• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DAN TINDAK PIDANA PEMILU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DAN TINDAK PIDANA PEMILU"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

20 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DAN TINDAK PIDANA PEMILU

2.1 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 2.1.1 Pengertian pertanggungjawaban pidana

Dalam pertanggungjawaban pidana, terdapat dua pandangan, yaitu pandangan yang monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan yang monistis dikemukakan oleh Simon yang merumuskan strafbaar feit sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya.27

Menurut aliran monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan, yang lazim disebut sebagai unsur objektif maupun unsur pembuat yang lazimnya dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu, disatukannya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya maka dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika strafbaar feit terjadi maka sudah pasti pelakunya dapat dipidana.28

Pandangan dualistis pertama kali digunakan oleh Herman Kontorowics, dimana beliau menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan yang ketika itu berkuasa yang oleh beliau dinamakan “objektive schuld”, oleh karena

27Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 185.

(2)

21

kesalahan disitu dipandang sebagai sifat daripada kelakukan (merkmal del handlung).29 Pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan dualistis, tindak pidana hanya mencakup criminal act sedangkan criminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana, oleh karena itu untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan hukum tanpa adanya suatu dasar pembenar.30

Elemen terpenting dari pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan. Dengan unsur kesalahan, pelaku tindak pidana tidak semua dapat dijatuhi pidana, hal ini sesuai dengan asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah “geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sit rea” yang artinya tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.31 Asas ini tidak terumuskan dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tak tertulis yang juga di Indonesia berlaku.32

Roeslan Saleh berpendapat bahwa, pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar untuk adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya suatu perbuatan adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pelaku perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam

29Ibid, h.64.

30

Lamintang, loc.cit.

31Marhus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 155. 32

(3)

22

melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut pada pertanggungjawaban pidana.33

Oleh karena kesalahan merupakan penentu dalam menentukan pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana. Maka untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur, yaitu :

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat;

2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut sebagai bentuk kesalahan;

3. Tidak ada alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.34 2.1.2 Pengertian korporasi

Dalam sistem hukum Perdata Belanda yang sampai saat ini masih dianut oleh sistem hukum di Indonesia, maka dikenal sebagai subjek hukum terbagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu, pertama manusia (persoon) dan kedua, badan hukum (rechtpersoon). Dari pembagian subyek hukum tersebut, apabila korporasi ini merupakan suatu subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, maka korporasi termasuk dalam kualifikasi badan hukum (rechtpersoon).

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum perdata sebagai badan hukum. Badan hukum dalam bahasa belanda disebut recht persoon atau

33Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana:Dua Pegertian

Dasar Dalam Hukum Pidana, Centra, Jakarta, h. 57.

34

(4)

23

dalam bahasa Inggris disebut legal person atau legal body.35 Terminologi korporasi sangat erat kaitannya dengan bidang keperdataan. Oleh karenanya pengertian korporasi tidak bisa dilepaskan dari bidang hukum perdata. Secara etimologi kata korporasi berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa latin. Corporatio sebagai kata benda, berasal dari kata kerja corporare. Corporare itu sendiri berasal dari kata “corpus” dalam bahasa Indonesia adalah Badan yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian corporation itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan dengan perkataan lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.36

Pembatasan mengenai korporasi juga dilakukan olah para ahli hukum. Utrecht memberikan batasan mengenai korporasi sebagai suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu obyek hukum tersendiri suatu personifikasi. Menurut Ali Chaidir korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.37 A.Z. Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.38 Rudi Prasetyo, menyatakan bahwa kata korporasi sebutan yang lazim digunakan di

35Setiyono H, 2002, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis, dan Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Overoes press, Malang, h. 3

36Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, h. 23.

37I Dewa Made Suartha, 2015, Hukum Pidana Korporasi, Pertanggungjawaban Pidana dalam

Kebijakan Hukum Pidana Indonesia, Setara Press, Malang, h. 4.

