i
TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PRAKTIK AKAD BANTUAN HEWAN KAMBING
BERSYARAT DI DESA TLEPAT, KEL. BANYUSRI,
KEC. WONOSEGORO, KAB. BOYOLALI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
MUHAMMAD ZAKARIYA
NIM: 21412032
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI
’
AH
FAKULTAS SYARI
’
AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Muhammad Zakariya NIM : 21412032
Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah Fakultas : Syari‟ah
Judul : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK AKAD BANTUAN HEWAN KAMBING BERSYARAT DI
DESA TLEPAT, KELURAHAN BANYUSRI,
KECAMATAN WONOSEGORO, KABUPATEN
BOYOLALI.
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah
Salatiga, 12 September 2017 Yang menyatakan,
iii
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
KepadaYth.
Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga di Salatiga
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Muhammad Zakariya NIM : 21412032
Judul : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PRAKTIK AKAD BANTUAN HEWAN
KAMBING BERSYARAT DI DESA TLEPAT, KELURAHAN BANYUSRI, KECAMATAN WONOSEGORO, KABUPATEN BOYOLALI.
dapat diajukan epada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 14 September 2017 Pembimbing
iv
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH
Jl. Nakula Sadewa V No 9 Telp. (0298) 3419400 Fak 323433 Salatiga 50722 Website: syari‟ah.iainsalatiga.ac.id E-mail: fakultassyari‟ah.iainsala3.gmail.com
PENGESAHAN
Skripsi berjudul:
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK AKAD BANTUAN HEWAN KAMBING BERSYARAT DI DESA TLEPAT, KEL. BANYUSRI,
KEC. WONOSEGORO, KAB. BOYOLALI
Oleh:
Muhammad Zakariya NIM : 21412032
Telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari‟ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Senin, tanggal 25 Sepetember 2017 dan dapat diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana S1 Hukum Islam
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang : Prof . Dr. H. Muh Zuhri, M.A.
Sekertaris Sidang : Luthfiana Zahriani, S.H., M.H.
Penguji I : Tri Wahyu Hidayati, M.Ag.
Penguji II : Yahya, S.Ag M.HI.
v MOTTO
Tidak Semua Masalah Harus Ditemukan Solusinya.
Terkadang, Kita Memang Hanya Perlu Bersabar Dan
Berserah Diri
“Never Give Up”
vi
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini kepada:
Ayahku Samsudin dan Ibuku Siti Rufi‟ah y
ang tidak henti-hentinya
selalu mendo‟a
kan, membimbing dan mendukungku
Almamaterku Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah
IAIN Salatiga
Calon Istriku Dek Khusnul Khotimah yang senantiasa mendoakan,
memberi semangat dan sabar menunggu penulis
vii ABSTRAK
Zakariya, Muhammad. 2017. Tinjauan hukum Islam terhadap praktik akad bantuan hewan kambing bersyarat di Desa Tlepat, Kelurahan Banyusri, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali. Skripsi. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) salatiga. Pembimbing: Luthfiana Zahriani, S. H., M.H.
Kata kunci: Akad, Kambing, Dengan Syarat, Bantuan.
„Aqad dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat. Terjadi perbedaan pendapat mengenai „aqad bantuan dengan syarat. Sebagian ulama berpendapat bantuan bersyarat fasid begitu juga syaratnya. Sebagian lagi mengatakan bantuannya sah begitu juga syaratnya. Disisi lain ada juga ulama yang mengatakan bantuannya sah tetapi syaratnya tidak. Dalam bantuan ternak hewan kambing bersyarat pihak pemberi bantuan dalam ternak hewan kambing memberikan syarat kepada penerima yakni setelah hewan kambing tersebut beranak, penerima harus menggulirkan anak kambing tersebut kepada orang lain. Dari latar belakang diatas penulis menggunakan dua rumusan masalah dalam penelitian yaitu: bagaimana praktik pelaksanaandan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap bantuan hewan kambing bersyarat di Desa Tlepat, Kelurahan Banyusri, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yang bersifat deskriptif kualitatif dan pendekatan yuridis sosiologis dengan pengumpulan data melalui wawancara dan observasi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam bantuan ini. Penyajian penelitian in dilakukan dengan cara menggambarkan objek yang diteliti secara apa adanya dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat kualitatif. Dalam penelitian ini proses analisis data dengan reduksi data. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan pada penyederhanaan, abstraksi dan transformasi data kasar yang di peroleh di lapangan dan pemberi dan penerima hewan ternak dianalisa apakah sesuai dengan hukum Islam.
Praktek pelaksanaan bantuan hewan kambing bersyarat di Desa Tlepat, Kel. Banyusri, Kec. Wonosegoro, Kab. Boyolali meliputi Sosialisasi Program, Penyuluhan dan Pendampingan dengan syarat menggulirkan anak kambing kepada orang lain dan praktek akad bantuan hewan kambing bersyarat ditinjau dari akad ijab dan qabul, orang yang berakad (pemberi dan penerima), Ma‟qud
Alaih (objek akad), penetapan hukum akad bantuan ternak hewan kambing
viii
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan yang telah diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyusun penulisan skripsiini.
Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta segenap keluarga dan para sahabat, dan teman-teman, syafa‟at beliau sangat penulis nantikan dihari pembalasan nanti.
Penulisan skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana dalam Hukum Islam, Fakultas Syari‟ah, Jurusan Hukum Ekonomi Syariah yang berjudul: “Tinjauan hukum Islam terhadap praktik akad bantuan hewan kambing bersyarat di Desa Tlepat, Kelurahan Banyusri, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali.” Penulis mengakui bahwa dalam menyusun penulisan skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya, ungkapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah di IAIN Salatiga.
3. Ibu Evi Ariyani, M.H, selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah di IAIN Salatiga.
4. Bapak Dr. Nafis Irkhami, M.Ag, selaku dosen pembimbing akademik.
5. Luthfiana Zahriani, S. H., M.H. selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu memberi arahan, pemahaman, dan selalu membagi ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Anggota kelompok tani pangudi luhur yang telah membantu proses penelitian. 7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf Administrasi
ix
8. Sahabat-sahabatku di Kurowo-Kurowo HES ‟12: Elyas, Gusdrun, Tilung, Kodok, Ipay, Lutpeng, Panjrit, Jagung, yang selalu menyemangati penulis dalam menyusun skripsi.
9. Teman-teman Jurusan Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2012 IAIN Salatiga, terima kasih telah memberikan warna di hidupku ini.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang sepantasnya dan yang lebih dari apa yang telah mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa mendapatkan maghfiroh, dan dilimpahkan rahmat-Nya. Amin.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisanya, sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapkan agar mudah dibaca dan dipahami.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca.
