TINJAUAN YURIDIS PERBUATAN INGKAR JANJI (WANPRESTASI) PADA PUTUSAN NOMOR 38/PDT.G/2018/PN.BNJ
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat – Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
GUSNIA HANAKO NIM : 160200063
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
ABSTRAK
*) Gusnia Hanako
**) Rosnidar Sembiring
***) Syamsul Rizal
Dalam kehidupan bermasyarakat seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari tidak lepas dari bantuan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut seseorang tentunya berinteraksi dengan orang lain, dalam hal pinjam meminjam uang. Biasanya pinjam meminjam uang yang dilakukan tersebut disertai bunga dalam pengembaliannya dan juga benda jaminan khususnya benda bergerak yang telah diperjanjikan diawal oleh para pihak.
Bagaimana tinjauan umum terhadap wanprestasi di Indonesia, apakah faktor penyebab terjadinya wanprestasi dalam perjanjian kredit, bagaimana tinjauan yuridis tindakan ingkar janji (wanprestasi) pada putusan nomor 38/pdt.g/2018/pn bnj.
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah normative yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan mengemukakan kasus yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Peneliti melakukan analisis kasus putusan,sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti yang sebelumnya telah diolah orang lain. Untuk memperoleh data sekunder peneliti melakukan studi kepustakaan ( Library Research).
Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagai mana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Penyebab wanprestasi karena kesalahan debitur sendiri baik dengan sengaja maupun dan karena kelalaian dan keadaan memaksa/force majeure yang terjadi diluar kemampuan. Pada Putusan No. 38/pdt.g/2018/pn bnj berisi tentang duduk perkara PT. Bank Perkreditan Rakyat Nusantara Bona Pasogit 22 menggugat penggugat yang telah melakukan ingkar janji (wanprestasi). Dalam putusan ini majelis hakim telah memutuskan keputusan yang tepat yaitu menghukum pihak tergugat membayar denda sebesar Rp.22.007.500 (dua puluh dua juta tujuh ribu lima ratus rupiah)
Kata Kunci : Wanprestasi, Putusan No.38/ Pdt.G/ 2018 /PN.BNJ
* Mahasiswa Fakultas Hukum USU / Penulis
** Dosen Pembimbing I / Staff Pengajar FH USU
*** Dosen Pembimbing II / Staff Pengajar FH USU
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah melimpahkan kasih dan sayang-Nya kepada kita, sehingga penulis bias menyelesaikan skripsi dengan tepat waktu, yang kami beri Judul “Tinjauan Yuridis Tindakan Ingkar Janji (Wanprestasi) Pada Putusan Nomor 38/PDT.G/2018/PN.BNJ. Tujuan dari penyusunan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk bisa menempuh ujian sarjana pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Di dalam pengerjaan skripsi ini telah melibatkan banyak pihak yang sangat membantu dalam banyak hal. Oleh sebab itu, disini penulis sampaikan rasa terima kasih sedalam- dalamnya kepada :
1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum Selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
4. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
5. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring S.H.,M.Hum. Selaku Dosen Pembimbing I dan Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan membantu saya dalam menyelesaikan skripsi.
6. Syamsul Rizal, S.H.,M.Hum, Selaku Sekretaris Departemen Keperdataan sekligus dosen pembimbing II saya.
7. Zaidar SH.M.HUM, Selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis.
8. Terima Kasih untuk Keluarga Besar Saya : Ayah, Mama, Ama dan Adik-adik ku tercinta (Akemi,Hanami,Akito) yang telah mendukung saya dalam penyelesaikan skripsi ini.
9. Terima Kasih kepada Abangda Rizky teman spesial yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada saya dalam penyelesaian skripsi ini.
10. Terima Kasih kepada Himpunan Mahasiswa Islam yang telah membentuk saya sehingga saya bisa menjadi mahasiswa yang lebih berani dalam bertindak dan percaya diri.
11. Terimakasih kepada Presidium HMI Periode 2019-2020 yang telah mengajarkan bagaimana berjuang dalam kehidupan yang nyata ini.
12. Terima Kasih untuk Adik-Adik stambuk 2019, 2018, 2017 serta kawan-kawan stambuk 2016 lainnya yang tidak bisa sebutkan satu-persatu namanya yang telah memberi semangat kepada saya dalam penyelesaian skripsi ini.
13. Terimakasih kepada sahabat-sahabat terbaik (Amanda,Pretika, Zahira,Nia,Fanny,Riza,Arif) yang selalu ada disaat suka maupun duka.