(5)

24

kalangan para pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum.39

Selanjutnya keberadaaan korporasi menurut Moenaf H. Regar adalah badan usaha yang keberadaannya dan status hukumnya disamakan dengan manusia (orang), tanpa melihat bentuk organisasinya. Korporasi dapat memiliki kekayaan dan utang, mempunyai kewajiban dan hak dan dapat bertindak menurut hukum, melakukan gugatan, dan dituntut di depan pengadilan. Oleh karena suatu korporasi adalah buatan manusia yang tidak sama dengan manusia, maka harus dijalankan oleh manusia, yang disebut pengurus atau pengelola. Suatu korporasi, biasanya mempunyai tiga organ, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Dewan Direksi (misalnya Perseroan Terbatas). Batas umur dari korporasi itu ditentukan dalam anggaran dasarnya, pada saat korporasi itu mengakhiri kegiatannya dan bubar.40 Korporasi sebagai badan hukum keperdataan dapat di perinci dalam beberapa golongan dilihat dari cara mendirikan dan peraturan perundang-perundangan sendiri, yaitu:

1. Korporasi egoistis, yaitu korporasi yang menyelenggrakan kepentingan para anggotanya, terutama kepentingan harta kekayaan, misalnya perseroan terbatas, serikat kerja.

2. Korporasi altruistis, yaitu korporasi yang tidak menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, seperti perhimpunan yang memerhatikan

39Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, h. 27.

40Moenaf H. Regar, 2000, Dewan Komisaris, Peranannya sebagai Organ Perseroan, Bumi Aksara, Jakarta, h.9.

(6)

25

nasib orang-orang tunanetra, tunarungu, penyakit TBC, penyakit jantung, penderita cacat, taman siswa, Muhammadiyah, dan lain sebagainya.41 Berdasarkan beberapa uraian sebelumnya ternyata dalam hukum perdata (dagang) bahwa korporasi adalah badan hukum. Menurut Utrecht, badan hukum (rechtpersoon) adalah badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum setiap pendukung hak yang tidak berjiwa atau lebih tepat yang bukan manusia. Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu yang riil, merupakan fakta yang sebenarnya dalam pergaulan hukum, walaupun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat dari besi, kayu dan sebagainya. Yang menjadi penting bagi pergaulan hukum adalah badan hukum mempunyai kekayaan yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu berupa korporasi. Hak dan kewajiban badan hukum sama sekali terpisah dari hak kewajiban anggotanya. Bagi bidang perekonomian, terutama lapangan perdagangan gejala ini sangat penting.42

Batasan mengenai korporasi dalam hukum pidana dapat dijumpai dalam naskah Rancangan KUHP tahun 2014 Pasal 166 yang menyatakan korporasi adalah kumpulan terorganisir dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dengan demikian secara umum korporasi mempunyai unsur-unsur antara lain:

a. Kumpulan orang dan/atau kekayaan; b. Terorganisir;

41Amrullah Arief, 2006, Kejahatan Korporasi, Banyumedia, Malang, h 28. 42Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, h. 28.

(7)

26

c. Badan hukum; d. Bukan badan hukum.

Dari uraian pengertian korporasi baik dalam bidang hukum perdata dan dalam bidang hukum pidana, ternyata korporasi dalam hukum pidana lebih luas pengertiannya bila dibandingkan dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata. Sebab korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, sedangkan menurut hukum perdata korporasi hanya berbentuk badan hukum saja. Subyek hukum pidana korporasi dalam hukum pidana hanya dikenal diluar KUHP, khususnya dalam perundang-undangan khusus, sebagai produk legalisasi setelah Indonesia merdeka.

2.1.3 Pengertian Pertanggungjawaban Korporasi

Dalam KUHP yang berlaku saat ini belum mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. KUHP sampai saat ini masih menganut paham bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia (persoon). Hal ini dapat dilihat pada Pasal 59 KUHP dalam hal-hal dimana pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana. Makna Pasal 59 KUHP tersebut mengandung ancaman hukuman terhadap pengurus dan komisaris suatu badan hukum korporasi karena disangka (diduga) telah melakukan suatu delik, hanya berlaku dan hal pelanggaran saja. Selanjutnya tidak dapat dikatakan bahwa dalam Pasal 59 KUHP tercantum suatu tanggungjawab kolektif komisaris atau pengurus suatu badan hukum. Serta Pasal 59 KUHP tersebut juga mengandung

(8)

27

makna bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. KUHP hanya mengatur perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang perorangan yang pertanggungjawabannya juga dilakukan secara individu. Pembatasan Pasal 59 KUHP ini mengakibatkan kekosongan hukum terkait pertanggungjawaban pidana korporasi.