Salatiga, 12 September 2017 Penulis
x DAFTAR ISI
COVER ...i
SURAT PERNYATAAN ...ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii
PENGESAHAN SKRIPSI ...iv
MOTTO ...v
PERSEMBAHAN ...vi
ABSTRAK ...vii
KATA PENGANTAR ...viii
DAFTAR ISI ...x
DAFTAR LAMPIRAN ...xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Rumusan Masalah ...5
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ...5
D. Penegasan Istilah ...6
E. Tinjauan Pustaka ...8
F. Metode Penelitian ...10
G. Sistematika Penulisan ...13
BAB II KERANGKA TEORI A. Akad dalam hukum Islam ...15
B. Akad Bersyarat (al-Uqud al-Mutaqabilah) ...27
C. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ...28
xi
BAB IV PRAKTEK AKAD BANTUAN HEWAN KAMBING BERSYARAT DI DESA TLEPAT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Ditinjau Dari Akad (Ijab Dan Qabul)…. ...53
B. Ditinjau Dari Orang Yang Berakad...54
C. Ditinjau Dari Ma‟qud Alaih ...55
D. Penetapan Hukum Akad Bantuan Ternak Hewan Kambing Bersyarat Di Desa Tlepat, Kelurahan Banyusri, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali. ...56
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...59
B. Saran-saran ...60
DAFTAR PUSTAKA ...61
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Penunjukan Pembimbing Skripsi 2. Lembar Konsultasi Skripsi
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat Islam adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang diturunkan Allah untuk manusia melalui Nabi Muhammad baik yang
terkandung dalam al-Quran maupun Sunnah Nabi, yang berwujud perkataan, perbuatan dan ketetapan, atau pengesahan. Hukum yang diturunkan melalui
Nabi Muhammad untuk segenap umat manusia dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam yang tidak boleh diragukan,
seperti peraturan yang berhubungan dengan dzat dan sifat Allah. 2. Ilmu Akhlak
Ilmu Akhlak yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan jiwa, seperti harus memenuhi janji, harus amanah, dilarang berdusta dan berkhianat.
3. Ilmu Fiqh
Ilmu fiqh yang bermakna peraturan yang mengatur antara manusia
2 a. Ibadah
Ibadah yaitu bagian ilmu fiqh yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti sholat, zakat,
puasa, haji dan lain-lain. b. Muamalah
Muamalah yaitu bagian ilmu fiqh yang menjalaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya. Secara spesifik, muamalah adalah seperangkat hukum atau aturan yang
mengatur tentang harta benda hak milik, akad-akad, kontrak atau perjanjian dan kerjasama, seperti: jual beli, sewa-menyewa (ijaroh),
gadai (rahn), kongsi (syirkah) dan lain-lain yang mengatur urusan harta benda seseorang, kelompok dan segala sangkut pautnya seperti hak dan kekuasaan (El Ghandur, 2006: 12).
Pada dasarnya muamalah diperbolehkan sebagaimana menurut kaidah usuhul fiqh yang berbunyi sebagai berikut:
اَهِمـأيِرأحـَت ىَلَع ٌلأيِلَد الُدَي أنَأ الَِّإ ُةَحاَبِألْا ِت َلََماَعُمـألا ِفِ ُلأصَألَْا
.
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Hukum Islam telah mengatur semua dengan sangat terperinci dan memiliki dasar yang jelas, hukum Islam merupakan hukum yang mutlak dan
3 (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS an-nisa‟
: 59)
Berdasarkan ayat tersebut, sumber Islam yang disepakati adalah Al-Quran, hadis, ijma‟, dan qiyas. Dan sekarang yang berlaku selain dalam masa
setelah rasul adalah undang-undang yang berlaku dan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam ranah ini pengadilan agama yang telah ditunjuk oleh
pemerintah sebagai Pemimpin untuk mengadili dengan adil dan sesuai syariat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada sekarang. Dalam literatur
ilmu hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan di samping istilah “Hukum Perikatan” untuk menggambarkan ketentuan hukum
yang mengatur transaksi dalam masyarakat. Ada yang menggunakan istilah “Hukum Perutangan”, “Hukum Perjanjian” ataupun “Hukum Kontrak”.
Masing-masing istilah tersebut memiliki titik tekan yang berbeda satu dengan
lainnya.
Hukum Perjanjian digunakan apabila melihat bentuk nyata dari
4
mengikat diri seorang lain atau lebih. Sementara menurut Prof. Dr. R. Wirjono
prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara kedua belah pihak, dimana satu pihak berjanji untuk
melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menentukan pelaksanaan perjanjian tesebut. (Aryani, 2012:
1-2).
Istilah Hukum Perikatan Islam dimaksud sebagai padanan pengertian dari Hukum Perikatan dalam Hukum Perdata Barat yang dikaji berdasarkan
ketentuan hukum Islam. Tidak berbeda dengan Hukum Perdata Barat tersebut, dalam pengertian Hukum Perikatan Islam di sini juga dimaksud sebagai
cakupan yang lebih luas dari sekedar “Hukum Perjanjian”. Walaupun dalam bentuk tradisional, materi bahasa tentang Hukum Perikatan Islam ini merupakan bagian dari bidang hukum muamalah dalam Kitab-kitab Fiqih yang
biasanya bahkan meliputi cakupan yang lebih luas, termasuk bidang perkawinan (akad nikah), wakaf, kontrak kerja dan sebagainya (Dewi, 2006:
02).
Dalam hal terhadap bantuan, berbeda dengan bantuan bersyarat.
Syarat sah dalam bantuan yang diberikan itu ditentukan oleh agama, sedangkan memberikan persyaratan dalam bantuan ditetapkan oleh salah satu pihak penerima bantuan. Bila syaratnya sah dalam bantuan dilanggar, maka akad
yang dilakukan tidak sah, namun bila persyaratan dalam bantuan yang dilanggar, maka akadnya tetap sah hanya saja pihak yang memberikan
5
Syarat bisa dikatakan sebagai tuntutan atau perintah yang harus
dipenuhi. Syarat bisa berubah menjadi kesepakatan apabila pihak yang diberikan syarat menyetujui atau sepakat dengan syarat yang diberikan pihak
lain. Salah satu bantuan bersyarat yang terjadi di Desa Tlepat Kelurahan Banyusri Kecamatan Wonosegoro Kabupaten Boyolali adalah bantuan hewan
kambing dengan penetapan bersyarat.
