• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana - RYANTORO NUGROHO BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana - RYANTORO NUGROHO BAB II"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan

dilarang yang disertai ancaman pidana pada barang siapa yang melanggar

larangan tersebut. Wadah tindak pidana ialah undang-undang, baik berbentuk

kodifikasi yakni KUHP dan di luar kodifikasi, tersebar dalam berbagai peraturan

perundang-undangan ( Adami Chazawi, 2002: 67).

Istilah “tindak pidana” digunakan sebagai pengganti kata “Strafbaarfeit” yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (W.v.S.). W.v.S tersebut tidak pernah memberi penjelasan tentang arti dari Strafbaarfeit, sehingga para sarjana memberikan istilah yang berbeda-beda.

Berikut ini adalah pendapat atau definisi beberapa sarjana tentang istilah

Strafbaarfeit: a. Moeljatno

Menggunakan istilah perbuatan pidana dengan pertimbangan bahwa

perbuatan itulah keadaan yang dimuat oleh seseorang atau barang sesuatu

yang dilakukan dan perbuatan itu menunjuk baik kepada akibatnya

maupun yang menimbulkan akibat (Moeljatno, 1980: 35).

b. Utrecht

Memakai istilah “peristiwa pidana” dengan alasan istilah “peristiwa”

(2)

c. Vos

Pengertian tindak pidana manusia yang oleh peraturan

perundang-undangan diberi hukuman menurut Vos sama dengan peristiwa pidana,

yaitu adalah suatu kelakuan. Dalam definisi Vos dapat dilihat

anasir-anasir sebagai berikut:

1. Suatu kelakuan manusia

Akibat anasir ini ialah hal peristiwa dan pembuat tidak dapat

dipisahkan yang satu dari yang lain.

2. Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan

(Pasal 1 ayat (1) KUHP) dilarang hukum dan diancam dengan

hukuman. Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang dan diancam

dengan hukuman, jadi tidak semua manusia yang melanggar

ketertiban hukum pidana adalah suatu peristiwa pidana (Utrecht,

1986: 252).

d. Satochid Kartanegara

Menerjemahkan strafbaarfeit dengan istilah delik, dengan memberikan alasan bahwa perumusan strafbaarfeit merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan hukuman (Satochid

Kartanegara: 74).

e. Prodjodikoro

Sedangkan menurut Wirdjono Prodjodikoro yang memakai istilah tindak

pidana, tindak pidana diartikan sebagai suatu perbuatan yang pelakunya

(3)

f. Lamintang

Perkataan “feit” itu sendiri di dalam Bahasa Indonesia berarti sebagian dari kenyatan atau een gedelte van de werkrlijkheid, sedang “strafbaar” berarti dapat dihukum sehingga secara harafiah perkataan “strafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyatan yang dapat

dihukum yang sudah barang tentu tidak tetap. Oleh karena kelak akan

kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia

sebagai pribadi dan kenyataan perbuatan ataupun tindakan (Lamintang,

1990: 175).

g. Pompe

Perkataan “strafbaarfeit” itu secara teoretis dapat dirumuskan sebagai pelanggaran norma yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja

telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman

adalah perlu demi terselenggaranya tata tertib hukum dan terjaminnya

kepentingan umum (Lamintang, 1990: 176).

h. Van Hatum

Peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang menyebabkan hal seseorang

(pembuat) mendapat hukuman atau dapat dihukum (Utrecht, 1986: 254).

i. Simons

Stafbaarfeit” itu sebagian suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang yang telah

(4)

dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (Lamintang,

1990: 176).

Dalam hukum pidana dikenal beberapa rumusan pengertian hukum pidana

atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah “Strafbaarfeit”. Sedangkan dalam perundang-undangan yang lain istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa

pidana, perbuatan pidana atau delik dengan unsur-unsur sebagai berikut:

Perbuatan:

a. Perbuatannya memenuhi rumusan undang-undang;

b. Bersifat melawan hukum.

Orang (berupa kesalahan/pertanggungjawaban);

a. Mampu bertanggung jawab;

b. Tidak ada alasan pemaaf (Sudarto, 2007: 23).

Dalam hukum pidana dikenal beberapa rumusan pengertian hukum pidana

atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah “Strafbaarfeit”. Sedangkan dalam perundang-undangan yang lain istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa

pidana, perbuatan pidana atau delik dengan unsur-unsur sebagai berikut:

Perbuatan:

a. Perbuatannya memenuhi rumusan undang-undang;

b. Bersifat melawan hukum.

Orang (berupa kesalahan/pertanggungjawaban);

c. Mampu bertanggung jawab;

(5)

Hukum pidana (menurut Van Apeldoorn dalam bukunya yang berjudul

Inleiding tot de studie van het Ned. Recht” terbitan tahun 1952 halaman 251-260), dibedakan dan diberikan arti:

a. Hukum pidana materil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang

oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, di mana perbuatan pidana

(strafbare feiten) itu mempunyai dua bagian yaitu:

1. Bagian obyektif merupakan suatu perbuatan atau sikap (nalaten) yang bertentangan dengan hukum positif, sehingga bersifat melawan hukum

yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas

pelanggarannya.

2. Bagian subyektif merupakan suatu kesalahan, yang menunjuk kepada

si pembuat (dader) untuk dipertanggungjawabkan menurut hukum. b. Hukum pidana formil yang mengatur cara hukum pidana materil dapat

dilaksanakan (Bambang Poernomo, 1985: 20).

