modal BPD terjadi karena ketiadaan dukungan dariDPRDdalam memberikan persetujuan penambahan Penyertaan Modal Daerah (PMD) pada BPD tersebut.

3) Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagian

mengalami kredit bermasalah yang ditunjukkan oleh non

performing loan (NPL) sebesar 6,05% pada Agustus 2015. Tingginya NPL dan BPR tersebut, selain disebabkan oleh kurangnya SDM BPR dalam melakukan pengawasan atas kredit yang telah disalurkan, juga disebabkan kualitas kredit yang diberikan mengalami penurunan karena kondisi perlambatan

ekonomi dibeberapa sektor, seperti industri, perdagangan,dan jasa.

b. Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro

1) Sebagian LKM memiliki hambatan dalam pemenuhan jumlah dan kualitas sumber daya manusia. Padahal, dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro mensyaratkan adanya jumlah dan kualitas sumber daya manusia tertentu untuk direksi dan dewan komisarisnya. Hal itu mengakibatkan perizinan terhambat dan pengelolaan LKM berjalan tidak optimal.

2) LKM mengalami kesulitan dalam permodalan atau aset yang dimiliki, baik untuk pendirian maupun pengembangan pasar LKM. Hal itu disebabkan oleh selain sumber daya manusia yang dimiliki terbatas juga disebabkan oleh akses terhadap lembaga keuangan yang lebih besar, baik dari perbankan maupun dari kredit murah pemerintah.

3) LKM yang menganut sistem adat seperti Lembaga Perkreditan Desa (LPD) belum diatur dalam UU No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro sehingga lembaga itu tidak memiliki payung hukum. Implikasinya LKM jenis ini tidak memiliki kekuatan hukum formal dan mengalami hambatan dalam mengakses permodalan hingga mendapatkan dukungan pendanaan dari pemerintah. Padahal lembaga ini memiliki peranan yang cukup baik dalam menggerakkan perekonomian perdesaan.

c. Penguatan Perbankan

1) Kredit usaha rakyat (KUR) dirasakan sulit diakses oleh usaha mikro, kecil, atau koperasi. Penyebabnya adalah selain membutuhkan agunan sebagai persyaratan juga terdapat pembatasan jumlah bank yang dapat menyalurkan KUR tersebut, yakni hanya tiga bank pemerintah (BankMandiri, BankBRI, dan BankBNI) serta enam bank pembangunan daerah. Padahal, program KUR memberikan bunga kredit sebesar12 persen/tahun atau jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kredit perbankan lainnya.

2) Bank BPD yang tumbuh berkembang di daerah banyak mengalami hambatan dan tantangan. Selain karena faktor internal, juga karena iklim persaingan yang tidak sehat antarbank, khususnya dalam menyalurkan kredit konsumsi di daerah. Penyebabnya adalah selain BPD dituntut untuk membiayai sektor produktif daripada kredit konsumsi, juga ketiadaan regulasi yang membatasi penyaluran kredit konsumsi cabang bank BUMN di daerah.

3) Penjaminan Kredit Daerah (Jamkrida) dan PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) yang telah berada di sebagian besar provinsi sangat dibutuhkan sebagai lembaga penjamin dan asuransi kredit untuk sektor usaha atau dukungan pembiayaan lain. Namun demikian, Jamkrida dan PT Askrindo menghadapi

beberapa masalah, di antaranya ialah (i) lemahnya permodalan sehingga kapasitas penjaminan terbatas; (ii) mismanagement lembaga tersebut sehingga sebagian jamkrida banyak yang merugi; dan (iii) pemahaman masyarakat terhadap Jamkrida dan PT Askrindo juga terbatas yang mengakibatkan keduanya belum banyak diakses calon nasabah.

d. Kesimpulan

1) Lembaga keuangan di daerah, baik Bank Pembangunan Daerah maupun Bank Perkreditan Rakyat menghadapi masalah dalam pemenuhan kecukupan modal maupun tingginya kredit bermasalah. Disisi lain, bank konglomerasi tengah berhati-hati untuk menjaga kredit bermasalah agar tetap aman.

2) Aset,permodalan,kuantitas,dankualitassumberdayamanusiamer upakanpersoalan utamayang dihadapi lembaga keuangan mikro. Bahkan, sebagian lembaga keuangan mikro yang berbasis adat belum dimasukkan dalam UU No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.