Dari latar belakang di atas maka penulis tertarik meneliti judul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Akad Bantuan Hewan Kambing
Bersyarat Di Desa Tlepat Kel. Banyusri Kec. Wonosegoro Kab. Boyolali”
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas maka skripsi ini akan mengacu pada permasalahan pokok sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik pelaksanaan bantuan hewan kambing bersyarat di Desa
Tlepat, Kelurahan Banyusri, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik akad bantuan hewan kambing bersyarat di Desa Tlepat, Kelurahan Banyusri, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
6
1. Untuk mengetahui bagaimana praktik pelaksanaan bantuan hewan
kambing bersyarat di Desa Tlepat, Kelurahan Banyusri, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali.
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik akad bantuan hewan kambing bersyarat di Desa Tlepat, Kelurahan
Banyusri, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali. 3. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan ilmu pengetauan dibidang hukum dan memperkaya
referensi dan literature kepustakaan dan sebagai acuan penelitian selanjutnya.
b. Kegunaan Praktis
Guna mengembangkan penalaran ilmiah dan wacana keilmuan penulis serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh melalui bangku perkuliahan untuk mendapat gelar S1 dalam bidang Hukum Ekonomi Syariah Fakultas
Syariah Intitut Agama Islam Negeri Salatiga. D. Penegasan Istilah
1. Bantuan Bersyarat
Bantuan adalah pemberian seorang pada yang membutuhkan yang tidak mengikat, pemberi tidak mengharap imbalan dari orang yang
7
dilaksanakan sesuai apa yang ada dalam prosedur. Jadi istilah Bantuan
Bersyarat yaitu bantuan yang diberikan kepada seseorang yang membutuhkan namun disertai dengan penetapan syarat-syarat tertentu.
2. Hukum Islam
Hukum Islam Berasal dari kata syara' secara etimologi berarti
"jalan-jalan yang bisa ditempuh air", maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju Allah. Hukum Islam adalah hukum atau peraturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Islam. Selain berisi
hukum, aturan dan panduan peri kehidupan, hukum Islam juga berisi kunci penyelesaian seluruh masalah kehidupan manusia baik di dunia maupun di
akhirat (https://id.wikipedia.org/wiki/SyariatIslam.Diakses jam 13:00 pada tanggal 15 Mei 2017 ).
3. Akad
Kata „aqad dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat.
Jika dikatakan „aqada al-habla maka itu menggabungkan antara dua ujung tali lalu mengikatnya. Jadi yang disebut akad adalah menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga dalamnya janji dan sumpah, karena
sumpah menguatkan niat berjanji untuk melaksanakan isi sumpah atau meninggalkannya. Demikian juga halnya dengan janji sebagai perekat
8 E. Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai bantuan bersyarat sebenarnya belum banyak yang meneliti, masih beberapa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh
sebagian peneliti antara lain skripsi dari Sutiyo Nugroho 2015, Program Studi Muamalah Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam, Fakultas Sekolah Tinggi
Agama Islam (STAIN) Ponorogo dengan judul “Analisa Fiqh Terhadap Jual Beli Anyaman Bambu Dengan Syarat Di Desa Sumberagung Kecamatan
Plaosan Kabupaten Magetan ”Dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana menurut fiqh terhadap akad jual beli anyaman banbu dengan syarat di Desa Sumberagung Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan. 2.
Bagaimana menurut fiqh terhadap penentuan harga anyaman bambu dengan syarat di Desa Sumberagung Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jual beli anyaman bambu dengan syarat di
Desa Sumberagung Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan sudah sesuai fiqh. Kedua belah pihak dalam melakukan transaksi tidak ada yang merasa
dirugikan. Demikian juga pada penetuan harga dalam jual beli anyaman bambu dengan syarat di Desa Sumberagung Kecamatan Plaosan Kabupaten
Magetan sudah sesuai dengan fiqh. Meskipun tidak terjadi tawar menawar harga akan tetapi kedua belah pihak sudah saling rela dan tidak ada yang merasa dirugikan (Nugroho, 2015: http://digilib.uin-suka.ac.id diakses pada
9
Skripsi karya Hari Widianto 2014, Program Studi Muamalat
Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Kambing Antara Pemasok Dan Pedagang” dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap proses Jual-Beli antara pihak
pemaok dengan pihak pedagang. 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam trhadap penyelesaian resiko apabila kambing tidak laku, sakit dan mati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulis mendapat dengan ulama yang
membolehkan jual beli bersyarat karena jalan pikiran mereka dalam memberikan jutifikasi terhadap jual beli didasarkan kepada istihsan urfi
(menjustifikai suatu permasalahan yang telah berlaku umum dan berjalan dengan baik ditengah-tengah masyarakat bahkan akad ini dipandang sebagai suatu yang baik dan tidak mengandung madhorot. Menurut ulama madhab hanafi rukun baik alwafa‟ samadengan rukun jual beli pada umumnya yaitu
ijab (pernyataan menjual) dan qobul (pernyataan membeli). Demikian juga persyaratan baik alwafa‟ menurut mereka persyaratan jual beli pada
umumnya. Penambahan syarat untuk alwafa‟ hanyalah segi dari penegasan
bahwa barang telah dijual itu harus dibeli lagi oleh penjual dan tenggang berlakunya jual beli itu harus tegas misalnya 1 tahun 2 tahun atau lebih (Widianto, 2014: http://digilib.uin-suka.ac.id diakses pada tanggal: 16 juni
10
Skirpsi dari Nur Wahid 2016, Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil
Pemeliharaan Hewan Kambing (studi kasus di Desa Argosari Kecamatan
Ayah Kabupaten Kebumen.”Dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana Praktik kad bagi hasil pemeliharaan hewan kambing de Desa Argosari Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen. 2. Bagaimana tinjauan hukumIslam terhadap praktik akad bagi hasil pemeliharaan hewan kambing
yang terjadi Desa Argosari Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen. Yang didalamnya membahas deskripsi praktik bagi hasil dalam pemeliharaan hewan
kambing dan untuk mengetahui pandangan hukumIslam terhadap akad bagi hasil pemeliharaan hewan kambing di Desa Argosari Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen. Bagi hasil atau pembagian keuntungan atas wanprestasi
yang dilakukan pemilik kambing tidak sah. Apabila mudharib tidak memperoleh keuntungan atau anak kambing maka dia berhak mendapatkan
upah umum. Oleh karena itu pemilik modal telah mempekerja kannya dalam beberapa waktu tertentu, sehingga harus membayar upah kerjanya yaitu
mendapat ganti berupa uang yang sesuai dengan harga anak kambing tersebut. Hal ini berdasarkan dengan nisbah yang disepakati yaitu harus dinyatakan dalam presentase bukan dalam nominal uang tertentu. Karena jika ditentukan
dengan nilai nominal berarti shohib al mal telah mematok untung tertentu dari sebuah usaha yang belum jelas untung ruginya (Wahid, 2016:
11
Berdasarkan uraian di atas bahwa yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu pada praktik pelaksanaan dan tinjauan
hukum Islam terhadap praktik akad bantuan hewan kambing bersyarat di Desa Tlepat, Kelurahan Banyusri, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali.
