• Tidak ada hasil yang ditemukan

15 BAB II

KERANGKA TEORI

A. Akad Dalam Hukum Islam 1. Pengertian

Secara etimologis perjanjian dalam Islam juga disebut sebagai akad. Kata „aqad dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat. Jika dikatakan „aqada al-habla maka itu menggabungkan antara dua ujung tali lalu mengikatnya. Jadi yang disebut akad adalah menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga dalamnya janji dan sumpah, karena sumpah menguatkan niat berjanji untuk melaksanakan isi sumpah atau meninggalkannya. Demikian juga halnya dengan janji sebagai perekat hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkan(Azzam, 2010: 15). Firman Allah dalamsurat Al Maidah ayat 1 yang berbunyi :

















































Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia

16

Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam hukum islam. Kata akad berasal dari al-„aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt). Sebagai suatu istilah hukum Islam, ada beberapa defini yang diberikan kepada akad (Anwar, 2010:68):

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam Pasal 20 mendefinisikan akad sebagai kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

Adapun al-„aqd (لاعقذ) menurut bahasa berati ikata, lawan katanya (لاحل) pelepasan atau pembubara. Mayoritas fuqaha mengartikannya gabungan ijab dan qabul, dan penghubungan antara keduanya sedemikian rupa sehingga terciptalah makna atau tujuan yang diinginkan dengan akibat-akibat nyatanya. Dengan demikian akad adalah sesuatu perbuatan untuk menciptakan apa yang diinginkan oleh dua belah pihak yang melakukan ijab dan qabul (Muhammad, 2009: 34).

Mustafa Ahmad Az-Zarqa (tokoh fikih Yordania asal Suriah) menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk (Nasrun, 2003:63) yaitu :

a) Tindakan berupa perbuatan. b) Tindakan berupa perkataan.

Tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua, yaitu bersifat akad dan yang tidak bersifat akad. Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi bila dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk

17

melakukan suatu perjanjian. Adapun tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi lagi kepada dua macam yaitu:

a) Yang mengandung kehendak pemilih untuk menetapkan atau melimpahkan hak, membatalkannya, atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak.

b) Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau menggugurkan suatu hak, tetapi perkataannya itu memunculkan suatu tindakan hukum seperti gugatan yang diajukan kepada hakim dan pengakuan seseorang di depan hakim.

Berdasarkan pembagian tindakan hukum manusia menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa suatu tindakan hukum lebih umum dari akad. Setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari dua atau beberapa pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad (Nasrun, 2003: 63).

Menurut Az Zarqa dalam pandangan syara‟, suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh sebab itu untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut dengan ijab dan kabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginan secara pasti untuk mengikatkan diri. Adapun kabul

18

adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya untuk mengikatkan diri.

Sedangkan perikatan dan perjanjian dalam konteks fiqh muamalah dapat disebut dengan akad. Kata akad berasal dari bahasa Arab al-„aqd bentuk jamaknya al-„uqud yang mempunyai arti antara lain:

a) Mengikat (al-rabith) b) Sambungan (al-„aqd) c) Janji (al-„ahd)

Dalam akad pada dasarnya dititik beratkan pada kesepakatan antara kedua belah pihak yang ditandai dengan. Dengan ijab-qabul demikian

ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan

suatu keridhaan dalam berakad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara‟. Karena itu, dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat di kategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syariah Islam (Qamarul, 2011:25-26). 2. Rukun-Rukun Akad

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha berkenaan dengan rukun akad menurut jumhur fuqaha rukun akad terdiri (Qamarul, 2011:28) atas:

a) Aqid yaitu orang yang berakad (bersepakat)

b) Ma‟qud „alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda yangada dalam transaksi jual-beli.

19

c) Maudhu‟al-„aqd yaitu tujuan pokok dalam melakukan akad.

d) Shighat al-„aqd yang terdiri dari ijab qabul.

Hal ini didasarkan kepada definisi rukun menurut jumhur, yaitu sesuatu yang adanya sesuatu yang lain bergantung kepadanya meskipun ia bukan bagian dari hakikatnya. Namun bagaimanapun perbedaan yang ada, semuanya hanyalah istilah yang pada akhirnya tidak banyak berpengaruh pada subtansi.