Salah satu unsur dari tindak pidana adalah sifat melawan hukum. Perbuatan

dikatakan sebagai tindak pidana apabila memiliki sifat melawan hukum. Sudarto

menyatakan perbuatan dikatakan memiliki sifat melawan hukum apabila

perbuatan tersebut masuk dalam rumusan delik sebagaimana yang dirumuskan

dalam undang-undang. Pengertian perbuatan melawan hukum lebih luas dan

umum daripada kejahatan maupun pelanggaran (Sudarto, 2007:44).

Di Indonesia, sumber hukum utama hukum pidana terdapat dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana dan peraturan-peraturan hukum pidana lainnya,

(6)

hidup sebagai delik adat yang dalam praktik putusan pengadilan didasarkan

hubungan suatu delik adat dengan Undang-undang Darurat 1951 Nomor 1 Pasal 5

ayat (3) b (Bambang Poernomo, 1985: 23).

Setiap orang yang akan menjalankan Undang-undang Hukum Pidana,

sebagai yang berwenang hendaknya wajib memperhatikan asas hukumnya yang

dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyatakan: “Tiada suatu

perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam

undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu”. Ketentuan asas ini memuat

asas yang tercakup dalam rumusan: “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali”. Artinya tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan atas delik itu (Abdoel

Djamali, 2012: 179-180).

Simons menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana (delik) terdiri dari:

1) perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau

membiarkan);

2) diancam dengan pidana;

3) melawan hukum;

4) dilakukan dengan kesalahan;

5) orang yang melakukan mampu bertanggung jawab (Marlina, 2009: 75).

Pidana ialah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan

unsur terpenting dalam hukum pidana. Kita telah mengetahui, bahwa sifat dari

hukum ialah memaksa dan dapat dipaksakan, dan paksaan itu perlu untuk menjaga

(7)

memperbaiki keadan yang telah dirusaknya atau mengganti kerugian yang telah

disebabkannya. Menurut KUHP Pasal 10, hukuman atau pidana terdiri atas:

1. Pidana pokok (utama):

1.1.Pidana mati.

1.2.Pidana penjara:

1.2.1 Pidana seumur hidup.

1.2.2 Pidana penjara selama waktu tertentu (setinggi-tingginya 20

(dua puluh tahun) dan sekurang-kurangya 1 (satu) hari).

1.3.Pidana kurungan (sekurang-kurangya 1 (satu) hari dan

setinggi-tingginya 1 (satu) tahun)

1.4.Pidana denda.

2. Pidana tambahan:

2.1.Pencabutan hak-hak tertentu.

2.2.Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu.

2.3.Pengumuman keputusan hakim.

Hukuman-hukuman itu telah dipandang perlu agar kepentingan umum dapat

lebih baik terjamin keselamatannya (C. S. T. Kansil, 1989: 259-260).

Roeslan Saleh dan Sudarto menganggap suatu pidana adalah nestapa

terhadap pelaku dalam berbagai bentuk karena pelanggarannya. Selanjutnya Plato

dan Aristoteles mengatakan bahwa pidana itu dijatuhkan bukan karena telah

berbuat jahat melainkan agar jangan berbuat kejahatan lagi. Berdasarkan beberapa

pendapat para sarjana tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

(8)

1) Pidana yang diberikan harus merupakan suatu nestapa atau akibat-akibat

lain yang tidak menyenangkan;

2) Pidana itu diberikan harus kepada seseorang yang telah melakukan

pelanggaran terhadap peraturan;

3) Pidana itu dijatuhkan atas suatu perbuatan atau ditujukan kepada pelaku

pelanggaran atas perbuatannya;

4) Pidana itu harus dijatuhkan oleh lembaga/instansi yang berwenang yang

mewakili negara (Marlina, 2009: 123-124).

Secara ideal konsepsional, (Barda Nawawi Arif, dalam makalahnya yang

berjudul “Penegakan Hukum Pidana dalam Konteks Hukum dan Pembangunan

Nasional” yang disampaikan pada Stadium Generale, Fakultas Hukum Universitas

Islam Indonesia, Yogyakarta, Mei, 2007, halaman 9-10) dasar pembenaran atau

justifikasi pengenaan atau penjatuhan pidana tidak hanya pada “tindak pidana”

sebagai syarat obyektif dan “kesalahan” sebagai syarat subyektif, tetapi juga pada

“tujuan pemidanaan”. Pengenaan pidana bukan sekedar menetapkan; apakah

orangnya bersalah atau tidak; dan apakah pidana yang akan dijatuhkan sesuai

dengan tujuan pemidanaan (Mahrus Ali, 2012: 6).

E. Mezger mendefinisikan tindak pidana sebagai keseluruhan syarat untuk

adanya pidana. Menurutnya unsur tindak pidana terdiri dari adanya perbuatan,

perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau pasif), sifat melawan

hukum (baik bersifat objektif maupun yang bersifat subyektif), dapat

dipertanggungjawabkan kepada seseorang diancam dengan pidana (Marlina,

(9)

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan

hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak

pidana (Wirjono Prodjodikoro, 1989: 55).

Bahwa untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu akibat

tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain,

menandakan keharusan ada hubungan sebab-musabab (causal veerband) antara perbuatan si pelaku dan kerugian kepentingan tersebut. Maka di antara sarjana

hukum selalu ada pembahasan yang mendalam tentang sebab-musabab

(causalitas) pada umumnya, di bidang hukum pada khususnya, termasuk bidang hukum perdata dalam hal “perbuatan melawan hukum” (onrechtmatige daad) (Wirjono Prodjodikoro, 1989: 57).