F. Metode Penelitian
1. Lokasi / daerah penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tlepat Kelurahan Banyusri Kecamatan
Wonosegoro Kabupaten Boyolali. 2. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), sedangkan pendekatan yang dipakai dalam peneliti ini adalah pendekatan yuridis sosiologis dan bersifat kualitatif. Pendekatan yuridis sosiologis
ialah suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (fact-finding) yang
kemudian menuju pada identifikasi (Problem-identification) dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah (Problem Solution)
(Maslikhah, 2013). Jadi tujuan ini untuk mendalami mengenai wacana praktik bantuan hewan kambing bersyarat di Desa Tlepat, Kelurahan Banyusri, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali.
3. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Pada
12
wawancara, observasi dan dokumentasi. Dan dalam wawancara
sebagai Narasumber adalah pemberi bantuan hewan kambing, Ketua Kelompok Tani Pangudi Luhur dan penerima bantuan kambing.
b. Data Sekunder adalah digunakan untuk mendukung data primer (Munawaroh, 2013: 82). Data sekunder yang penulis gunakan adalah
data dari yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, skripsi, dan peraturan perundang-undangan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini penulis menggunakan beberapa teknik guna
memperoleh data antara lain: a. Wawancara
Merupakan data lisan dari informan, yaitu orang yang
member informasi langsung terkait objek penelitian. Wawancara akan memberikan kemudahan baik dalam mengemukakan pertanyaan,
menganalisis maupun dalam mengambil kesimpulan. Wawancara ini akan ditujukan pada pemberi bantuan kambing, ketua kelompok tani
Pangudi Luhur dan penerima bantuan kambing. b. Dokumentasi
Pada penelitian ini, peneliti juga menggunakan teknik
pengumpulan data dengan dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan-catatan transkip buku, buku,
13
201). Metode ini peneliti gunakan untuk mengumpulkan
dokumen-dokumen, skripsi-skripsi, dan buku-buku yang masih ada relevansinya dengan objek peneliti yang oleh peneliti, diantaranya adalah
buku-buku tentang perikatan bersyarat dan dokumen tentang kelompok tani Desa Tlepat, Kelurahan Banyusri, Kecamatan Wonosegoro,
Kabupaten Boyolali dan daftar para penerimanya. 5. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini proses analisis data dengan reduksi data.
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan pada penyederhanaan, abstraksi dan transformasi data kasar yang di peroleh di lapangan.
Penyajian data yaitu deskripsi kumpulan informasi praktik bantuan hewan kambing yang dapat ditarik kesimpulan (Ali 2010: 106). Penarikan kesimpulan dan verifikasi dari permulaan pengumpulan data.
G. Sistematika Penulisan
Pembahasan dan penulisan dalam penelitian ini menggunakan system
sebagai berikut: Bab I Pendahuluan
Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan gambaran singkat dari penelitianini, bab I ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka,
14 Bab II Kajian Pustaka
Kajian pustaka berisi tentang tujuan umum dan akad dalam hukum Islam.
Bab III Hasil Penelitian
Pada bab ini akan menguraikan profil Kelompok Tani Pangudi Luhur
dan praktik akad bantuan hewan kambing bersyarat di Desa Tlepat, kecamatan Wonosegoro, kabupaten Boyolali.
Bab IVAnalisis Data
Pada bab ini menguraikan Tinjauan hukum Islam Terhadap Praktik Akad Bantuan Hewan Kambing Bersyarat Di Desa Tlepat, Kelurahan
Banyusri, KecamatanWonosegoro, Kabupaten Boyolali. Bab V Penutup
15 BAB II
KERANGKA TEORI
A. Akad Dalam Hukum Islam 1. Pengertian
Secara etimologis perjanjian dalam Islam juga disebut sebagai akad. Kata „aqad dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat. Jika dikatakan „aqada al-habla maka itu menggabungkan antara dua ujung tali
lalu mengikatnya. Jadi yang disebut akad adalah menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga dalamnya janji dan sumpah, karena sumpah
menguatkan niat berjanji untuk melaksanakan isi sumpah atau meninggalkannya. Demikian juga halnya dengan janji sebagai perekat hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkan(Azzam,
2010: 15). Firman Allah dalamsurat Al Maidah ayat 1 yang berbunyi :
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia
16
Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam
hukum islam. Kata akad berasal dari al-„aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt). Sebagai suatu istilah hukum
Islam, ada beberapa defini yang diberikan kepada akad (Anwar, 2010:68): Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam Pasal 20
mendefinisikan akad sebagai kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
Adapun al-„aqd (لاعقذ) menurut bahasa berati ikata, lawan katanya (لاحل) pelepasan atau pembubara. Mayoritas fuqaha mengartikannya
gabungan ijab dan qabul, dan penghubungan antara keduanya sedemikian rupa sehingga terciptalah makna atau tujuan yang diinginkan dengan akibat-akibat nyatanya. Dengan demikian akad adalah sesuatu perbuatan
untuk menciptakan apa yang diinginkan oleh dua belah pihak yang melakukan ijab dan qabul (Muhammad, 2009: 34).
Mustafa Ahmad Az-Zarqa (tokoh fikih Yordania asal Suriah) menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas
dua bentuk (Nasrun, 2003:63) yaitu : a) Tindakan berupa perbuatan. b) Tindakan berupa perkataan.
Tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua, yaitu bersifat akad dan yang tidak bersifat akad. Tindakan berupa perkataan yang
17
melakukan suatu perjanjian. Adapun tindakan berupa perkataan yang tidak
bersifat akad terbagi lagi kepada dua macam yaitu:
a) Yang mengandung kehendak pemilih untuk menetapkan atau
melimpahkan hak, membatalkannya, atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak.
b) Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau menggugurkan suatu hak, tetapi perkataannya itu memunculkan
suatu tindakan hukum seperti gugatan yang diajukan kepada hakim dan pengakuan seseorang di depan hakim.
Berdasarkan pembagian tindakan hukum manusia menurut
Mustafa Ahmad az-Zarqa suatu tindakan hukum lebih umum dari akad. Setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari dua atau beberapa
pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad (Nasrun, 2003: 63).
Menurut Az Zarqa dalam pandangan syara‟, suatu akad
merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa
pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri tersebut sifatnya
tersembunyi dalam hati. Oleh sebab itu untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan
18
adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan
persetujuannya untuk mengikatkan diri.
Sedangkan perikatan dan perjanjian dalam konteks fiqh
muamalah dapat disebut dengan akad. Kata akad berasal dari bahasa Arab al-„aqd bentuk jamaknya al-„uqud yang mempunyai arti antara lain:
a) Mengikat (al-rabith) b) Sambungan (al-„aqd)
c) Janji (al-„ahd)
Dalam akad pada dasarnya dititik beratkan pada kesepakatan antara
kedua belah pihak yang ditandai dengan. Dengan ijab-qabul demikian
ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan
suatu keridhaan dalam berakad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara‟. Karena itu, dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau
perjanjian dapat di kategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syariah Islam (Qamarul, 2011:25-26).
2. Rukun-Rukun Akad
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha berkenaan dengan rukun akad menurut jumhur fuqaha rukun akad terdiri (Qamarul, 2011:28) atas:
a) Aqid yaitu orang yang berakad (bersepakat)
b) Ma‟qud „alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda
19
c) Maudhu‟al-„aqd yaitu tujuan pokok dalam melakukan akad.
d) Shighat al-„aqd yang terdiri dari ijab qabul.
Hal ini didasarkan kepada definisi rukun menurut jumhur,
yaitu sesuatu yang adanya sesuatu yang lain bergantung kepadanya meskipun ia bukan bagian dari hakikatnya. Namun bagaimanapun
perbedaan yang ada, semuanya hanyalah istilah yang pada akhirnya tidak banyak berpengaruh pada subtansi.
Jadi rukun akad adalah segala sesuatu yang mengungkapkan
kesepakatan dua kehendak atau menggantikan posisi nya baik berupa perbuatan, isyarat maupun tulisan. Sementara untuk unsur atau pilar
lainnya menjadi fondasi akad seperti objek yang diakad kan dan dua pihak yang berakad merupakan kezaliman akad yang mesti ada untuk membentuk sebuah akad. Karena adanya ijab dan qabul menghendaki
adanya dua pihak yang berakad (Abu Malik, 2007: 429).
Berkenaan dengan rukun akad ada tiga pendapat yang
dikemukakan oleh kalangan ahli fiqih:
a) Akad tidak akan sah kecuali dengan menggunakan shighat
ijab-qabul.
b) Akad jual-beli tetap sah dengan perbuatan (af‟al).
c) Akad bisa berbentuk dengan segala hal yangmenunjukkan
20 3. Syarat-Syarat Akad
Setiap pembentukan akad mempunyai syarat yang ditentukan syara‟ yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua
macam (Qamarul, 2011: 32) yaitu :
a. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam sebagai akad.
b. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad, syarat khusus ini juga disebut sebagai
idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang
umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Syarat-syarat umum yang harus di penuhi dalam berbagai macam akad : a) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli) maka akad
orang yang tidak cakap (orang gila) akadnya tidak sah. c. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
d. Akad itu diizinkan oleh syara‟ dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan aqaid yang memiliki barang. e. Akad bukan jenis akad yang dilarang, seperti jual beli mulasamah. f. Akad dapat memberikan faedah.
g. Ijab harus berjalan terus, maka ijab tidak sah apabila ijab tersebut dibatalkan sebelum adanya qabul.
21
suatu akad. Menurut ulama fiqih Mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i
sekalipun pihak-pihak yang berakad mempunyai kebebasan dalam menentukan syarak, tetapi kebebasan itu tetap mempunyai batas (terbatas) yaitu selama syarat itu tidak bertentangan dengan hakikat itu sendiri.
Dan ulama fiqih menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad.
4. Asas-Asas Akad
Akad dilakukan berdasarkan asas:
a. Ikhtiyari/sukarela
Setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.
b. Amanah/menepati janji
Setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan
kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera janji.
c. Ikhtiyati/kehati-hatian
Setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.
d. Luzum/tidak berubah
Setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang
22 e. Saling menguntungkan
Setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktek manipulasi dan merugikan salah satu
pihak.
f. Taswiyah/kesetaraan
Para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
g. Transparansi
Setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.
h. Kemampuan
Setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.
i. Taisir/kemudahan
Setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada
masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.
j. Itikad baik
Akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.
k. Sebab yang halal
Setiap akad dilakukan tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang
23
l. Al-hurriyah/(kebebasan berkontrak)
m.Al-kitabah (tertulis)
5. Rukun Akad
Rukun akad terdiri atas: a. Pihak-pihak yang berakad
Pihak-pihak yang berakad adalah orang perseorangan, kelompok orang, persekutuan, atau badan usaha. Orang yang berakad harus cakap hukum, berakal dan tamyiz.
b. Obyek akad
Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan
oleh masing-masing pihak. Obyek akad harus suci, bermanfaat, milik sempurna, dan dapat diserah terimakan.
c. Tujuan pokok akad
Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.
d. Kesepakatan/sighat akad
Sighat akad dapat dilakukan dengan jelas, baik secara lisan, tulisan dan
atau perbuatan. 6. Kategori Hukum Akad
Hukum akad terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu:
a. Akad yang sah
Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
24
Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan
syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat.
c. Akad yang batal/batal demi hukum
Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun atau syarat-syaratnya
(KHES: 2008). 7. Macam-macam Akad
Macam-macam akad berdasarkan Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah Pasal 1 sebagai berikut:
a. Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal
permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.
b. Mudharabah adalah kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu
dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.
c. Muzaraah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap
untuk memanfaatkan lahan.
d. Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi
jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi
25
e. Musaqah adalah kerjasama antara pihak-pihak dalam pemeliharaan
tanaman dengan pembagian hasil antara pemilik dengan pemelihara tanaman dengan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang terikat.
f. Hawalah adalah pengalihan utang dari muhil al-ashil kepada muhal „alaih.Rahn/gadai adalah penguasaan barang milik peminjam oleh
pemberi pinjaman sebagai jaminan. 8. Berakhirnya Akad
Dan untuk berakhirnya akad dapat disebabkan karena fasakh,
kematian atau karena tidak adanya pihak lain dalam hal akad mauquf. a) Berakhirnya akad karena fasakh. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya
fasakh akad adalah sebagai berikut:
1) Fasakh karena adanya fasid (rusak)
2) Fasakh karena khiyar
3) Fasakh berdasarkan iqalah yaitu terjadinya fasakh akad karena
adanya kesepakatan kedua belah pihak.
4) Fasakh karena tidak ada realisasi.
5) Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan telah terealisasi.
b) Berakhirnya akad karena kematian.
c) Berakhirnya akad karena tidak adanya izin pihak lain. Akad akan berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenang tidak mengizinkan
26
9. Macam-macam akad dan sifat perjanjiannya
Macam-macam dan sifat perjanjian atau akad dalam islam dapat dibedakan menjadi:
a. Akad tanpa syarat, yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad tanpa memberikan batasan
b. Akad bersyarat, yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad.
c. „Aqad mudhaf, yaitu akad yang didalam pelaksanaannya terdapat
syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan.
(Nawawi, 2012: 26-27).
B. Akad Bersyarat (al-Uqud al-Mutaqabilah)
Al-Mutaqabilah menurut bahasa berarti berhadapan. Al-uqud al
mutaqabillah adalah akad bersyarat dalam bentuk akad kedua merespon akad
pertama, dimana kesempurnanan akad pertama bergantung pada sempurnanya
akad melalui proses timbal balik. Dengan kata lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya. Dalam tradisi fiqh, model akad seperti ini sudah
dikenal lama dan praktiknya sudah banyak. Banyak ulama telah membahas tema ini, baik yang berkaitan dengan hukumnya, atau model pertukarannya misalnya antara akad pertukaran (mu‟awadhah) dengan akad tabarru‟, antara akad tabarru‟ dengan akad tabarru‟ atau akad pertukaran dengan akad
pertukaran. Ulama biasa mendefinisikan model akad ini dengan akad
27
Hukum asal dari syara‟ adalah bolehnya melakukan akad bersyarat,
selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang
melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu,
kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati (Hasanudin, 2009: 3)
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang
oleh agama. Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya
setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah
atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya (Hasanudin, 2009: 3)
C. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antr seseorang atau
28
Beberapa ahli lain yang mengartikan perjanjian. Menurut Prof. Sri
soedewi masychoen sofwan yang memberikan batasan mengenai perjanjian adalah sebagai suatu perbuatan hukum dimana seorang atau
lebih mengikat diri seorang lain atau lebih. Sementara menurut Prof. Dr. R. Wirjono prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum
mengenai harta benda kekayaan antara kedua elah pihak, dimana sstu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menentukan pelaksanaan
perjanjian tesebut. (Aryani, 2012: 1-2).
Ada pula yang disebutkan oleh J.E. Spruit bahwa perjanjian
internasional mengandung aturan hukum dan oleh karenanya dinilai sebagai sumber hukum dalam artian formil. Dalam pembahasannya tentang sumber formil Bodenheimer memasukkan ke dalamnya ; (a)
perundangan/legislatif, (b) perundangan yang didelegasikan dan diotonomikan, (c) Perjanjian Internasional dan persetujuan lainnya dan, (d)
preseden. Disebutkan bahwa perjanjian internasional sebagai sumber hukum positif karena didasarkan dan bukan sisebabkan oleh kualitas
isinya. Karena itu, pengesahan perjanjian internasional oleh hukum nasional menjadi hal yang sangat penting. (Harjono, 1999: 83-84)
Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Menurut definisi perjanjian klasik, perjanjian adalah peruatan hukum bukan hubungan
29
suatu peruatan hukum satu orang mengikat dirinya dengan satu orang atau
lebih. (Aryani, 2012: 2)
Sementara menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne yang diartikan perjanjian adalah“suatu hubungan hukum atara dua pihak
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.” (Salim,
2003: 26).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak
atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hak dan kewajiban.
Berkaitan dengan objek perjanjian (pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata). Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal 1332 sampai dengan pasal 1334 (Mariam, 2006: 104) adalah:
a. Objek yang akan ada, asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.
b. Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian)
Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya, atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau yang tidak mungkin dilakukan, menjadi batal demi
30 2. Lahirnya Perjanjian
Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak
mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Sepakat adalah kesesuaian kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. (Subekti, 2001:26)
Kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada
beberapa macam teori / ajaran, (Salim, 2003:30-31) yaitu:
a. Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima
penawaran itu, misalnya saat menjatuhkan bolpoin untuk menyatakan menerima. Kelemahannya sangat teoretis karena dianggap terjadinya
kesepakatan secara otomatis.
b. Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat
kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. Kelemahannya adalah bagaimana hal itu bisa diketahui? Bisa saja walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak
yang menawarkan.
c. Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan
31
penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara
langsung). Kelemahannya, bagaimana ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.
d. Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
3. Syarat Sahnya Perjanjian a. Kesepakatan
Adapun untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan syarat (pasal
1320 KUH Perdata), yaitu :
1) Sepakat mereka mengikat dirinya, kesepakatan mereka yang
meningkatkan diri adalah asas yang esensial dari hukum perjanjian. Asas ini dinamakan juga asas Konsensualisme yang menentukan adanya perjanjian. Asas Konsensualisme yang terdapat dalam pasal
1320 KUH Perdata mengandung arti “Kemampuan” parapihak untuk saling berprestasi ada kemauan untuk saling mengikat diri.
2) Kecakapan diperlukan untuk membuat suatu perjanjian. Mengenai kecakapan, subekti menjelas kanbahwa seseorang adalah tidak
cakap apabila pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu membuat sendiri persetujuan-persetujuan dengan akibat-akibat hukum yang sempurna. Yang tidak cakap
anak-32
anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (
curatele ), dan orang sakitjiwa.
3) Suatu hal tetrtentu. Ini dimaksudkan bahwa hal tertentu adalah
objek yang diatur dalam perjanjian kredit tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi objek perjanjian, tidak boleh
samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada para pihak dan mencegah timbulnya perjanjian kredit yang fiktif. (Subekti,2003).
Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukan yang harus ada agar suatu perbuatan hukum dapat disebut dengan
perjanjian yang sah, yang meliputi : 1) Sepakat untuk mengikat diri
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3) Suatu hal tertentu 4) Sebab yang halal
Ada beberapa teori yang menjelaskan saat-saat terjadinya perjanjian antar pihak, (Soenandar, 2001: 73) yaitu:
1) Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.
2) Teori pengeriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu
33
3) Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa
pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui tawarannya diterima.
4) Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap
layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
Dalam hukum perjanjian ada empat sebab yang membuat kesepakatan tidak bebas, (Purwahid, 1994: 58) yaitu:
1) Kekhilafan terjadi apabila orang dalam suatu persesuaian kehendak mempunyai gambaran yang kliru mengenai orangnya dan mengenai
barangnya.
2) Paksaan dalam arti luas meliputi segala ancaman baik kata-kata atau tindakan. Orang yang di bawah ancaman maka kehendaknya tidak bebas
maka perjanjian dapat dibatalkan.