Jadi rukun akad adalah segala sesuatu yang mengungkapkan kesepakatan dua kehendak atau menggantikan posisi nya baik berupa perbuatan, isyarat maupun tulisan. Sementara untuk unsur atau pilar lainnya menjadi fondasi akad seperti objek yang diakad kan dan dua pihak yang berakad merupakan kezaliman akad yang mesti ada untuk membentuk sebuah akad. Karena adanya ijab dan qabul menghendaki adanya dua pihak yang berakad (Abu Malik, 2007: 429).

Berkenaan dengan rukun akad ada tiga pendapat yang dikemukakan oleh kalangan ahli fiqih:

a) Akad tidak akan sah kecuali dengan menggunakan shighat ijab-qabul.

b) Akad jual-beli tetap sah dengan perbuatan (af‟al).

c) Akad bisa berbentuk dengan segala hal yangmenunjukkan maksud dan tujuan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan.

20 3. Syarat-Syarat Akad

Setiap pembentukan akad mempunyai syarat yang ditentukan syara‟ yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam (Qamarul, 2011: 32) yaitu :

a. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam sebagai akad.

b. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad, syarat khusus ini juga disebut sebagai

idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang

umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.

Syarat-syarat umum yang harus di penuhi dalam berbagai macam akad : a) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli) maka akad

orang yang tidak cakap (orang gila) akadnya tidak sah. c. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.

d. Akad itu diizinkan oleh syara‟ dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan aqaid yang memiliki barang. e. Akad bukan jenis akad yang dilarang, seperti jual beli mulasamah. f. Akad dapat memberikan faedah.

g. Ijab harus berjalan terus, maka ijab tidak sah apabila ijab tersebut dibatalkan sebelum adanya qabul.

Menurut ulama mazhab Az-Zahiri seluruh syarat yang dikemukakan pihak-pihak yang berakad apabila tidak diakui oleh syarak sebagaimana tercantum dalam Al-Qur‟an dan Sunnah adalah batal. Menurut Jumhur ulama fiqih pada dasarnya pihak-pihak berakad itu memiliki kebebasan untuk menentukan syarat-syarat tersendiri dalam

21

suatu akad. Menurut ulama fiqih Mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i sekalipun pihak-pihak yang berakad mempunyai kebebasan dalam menentukan syarak, tetapi kebebasan itu tetap mempunyai batas (terbatas) yaitu selama syarat itu tidak bertentangan dengan hakikat itu sendiri.

Dan ulama fiqih menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad.

4. Asas-Asas Akad

Akad dilakukan berdasarkan asas:

a. Ikhtiyari/sukarela

Setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.

b. Amanah/menepati janji

Setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera janji.

c. Ikhtiyati/kehati-hatian

Setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.

d. Luzum/tidak berubah

Setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktek spekulasi atau maisir.

22 e. Saling menguntungkan

Setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktek manipulasi dan merugikan salah satu pihak.

f. Taswiyah/kesetaraan

Para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.

g. Transparansi

Setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.

h. Kemampuan

Setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.

i. Taisir/kemudahan

Setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.

j. Itikad baik

Akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

k. Sebab yang halal

Setiap akad dilakukan tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.

23

l. Al-hurriyah/(kebebasan berkontrak)

m.Al-kitabah (tertulis)

5. Rukun Akad

Rukun akad terdiri atas: a. Pihak-pihak yang berakad

Pihak-pihak yang berakad adalah orang perseorangan, kelompok orang, persekutuan, atau badan usaha. Orang yang berakad harus cakap hukum, berakal dan tamyiz.

b. Obyek akad

Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Obyek akad harus suci, bermanfaat, milik sempurna, dan dapat diserah terimakan.

c. Tujuan pokok akad

Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.

d. Kesepakatan/sighat akad

Sighat akad dapat dilakukan dengan jelas, baik secara lisan, tulisan dan

atau perbuatan. 6. Kategori Hukum Akad

Hukum akad terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu: a. Akad yang sah

Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. b. Akad yang fasad/dapat dibatalkan

24

Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat.

c. Akad yang batal/batal demi hukum

Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun atau syarat-syaratnya (KHES: 2008).