Kekosongan pengaturan terkait korporasi akhirnya menemukan penyelesaian setelah korporasi sebagai subyek hukum pidana di Indonesia mulai dikenal sejak tahun 1951, yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1953 tentang Penimbunan Barang.43 Kemudian mulai dikenal luas dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP, seperti dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 7 Drt 1955), dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 11 PNPS Tahun 1963 tentang Subversi, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Narkotika, Undang-Undang-Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model atau sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, sebagai berikut:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslahlah yang bertanggungjawab;

2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab; dan

(9)

28

3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.44 Namun demikian, konsep pertanggungjawaban pidana korporasi tidak cukup sampai dengan 3 konsep sebagaimana dikemukakan di atas, dalam hal ini harus ditambahkan satu konsep lagi, yaitu pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban secara pidana. Pernyataan ini sama dengan yang diungkapkan oleh Sutan Remy Sjahdeini, beberapa alasan yang digunakan Sutan Remy Sjahdeini berkaitan dengan konsep “pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban secara pidana” antara lain sebagai berikut:

1. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian, perbuatan pengurus itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau menghindarkan atau mengurangi kerugian finansial bagi korporasi.

2. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan atau dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan” atau mengalihkan pertanggungjawaban.Dengan kata lain, pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab dengan dalih bahwa perbuatannya bukan merupakan perbuatan pribadi dan bukan untuk

(10)

29

kepentingan pribadi, tetapim erupakan perbuatan yang dilakukannya untuk dan atas nama korporasi dan untuk kepentingan korporasi.

3. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vicarious, dan bukan secara langsung (doctrine of vicarious liability) yaitu pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dibebankan kepada pihak lain. Dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi pertanggungjawaban pidananya dialihkan kepada korporasi, pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vicarious karena korporasi tidak mungkin dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum. Artinya, segala perbuatan hukum yang benar atau yang salah, baik dalam ketentuan perdata maupun yang diatur oleh ketentuan pidana, dilakukan oleh manusia yang menjalankan kepengurusan korporasi.45 Menurut Barda Nawawi Arief, ada 4 (empat) ajaran pokok yang menjadi alasan bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut diantaranya adalah : direct liability doctrine, doctrine of strict liability, doctrine of vicarious liability dan company culture theory.46

Direct liability doctrine atau sering disebut dengan identification theory yaitu doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. Menurut teori ini bila seseorang yang cukup senior dalam struktur korporasi atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan dalam dalam bidang jabatannya, maka

45Sutan Reni Sjahdeini, op.cit, h. 162-163.

46Barda Nawawi Arief, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Get. Ke-II, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief III), h. 246.

(11)

30

perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat diidentifikasikan dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Dalam kasus semacam ini akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu korporasi dan individu. Namun suatu korporasi tidak dapat diidentifikasi atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level rendah dalam hirarki korporasi itu. Yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah individu bukan korporasi karena perbuatannya bukan perbuatan korporasi. Timbul keberatan yang cukup signifikan atas teori ini, khususnya berkaitan dengan korporasi besar dimana terdapat kemungkinan kecil seorang senior yang melakukan perbuatan secara langsung atas suatu tindak pidana disertai dengan mens rea.

Doctrine of strict liability, merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku delik yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya.47 Hal ini dalam istilah hukum di Indonesia dikenal dengan pertanggungjawaban mutlak. Pertanggungjawaban pidana dalam doktrin ini semata-mata berdasarkan pada Undang-Undang. Dalam kaitannya dengan korporasi, korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana untuk delik-delik yang tidak dipersyaratkan adanya mens rea bagi pertanggungajwaban delik itu berdasarkan doctrine of strict liability. Pelanggaran kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan istilah “srtict liability offence “.