3) Penipuan dilakukan dengan sengaja dari pihak lawan untuk
mempengaruhi kke tujuan yang keliru atau gambaran yang keliru. Penipuan tidak sekedar bohong tetapi dengan segala upaya akal tipu
muslihat dengan kata-kata atau diam saja yang menimbulkan kekeliruan dalam kehendaknya.
4) Penyalah gunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau
seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang,
34
melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya
mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya. b. Kecakapan
Kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan
hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap.
Orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah sebagai berikut:
1) Orang-orang yang belum dewasa
Ketentuan mengenai orang-orang yang belum dewasa terdapat perbedaan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya,
(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4eec5db1d36b7/perbedaan-batasan-usia-cakap-hukum-dalam-peraturan-peraturan-undangan, diakses
pada tanggal 29 Agustus 2017) yaitu:
Dasar Hukum Pasal
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
Pasal 220
Yang belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak
35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Pasal 47
Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun.
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 1 angka 26
Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan
belas) tahun
UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak
Pasal 1
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1 angka 5
Anak adalah setiap manusia yang
berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
36 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Pasal 1 ayat (1)
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
4. Asas-asas dasar perjanjian
Menurut Herliene Budiono sebagaimana di kutip oleh Aryani (2012: 10-11), Syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUHPerdata
menetapkan bahwa suatu perjanjian tidak dapat dilepaskan dari tiga asas pokok, yaitu:
a. Asas konsensualisme, bahwa perjanjian tebentuk karena adanya
perjumpaan kehendak dai pihak-pihak. Perjaanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas, tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara
formil tetapi cukup melalui konsensus belaka.
b. Asas kekuatan mengikat perjanjian, asas kekuatan mengikat atau asas
pacta sunt servanda yang berarti bahwa janji itu mengikat.
Asas kebebasan berkontrak, bahwa para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat diuat perjanjian dan setiap orang bebas
mengikat diri dengan siapapun yang ia kehendaki. 5. Pelaksanaan perjanjian
37
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dan memberikan sesuatu. Ada dua
kemungkinan suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan, yaitu: (Aryani, 2012: 19)
a. Keadaan memaksa atau overmacht
Adalah suatu keadaan atau peristiwa yang tidak dapat diduga
sebelumnya akan terjadi sehingga menghalangi seorang debitur untuk melakukan prestasi. Keadaan tersebut diluar kesalahan debitur.
b. Wanprestasi
Adalah jika seorang debitur tidak melaksanakan sama sekali suatu prestasi atau keliru dalam melakukan suatu prestasi atau
terlambat melakukan suatu prestasi, seorang debitur tidak dapat melaksanakan prestasi dan tidak dapat membuktikan bahwa tidak dapat melaksanakan prestasi itu diluar kesalahanya atau karena adanya
overmacht maka debitur dalam hal ini adalah bersalah.
6. Batalnya perjanjian
Secara umum tentang pembatalan perrjanjian tidak mungkin dilaksanakan, sebab dasar perjanjian adalah kesepakatan kedua belah
pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut, namun demikian pembatalan perjanjian dapat dilakukan apabila: (Pasaribu dan Lubis, 1996: 4-6)
a. Jangka waktu perjanjian telah berakhir
Lazimnya suatu perjanjian selalu didasarrkan kepada jangka waktu tertentu (mempunyai jangka waktu yang terbatas), maka apabila
38
(langsung tanpa ada perbuatan hukum lain) batallah perjanjian yang
telah diadakan para pihak.
b. Salah satu pihak menyimpang dari apa yang diperjanjikan
Apabila salah satu pihak telah melakukan perbuatan menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan, maka pihak lain dapat
membatalkan perjanjian tersebut.
c. Jika ada bukti kelancangan dan bukti pengkhianatan (penipuan). Apabila salah satu pihak melakukan sesuatu kelancangan dan
telah ada bukti-bukti bahwa salah satu pihak mengadakan pengkhianatan terhadap apa yang telah diperjanjikan, maka perjanjian
yang telah diikat dapat dibatalkan oleh pihak lainnya. 7. Bentuk perjanjian
Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam yaiu secara
tertulis dan lisan, dan berikut adalah bentuk-bentuk perjanjian secara tertulis dan lisan.
Tertulis:
a. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh pihak
bersangkutan saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak dalam perjanjian , tetapi tidak memiliki kekuatan untuk mengikat pihak ketiga.
b. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan pihak. Fungsi notaris atas suatu dokumen semata-mata haya untuk melegalisir
39
c. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan pleh nitaris dalam bentuk akta
notaris. (Salim, 2003: 43) 8. Jenis perjanjian
Dalam perjanjian ada beberapa jenis perjanjian dan diantaranya adalah:
a. Perjanjian Menurut sumber hukum b. Perjanjian Menurut namaya
c. Perjanjian Menurut bentuk
d. Perjanjian Timbal balik
e. Perjanjian Cuma-Cuma atau denan alas yang membebani
f. Perjanjian berdasarkan sifatnya g. Perjanjian dari aspek larangannya 9. Suatu sebab yang halal dalam perjanjian
Suatu sebab yang halal maksudnya adalah isi suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan.Suatu sebab yang halal, berarti perjanjian termaksud harus dilakukan berdasarkan itikad baik.Berdasarkan Pasal 1335 KUHPerdata
ditentukan bahwa:
“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu
sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”
Suatu perjanjian tanpa sebab tidak mempunyai kekuatan, sebab dalam hal ini adalah tujuan dibuatnya sebuah perjanjian. Tujuan dari perjanjian
40
sedangkan isi perjanjian adalah yang dinyatakan tegas oleh kedua belah
pihak mengenai hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari hubungan hukum (perjanjian) yang dibuat oleh kedua belah pihak tersebut.
Kemudian ditambahkan dalam Pasal 1336 KUHPerdata ditentukan bahwa: “jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal
ataupun jika suatu sebab yang lain, daripada yang dinyatakan persetujuan
namun demikian adalah sah”
Pasal 1336 KUHPerdata menegaskan bahwa adanya kausa itu
menunjukkan adanya kejadian yang menyebabkan terjadinya suatu utang, begitu pula walaupun tidak dinyatakan suatu sebab, maka perjanjian itu
adalah sah. Sebab yang halal adalah mutlak untuk dipenuhi dalam mengadakan suatu perjanjian, pembuatan perjanjian tersebut haruslah didasari dengan itikad baik untuk mengadakan suatu pejanjian atau
kontrak, dalam Pasal 1337 KUHPerdata mengatur bahwa:
“suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang,
atau bertentangan dengan kesusilaan baik, atau ketertiban umum”
Penjelasan dari suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dalam
hukum positif adalah jika dalam undang-undang tidak memperbolehkan adanya perbuatan itu dan apabila dilanggar maka perbuatan itu akan mendapatkan sanksi yang tegas, sebagai contoh adalah tindak kejahatan
41 BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Profil Kelompok Tani Kelurahan Banyusri 1. Gambaran Umum Kelurahan Banyusri
a. Letak Geografis
Kelurahan Banyusri, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali Propinsi Jawa Tengah merupakan salah satu kelurahan yang terletak di
dekat balai desa Banyusri serta wilayahnya berada tidak jauh dari Kecamatan Wonosegoro. Desa Tlepat sendiri terbagi dalam 4 RW.