Adapun teori-teori mengenai hubungan sebab-musabab di antaranya yaitu:

a. Teori conditio sine qua non (teori syarat mutlak) dari Von Buri (tahun 1869) yang mengatakan, suatu hal adalah suatu sebab dari suatu akibat

apabila akibat itu tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Teori ini

mengenal banyak sebab dari satu akibat.

b. Teori adequate veroorzaking (penyebab yang dapat dikira-kirakan) dari Von Bar (1870), diteruskan oleh Van Kriese, yang mengajarkan bahwa

suatu hal baru dapat dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menurut

pengalaman manusia dapat dikira-kirakan, bahwa sebab itu akan diikuti

oleh akibat itu. Menurut teori ini hanya ada satu yang dianggap sebagai

(10)

yang kebetulan mendahului atau mengikuti sebab yang sebenarnya

(Wirjono Prodjodikoro, 1989: 57-58).

Sudah menjadi pendapat umum bahwa hukum pidana merupakan bagian

dari hukum publik. Dengan kedudukan demikian kepentingan yang hendak

dilindungi oleh hukum pidana adalah kepentingan umum, sehingga kedudukan

negara dengan aparat penegak hukumnya menjadi dominan. Tidak sedikit para

ahli yang dengan tegas menyatakan bahwa hukum pidana memang merupakan

hukum publik. Moeljatno (dalam bukunya yang berjudul “Asas-Asas Hukum

Pidana, terbitan tahun 2008, halaman 2) mengatakan bahwa hukum pidana

digolongkan dalam golongan hukum publik, yaitu mengatur hubungan antara

negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum (Mahrus Ali,

2012: 6-7).

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Simons. Dia mengatakan bahwa

hukum pidana mengatur hubungan antara para individu sebagai anggota

masyarakat dengan warga negara, sehingga merupakan bagian dari hukum publik

(Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, 1990: 14).

Hukum pidana termasuk hukum publik karena pembentukan dan

pelaksanaan hukum pidana berhubungan erat dan eksistensi badan negara,

pernyataan tingkah laku yang dapat dipidana misalnya dinyatakan oleh badan

perundang-undangan. Demikian juga penuntutan perkara pidana dilakukan oleh

badan lembaga kejaksaan (Algra dkk, 1983: 302).

Ketentuan hukun pidana memang bersifat publik dan dimaksudkan untuk

(11)

misalnya tidak melapor terjadinya tindak pidana, polisi tetap berkewajiban untuk

menyidik dan memeriksa perkara tersebut, dan penuntut umum wajib menuntut

perkara tersebut di pengadilan. Walaupun sebagian besar kaidah-kaidah dalam

hukum pidana bersifat (hukum) publik, sebagian lagi bercampur dengan hukum

privat, dan hukum publik memiliki sanksi yang istimewa karena sifatnya yang

keras yang melebihi sanksi di bidang hukum lain, berdiri sendiri,dan kadangkala

menciptakan kaidah baru yang sifat dan tujuannya berbeda dengan kaidah hukum

yang telah ada (A. Zainal Abidin Farid, 2007: 12-13).

Sesuai dengan sifat sanksi pidana sebagai sanksi terberat atau paling keras

dibandingkan dengan jenis-jenis sanksi dalam berbagai bidang hukum yang lain,

idealnya fungsionalisasi hukum pidana haruslah ditempatkan sebagai upaya

terakhir (ultimum remidium). Penggunaan hukum pidana dalam praktik penegakan hukum seharusnya dilakukan setelah berbagai bidang hukum yang lain itu untuk

mengkondisikan masyarakat agar kembali kepada sikap tunduk dan patuh

terhadap hukum, dinilai tidak efektif lagi (Mahrus Ali, 2012: 11).

Fungsi hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam teori seringkali disebut

fungsi subsidiaritas. Artinya, penggunaan hukum pidana itu haruslah dilakukan

secara hati-hati dan penuh dengan berbagai perimbangan secara komprehensif.

Sebab selain sanksi hukum pidana yang bersifat keras, juga karena dampak

penggunaan hukum pidana yang dapat melahirkan penalisasi maupun stigmatisasi

yang cenderung negatif dan berkepanjangan (M. Abdul Kholiq, 2002: 24).

Secara komprehensif, makna penggunaan hukum pidana sebagai senjata

(12)

1. Jangan menggunakan hukum pidana secara emosional untuk melakukan

pembalasan semata.

2. Hukum pidana hendaknya jangan digunakan untuk memidana perbuatan

yang tidak jelas korban dan kerugiannya.

3. Hukum pidana jangan pula dipakai hanya untuk suatu tujuan yang pada

dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan

penggunaan hukum pidana tersebut.

4. Jangan menggunakan hukum pidana apabila hasil sampingan (by product) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikiminalisasi.

5. Jangan pula menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh

masyarakat secara kuat, dan kemudian janganlah menggunakan hukum

pidana apabila penggunannya diperkirakan tidak akan efektif

(unforceable).

6. Penggunaan hukum pidana juga hendaknya harus menjaga keserasian

antara moralis komunal, moralis kelembagaan dan moralis sipil, serta

memperhatikan pula korban kejahatan.

7. Dalam hal-hal tertentu, hukum pidana harus mempetimbangkan secara

khusus skala prioritas kepentingan pengaturan.

8. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan

secara serentak dengan sarana pencegahan yang bersifat non penal

(13)

Apabila hukum pidana dipilih sebagai sarana penanggulangan kejahatan,

maka harus dibuat secara terencana dan sistematis. Ini berarti bahwa memilih dan

menetapkan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan harus

memperhitungkan faktor yang dapat mendukung berfungsi dan bekerjanya hukum

pidana dalam kenyataannya (Barda Nawawi Arif, 1996: 37).