(12)

31

Doctrine of vicarious liability, dalam istilah hukum Indonesia dikenal dengan istilah pertanggungjawaban vikarius. Doktrin ini adalah pengecualian pertanggungjawaban individu yang dianut dalam hukum pidana berdasarkan adegium nemo punitur pro alieno delicto (tidak seorangpun yang dihukum karena perbuatan orang lain).48Tidak menjadi masalah apakah perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak, atau apakah aktivitas tersebut telah dilarang oleh perusahaan atau tidak. Dapat dikatakan bahwa suatu korporasi telah menyerahkan kekuasaan untuk bertindak di dalam bidangnya masing-masing kepada seluruh staf-nya dan berdasarkan itu korporasi harus dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan. Hal ini sering dijadikan alasan bahwa pencegahan yang optimal dapat tercapai dengan menerapkan doktrin vicarious liability pada korporasi tersebut.

Sedangkan, company culture theory atau teori budaya korporasi menerapkan sistem dimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari segi prosedur, sistem bekerjanya, dan budayanya.49 Oleh karena itu teori ini sering disebut teori model/sistem atau model organisasi (organizational or system model), serta kesalahan yang dilakukan oleh korporasi dalam teori ini didasarkan pada “internal decision-making struktur”.

48Eddy O.S Hiariej, op.cit. h. 165 49Eddy O.S Hiariej, loc.cit

(13)

32

2.2 Tindak Pidana Pemilu

2.2.1 Pengertian tindak pidana pemilu

Pengertian tindak pidana Pemilu dalam sistem hukum pidana di Indonesia baru pertama kali muncul setelah diundangkannya UU No. 8 Tahun 2012. Sebelumnya, dalam UU No.10 Tahun 2008 tidak digunakan istilah tindak pidana pemilu melainkan pelanggaran pidana Pemilu. UU No. 10/2008 Pasal 252 menyebutkan bahwa pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam undang-undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Sedangkan dalam UU No. 8 tahun 2012 Pasal 260 disebutkan bahwa tindak pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Sebelumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda telah dimuat lima pasal (Pasal 148, 149, 150, 151 dan 152) yang substansinya adalah tindak pidana pemilu tanpa menyebutkan sama sekali apa yang dimaksud dengan tindak pidana pemilu. Begitu juga di dalam beberapa Undang-Undang pemilu yang pernah berlaku di Indonesia mulai dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003.

Pengertian tindak pidana pemilu belum dibahas secara mendalam dalam kepustakaan yang obyek pembahasannya adalah tindak pidana pemilu. Sintong

(14)

33

Silaban, menjabarkan yang dimaksud dengan tindak pidana pemilu dengan menjabarkan apa yang dimaksud dengan tindak pidana secara umum, kemudian menerapkannya dalam kaitannya dengan pemilu.50 Djoko Prakoso, tindak pidana pemilu adalah setiap orang atau badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang.51 Defenisi yang dikemukakan oleh Djoko Prakoso ini amat sederhana, karena jika diperhatikan beberapa ketentuan pidana dalam Undang-undang Pemilu saat ini perbuatan mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum hanya merupakan sebagian dari tindak pidana pemilu. Ruang lingkup tindak pidana pemilu memang amat luas cakupannya, meliputi semua tindak pidana yang terjadi pada proses penyelenggaraan pemilu, termasuk tindak pidana biasa pada saat kampanye atau penyelenggaraan keuangan yang terjadi dalam tender pembelian perlengkapan pemilu.

Topo Santoso, memberikan defenisi tindak pidana pemilu dalam tiga bentuk meliputi:

1. Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur di dalam Undang-undang Pemilu.

2. Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur di dalam maupun di luar Undang-undang Pemilu (misalnya dalam Undang-undang Partai Politik ataupun di dalam KUHP).

50Topo Santoso, 2006, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta, h. 3. 51Djoko Prakoso, 1987, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Harapan, Jakarta, h. 148.

(15)

34

3. Semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk pelanggaran lalu lintas, penganiayaan, kekerasan, perusakan dan sebagainya.52

Pengertian pertama merupakan defenisi yang paling sempit dari ketiga pengertian di atas, tetapi sekaligus pengertian yang paling tegas dan fokus, yaitu hanya tindak pidana yang diatur dalam Undang – Undang Pemilu saja. Dengan cakupan seperti itu maka orang akan dengan mudah mencari tindak pidana pemilu yaitu di dalam Undang-undang Pemilu. Berkenaan dengan masalah tersebut maka Dedi Mulyadi, melakukan redefenisi tindak pidana pemilu, terhadap pengertian tindak pidana pemilu menjadi dua kategori:

1. Tindak pidana pemilu khusus adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahapan penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam Undang pemilu maupun dalam Undang-Undang tindak pidana pemilu.