3) Kondisi perbankan di daerah menghadapi beragam persoalan, baik persaingan tidak sehat antarbank maupun persyaratan agunan KUR yang memberatkan masyarakat. Secara khusus Jamkrida dan PT Askrindo juga menghadapi masalah dalam permodalan dan akses masyarakat terhadap lembaga tersebut.

e. Rekomendasi

Aspek Yuridis

1) Peraturan OJK No12/POJK.15/2014 tentang perizinan usaha dan kelembagaan lembaga keuangan perlu sosialisasi, pendampingan, dan pengawasan intensif agar target OJK tercapai, yaitu per 8 Januari 2016 setiap lembaga keuangan mikro telah berbadan hukum. Selain itu, OJK perlu melakukan beberapa penyempurnaan yakni:

(a) Menyusun segmentasi lembaga keuangan mikro

berdasarkan aset, jumlah anggota, dan jumlah cabang lembaga keuangan mikro; dan

(b) Meninjau ulang persyaratan/kriteria sumber daya manusia

pengelola lembaga keuangan untuk memenuhi syarat lembaga keuangan mikro berbadan hukum.

2) Bank Indonesia dalam perubahan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan perlu mengatur iklim persaingan yang sehat antara bank, baik antara Bank Pembangunan Daerah dan Bank BUMN maupun antara bank swasta dan bank swasta asing dalam hal segmentasi nasabah dana pihak ketiga, nasabah kredit produktif, dan penyaluran kredit konsumsi.

3) UU No.1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro perlu memasukkan LKM berbasis hukum adat sehingga memberikan status hukum formal bagi LKM tersebut.

Aspek Empiris

1) Dukungan politik DPRD di daerah harus konkrit terhadap upaya Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan APBD untuk penyertaan modal BPD, penguatan aset dan modal LKM,

penguatan BPR, penguatan kapasitas dan modal Jamkrida dan PT Askrindo serta dalam mengadakan pelatihan ketrampilan sumber daya manusia pengelola lembaga keuangan.

2) Pemerintah perlu mengubah persyaratan agunan KUR dengan mekanisme lain yang mempermudah masyarakat mengakses KUR atau bahkan menghilangkannya. Selain itu, bank penyalur KUR perlu diperluas, termasuk memberikan kesempatan kepada LKM yang telah memenuhi persyaratan.

3) OJK perlu merumuskan peraturan tentang LPD berbasis adat atau hukum agama dalam rangka pembinaan dan pendampingan LKM di perdesaan.

4) RUU Penjaminan diperlukan untuk memberi kepastian hukum bagi masyarakat yang ingin membuka atau mengembangkan unit usaha baru sehingga dapat mengakses pinjaman kredit yang mendapat jaminan perlindungan berdasarkan aset kurang dari/lebih dari Rp2 miliar.

2. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor

37/DPD RI/I/2015-2016 tentang Hasil Pengawasan atas Pelaksanaan UU Perkoperasian terkait dengan UU Lembaga Keuangan Mikro disahkan tanggal 29 Oktober 2015.

a. Pelaksanaan pengawasan dimaksudkan untuk mengetahui

perkembangan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam sebagai lembaga keuangan mikro yang menjadi sumber pembiayaan, baik bagi para anggota koperasi maupun bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Selain itu, pengawasan juga melihat peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mendorong kemajuan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), koperasi, dan UMKM. Kemajuan LKM, Koperasi, dan UMKM dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan produksi, dan mengurangi kemiskinan serta meningkatkan daya saing dalam menghadapi integrasi ekonomi MEA.

b. Temuan Dalam Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang

Perkoperasian

1) Sedikitnya Koperasi yang bertransformasi menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang disebabkan oleh:

(a) Kurangnya sosialisasi Peraturan OJK Nomor

12/POJK.05/2014 tentang Perizinan LKM;

(b) Ketentuan permodalan yang memberatkan KSP; dan

(c) Sebagian KSP tidak bersedia diawasi oleh OJK.

2) UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian belum mengatur koperasi sebagai lembaga keuangan mikro sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2013

3) Koperasi simpan pinjam (KSP) masih kesulitan memperoleh kredit dari perbankan karena kapasitas usaha dan kualitas SDM pengurus masih terbatas.

4) Lemahnya koordinasi antar Kementerian Sektoral (Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Koperasi dan UKM) serta OJK dalam sosialisasi perizinan

5) Koperasi simpan pinjam dan unit usaha simpan pinjam koperasi banyak menetapkan tingkat suku bunga terlalu tinggi, yang berimplikasi kepada kerugian khususnya anggota koperasi

6) Pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM belum menjangkau koperasi simpan pinjam dan unit usaha simpan pinjam yang menerapkan suku bunga terlalu tinggi.

c. Simpulan dan Rekomendasi

1) Pelaksanaan sosialisasi Peraturan OJK tentang perizinan LKM harus dilakukan secara intensif karena UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro belum sepenuhnya dipahami oleh gerakan Koperasi di daerah;

2) KSP dan USP koperasi tidak perlu risau dengan keharusan menyesuaikan perizinan yang diatur oleh OJK melalui POJK No.12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Lembaga Keuangan Mikro.