2. Tinjauan Umum tentang Penganiayaan

Aniaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perbuatan

dzalim, perbuatan menyiksa dengan kejam, perbuatan bengis, perbuatan

menindas. Penganiayaan berarti penindasan, penyiksaan, perbuatan menganiaya

(Tim Prima Pena, Tanpa Tahun: 59). Penganiayaan dalam Kamus Umum Bahasa

Indonesia yaitu perlakuan yang sewenang-wenang seperti penyiksaan, penindasan

dan lain sebagainya (W. J. S. Poerwadarminta, 1985: 48).

Penganiayaan merupakan suatu kejahatan terhadap badan seseorang di mana

hal ini merupakan perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi hidup

manusia. Anwar merumuskan bahwa penganiayaan dan turut serta dalam

penyerangan atau perkelahian merupakan suatu kejahatan yang dituju pada badan

atau tubuh manusia itu adalah delik materiil yang berarti bahwa akibat yang

timbul dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (Moch.

(14)

mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa

pada tubuh dapat menimbulkan kematian (Adami Chazawi, 2001: 7).

Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada 2 (dua)

macam, ialah:

1. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan

yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan

(mishandeling), dimuat dalam Bab XX buku II, Pasal 351 sampai dengan Pasal 358 KUHP).

2. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam Bab XXI buku

II Pasal 360 KUHP, yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai

menyebabkan orang lain luka (Adami Chazawi, 2001: 7).

Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan)

dapat dibedakan menjadi 6 (enam) macam, yakni:

1. Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP),

2. Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP),

3. Penganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP),

4. Penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP),

5. Penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP),

6. Penganiayaan dengan cara dan terhadap orang-orang yang berkualitas

tertentu yang memberatkan (Pasal 356 KUHP) (Adami Chazawi, 2001:

7-8).

Pasal 89 KUHP menyebutkan bahwa: “Yang disamakan melakukan

(15)

Melakukan kekerasan artinya: “mempergunakan tenaga atau kekuatan

jasmani tidak kecil secara tidak sah” misalnya memukul dengan tangan atau

dengan segala macam senjata, menyepak, menendang yang disamakan dengan

melakukan kekerasan, menurut pasal ini adalah membuat orang jadi pingsan atau

tidak berdaya. “Pingsan” artinya: ”tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya

sendiri” umpamanya memberi racun kecubung atau lain-lain obat, sehingga

orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa

yang terjadi akan dirinya. “Tidak berdaya” artinya: tidak mempunyai kekuatan

atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan

sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kaki tangannya, memberikan suntikan

sehingga orang itu lumpuh.orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui

apa yang terjadi pada dirinya (R. Soesilo, 1984: 98) .

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “kekerasan diartikan dengan perihal

yang bersifat, berciri khas, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau

matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau

ada paksaan (1989: 425). Menurut penjelasan ini, kekerasan itu merupakan wujud

perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau

penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah

berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang

dilukai (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001: 30).

Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah

pembentukan pasal dalam KUHP yang mengatur tentang penganiayaan, maka

(16)

untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) pada tubuh orang lain (Satochid Kartanegara: 509). Bagaimana pengertian penganiayan yang dianut

dalam praktik hukum? Walaupun pandangan dalam doktrin itu ada juga dianut

dalam praktik hukum, seperti tampak pada dalam arrest Hoge Raad (HR) tanggal 25-6-1894 yang menyatakan bahwa penganiayaan adalah dengan sengaja

menimbulkan rasa sakit atau luka. Kesengajaan harus dicantumkan dalam surat

tuduhan (Soenarto Soerodibroto, 1994: 211).

Pandangan dalam doktrin yang mendasarkan pada sejarah pembentukan

pasal yang bersangkutan dalam arrest lainnya tidak dianut secara utuh, hal ini berhubung karena pengertian menurut doktrin terlalu luas. Berdasarkan pengertian

dalam doktrin tadi, maka perbuatan seperti seorang guru atau orang tua yang

memukul anak, atau dokter yang melukai sebagian tubuh pasien dalam rangka

pelaksaan operasi untuk menyembuhkan suatu penyakit adalah termasuk juga

dalam pengertian penganiayaan (Adami Chazawi, 2001: 11).

Arrest HR lainnya yang memberikan penafsiran secara lebih sempurna yang dapat menghilangkan kelemahan pandangan dalam doktrin tadi, adalah arrest HR (10-2-1902) yang menyatakan bahwa “Jika menimbulkan luka atau sakit pada

tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu

tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas

yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak” (Soenarto

Soerodibroto, 1994: 212).

(17)

untuk mencapai suatu tujuan lain, dan di dalam menggunakan akal itu tidak sadar

bahwa ia melewati batas-batas yang wajar” (R. Tresna, 1959: 222). Berdasarkan

doktrin dan pendapat dari arrest-arrest HR yang telah dikemukakan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan perihal arti penganiayaan, ialah suatu

perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa

sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan

tujuan si petindak (Adami Chazawi, 2001: 12).

Pengertian seperti yang baru disebutkan di atas itulah yang banyak dianut

dalam praktik hukum selama ini. Dari pengertian di atas tersebut, maka

penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Adanya kesengajaan,

b. Adanya perbuatan,

c. Adanya akibat perbuatan (dituju) yakni:

1) Rasa sakit, tidak enak pada tubuh,

2) Lukanya tubuh,

d. Akibat menjadi tujuan satu-satunya (Adami Chazawi, 2001: 12).

Penganiayaan berat, masih menurut Adami Chazawi, mempunyai

unsur-unsur sebagai berikut:

a. Kesalahannya: kesengajaan (opzettelijk), b. Perbuatan: melukai berat,

c. Obyeknya: tubuh orang lain,

(18)

Perbuatan melukai berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan luka berat pada tubuh orang lain, haruslah

dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan (opzettelijk) di sini haruslah diartikan secara luas, artinya termasuk dalam ketiga bentuk kesengajaan.