2. Tindak pidana pemilu umum adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahap penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam Undang Pemilu maupun dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pemilu dan penyelesaiannya di luar tahapan pemilu melalui Peradilan Umum.53

Adapun bentuk-bentuk tindak pidana pemilu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibagi dalam

52

Topo Santoso, Op.cit., h.1. 53

Dedi Mulyadi, 2012, Kebijakan Legislasi tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif Di

(16)

35

dua kategori yaitu berupa tindak pidana pemilu yang digolongkan sebagai pelanggaran dari mulai Pasal 273 sampai dengan Pasal 291. Sedangkan tindak pidana pemilu yang digolongkan kejahatan dari mulai Pasal 292 sampai dengan Pasal 321 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah beserta segala sifat yang menyertainya. Sebelumnya pengaturan mengenai tindak pidana pemilu telah diatur dalam KUHP. Dalam KUHP terdapat lima pasal yang mengatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggara pemilu. Lima pasal ini terdapat dalam BAB IV Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana “Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan” diantaranya Pasal 148, 149, 150, 151, dan 152 KUHP. 2.2.2 Tindak pidana pemilu sebagai tindak pidana khusus

Tindak pidana khusus atau hukum pidana khusus adalah undang-undang pidana yang berada diluar hukum pidana umum yang mempunyai penyimpangan dari hukum pidana umum baik dari segi hukum pidana materiil maupun dari segi hukum pidana formal.54 Dari pengertian tersebut suatu undang-undang untuk dapat dikatakan sebagai hukum pidana khusus harus ada penyimpangan dari hukum pidana umum.

Tindak pidana pemilu tergolong dalam tindak pidana khusus. Sebagai tindak pidana khusus, tindak pidana pemilu mempunyai penyimpangan dari hukum pidana umum baik dari segi hukum formil maupun materiil. Karakteristik khusus dalam tindak pidana pemilu diartikan sebagai ciri atau bawaan yang umum dan

54

(17)

36

sering terjadi ketika persiapan pemilihan umum, proses pemilihan umum dan setelah pemilihan umum berlangsung.55 Adapun penyimpangan hukum pidana pemilu dari ketentuan hukum pidana umum, antara lain:

a. Perluasan Subyek Hukum Pidana

Dalam hukum pidana umum, hanya orang perseorangan yang dapat dikategorikan sebagai subyek hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, sedangkan dalam hukum pidana pemilu terjadi perluasan subyek hukum pidana, yaitu tidak hanya orang perseorangan yang dapat dipertangungjawabakn secara pidana, akan tetapi badan hukum atau korporasi dapat dipertanggungjawabkan apabila melakukan tindak pidana pemilu. Ketentuan-ketentuan hukum pidana pemilu yang mengatur mengenai korporasi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 303, Pasal 304, Pasal 306, dan Pasal 307 UU No.8 Tahun 2012. Pasal 303 ayat (1) menentukan: “Setiap orang, kelompok, perusahan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan dana Kampanye Pemilu melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).” Pasal 304 ayat (1) menentukan: “Setiap orang, kelompok, perusahan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan dana Kampanye Pemilu melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1) dan ayat (2) dipidana

55Wiwik Afifah, 2014, “Tindak Pidana Pemilu Legislatif di Indonesia”, Mimbar Keadlian,

(18)

37

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” Pasal 306 menentukan: “Setiap perusahaan pencetak surat suara yang dengan sengaja mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditetapkan oleh KPU untuk kepentingan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).” Dan Pasal 307 menentukan: “Setiap perusahaan pencetak surat suara yang tidak menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keutuhan surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

b. Stelsel Pemidanaan Pemilu Berbentuk Kumulatif.

Dalam hukum pidana umum maupun dalam peraturan perundang-undangan lain ada beberapa rumusan bentuk sanksi:56

1. Stelsel Alternatif

Ciri khas suatu peraturan perundangan mengatur stelsel alternatif yaitu ditandai dengan kata “atau”. Misalnya ada norma dalam perundangan yang berbunyi “...diancam dengan pidana penjara atau pidana denda....”.