14. Terimakasih kepada rekan-rekan terbaik HMI Wati (Justira,Elsya,Helnia,Ainaya) yang selalu mengingatkan untuk terus mengerjakan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata kesempurnaan, namun penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terkhusus bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Medan, 12 Juli 2020 Hormat Penulis,
Gusnia Hanako NIM 140200063
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… ... 1
B. Permasalahan ……….. ... 8
C. Tujuan Penulisan ……….… ... 8
D. Manfaat Penulisan ……… ... 8
E. Metode Penelitian ……….... ... 9
F. Keaslian Penulisan ………... ... 10
G. Tinjauan Pustaka ………... 10
H. Sistematika Penulisan ………... .... 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TERHAHAP WANPRESTASI DI INDONESIA A. Tinjauan umum tentang perjanjian ... 13
B. Tinjauan umum tentang wanprestasi ……… 30
C. Model-model Wanprestasi Dan Doktrin Pelaksanaan Kontrak Secara Substansi ……… 38
D. Bank Perkreditan Rakyat ……….. 41
BAB III : FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Perjanjian Kredit……….. 43
B. Fungsi Perjanjian Kredit ………... 45
C. Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit ……… 47
D. Objek dalam Perjanjian Kredit ……… 47
E. Berakhirnya Suatu Perjanjian Kredit ……… 48
F. Penyebab Terjadinya Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit………...51
BAB IV : TINJAUAN YURIDIS TINDAKAN INGKAR JANJI (WANPRESTASI) PADA PUTUSAN NOMOR 38/PDT.G/2018/PN BNJ A. Gambaran Umum dan Analisis Kasus...………... 53
B. Pertimbangan Majelis Hakim Yang Berkaitan Dengan Wanprestasi Pada Putusan Nomor 38/PDT.G/2018/PN BNJ……… 63
C. Penerapan Hukum Tentang Wanprestasi Berdasarkan Pada Putusan Nomor 38/PDT.G/2018/PN BNJ……… 73
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ………. ... 75
B. Saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 78 LAMPIRAN PUTUSAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak lepas dari bantuan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut seseorang tentunya berinteraksi dengan orang lain, dalam hal pinjam meminjam uang. Biasanya pinjam meminjam uang yang dilakukan tersebut disertai bunga dalam pengembaliannya dan juga benda jaminan khususnya benda bergerak yang telah diperjanjikan diawal oleh para pihak.
Ada beberapa macam jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum positif Indonesia, pertama adalah jaminan dalam bentuk gadai, yang diatur dalam Pasal 1150 sampai Pasal 1162 KUHPerdata, kedua adalah Hipotek yang diatur dalam Pasal 1162 hingga Pasal 1178 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk barang tidak bergerak.
Indonesia sebagai negara hukum, maka hukum harus mempunyai arti penting dan mendasari dalam berbagai aspek kegiatan tidak terkecuali dalam perbuatan hukum pemberian kredit perbankan. Adapun peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kegiatan perjanjian pemberian utang uang adalah UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang mana dalam pasal 8 ayat (1) dijelaskan bahwa dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
BPR (Bank Perkreditan Rakyat) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 1
Fungsi BPR tidak hanya sekedar menyalurkan kredit kepada pengusaha mikro, kecil dan menengah, tetapi juga menerima simpanan masyarakat. Penyaluran kredit kepada masyarakat menggunakan prinsip 3T, yaitu Tepat Waktu, Tepat Jumlah, dan Tepat Sasaran, karena proses kreditnya yang relative cepat, persyaratan lebih sederhana, dan sangat mengerti akan kebutuhan nasabah.
1Djoni S.Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan (Jakarta: Sinargrafika, 2010), hal.149.
Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepadaa seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.2 Perjanjian juga berhubungan kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi3
Dalam KUHPerdata mengandung arti :
"Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap salah satu orang lain atau lebih" (Pasal 1313,Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Perjanjian merupakan salah satu sumber dari hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Untuk membuat suatu perjanjian hrus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Syarat sah suatu perjanjian ada 4 (empat) dan diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata, yakni terdiri atas :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Mengenai ketentuan kredit dapat ditemukan pada Undang-Undang Perbankan pada Pasal 1 angka 11 yang berbunyi :
"Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian uang".
Jadi kredit adalah penyediaan uang, atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu
2 Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa,1991), hal. 1.
3 M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Alumni,1986), hal.6.
tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.4(Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (bandung:citra aditya bakti,2015),hal.229)
Perjanjian Kredit merupakan aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit, tanpa perjanjian kredit yang ditandatangani Bank dan Debitur, maka tidak ada pemberian kredit itu. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara bank dengan debitur yang isinya menentukan dan mengatur tentang hak dan kewajiban kedua pihak sehubungan dengan pemberian kredit (peminjaman uang).