3) Nota kesepahaman (memorandum of understanding) antara Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Dalam Negeri, beserta OJK tidak hanya dilaksanakan terbatas pada inventarisasi LKM yang belum berbadan hukum, tetapi juga pada dukungan pembinaan dan pengawasan terhadap LKM yang memungkinkan bertransformasi menjadi Bank Perkreditan Rakyat.

4) Pendirian Pusat Layanan Usaha Terpadu Kementerian Koperasi dan UKM tidak hanya terpusat di tiap Ibukota Provinsi, melainkan juga di tiap Kabupaten/Kota sebagai bentuk pendampingan sumber daya manusia dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah

5) Koperasi bidang jasa keuangan yang sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dapat menetapkan tingkat bunga pinjaman yang tinggi sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat. Untuk itu, OJK dapat menerbitkan peraturan tentang batas atas tingkat suku bunga pinjaman dari koperasi bidang jasa keuangan, sekaligus mengatur pengawasan dan penjaminan oleh lembaga penjamin.

6) Koperasi simpan pinjam atau unit usaha simpan pinjam koperasi yang melaksanakan praktik jasa keuangan dengan tingkat suku bunga tinggi semakin tidak terkendali dan hal itu seharusnya menjadi objek pengawasan dan pemantauan OJK untuk ditindaklanjuti dan Pemerintah seharusnya melakukan penertiban terhadap praktik keuangan seperti itu.

3. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 39/DPD RI/III/2015-2016 tentang Hasil Pengawasan atas Pelaksanaan UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM disahkan tanggal 16 Februari 2016

a. Pengawasan yang dilakukan DPD RI terhadap UU dan Peraturan

Pemerintah memiliki tugas untuk melaksanakan dan memproses hasil pengawasan UU di bidang UMKM, yang diharapkan dapat menyempurnakan peraturan perundangan di bidang UMKM serta meningkatkan kinerja dan peranan lembaga-lembaga yang diberi kewenangan dalam pengembangan UMKM tersebut. Di antara lembaga yang dimaksud adalah Lembaga Perbankan karena sejak tahun 2012 lembaga perbankan ini diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) yang diharapkan dapat memberi dukungan bagi pengembangan UMKM dari sisi permodalan.

b. Temuan dalam Pengawasan atas Pelaksanaan UU UMKM

1) Kelembagaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Permasalahan yang terkait dengan kelembagaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah diantaranya adalah lemahnya kelembagaan dan peningkatan kapasitas kelembagaan UMKM, kurangnya kesiapan UMKM dalam menghadapi MEA, wilayah yang masih cenderung base on commodity, kurang tersedianya organisasi sebagai pewadahan UMKM, kemitraan multipihak yang masih terbatas, serta lemahnya koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

2) Akses Pembiayaan dan Perluasan Skema Pembiayaan UMKM. Pembiayaan dengan skema KUR belum diserap secara optimal. Pelaku UMKM masih sering mengalami kesulitan permodalan dikarenakan mekanisme pengajuan/syarat pengajuan KUR yang belum dapat diterima dengan baik oleh sebagian besar pelaku UMKM, meskipun Pemerintah sudah membantu meringankan dengan menurunkan bunga KUR menjadi 9% per tahun.

3) Nilai Tambah Produk dan Jangkauan Pemasaran UMKM.

Adanya nilai tambah produk, namun jangkauan pemasaran produk masih terbatas. Selain itu adalah kurangnya sosialisasi mengenai Hak Cipta dan Hak Paten atas produk, kemasan produk yang kurang bersaing dan kurang memadai, serta kapasitas produksi yang terbatas sehingga seringkali produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor meskipun dari segi kualitas produk dalam negeri seringkali lebih unggul. 4) Kemudahan, Kepastian dan Perlindungan UMKM.

Sulitnya memperoleh perizinan bagi UMKM masih menjadi kendala. Pendataan dan fasilitasi modal bagi wirausaha baru serta lemahnya perlindungan bagi UMKM juga menjadi salah satu temuan DPD RI.

