• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHAHAP WANPRESTASI DI INDONESIA

B. Tinjauan umum tentang wanprestasi

Pengertian wanprestasi belum mendapatkan keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah yang hendak dipergunakan. Adanya bermacam-macam istilah wanprestasi menurut beberapa sarjana yang telah mempergunakan istilah wanprestasi dan memberi pendapat tentang pengertian wanprestasi tersebut.

Pengertian wanprestasi menurut Hukum Perdata berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagai mana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Pelaksanaan perjanjian, dapat terjadi wanprestasi yang berarti tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan bersama dalam perjanjian.

Wanprestasi ialah keadaan dimana salah satu pihak tidak melakukan kewajiban, terlambat atau tidak sempurna melakukan kewajibannya. Keadaan cidera janji berbeda dengan keadaan di luar kekuasaan atau kemampuan dari pihak yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Kemungkinan dapat atau tidak dapat diatasi keadaan di luar kuasa/kemampuan harus diberitahukan dengan segera kepada pihak lainnya dan bahwa telah dicoba untuk mengatasi keadaan tersebut sebatas masuk akal sehingga tidak dapat digolongkan pada cidera janji.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi di dalam hukum perjanjian, berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaan janji untuk wanprestasi. Menurut Salim berpendapat bahwa wanprestasi adalah tidak mengetahui atau lalai melaksanakan kewajiban (prestasi) sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena :

(1) Kesengajaan;

(2) Kelalaian;

(3) Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).

Akan tetapi berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya suatu unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibat umumnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu. Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure, yang umumnya membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau untuk selama-lamanya).

Disamping itu, apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam kontrak, maka pada umumnya (dengan beberapa pengecualian) tidak dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak atau dalam undang-undang, maka wanprestasinya si debitur resmi terjadi setelah debitur dinyatakan lalai oleh kreditur (ingebrehstelling) yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai”

oleh pihak kreditur.

Stelsel dengan akta lalai ini adalah khas dari negara-negara yang tunduk kepada Civil Law seperti Prancis, Jerman, Belanda dan karenanya juga Indonesia. Sementara di negara-negara yang berlaku sistem Common Law, seperti Inggris dan Amerika Serikat, pada prinsipnya tidak memberlakukan stelsel akta lalai ini. Dalam praktek akta lalai ini sering disebut dengan Somasi.

2) Akibat Hukum Wanprestasi

Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum. Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibatakibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.43

43 Dermina Dsalimunthe, Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perspektif Kitab Undang Undang Hukum Perdata (BW). Jurnal Al-Maqasid Volume 3 Nomor 1 Edisi Januari – Juni 2017, hal. 13

Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi.

Akibat hukum bagi debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tetapi melakukan wanprestasi, yaitu :44

1 Dia harus membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi ( vide Pasal 1243 KUHPerdata ) Prinsip dasarnya adalah bahwa wanprestasi mewajibkan penggantian kerugian; yang diganti meliputi ongkos, kerugian dan bunga.

Dalam peristiwa-peristiwa tertentu di samping tuntutan ganti rugi ada kemungkinan tuntutan pembatalan perjanjian, pelaksanaan hak retensi dan hak reklame. Karena namanya saja ganti rugi, maka logisnya besarnya ganti rugi adalah sebesar kerugian yang diderita. Namun Pasal 1249 memberikan pengecualian, yaitu kecuali antara para pihak telah ada suatu kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi yang harus dibayar dalam hal debitur wanprestasi.

Dalam hal demikian, maka terlepas dari berapa jumlah kerugian yang sebenarnya kepada kreditur harus diberikan jumlah sebagai yang diperjanjikan atau menurut kata-kata Pasal 1249, “tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun yang kurang daripada jumlah itu‟‟ janji seperti itu dalam suatu perjanjian disebut

„‟janji ganti rugi/denda‟‟ atau “schadevergoedings/boete beding.‟‟

2 Dia harus menerima pemutusan kontrak disertai dengan pembayaran ganti kerugian ( vide Pasal 1267 KUH Perdata )

3 Dia harus menerima peralihan resiko sejak saat terjadinya wanprestasi ( vide Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata )\

4 Dia harus membayar biaya perkara jika diperkarakan di pengadilan ( vide Pasal 181 ayat (1) HIR ) Selain itu menurut Pasal 1266 KUH Perdata, dalam kontrak timbal balik wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk memutuskan kontrak di pengadilan, walaupun syarat putus mengenai tidak terpenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam kontrak.