Pandangan ini didasarkan pada keterangan bahwa MvT yang menyatakan

bahwa apabila dalam rumusan tindak pidana dirumuskan unsur kesengajaan,

maka kesengajaan itu harus diartikan ketiga bentuk kesengajaan (Adami

Chazawi, 2001; 32).

Dalam kekerasan terhadap anak dikenal istilah abuse. Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau

perlakuan salah. Dalam hal ini Richard J. Gelles mengartikan child abuse sebagai “intentional acts that result in physical or emotional harm to children. The term child abuse covers a wide range of behavior, from actual physical assault by parents or other adults caretakers to neglact at a child’s basic needs” (Kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau

bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah child abuse

meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara

langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran

kebutuhan-kebutuhan dasar anak) (Abu Huraerah, 2007; 36).

Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 tidak

menyebutkan definisi penganiayaan terhadap anak secara jelas. Undang-undang

tersebut hanya mencantumkan dalam Pasal 1 angka 15, bahwa:

(19)

kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Sementara itu Barker mempunyai pendapat yang agak berbeda tentang

kekerasan tehadap anak. Baker mendefinisikan kekerasan terhadap anak adalah

tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak

yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali,

degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan

para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak (Abdul Wahid,

2001; 31).

Berikut ini adalah ketentuan mengenai penganiayaan terhadap anak

sebagaimana tercantum dalam Pasal 80 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak:

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka

pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

(20)

Adapun Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Tindak-Tindak Pidana

Tertentu di Indonesia” mengemukakan bahwa istilah luka berat menurut Pasal 90

KUHP sebagai berikut:

a. Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan

sempurna atau yang menimbulkan bahaya maut (levens gevaar),

b. Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau

pencaharian,

c. Kehilangan kemampuan memakai salah satu pancaindera,

d. Kekudung-kudungan,

e. Kelumpuhan,

f. Gangguan selama lebih dari empat minggu,

g. Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih berada di dalam

kandungan (Wirjono Prodjodikoro, 2003: 69).

Menurut R. Sugandhi, penjelasan Pasal 90 KUHP tentang luka berat atau

luka parah antara lain ialah:

a. Penyakit atau luka yang tak mungkin dapat sembuh dengan sempurna

atau dapat mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau luka yang

bagaimanapun besarnya, bila masih dapat disembuhkan dengan

sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut, tidak dapat digolongkan

dengan luka berat (dalam hal ini dokter yang dapat menerangkan),

b. Selalu tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan. Apabila

keadaan tidak cakap melakukan pekerjaan itu hanya sementara, tidak

(21)

kerongkongannya sehingga tidak dapat menyanyikan lagu untuk

selama-lamanya, termasuk luka berat,

c. Tidak dapat menggunakan salah satu pancaindera. Pancaindera ialah:

pengelihatan, penciuman, pendengaran, apa yang dirasakan oleh lidah

dan rasa yang terdapat di seluruh tubuh. Orang yang menjadi buta

sebelah matanya dan atau sebelah telinganya, belum dapat digolongkan

sebagai luka berat, karena dengan, misalnya hidungnya rompong, daun

telinga putus, ia masih dapat melihat dan dengan telinga yang lain ia

masih dapat mendengar,

d. Perubahan tubuh menjadi buruk karena kehilangan atau rusak anggota

tubuhnya, jari tangan atau jari kaki teriris dan sebagainya,

e. Tidak dapat mengerakkan anggota tubuh (lumpuh),

f. Berubah pikiran lebih dari empat minggu. Pikiran terganggu, kacau, tidak

dapat berpikir dengan normal. Untuk dapat digolongkan dengan luka

berat, maka keadaan ini harus berjalan lebih dari empat minggu. Apabila

kurang dari empat minggu, belum dapat dikatakan luka berat,

g. Gugurnya atau matinya anak yang dikandung seorang ibu.

Selain ketujuh macam yang sudah diterangkan di atas, masih banyak lagi

luka lain yang dapat digolongkan sebagai luka berat, yang biasa diterangkan

oleh dokter di dalam visum et repertum (R. Sugandhi, 1981: 108-109).

Asumsi yang muncul dan berlaku general, bahwa setiap modus kekerasan

itu merupakan wujud pelanggaran hak-hak asasi manusia, artinya berbagai bentuk

(22)

orang lain. Kerugian yang menimpa sesama secara fisik maupun non-fisik inilah

yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia (Abdul Wahid dan

Muhammad Irfan, 2001: 30).

3. Tinjauan Umum tentang Anak

Anak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keturunan dari ayah

dan ibu, manusia yang berusia sedikit dan manusia yang masih kecil (Tim Prima

Pena, Tanpa Tahun: 47). Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, anak yaitu

turunan yang kedua, bisa juga manusia yang masih kecil (W. J. S.

Poerwadarminta, 1985: 38).

Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian anak di mata hukum

positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa

(minderjarige/person under age). Orang yang di bawah umur/keadaan di bawah umur (minderjangheid/inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige ondervoodij), maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut di atas ternyata hukum Indonesia tidak mengatur adanya

unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria

batasan umur bagi seorang anak (Lilik Mulyadi, 2005: 4).

Menurut Bisman Siregar dalam bukunya yang berjudul “Berbagai Segi

Hukum dan Perkembangannya dalam Masyarakat” menyebutkan bahwa

berdasarkan agama Islam tentang kedewasaan seseorang ialah bukan dengan usia

(23)

pria, bilaman ia bermimpi di malam hari, dan bagi wanita, bilamana ia sudah

datang bulan (Bisman Siregar, 1983: 184).