7. Macam-macam Akad

Macam-macam akad berdasarkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 1 sebagai berikut:

a. Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.

b. Mudharabah adalah kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.

c. Muzaraah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap untuk memanfaatkan lahan.

d. Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib almal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.

25

e. Musaqah adalah kerjasama antara pihak-pihak dalam pemeliharaan tanaman dengan pembagian hasil antara pemilik dengan pemelihara tanaman dengan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang terikat. f. Hawalah adalah pengalihan utang dari muhil al-ashil kepada muhal

„alaih.Rahn/gadai adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.

8. Berakhirnya Akad

Dan untuk berakhirnya akad dapat disebabkan karena fasakh, kematian atau karena tidak adanya pihak lain dalam hal akad mauquf. a) Berakhirnya akad karena fasakh. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya

fasakh akad adalah sebagai berikut:

1) Fasakh karena adanya fasid (rusak)

2) Fasakh karena khiyar

3) Fasakh berdasarkan iqalah yaitu terjadinya fasakh akad karena

adanya kesepakatan kedua belah pihak.

4) Fasakh karena tidak ada realisasi.

5) Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan telah terealisasi.

b) Berakhirnya akad karena kematian.

c) Berakhirnya akad karena tidak adanya izin pihak lain. Akad akan berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenang tidak mengizinkan atau meninggal dunia sebelum dia memberikan izin.

26

9. Macam-macam akad dan sifat perjanjiannya

Macam-macam dan sifat perjanjian atau akad dalam islam dapat dibedakan menjadi:

a. Akad tanpa syarat, yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad tanpa memberikan batasan

b. Akad bersyarat, yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad.

c. „Aqad mudhaf, yaitu akad yang didalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. (Nawawi, 2012: 26-27).

B. Akad Bersyarat (al-Uqud al-Mutaqabilah)

Al-Mutaqabilah menurut bahasa berarti berhadapan. Al-uqud al

mutaqabillah adalah akad bersyarat dalam bentuk akad kedua merespon akad

pertama, dimana kesempurnanan akad pertama bergantung pada sempurnanya akad melalui proses timbal balik. Dengan kata lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya. Dalam tradisi fiqh, model akad seperti ini sudah dikenal lama dan praktiknya sudah banyak. Banyak ulama telah membahas tema ini, baik yang berkaitan dengan hukumnya, atau model pertukarannya misalnya antara akad pertukaran (mu‟awadhah) dengan akad tabarru‟, antara akad tabarru‟ dengan akad tabarru‟ atau akad pertukaran dengan akad pertukaran. Ulama biasa mendefinisikan model akad ini dengan akad bersyarat (isytirath „aqd bi „aqd) (Ali: 216).

27

Hukum asal dari syara‟ adalah bolehnya melakukan akad bersyarat, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati (Hasanudin, 2009: 3)

Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama. Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya (Hasanudin, 2009: 3)

C. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antr seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu. (Pasaribu dan Lubis, 1996: 1)

28

Beberapa ahli lain yang mengartikan perjanjian. Menurut Prof. Sri soedewi masychoen sofwan yang memberikan batasan mengenai perjanjian adalah sebagai suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengikat diri seorang lain atau lebih. Sementara menurut Prof. Dr. R. Wirjono prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara kedua elah pihak, dimana sstu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menentukan pelaksanaan perjanjian tesebut. (Aryani, 2012: 1-2).

