• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Secara Bersama-sama

Kata “pesertaan” berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana. Membaca rumusan tiap pasal ketentuan hukum pidana (strafbepaling) orang berkesimpulan bahwa dalam tiap tindak pidana hanya ada seorang pelaku tindak pidana yang akan terkena hukuman pidana. Ternyata dalam praktik sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam peristiwa tindak pidana. Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang turut serta. Hazawinkel-Suringa (halaman 230) menceritakan, bahwa dahulu kala perhatian hanya diarahkan kepada si pelaku saja dan baru pada penghabisan abad ke-18 dalam hukum pidana mulai diperhatikan sampai di mana juga orang-orang lain yang turut serta itu dapat dipertanggungjawabkan dan dikenakan hukuman (Wirjono Prodjodikoro,1989: 108).

Tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama berarti terdapat unsur ikut serta atau penyertaan. Penyertaan dalam tindak pidana atau turut serta melakukan tindak pidana artinya bersepakat dengan orang lain membuat rencana untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama melaksanakannya (kerjasama), sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP yang menentukan sebagai berikut:

1.1.Mereka yang melakukan, menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;

1.2.Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.

2. Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Unsur turut serta juga tercakup dalam pengertian “membantu melakukan tindak pidana”, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP yang menentukan sebagai berikut:

Dipidana sebagai orang yang membantu melakukan sesuatu kejahatan:

1. Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau

keterangan untuk melakukan kejahatan.

Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak pidana, yaitu: a. Yang melakukan perbuatan (plegen, dader),

b. Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke dader), c. Yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader),

e. Yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige) (Wirjono Prodjodikoro, 1989: 108-109).

Pada kenyataannya untuk menentukan seorang pembuat tunggal, tidaklah terlalu sukar. Kriterianya cukup jelas, secara umum perbuatannya ialah perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana. Bagi tindak pidana formil, wujud perbuatannya ialah sama dengan perbuatan apa yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Sedangkan dalam tindak pidana materil perbuatan apa yang dilakukannya telah menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang (Adami Chazawi, 2002: 82).

Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan perbuatan masing-masing sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu sama lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari masing-masing perbedaan itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, di mana perbuatan oleh yang satu menunjang perbuatan oleh yang lainnya yang semuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana (Adami Chazawi, 2002: 71).

R. Tresna menjelaskan bahwa peristiwa pidana dapat dilakukan oleh seseorang, akan tetapi dapat juga dilakukan oleh beberapa orang bersama-sama. Turut campur dari beberapa orang di dalam peristiwa pidana dapat merupakan kerja sama dalam mana bagian masing-masing dapat berlain-lainan sifatnya dan

bentuknya (R. Tresna, 1994: 88). Jonkers menjelaskan bahwa dihukum sebagai pembuat peristiwa pidana, ialah mereka yang melakukan perbuatan tersebut, atau turut serta melakukan (J.E. Jonkers, 1987: 176).

Disebut ada penyertaan apabila bukan satu orang saja yang tersangkut dalam terjadinya perbuatan pidana, akan tetapi ada beberapa orang. Meskipun demikian tidak semua orang yang tersangkut dalam terjadinya perbuatan pidana dinamakan peserta. Untuk itu dia harus memenuhi syarat-syarat seperti tersebut, yaitu sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan pidana atau membantu melakukan perbuatan pidana (Moeljatno, 1985: 63-64).

Utrecht menjelaskan, pelajaran umum turut serta ini, justru dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang meungkinkan pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan pembuat-yaitu perbuatan mereka tidak memuat semua anasir peristiwa pidana, masih juga mereka bertanggung jawab atas dilakukannya peristiwa pidana, karena tanpa turut sertanya mereka, sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi (Utrecht, 1965: 9).

Adami Chazawi menjelaskan, dalam praktiknya tindak pidana dapat diselesaikan oleh bergabungnya beberapa atau banyak orang, yang setiap orang melakukan wujud-wujud tingkah laku tertentu, dari tingkah laku mereka itulah melahirkan suatu tindak pidana. Pada peristiwa senyatanya, kadang sulit dan kadang juga mudah untuk menentukan siapa di antara mereka perbuatannya benar-benar telah memenuhi rumusan tindak pidana, artinya dari perbuatannya yang melahirkan tindak pidana itu (Adami Chazawi, 2002: 69).