Berikut ini akan disebutkan beberapa pengertian tentang anak menurut

berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia di antaranya

yaitu:

a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Pasal 330 BW menyatakan bahwa “Belum dewasa adalah mereka yang

belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan belum melakukan

perkawinan.”

b) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 45, anak didefinisikan sebagai seseorang belum dikatakan dewasa

apabila seseorang tersebut belum berumur 16 (enam belas) tahun.

c) Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Dalam Pasal 1 ayat (2), anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Hal

ini dijelaskan bahwa batas umur 21 tahun, karena berdasarkan

pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan

sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai

pada umur tersebut.

d) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 1 angka 5 meyebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah:

(24)

tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan

apabila hal itu adalah demi kepentingannya.”

e) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Definisi anak Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa “Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan.” Di antara undang-undang yang lain,

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini

lebih limitatif dalam membatasi pengertian anak dengan memasukkan

anak yang dalam kandungan sebagai kategori anak juga

(http://rusmilawati.wordpress.com).

f) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, anak adalah setiap orang yang belum

berumur/di bawah 18 (delapan belas) tahun.

g) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

Menurut Pasal 1 ayat (4) mendefinisikan bahwa “anak yang menjadi

korban tindak pidana uang selanjutnya disebut anak korban adalah anak

yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami

penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan

oleh tindak pidana.

h) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pengertian anak tidak diartikan secara lebih jelas, namun pengertian dari

(25)

usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau di bawah perwalian

sebelum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dapat diartikan bahwa

pengertian anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan

belas) tahun.

Pandangan anak dalam pengertian agama sesuai dengan pandangan Islam

yaitu titipan Alloh Swt yang harus diperlakukan secara manusiawi dan diberi

pendidikan, pengajaran, keterampilan. Pengertian ini memberikan atau melahirkan

hak-hak yang harus diakui, diyakini dan diamankan sebagai implementasi

amalan-amalan yang diterima oleh anak dari orang tua, masyarakat, bangsa dan negara

(Maulana Hasan Wadong, 2000; 10).

Kedudukan anak dalam pengertian sosiologis memposisikan anak sebagai

kelompok sosial yang berstatus lebih rendah dari masyarakat di lingkungan

tempat interaksi. Status sosial yang dimaksud ialah ditujukan pada kemampuan

menerjemahkan ilmu dan teknologi sebagai ukuran interaksi yang dibentuk dari

kemampuan berkomunikasi sosial yang berada pada skala paling rendah.

Pengelompokan pengertian anak dalam makna sosial lebih mengarahkan pada

perlindungan kodrati karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh sang

anak sebagai wujud untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa (Hasan

Maulana Wadong, 2000; 10).

Dalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak secara umum dikatakan, “Anak adalah amanah sekaligus

karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam

(26)

dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang

termuat dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi berbangsa dan bernegara, anak adalah

masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta

berhak atas perlindungan atas tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil

dan kebebasan (Mohammad Taufik Makarao dkk., 2013; 105)

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan

kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi

perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu

masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai

bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat (Maidin Gultom, 2010: 33).

Perlindungan hukum bagi anak secara umum mencakup berbagai bidang di

bawah ini, antara lain:

1) Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak,

2) Perlindungan anak dalam proses peradilan,

3) Perlindungan kesejahteraan anak (di dalam lingkungan keluarga,

pendidikan dan lingkungan sosial),

4) Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan

kemerdekaan,

5) Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan,

(27)

penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam malakukan

kejahatan, dan sebagainya),

6) Perlindungan terhadap anak jalanan,

7) Perlindungan anak dari akibat peperangan dan konflik bersenjata,

8) Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan (Faisal Salam, 2005; 5).

Perlindungan anak dilihat dari segi pembinaan generasi muda adalah bahwa

pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional

dan juga menjadi sarana guna tercapainya tujuan Pembangunan Nasional. Tujuan

Pembangunan Nasional yaitu masyarakat adil dan makmur serta aman dan sentosa

berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dengan wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dalam ketertiban pergaulan internasional yang

damai, adil dan merdeka (Wagiati Soetedjo, 2006: 62).

Sedangkan konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas,

dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas jiwa

dan raga si anak. Perlindungan anak mencakup pula perlindungan atas semua hak

serta kepentingannya yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang

wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosialnya, sehingga diharapkan anak

Indonesia akan berkembang menjadi orang dewasa Indonesia yang mampu dan

mau berkarya untuk mencapai dan memelihara tujuan Pembangunan Nasional

tersebut di atas (Wagiati Soetedjo, 2006: 62).

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak disebutkan bahwa: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan

(28)

berkembang dan berprestasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” (Maidin

Gultom, 2010: 34).

Dalam Pasal 59 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dirumuskan sebagai berikut:

Pemerintah dan lembaga lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Perwujudan pelaksanaan pelayanan terhadap anak korban kejahatan ini

adalah mengusahakan pencegahan terjadinya korban serta pengambilan tindakan

pemberian bantuan, pendampingan kepada para korban dalam penyelesaian

permasalahan dengan usaha-usaha sebagai berikut:

1. Memberikan bantuan dan mendampingi pihak korban dalam mengatasi

permasalahan bersama lembaga-lembaga sosial, instansi yang berkaitan.