Bank sebelum memutuskan apakah suatu permohonan dapat diterima atau ditolak, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan analisis terhadap permohonan yang diajukan oleh debitur. Pentingnyaa untuk melakukan analisis ini adalah menghindari risiko kemungkinan terjadinya kredit macet. Pembayaran kredit selalu terjadi di masa yang akan datang, maka yang memberikan pinjaman harus menilai apakah harapan debitur tentang kesanggupannya untuk membayar kembali adalah cukup wajar.5
Untuk menganalisis suatu permohonan kredit pada umumnya digunakan kriteria 5 C atau The Five C's yakni :
1. Character (Sifat). Dalam hal ini, para analisis kredit pada umumnya mencoba melihat dari data pemohon kredit yang telah disediakan oleh bank. Bila dirasakan perlu diadakan wawancara, untuk mengetahui lebih rinci, bagaimana karakter yag sesungguhnya dari calon debitur tersebut.
2. Capasity (Kemampuan). Bank mencoba menganalis apakah permohonan dana yang diajukan rasional atau tidak dengan kemampuan yang ada pada debitur sendiri. Bank melihat sumber pendapatan dari pemohon dikaitkan dengan kebutuhan sehari-hari.
3. Capital (Modal). Hal ini cukup penting bagi bank, khususnya untuk kredit yang cukup besar apakah dengan modal yang ada, mungkin pengembalian kredit yang diberikan. Untuk itu perlu dikaji ulang potensi dari modal yang ada.
4. Condition of economy (Kondisi Ekonomi). Situasi dan kondisi ekonomi apakah memungkinkan untuk itu.
5. Collateral (Jaminan). Jaminan yang diberikan oleh debitur sebanding dengan yang diminta. Hal ini penting agar bila debitur tidak mampu melunasi kreditnya jaminan dapat dijual.
4 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti,2015), hal.229
5 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal.68
Suatu hal yang sering timbul dalam perjanjian kredit adalah masalah cidera janji (wanprestasi), yang dapat berupa keterlambatan pengembalian kredit sebagaimana diperjanjikan atau yang disebut dengan kredit macet. Terjadinya wanprestasi merupakan resiko bank dan dengan pertimbangan resiko itu, maka bank selalu melakukan analisa terhadap permohonan kredit yang diterimanya. Wanprestasi atau cidera janji berarti tidak terlaksananya perjanjian karena kesalahan pihak debitur dapat terjadi dalam beberapa bentuk, yaitu :
1. Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tapi tidak bermanfaat lagi atau tidak dapat diperbaiki;
2. Terlambat memenuhi prestasi;
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak baik sebagaimana mestinya;
4. Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan6
Dalam keadaan seperti ini, maka harus diambil tindakan agar masalah tersebut segera diselesaikan dengan baik oleh para pihak dan demi kelancaran pelaksanaaan perjanjian kredit tersebut, sehingga tetap terlaksana dengan baik sesuai dengan isi perjanjian. Hal ini juga sering kita lihat dalam perjanjian kredit untuk modal usaha. Karena sangat membutuhkan modal, maka nasabah menandatangani perjanjian yang tidak seimbang “bargaining power”
tersebut. Dalam kasus-kasus seperti itu sebenarnya salah satu pihak menekan (mengambil keuntungan) dari pihak yang lain. Hal tersebut tidak menyebabkan kehendak yang disalahgunakan tidak diberikan dalam keadaan bebas.
Jaminan atau istilah lain yang sering digunakan ialah agunan dalam pemberian kredit merupakan perjanjian tambahan dalam arti, bila debitur tidak mampu melunasi utangnya, maka agunan akan dilelang untuk melunasi utang-utang tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan dalam pasal 224 HIR, surat groise dari akta hipotik dan surat utang yang dibuat dihadapan Notaris. Dengan demikian, apabila ada jaminan yang diikat dengan akta notaris, dalam hal debitur tidak mampu melunasi utangnya maka jaminan dapat langsung dieksekusi.
Jaminan yang diutamakan adalah jaminan kebendaan, sehingga analisis kredit yang dilakukan oleh bank terpaku pada jaminan kebendaan tersebut. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat hak kebendaan tersebut dapat dinilai dengan uang sehingga bila debitur tidak
6 Handri Raharjo,Hukum Perjanjian (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), hal.80-81.
mampu melunasi hutangnya, jaminan dapat dilelang. Penanganan kredit macet dapat dilakukan melalui beberapa hukum, yaitu diantaranya :
1. Melalui Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
Penanganan kredit macet bagi bank pemerintah dapat melalui Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara menetapkan bahwa kepada instansi-instansi pemerintah dan badan-badan yang langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara, misalnya bank-bank pemerintah, perusahaan-perusahaan negara, dan sebagainya diwajibkan untuk menyerahkan piutang-piutangnya yang ada, dan besarnya telah pasti menurut hukum tetapi penanggung utangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara.
Pelimpahan pengurusan penyelesaian kredit macet kepada BUPLN, selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tanggal jatuh tempo yang tercantum dalam dokumen-dokumen perpanjangan jangka waktu pelunasan kredit. