• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum tentang Pemerintahan Desa

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG DEMOKRASI, PEMBENTUKAN

C. Tinjauan Umum tentang Pemerintahan Desa

Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri. Istilah atau sebutan desa yang merupakan sebagai kesatuan masyarakat hukum baru dikenal pada masa colonial Belanda, dimana pada umumnya desa mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan hierarkis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Dalam beberapa konteks Bahasa, daerah-daerah di Indonesia banyak yang menyebut istilah desa dalam ragam Bahasa yang lainnya, namun tetap memiliki arti yang sama yaitu desa. Dalam beberapa tempat atau daerah-daerah memiliki istilah atau sebutan desa yang berbeda.43

Desa atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari desa pada

42 Saifudin, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undanag, UII Press, Cetakan Pertama, 2009, Hlm. 39.

43 Hasyimzoem, Yusnani dkk. Hukum Pemerintahan Op.Cit., Hlm. 130.

34

umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat.44 Perkataan desa berasal dari Bahasa India, yaitu “swadesi” yang berarti tempat asal, tempat tinggal, Negara asal atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan kesatuan norma beserta memiliki batas yang jelas.45

Sejalan dengan hal di atas, Ateng Syafrudin juga mengartikan Istilah ‘Desa’ berasal dari kata ‘swadesi’ Bahasa Sansekerta yang berarti wilayah, tempat atau bagian yang mandiri dan otonom. Diintrodusir pula oleh Sutardjo Kartohadikoesoemo bahwa: “perkataan “Desa”, “dusun”, “desi” (ingatlah perkataan swadesi), seperti juga halnya dengan perkataan “negara”, “negeri”, “nagari”, “negory” (dari perkataan “negarom”), asalnya dari perkataan Sanskrit (sansekerta), yang artinya tanah air, tanah asal, tanah kelahiran”. Ateng Syafruddin juga memberikan istilah “Desa”, yakni “swagrarma (gramani), dhisa,

marga, nigari, mukim, kuria, tumenggungan, negorey, wanua atau negoriy, manoa, banjar dan penanian.46

Lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) telah memberikan keleluasaan kepada Desa untuk menumbuhkan, memperkuat dan mengembangkan prakarsa local, semangat otonomi dan kemandiriannya. Undang-undang ini juga memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Desa untuk menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, melakukan

44

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Hlm. 7.

45 Supriatna, Tjahya, Sistem Pemerintahan Desa, Institut Pemerintahan dalam Negeri, Jatinangor, 2007, hlm. 1.

46 Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Op.Cit., (Bandung: alumni, 2010), Hlm. 2.

35

pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakatnya. Berlakunya UU Desa membuat posisi desa bergeser dari sekedar wilayah administrasi di bawah kabupaten menjadi entitas yang berhak untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sendiri berdasarkan prakarsa masyarakat setempat.47

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 (selanjutnya UU Desa), desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan menurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang duakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dalam angka 9 yang disebut kawasan desa adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahann, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Pengertian desa dan kawasan desa sebagaimana yang dirumuskan dalam UU Desa tidak berbeda dengan yang dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa. Akan tetapi apabila dicermati Nampak bahwa UU Desa memilik spirit yang lebih dalam mewujudkan desa yang lebih “berdaya”.48

47 Kitty Tri Setyorini Dkk, Pedoman Standar Layanan Informasi Publk untuk

Pemerintahan Desa, Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur, Cetakan Pertama, 2015. Hlm. 1. 48 http://csws.fisip.unair.ac.id/implementasi-undang-undang-nomor-6-tahun-2014-tentang-desa-di-jawa-timur-dengan-pendekatan-community-based-training-wartiningsih/ diunduh pada tanggal 17 oktober 2017 jam 17:02.

36

2. Pemerintahan Desa

Kehadiran UU No. 6/2014 sesungguhnya lahir dari kesenjangan antara peran dan fungsi strategis desa dalam penyelenggaraan roda pemerintahan yang dihadapkan dengan lemahnya kewenangan yang dimiliki desa untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional, sehingga membuat desa yang secara fisik ada namun dilihat dari fungsinya sperti tiada ditengah masyarakat.

Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mendefenisikan Pemerintahan Desa sebagai “penyelenggaran urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa yaitu terdiri dari Kepala Desa sebagai kepala pemerintahan dan Perangkat Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan Desa.

Secara sosiologis, kehadiran UU No. 6/2014 didasarkan beberapa pertimbangan,49 Pertama, secara sosiologis, jelas bahwa untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bangsa Indonesia harus memulai paradigm pembangunan dari bawah (Desa) karena sebagian besar penduduk Indonesia beserta segala permasalahannya tinggal di desa. Tetapi selama ini, pembangunan cenderung berorientasi pada pertumbuhan dan bias kota. Sumber daya ekonomi tumbuh di kawasan Desa diambil oleh kekuatan yang lebih besar, sehingga Desa kehabisan sumberdaya dan menimbulkan arus urbanisasi penduduk Desa ke kota.

49 Meri Yani, Menuju Desa Yang Maju, Kuat, Mandiri, Dan Demokratis Melalui

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Inovatif Volume VII Nomor II, Mei 2014)

37

Kondisi ini yang menciptakan ketidakadilan, kemiskinan maupun keterbelakangan senantiasa melekat pada Desa.

Lebih lanjut Penjelasan Umum UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan, dengan digabungkannya fungsi self-governing community dengan lokal self

government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini

merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketentraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintah berdasarkan susunan asli.50

Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Desa penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan asas:51

a. Kepastian hukum; adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadlian dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan desa;

b. Tertib penyelenggaraan pemerintahan; adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan pemerintahan desa;

c. Tertib kepentingan umum; adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;

d. Keterbukaan; adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan pemerintahan desa dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan;

50 Ni’matul Huda, Pemerintahan Desa Op.Cit. Hlm. 211.

51 Yusnani Hasyimzoem, Iwan Satriawan, dkk, Hukum Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), Hlm. 132-133.

38

e. Proporsionalitas; adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan pemerintahan desa;

f. Profesionalitas; adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

g. Akuntabilitas; adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

h. Efektifitas dan efisiensi; adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan harus berhasil mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat desa;

i. Kearifan lokal; adalah asas yang menegaskan bahwa di dalam penetapan kebijakan harus memerhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat desa;

j. Keberagaman; adalah penyelenggaraan pemerintahan desa yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu;

k. Partisipatif; adalah penyelenggaraan pemerintahan desa yang mengikutsertakan kelembagaan desa dan unsur masyarakat desa.