Misalnya petugas pelayanan terhadap anak korban kejahatan

mendampingi anak atau pihak anak melapor ke polisi, mencari bantuan

medis pertama, meminta bantuan hukum, membantu mengusahakan

pengamanan korban, menghubungi orang tua, keluarga, guru dan

sebagainya,

2. Mendampingi atau mengusahakan pendampingan bersama oleh orang

(29)

3. Memberikan bantuan pertama material (keperluan primer) sesuai dengan

kemampuan pusat pelayanan ini,

4. Mengembangkan kegiatan lain yang dapat mendukung pemberian

pelayanan kepada para korban bersama-sama dengan badan pemerintah

maupun non pemerintah,

5. Membantu memberikan informasi dan bimbingan kepada anggota

masyarakat untuk memberikan motivasi dan berpartisipasi dalam

pelayanan terhadap anak korban kejahatan sesuai dengan kemampuan,

6. Memantau tindakan-tindakan yang telah diambil oleh yang bersangkutan,

7. Membuat laporan kegiatan dan keuangan,

8. Melakukan kegiatan ilmiah dan meningkatkan pelayanan kepada pihak

korban dan para partisipan lainnya,

9. Menganalisis hasil dan hambatan usaha-usaha yang telah dikerjakan,

10. Melakukan penelitian untuk membuat pola peningkatan pelayanan yang

lebih sempurna. Misalnya, hasil penelitian diolah dan dijadikan buku

pegangan mencegah dan mengatasi viktimisasi (Arif Gosita,

2004; 263).

Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 (lima belas) tahun ke bawah. Sedangkan

menurut Konvensi Hak Anak disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia

18 (delapan belas) tahun ke bawah. UNICEF mendefinisikan anak sebagai

penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-undang RI

(30)

mereka yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum menikah (Abu

Huraerah, 2007; 47).

4. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Secara Bersama-sama

Kata “pesertaan” berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu

seorang lain melakukan suatu tindak pidana. Membaca rumusan tiap pasal

ketentuan hukum pidana (strafbepaling) orang berkesimpulan bahwa dalam tiap tindak pidana hanya ada seorang pelaku tindak pidana yang akan terkena

hukuman pidana. Ternyata dalam praktik sering terjadi lebih dari seorang terlibat

dalam peristiwa tindak pidana. Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa

orang lain yang turut serta. Hazawinkel-Suringa (halaman 230) menceritakan,

bahwa dahulu kala perhatian hanya diarahkan kepada si pelaku saja dan baru pada

penghabisan abad ke-18 dalam hukum pidana mulai diperhatikan sampai di mana

juga orang-orang lain yang turut serta itu dapat dipertanggungjawabkan dan

dikenakan hukuman (Wirjono Prodjodikoro,1989: 108).

Tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama berarti terdapat unsur

ikut serta atau penyertaan. Penyertaan dalam tindak pidana atau turut serta

melakukan tindak pidana artinya bersepakat dengan orang lain membuat rencana

untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama

melaksanakannya (kerjasama), sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP yang

menentukan sebagai berikut:

(31)

1.1.Mereka yang melakukan, menyuruh lakukan, dan yang turut serta

melakukan tindak pidana itu;

1.2.Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,

ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana

atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan

tindak pidana itu.

2. Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja

yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Unsur turut serta juga tercakup dalam pengertian “membantu melakukan

tindak pidana”, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP yang menentukan

sebagai berikut:

Dipidana sebagai orang yang membantu melakukan sesuatu kejahatan:

1. Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan

dilakukan;

2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau

keterangan untuk melakukan kejahatan.

Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak pidana, yaitu:

a. Yang melakukan perbuatan (plegen, dader),

b. Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke dader), c. Yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader),

(32)

e. Yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige) (Wirjono Prodjodikoro, 1989: 108-109).

Pada kenyataannya untuk menentukan seorang pembuat tunggal, tidaklah

terlalu sukar. Kriterianya cukup jelas, secara umum perbuatannya ialah

perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana. Bagi tindak pidana

formil, wujud perbuatannya ialah sama dengan perbuatan apa yang dicantumkan

dalam rumusan tindak pidana. Sedangkan dalam tindak pidana materil perbuatan

apa yang dilakukannya telah menimbulkan akibat yang dilarang oleh

undang-undang (Adami Chazawi, 2002: 82).

Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik

dengan melakukan perbuatan masing-masing sehingga melahirkan suatu tindak

pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan tindak

pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu sama lain, demikian

juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak

pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari masing-masing perbedaan

itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, di mana perbuatan

oleh yang satu menunjang perbuatan oleh yang lainnya yang semuanya mengarah

pada satu ialah terwujudnya tindak pidana (Adami Chazawi, 2002: 71).

R. Tresna menjelaskan bahwa peristiwa pidana dapat dilakukan oleh

seseorang, akan tetapi dapat juga dilakukan oleh beberapa orang bersama-sama.

Turut campur dari beberapa orang di dalam peristiwa pidana dapat merupakan

(33)

bentuknya (R. Tresna, 1994: 88). Jonkers menjelaskan bahwa dihukum sebagai

pembuat peristiwa pidana, ialah mereka yang melakukan perbuatan tersebut, atau

turut serta melakukan (J.E. Jonkers, 1987: 176).

Disebut ada penyertaan apabila bukan satu orang saja yang tersangkut dalam

terjadinya perbuatan pidana, akan tetapi ada beberapa orang. Meskipun demikian

tidak semua orang yang tersangkut dalam terjadinya perbuatan pidana dinamakan

peserta. Untuk itu dia harus memenuhi syarat-syarat seperti tersebut, yaitu sebagai

orang yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan pidana atau

membantu melakukan perbuatan pidana (Moeljatno, 1985: 63-64).

Utrecht menjelaskan, pelajaran umum turut serta ini, justru dibuat untuk

menuntut pertanggungjawaban mereka yang meungkinkan pembuat melakukan

peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir

peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan pembuat-yaitu perbuatan mereka

tidak memuat semua anasir peristiwa pidana, masih juga mereka bertanggung

jawab atas dilakukannya peristiwa pidana, karena tanpa turut sertanya mereka,

sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi (Utrecht, 1965: 9).

Adami Chazawi menjelaskan, dalam praktiknya tindak pidana dapat

diselesaikan oleh bergabungnya beberapa atau banyak orang, yang setiap orang

melakukan wujud-wujud tingkah laku tertentu, dari tingkah laku mereka itulah

melahirkan suatu tindak pidana. Pada peristiwa senyatanya, kadang sulit dan

kadang juga mudah untuk menentukan siapa di antara mereka perbuatannya

benar-benar telah memenuhi rumusan tindak pidana, artinya dari perbuatannya

(34)

Persoalan pokok dalam ajaran penyertaan ialah:

1. Pertama, mengenai diri orangnya, ialah orang yang yang mewujudkan

perbuatan yang bagaimanakah dan atau yang bersikap batin bagaimana

yang dapat dipertimbangkan dan ditentukan sebagai terlibat atau

bersangkut paut tindak pidana yang diwujudkan oleh kerja sama lebih

dari satu orang, sehingga dia patut dibebani tanggung jawab pidana dan

dipidana?

2. Kedua, mengenai tanggung jawab pidana yang dibebannya

masing-masing, ialah persoalan mengenai; apakah mereka para peserta yang

terlibat itu akan dipertanggungjawabkan yang sama ataukah akan

dipertanggungjawabkan secara berbeda sesuai dengan kuat tidaknya

keterlibatan atau andil dari perbuatan yang mereka lakukan terhadap

terwujudnya tindak pidana? (Adami Chazawi, 2002: 72).

Mengenai diri orangnya, dalam penyertaan ada 2 (dua) ajaran, yang

subyektif dan obyaktif. Menurut ajaran subyektif yang bertitik tolak dan

memberatkan pandangannya pada sikap batin pembuat, memberikan ukuran

bahwa orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih

dari satu orang (penyertaan) ialah apabila dia berkehendak, mempunyai tujuan dan

kepentingan untuk mewujudkan tindak pidana. Siapa yang berkehendak yang

paling kuat dan atau mempunyai kepentingan yang paling besar terhadap tindak

pidana itu, dialah yang membeban tanggung jawab pidana yang lebih besar

(35)

Sebaliknya menurut ajaran obyektif, yang menitikberatkan pada wujud

perbuatan apa serta sejauh mana peran dan andil serta pengaruh positif dari wujud

perbuatan itu terhadap timbulnya tindak pidana yang dimaksudkan, yang

menentukan seberapa berat tanggung jawab yang dibebannya terhadap terjadinya

tindak pidana (Adami Chazawi, 2002: 73).

Apakah syaratnya seseorang dapat disebut sebagai ikut terlibat dan ikut

bertanggung jawab dengan peserta lainnya di dalam mewujudkan tindak pidana?

Menurut kenyataannya, dapatnya perbuatan seseorang dianggap terlibat bersama

peserta lainnya dalam mewujudkan tindak pidana, disyaratkan sebagai berikut:

1. Dari sudut subyektif ada, ada 2 (dua) syaratnya, ialah:

a. Adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang

hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan

pada terwujudnya tindak pidana. Di sini, sedikit atau banyak ada

kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana,

b. Adanya hubungan batin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara

dirinya dengan peserta lainnya, dan bahkan dengan apa yang diperbuat

oleh peserta lainnya.

2. Dari sudut obyektif, ialah bahwa perbuatan orang itu ada hubungan

dengan terwujudnya tindak pidana, atau dengan kata lain wujud

perbuatan orang itu secara obyektif ada perannya/pengaruh positif baik

besar atau kecil, terhadap terwujudnya tindak pidana (Adami Chazawi,

(36)

Mengenai tanggung jawab pidana yang dibebannya masing-masing, ialah

menyangkut tentang sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana dalam

penyertaan. Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada dua sistem pembebanan

pertanggungjawaban pidana, ialah:

1. Pertama, yang mengatakan bahwa setiap orang yang terlibat

bersama-sama ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan

dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian

(dader) melakukan tindak pidana, tanpa dibeda-bedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun apa yang ada dalam sikap

batinnya,

2. Kedua, yang mengatakan bahwa masing-masing orang yang

bersama-sama terlibat ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan

dipertanggungjawabkan berbeda, yang berat ringannya sesuai dengan

bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang dalam

mewujudkan tindak pidana (Adami Chazawi, 2002: 76).

Ketentuan pidana untuk pembantuan, seperti tercantum dalam Pasal 57

KUHP adalah sebagai berikut:

(1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.

(2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(3) Pidana tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan kejahatannya sendiri.

(37)

Pasal 57 ayat (1) KUHP mengurangi maksimum hukuman pokok dalam hal

membantu melakukan tindak pidana dengan sepertiga. Apalagi maksimum

hukuman ini adalah hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka

Referensi

Dokumen terkait

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Materinya meliputi: Kebijakan Penerbitan dan Akreditasi Jurnal; Isi dan Format Jurnal Ilmiah; Manajemen Jurnal Ilmiah; Mekanisme dan Teknik Penyuntingan Artikel Jurnal;

Masyarakat saat ini mengalami banyak peningkatan terhadap kebutuhan konsumsi energi listrik, namun ada kalanya dilakukan pemeliharaan trafo distribusi tersebut artinya

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Minahasa Menurut Jenis Pendapatan (juta rupiah), 2012-2015. Sumber: Kabupaten Minahasa Dalam Angka

[r]