Ada pula yang disebutkan oleh J.E. Spruit bahwa perjanjian internasional mengandung aturan hukum dan oleh karenanya dinilai sebagai sumber hukum dalam artian formil. Dalam pembahasannya tentang sumber formil Bodenheimer memasukkan ke dalamnya ; (a) perundangan/legislatif, (b) perundangan yang didelegasikan dan diotonomikan, (c) Perjanjian Internasional dan persetujuan lainnya dan, (d) preseden. Disebutkan bahwa perjanjian internasional sebagai sumber hukum positif karena didasarkan dan bukan sisebabkan oleh kualitas isinya. Karena itu, pengesahan perjanjian internasional oleh hukum nasional menjadi hal yang sangat penting. (Harjono, 1999: 83-84)

Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Menurut definisi perjanjian klasik, perjanjian adalah peruatan hukum bukan hubungan hukum. Pasal 1313 KUHPedata mengatakan bahwa perjanjian adalah

29

suatu peruatan hukum satu orang mengikat dirinya dengan satu orang atau lebih. (Aryani, 2012: 2)

Sementara menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne yang diartikan perjanjian adalah“suatu hubungan hukum atara dua pihak berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.” (Salim, 2003: 26).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hak dan kewajiban.

Berkaitan dengan objek perjanjian (pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata). Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal 1332 sampai dengan pasal 1334 (Mariam, 2006: 104) adalah: a. Objek yang akan ada, asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat

dihitung.

b. Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian)

Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya, atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau yang tidak mungkin dilakukan, menjadi batal demi hukum.

30 2. Lahirnya Perjanjian

Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Sepakat adalah kesesuaian kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. (Subekti, 2001:26)

Kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam teori / ajaran, (Salim, 2003:30-31) yaitu:

a. Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu, misalnya saat menjatuhkan bolpoin untuk menyatakan menerima. Kelemahannya sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

b. Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. Kelemahannya adalah bagaimana hal itu bisa diketahui? Bisa saja walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan.

c. Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima (walaupun

31

penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.

d. Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. 3. Syarat Sahnya Perjanjian

a. Kesepakatan

Adapun untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan syarat (pasal 1320 KUH Perdata), yaitu :

1) Sepakat mereka mengikat dirinya, kesepakatan mereka yang meningkatkan diri adalah asas yang esensial dari hukum perjanjian. Asas ini dinamakan juga asas Konsensualisme yang menentukan adanya perjanjian. Asas Konsensualisme yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti “Kemampuan” parapihak untuk saling berprestasi ada kemauan untuk saling mengikat diri. 2) Kecakapan diperlukan untuk membuat suatu perjanjian. Mengenai

kecakapan, subekti menjelas kanbahwa seseorang adalah tidak cakap apabila pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu membuat sendiri persetujuan-persetujuan dengan akibat-akibat hukum yang sempurna. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan, hukum yang sempurna. Yang tidakcakapadalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu

anak-32

anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan ( curatele ), dan orang sakitjiwa.

3) Suatu hal tetrtentu. Ini dimaksudkan bahwa hal tertentu adalah objek yang diatur dalam perjanjian kredit tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi objek perjanjian, tidak boleh samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada para pihak dan mencegah timbulnya perjanjian kredit yang fiktif. (Subekti,2003).

Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukan yang harus ada agar suatu perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian yang sah, yang meliputi :

1) Sepakat untuk mengikat diri

2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3) Suatu hal tertentu

4) Sebab yang halal

Ada beberapa teori yang menjelaskan saat-saat terjadinya perjanjian antar pihak, (Soenandar, 2001: 73) yaitu:

1) Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.

2) Teori pengeriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

33

3) Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui tawarannya diterima.

4) Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

Dalam hukum perjanjian ada empat sebab yang membuat kesepakatan tidak bebas, (Purwahid, 1994: 58) yaitu:

1) Kekhilafan terjadi apabila orang dalam suatu persesuaian kehendak mempunyai gambaran yang kliru mengenai orangnya dan mengenai barangnya.

2) Paksaan dalam arti luas meliputi segala ancaman baik kata-kata atau tindakan. Orang yang di bawah ancaman maka kehendaknya tidak bebas maka perjanjian dapat dibatalkan.

3) Penipuan dilakukan dengan sengaja dari pihak lawan untuk mempengaruhi kke tujuan yang keliru atau gambaran yang keliru. Penipuan tidak sekedar bohong tetapi dengan segala upaya akal tipu muslihat dengan kata-kata atau diam saja yang menimbulkan kekeliruan dalam kehendaknya.

4) Penyalah gunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau

Dokumen terkait