56

Suhariyono AR, 2012, Pembaruan Pidana Denda di Indonesia (Pidana Denda Sebagai

(19)

38

2. Stelsel Kumulatif

Stelsel kumulatif ini ditandai dengan ciri khas adanya kata “dan”. Dengan adanya kata “dan”, maka hakim harus menjatuhkan pidana dua-duanya.

3. Stelsel Alternatif Kumulatif

Berbeda dengan dua stelsel diatas, berdasar stelsel alternatif kumulatif ini, ditandai dengan ciri “dan/atau”. Suatu perundangan yang menganut stelsel ini, memberikan kebebasan hakim untuk menjatuhkan pidana apakah alternatif (memilih) ataukan kumulatif (menggabungkan).

Dalam hukum pidana umum bentuk sanksi terdiri dari pidana tunggal (penjara), pidana alternatif (penjara atau denda), pidana kumulatif (penjara dan denda), dan pidana alternatif kumulatif (penjara dan/atau denda). Lebih khusus ketentuan KUHP yang berkaitan dengan ketentuan pidana pemilu yaitu Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150, Pasal 151, dan Pasal 152, bentuk sanksi pidana pemilu hanya terdiri dari pidana tunggal yaitu Pasal 148, 150, 151, dan Pasal 152, serta pidana alternatif yaitu Pasal 149.

Dalam ketentuan hukum pidana khusus pemilu dalam UU No 8 Tahun 2012 dipersempit hanya menggunakan bentuk sanksi pidana stelsel kumulatif. Hal ini dapat dilihat dengan ciri-ciri menggunakan kata “dan” dalam sanksi pemidanaannya.

(20)

39

c. Jenis-Jenis Sanksi Hukum Pidana Pemilu

Jenis sanksi dalam KUHP telah diatur dalam Pasal 10 KUHP, yang mana jenis-jenis sanksi hukum pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dimana pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan denda. Kemudian pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Dilihat dari ketentuan KUHP yang khusus mengatur tindak pidana pemilu hanya terdiri dari pidana pokok penjara dan denda, dan pidana tambahan hanya berupa pencabutan hak-hak tertentu.

Penyimpangan UU No 8 Tahun 2012 dari ketentuan hukum pidana umum yaitu ketentuan pidana pemilu UU No 8 Tahun 2012 terdiri dari pidana pokok berupa pidana penjara dan pidana denda. Jenis-jenis sanksi itu tidak dimuat dalam satu pasal seperti dalam Pasal 10 KUHP, namun tersebar di setiap ketentuan pidana pemilu UU No 8 Tahun 2012.

Jenis-jenis sanksi yang tertuang dalam UU No 8 Tahun 2012 dan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan, selama ini masih dijadikan “sanksi utama” dan banyak kelemahan karena pendekatan sanksi yang dipakai dalam upaya menanggulangi suatu kejahatan bersifat terbatas dan terarah pada pidananya pelaku saja. Dengan kata lain jenis-jenis sanksi yang berlaku sampai saat ini, apabila dilihat dari aspek tujuannya lebih mengarah pada “pencegahan agar orang tidak melakukan

(21)

40

kejahatan”, bukan bertujuan “mencegah agar kejahatan tidak terjadi”. Jadi jenis-jenis sanksi tersebut bersifat individual.57

57Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System &

Referensi

Dokumen terkait

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

harganya diperkirakan mencapai 20 Miliyar. Dengan besarnya biaya investasi yang dibutuhkan, cukup sulit untuk perusahaan pelayaran dalam negeri untuk melakukan

ketika pemerintah memberi kesempatan kepada perguruan tinggi di Indonesia untuk mengubah statusnya menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN),

Penelitian ini memiliki tujuan antara lain adalah untuk menemukan mekanisme perkuatan lereng dengan membandingkan daya dukung tanah pada model lereng tanpa

Kasus tersebut didakwakan dengan primair Pasal 25 ayat (1) tentang ikhtilath dengan hukuman 25 kali cambuk dan subsidair Pasal 23 ayat (1) tentang khalwat dengan hukuman 15

Penelitian ini menggunakan statistik deskriptif dan inferensial dimana Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara

Aplikasi IDS ( Intrusion Detection System ) Snort dapat diintegrasikan dengan aplikasi sms gateway yaitu gammu, sehingga menjadi sistem yang dapat mendeteksi