Jika syarat putus tidak dinyatakan dalam kontrak, maka hakim di pengadilan leluasa menurut keadaan atas tuntutan tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu

44 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, (Bandung : Mandar Maju, 2016), hal. 343

kepada tergugat guna kesempatan melaksanakan kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari 1 (satu) bulan.

Dalam hal debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tetapi melakukan wanprestasi, kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi dapat memilih dan mengajukan tuntutan haknya di pengadilan berdasarkan ketentuan enumeratif dalam Pasal 1267 jis Pasal 1266 KUH Perdata, yaitu

a. Pelaksanaan kontrak;

b. Pelaksanaan kontrak disertai dengan ganti kerugian;

c. Ganti kerugian saja;

d. Pemutusan kontrak;

e. Pemutusan kontrak disertai dengan ganti kerugian. Kewajiban membayar ganti kerugian bagi debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tetapi melakukan wanprestasi baru dapat dilaksanakan jika telah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu : 158 a. Dia memang telah lalai melakukan wanprestasi; b. Dia tidak berada dalam keadaan memaksa; c. Dia tidak melakukan pembelaan untuk melawan tuntutan ganti kerugian; d. Dia telah menerima pernyataan lalai atau somasi.

Akibat hukum yang timbul dari wanprestasi dapat juga disebabkan karena Keadaan Memaksa (force majeure, overmacht )

a. Pengertian Keadaan Memaksa

Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannnya, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.

Menurut Wirjono Prodjodikoro keadaan memaksa dalam hukum adalah keadaan yang menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan.45

b. Dasar Hukum Keadaan Memaksa

45 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, (Bandung : Bale, 1990), hlm. 4.

Ketentuan tentang keadaan memaksa di atur dalam Pasal 1244-1245 KUH Perdata.

Pasal 1244 KUH Perdata berbunyi: Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

Selanjutnya Pasal 1245 KUH Perdata berbunyi: Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. Teori-Teori Keadaan Memaksa yaitu :

1. Teori Ketidakmungkinan (onmogelijkeheid). Teori ini berpendapat bahwa keadan memaksa46 adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam,yaitu:

a. Ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolut onmogelijkheid), ketidakmungkinan absolut yaitu suatu ketidakmungkinan sama sekali dari debitur untuk melakukan prestasinya pada kreditur.

b. Ketidakmungkinan relative atau ketidakmungkinan subjektif (relative onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk memenuhi prestasinya.

2. Teori Penghapusan atau Peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld).

Teori ini berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau overmacht peniadaan kesalahan.

c. Macam-Macam Keadaan Memaksa 1) Keadaan Memaksa Absolut

Keadaan memaksa absolut47 adalah suatu keadaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si Amir ingin membayar utang kepad si Danar. Namun tiba- tiba pada saat si Amir ingin melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi. Maka si Amir

46 Subekti, Op.Cit., 2003

47 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta: Intermasa , 2001), hlm.34.

sama sekali tidak dapat membayar utangnya pada si Danar. Keadaan memaksa mengakibatkan, bahwa suatu hak atau kewajiban dalam perhubungan hukum sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun juga dan bagaimanapun juga, maka keadaan memaksa itu dinamakan “absolut”.

Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam).

2) Keadaan Memaksa yang Relatif

Keadaan memaksa yang relatif48 adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contohnya, Ina telah meminjam di kredit usaha tani dari KUD, dengan janji akan dibayar pada musim panen. Tetapi sebelum panen, padinya diserang oleh hama.