5) Kualitas Sumber Daya Manusia UMKM

Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia pelaku UMKM. Rata-rata pelaku usaha UMKM masih belum memiliki tingkat

pendidikan dan pengalaman yang mencukupi. Bimbingan Teknis (BimTek) oleh Pemerintah Daerah yang masih terbatas juga menjadi salah satu kendala dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia pelaku UMKM.

c. Kesimpulan dan Rekomendasi

1) Penguatan UMKM ke depan hendaknya memberi perhatian pada perkuatan modal usaha, fasilitasi sarana dan prasarana, penyiapan pasar grosir.pusat pemasaran produk UMKM, pengembangan kawasan UMKM seperti LIP, PIK, dan SIK, fasilitasi perizinan, dan fasilitasi promosi produk yang berorientasi pasar.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dipandang perlu dilakukan penyesuaian terhadap dinamika dan perkembangan UMKM serta lingkungannya.

3) Konsistensi dan keseriusan pemerintah dalam melakukan pemberdayaan bagi UMKM dalam bidang pembiayaan dan penjaminan sangat diperlukan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Pasal 24.

4) Kementerian Koperasi dan UKM harus mengintensifkan kemitraan dengan Kementerian terkait dalam pengembangan dan pemantapan program unggulan daerah yang melibatkan UMKM sebagai pelaku, terutama dengan Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Desa dan Transmigrasi; Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Perdagangan; Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi; serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mendukung program unggulan tersebut sesuai dengan priritas daerah.

5) Pemberlakuan jaminan KUR harus dilaksanakan secara tegas dan konsisten sesuai dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat Pasal 10 ayat (1).

6) Fungsi dan tanggung jawab camat sebagai pejabat pemberi izin UMKM di daerah sebagai pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) serta Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan untuk Usaha Mikro dan Kecil Pasal 4 harus dilaksanakan secara konsisten.

7) Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan dukungan administratif dan biaya kepada UMKM dalam mendaftarkan hak cipta dan paten ke Kementerian Hukum dan HAM dalam rangka mengoptimalkan perolehan paten dan hak cipta bagi UMKM.

4. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 47/DPD RI/III/2015-2016 tentang Hasil Pengawasan atas Pelaksanaan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah disahkan tanggal 17 Maret 2016.

a. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah diatur berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004. Pelaksanaan terhadap Undang-Undang tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. DPD RI melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dengan tujuan hasil pengawasan terhadap Undang-Undang dan Peraturan Daerah tersebut dapat digunakan untuk menyempurnakan peraturan perundang-undangan di bidang perimbangan keuangan pemerintah dan pemerintah daerah serta meningkatkan kinerja dan peranan lembaga-lembaga yang diberi kewenangan dalam mengatur keuangan negara dan/atau keuangan daerah.

b. Temuan dalam Pengawasan Pelaksanaan UU Perimbangan

Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, antara lain sebagai berikut:

1) Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan

Kebutuhan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah tidak sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ketidaksesuaian itu, antara lain, ialah DAK untuk provinsi kepulauan, DAK pembangunan infrastruktur pariwisata, DAK subbidang pekerjaan umum, dan Dana Desa.

2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.07/2015 Melanggar/Bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005.

Pemerintah Daerah penerima DBH dan DAU juga dirugikan/keberatan dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.07/2015. Kegiatan yang dibiayai dengan DBH dan DAU sudah dilaksanakan oleh Pihak III (rekanan), dan Pemerintah Daerah membutuhkan dana tunai untuk membayar Pihak III tersebut.

3) Formulasi Penghitungan DAU Provinsi Kepulauan

Data luas wilayah laut pada provinsi kepulauan, dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) telah dimasukkan dalam formula perhitungan DAU (menjadi variabel indeks luas wilayah dalam penentuan kebutuhan fiskal). Namun, bobot keduanya belum menggambarkan kondisi riil daerah kepulauan. Akibatnya, fungsi DAU untuk memperkuat hubungan pusat dan daerah dan untuk memperkuat celah fiskal tidak tercapai.

Di daerah ditemukan beberapa kondisi, yaitu (1) DAK diterima melebihi proposal yang diajukan daerah, (2) daerah menerima alokasi DAK yang tidak pernah diajukan dalam proposal, (3) DAK yang diterima kurang dari proposal yang diajukan daerah, dan (4) kegiatan yang diusulkan oleh daerah agar didanai DAK justru tidak diakomodasi pemerintah.

5) Dana Perimbangan Pusat dan Daerah

Daerah masih sangat tergantung pada pada dana perimbangan dalam membiayai penyelenggaraan pemerintah, pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan.

6) Waktu Penyampaian Informasi dan Transfer Dana Perimbangan

(a) Secara umum kendala yang masih harus dibenahi dalam

pengelolaan dana perimbangan adalah keterlambatan penetapan besaran dana bagi hasil (DBH) Pajak dan DBH Sumber Daya Alam, keterlambatan juknis DAK (misalnya bidang pendidikan), belum adanya peraturan pemerintah atas penjabaran UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan pemerintah provinsi, serta DAK tambahan yang juga terlambat jadwal transfernya.