Persoalan pokok dalam ajaran penyertaan ialah:

1. Pertama, mengenai diri orangnya, ialah orang yang yang mewujudkan perbuatan yang bagaimanakah dan atau yang bersikap batin bagaimana yang dapat dipertimbangkan dan ditentukan sebagai terlibat atau bersangkut paut tindak pidana yang diwujudkan oleh kerja sama lebih dari satu orang, sehingga dia patut dibebani tanggung jawab pidana dan dipidana?

2. Kedua, mengenai tanggung jawab pidana yang dibebannya masing-masing, ialah persoalan mengenai; apakah mereka para peserta yang terlibat itu akan dipertanggungjawabkan yang sama ataukah akan dipertanggungjawabkan secara berbeda sesuai dengan kuat tidaknya keterlibatan atau andil dari perbuatan yang mereka lakukan terhadap terwujudnya tindak pidana? (Adami Chazawi, 2002: 72).

Mengenai diri orangnya, dalam penyertaan ada 2 (dua) ajaran, yang subyektif dan obyaktif. Menurut ajaran subyektif yang bertitik tolak dan memberatkan pandangannya pada sikap batin pembuat, memberikan ukuran bahwa orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (penyertaan) ialah apabila dia berkehendak, mempunyai tujuan dan kepentingan untuk mewujudkan tindak pidana. Siapa yang berkehendak yang paling kuat dan atau mempunyai kepentingan yang paling besar terhadap tindak pidana itu, dialah yang membeban tanggung jawab pidana yang lebih besar (Adami Chazawi, 2002: 73).

Sebaliknya menurut ajaran obyektif, yang menitikberatkan pada wujud perbuatan apa serta sejauh mana peran dan andil serta pengaruh positif dari wujud perbuatan itu terhadap timbulnya tindak pidana yang dimaksudkan, yang menentukan seberapa berat tanggung jawab yang dibebannya terhadap terjadinya tindak pidana (Adami Chazawi, 2002: 73).

Apakah syaratnya seseorang dapat disebut sebagai ikut terlibat dan ikut bertanggung jawab dengan peserta lainnya di dalam mewujudkan tindak pidana? Menurut kenyataannya, dapatnya perbuatan seseorang dianggap terlibat bersama peserta lainnya dalam mewujudkan tindak pidana, disyaratkan sebagai berikut:

1. Dari sudut subyektif ada, ada 2 (dua) syaratnya, ialah:

a. Adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana. Di sini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana,

b. Adanya hubungan batin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara dirinya dengan peserta lainnya, dan bahkan dengan apa yang diperbuat oleh peserta lainnya.

2. Dari sudut obyektif, ialah bahwa perbuatan orang itu ada hubungan dengan terwujudnya tindak pidana, atau dengan kata lain wujud perbuatan orang itu secara obyektif ada perannya/pengaruh positif baik besar atau kecil, terhadap terwujudnya tindak pidana (Adami Chazawi, 2002: 75).

Mengenai tanggung jawab pidana yang dibebannya masing-masing, ialah menyangkut tentang sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana dalam penyertaan. Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada dua sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana, ialah:

1. Pertama, yang mengatakan bahwa setiap orang yang terlibat

bersama-sama ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan

dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian (dader) melakukan tindak pidana, tanpa dibeda-bedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun apa yang ada dalam sikap batinnya,

2. Kedua, yang mengatakan bahwa masing-masing orang yang bersama-sama terlibat ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan berbeda, yang berat ringannya sesuai dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang dalam mewujudkan tindak pidana (Adami Chazawi, 2002: 76).

Ketentuan pidana untuk pembantuan, seperti tercantum dalam Pasal 57 KUHP adalah sebagai berikut:

(1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.

(2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(3) Pidana tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan kejahatannya sendiri.

(4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 57 ayat (1) KUHP mengurangi maksimum hukuman pokok dalam hal membantu melakukan tindak pidana dengan sepertiga. Apalagi maksimum hukuman ini adalah hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka maksimum dalam hal medeplichtigheid ini dijadikan hukuman penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun (Wirjono Prodjodikoro, 1989: 119).

Dokumen terkait