Adapun batas wilayah kelurahan Pulutan khususnya di wilayah 4 RW. adalah sebagai berikut :
1) Sebelah Barat : Desa Tlepat Barat
2) Sebelah Timur : Desa Tlepat Timur 3) Sebelah Selatan : Desa Karangboyo
4) Sebelah Utara : Desa Ngawen
Sebagian besar penduduk di Kelurahan Banyusri memiliki mata pencaharian sebagai Petani dengan comuditi penghasilannya adalah
padi, jagung, dan kacang. Selain itu terdapat juga ada Peternak kambing, sapi, dan ayam. Ada juga yang memilih untuk bekerja diluar daerah
42 b. Struktur Organisasi
c. Visi & Misi „”Visi”
Visi dalam hal ini adalah visi pemerintahan desa, yaitu visi
Kepala Desa. Visi pemeritahan desa pada dasarnya merupakan gambaran masa depan yang akan diwujudkan oleh pemerintah desa dalam periode
2014 - 2019 fungsi visi pemerintah desa, terutama sebagai arah bagi perjalanan pemerintah desa dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Visi bukan mimpi dan bukan slogan tetapi visi harus diwujudkan dan dapat diarahkan ketercapaiannya.
Berdasarkan masalah potensi dan harapan masa depan maka
pemerintah desa Madukara dalam periode 2014-2019 menetapkan visi sebagai berikut :
43
Dari visi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Mandiri
Kemandirian dalam hal ini meliputi 2 (dua) sisi yaitu pemerintah desa
dan masyarakat. Oleh karena itu ketercapaian kemandirian dapat dilihat dari adanya peningkatan kemampuan pemerintah desa dan
peningkatan kemampuan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan desa.
- Sejahtera
Dari uraian tersebut diatas, maka ketercapaian visi Kepala Desa dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Makin kuatnya kelembagaan pemerintahan desa.
2) Makin meningkatnya peran masyarakat dalam pembangunan. 3) Makin baiknya kebijakan-kebijakan pemerintah desa dalam
penyelengaraan pemerintahan desa.
4) Makin baiknya kualitas pembangunan desa.
5) Makin meningkatnya kesejahteraan kehidupan dari masyarakat “Misi”
Misi dalam hal ini adalah misi Kepala Desa. Misi pada dasarnya merupakan penjabaran atau operasionalisasi dari visi. Misi merupakan bidang bidang yang akan diarungi untuk menuju tercapainya visi yang
44
merupakan beban yang akan dipikul dan diselesaikan agar visi dapat
terwujud.
Untuk mewujudkan visi Kepala Desa sebagaimana rumusan
dimuka, maka dirumuskan misi (beban kinerja yang harus dilaksanakan) sebagai berikut :
1) Menyelenggarakan pemerintahan desa yang efisien, efektif, dan
bersih dengan mengutamakan masyarakat .
2) Meningkatkan sumber sumber pendanaan pemerintahan dan
pembangunan desa.
3) Mengembangkan pemberdayaan masyarakat dan kemitraan dalam
pelaksanaan pembangunan desa.
4) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan desa yang berkelanjutan.
5) Mengembangkan perekonomian desa.
6) Menciptakan rasa aman, tentram, dalam suasana kehidupan desa
yang demokratis dan agamis.
d. Lingkungan Desa Tlepat Barat 1) Sarana tempat ibadah
Desa Tlepat Barat memiliki 1 masjid, mushola sebanyak 5, dan tidak memiliki sarana tempat ibadah untuk
45
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa masyarakat Desa
Tlepat Barat sangat peduli akan sarana ibadah, serta dilihat dari banyaknya sarana tempat ibadah menunjukkan bahwa mayoritas
masyarakat beragama Islam. 2) Industri
Dikarenakan wilayah Desa Tlepat Barat terletak di daerah pertanian dan perkebunan, maka mayoritas warganya bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Akan tetapi, tidak semua
warga sebagai petani melainkan ada juga yang membuat home industry. Jenis-jenis industry tersebut diantaranya pembuatan tempe,
kripik singkong dan kripik pisang. Disamping itu ada juga industry yang berskala sedang yakni industry daur ulang (rosok), pembuatan perabotan rumah seperti lemari, kursi, meja, dan lain-lain, serta
peternak ayam dan kambing,
Banyaknya industri-industri yang didirikan oleh masyarakat
desa Tlepat Barat menunjukkan bahwa warga tidak hanya terpaku pada satu jenis mata pencaharian saja, melainkan menunjukkan
kreatifitas warga dalam berusaha (Wawancara, Dengan Bapak Muhammad Sukidi Selaku Lurah 4 Agustus 2017).
3) Sarana usaha
Selain sebagai petani dan peternak, masyarakat desa Tlepat banyak juga yang mendirikan took dirumahnya sendiri ataupun kios
46
Dilihat dari uraian diatas, masyarakat desa Tlepat Barat untuk
menopang kehidupan sehari-hari tidak hanya sebagai petani melainkan ada usaha sampainya seperti mendirikan kios.
e. Keagamaan
Kesadaran sebagian masyarakat untuk menjalankan ibadah cukup
tinggi, hal ini dapat dilihat dari banyaknya orang yang berbondong-bondong pergi ke masjid untuk sholat berjamaah ketika adzan dikumandangkan.
Praktik keagamaan masyarakat desa Tlepat Barat sudah diperkenalkan sejak dini, dengan cara datang ketempat belajar Al-Qur‟an.dan ilmu-ilmu agama diniyah mulai dari sore hingga malam hari.
Ibu-ibu desa Tlepat Barat mengadakan kegiatan rutin yakni berupa jamaah pengajian atau yasinan yang dilaksanakan setiap
seminggu sekali tepatnya setiap hari kamis malam jumat di masjid. Dari uraian diatas bisa dilihat bahwa masyarakat desa Tlepat
Barat memiliki kesadaran terhadap agama yang cukup bagus. Akan tetapi kepercayaan terhadap orang pintar atau dukun masih ada
meskipun hanya segelintir orang f. Kebudayaan
Kebudayaan merupakan sesuatu yang sudah melekat dalam