Dengan demikian, pada saat itu ia tidak mampu membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi ia akan membayar pada musim panen mendatang. Keadaan memaksa dinamakan “relatif”, apabila keadaan itu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada suatu perhubungan hukum tidak dapat dibilangkan sama sekali tidak dapat terjadi bagaimanapun juga, akan tetapi demikian sukarnya dan dengan pengorbanan dari yang harus melaksanakan, sedemikian rupa, sehingga patutlah, bahwa keharusan untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dianggap lenyap keadaan memaksa yang relatif ini, sangat tergantung dari pada isi, maksud, dan tujuan dari perhubungan hukum yang bersangkutan.

Misalnya, seorang tukang berjanji akan membangun rumah untuk orang lain, kemudian pada waktu proses pembangunan rumah itu buruh-buruhnya mogok bersama- sama. Apakah karena keadaan ini keharusan untuk menyelesaikan pembuatan rumah adalah lenyap.

Kalau dapat dikatakan, bahwa tukang pembuat rumah harus mempekerjakan lain-lain buruh, bagaimanapun mahalnya upah buruh-buruh itu, maka dalam hal ini boleh dikatakan tidak ada keadaan memaksa. Akan tetapi, kalau berhubungan dengan isi, maksud, dan tujuan dari persetujuan anatara kedua belah pihak, dapat dikatakan bahwa pengorbanan yang

48 Ibid.,

sedemikian besarnya, tidak patut dibebankan kepada si tukang bangun rumah, maka kini boleh dikatakan bahwa adalah keadaan memaksa.

Terjadinya keadaan memaksa dapat dikira-kirakan oleh siapapun juga secara objektif, dan tidak dapat dihindarkan dengan usaha apapun juga, maka dapat dikatakan bahwa dari pihak yang berkewajiban itu sama sekali tidak ada kesalahan, dan seharusnya ia dibebaskan sama sekali dari pertanggung jawaban. Sebaliknya, kalau keadaan memaksa itu secara objektif dapat dikira-kiranya lebih dulu untuk menjaga seberapa boleh jangan sampai keadaan memaksa itu terjadi, maka dapatlah si berwajib itu dipertanggungjawabkan.

Misalnya, suatu perusahaan mengangkut barang-barang berjanji akan mengangkut barang-barang dari suatu kota ke lain kota, dan sudah diketahui oleh umum, bahwa di perjalanan antar dua kota itu sudah beberapa kali terjadi perampokan atas barang-barang angkutan, maka patutlah apabila si pengangkut barang itu seberapa boleh berusaha untuk menghindari perampokan itu misalnya mengadakan pengawal yang bersenjata api.

Kalau usaha ini sama sekali tidak dilakukan, maka kalau kemudian terjadi perampokan atas barang-barang yang diangkut itu, si pengangkut dapatlah dipertangunggjawabkan atas keadaan memaksa yang menyebabkan barang-barang itu tidak sampai di tempat yang dimaksudkan.

d. Akibat Keadaan Memaksa

(1) Akibat Keadaan Memaksa Absolut49

Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata) Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.

(2) Akibat Keadaan Memaksa Relatif50

Beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara. Contoh Kontrak Keadaan Memaksa berikut ini disajikan contoh kontrak yang memuat klausul tentang keadaan memaksa: Surat Perjanjian Kerja (Kontrak Kerja) Pekerjaan Konsultan

49 Salim H.S, Perancangan Kontrak & Memorandum Of Understanding (MOU), (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.34.

50 Ibid.,

Pendamping Kabupaten (KP-Kab) Proyek Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Eknomi (PDM-DKE) Kabupaten Dompu Tahun 2000. Dalam kontrak ini telah ditentukan aturan yang berkaitan dengan keadaan memaksa. Ketentuan yang mengatur tentang hal itu tertuang dalam Pasal 13, menyatakan :

a. Jika terjadi keadaan memaksa, pihak kedua akan dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian dan keterlambatan penyelesaian pekerjaan.

b. Yang dimaksud keadaan memaksa pada ayat di atas adalah keadaan atau peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan pihak kedua untuk dapat mengatasinya sehingga dapat dipertimbangkan kemungkinan-kemungkinan adanya perubahan waktu pelaksanaan.

C. Model-Model Wanprestasi Dan Doktrin Pelaksanaan Kontrak Secara Substansi

Dokumen terkait