(b) Penetapan alokasi dana perimbangan mengganggu

penyusunan APBD Tahun Anggaran 2016. Hal ini disebabkan oleh informasi dana perimbangan (DBH, DAK, dan DAU) terlambat diterima oleh daerah.

(c) Pembahasan awal alokasi DBH dilakukan secara tersendiri

oleh Kementerian Keuangan, belum melibatkan serta belum bersinergi dengan Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri.

7) Pengelolaan Dana Desa

Tahun 2015 ditemukan desa yang memperoleh alokasi dana desa pada bulan Desember. Hal itu mengakibatkan desa tidak dapat merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang dibiayai dana desa tersebut.

8) Penurunan DBH Minyak, Gas, dan Mineral

Proporsi penurunan DBH minyak dan gas beberapa daerah penghasil minyak dan gas lebih besar daripada penurunan lifting dan harga minyak dan gas. Penurunan DBH minyak dan gas Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2015 sebesar ±90%. Di lain pihak penurunan harga maupun lifting minyak dan gas tidak sampai 70%. Hal itu menimbulkan kecurigaan daerah bahwa besaran DBH minyak dan gas yang diterima daerah lebih rendah daripada besaran DBH minyak dan gas yang seharusnya diterima.

c. Kesimpulan

1) UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang dan situasi yang akan datang. Undang-undang tersebut tidak sinkron dengan UU Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.07/2015 tentang Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau Dana Alokasi Umum Dalam Bentuk Non Tunai, melanggar/bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

3) Kriteria luas wilayah laut bagi daerah kepulauan dan indeks kemahalan konsumsi (IKK) telah dimasukkan sebagai dasar penghitungan DAU. Namun, bobotnya masih relatif kecil sehingga tidak dapat meningkatkan besaran DAU secara memadai dibanding dengan tingkat kesulitan geografis bagi daerah kepulauan, daerah tertinggal, serta daerah terluar dan belum dapat mengurangi celah fiskal daerah.

4) Usulan DAK belum berbasis proposal, semestinya memprioritaskan hasil musrenbang daerah masing-masing yang belum tertampung dalam APBD. Dengan demikian, tidak terjadi pengalokasian DAK yang lebih besar/lebih kecil/tidak sesuai dengan permintaan daerah.

5) Secara filosofis dana perimbangan seharusnya menjawab tuntutan otonomi seluas-luasnya sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi pada praktiknya anggaran K/L pada APBN Tahun Anggaran 2016 lebih besar daripada dana perimbangan. Data Kementerian Keuangan menunjukkan dalam APBN Tahun Anggaran 2016 untuk transfer ke daerah Rp723 triliun sedangkan belanja K/L sebesar Rp784,1 triliun.

6) Informasi besaran DBH yang diterima daerah terlambat sehingga berakibat pada terlambatnya penyusunan APBD.

7) Penyaluran dana desa tahun 2015 masih mengalami keterlambatan.

8) Daerah tidak memiki akses informasi untuk melakukan check and balance mengenai akurasi besaran DBH minyak dan gas yang diterimanya.

d. Rekomendasi 1) Aspek Yuridis

(a) DPR RI dan Pemerintah agar mengevaluasi keberadaan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Oleh karena itu, langkah DPD RI dalam membahas RUU tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, sudah tepat dan harus dilanjutkan. DPD RI juga merekomendasikan kepada Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian teknis terkait dalam melakukan harmonisasi peraturan pelaksanaan undang-undang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.

(b) Menteri Keuangan RI agar mencabut PMK Nomor

235/PMK.07/2015 tentang Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau Dana Alokasi Umum dalam Bentuk Nontunai, karena melanggar/bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

2) Aspek Empiris

DPD RI merekomendasikan kepada Pemerintah beberapa hal berikut.

(a) Merumuskan formulasi terbaik dengan meningkatkan bobot

luas laut/wilayah dan meningkatkan bobot IKK untuk menghitung DAU. Peningkatan bobot tersebut akan mengurangi celah fiskal antardaerah karena di Indonesia masih terdapat daerah dengan kapasitas fiskal yang terbatas (daerah tertinggal, daerah kepulauan dan daerah yang berbatasan dengan negara lain/daerah terluar).

(b) Mengalokasikan DAK sesuai dengan hasil musrenbang yang

Dalam dokumen laporan lembaga pusjakum (Halaman 172-184)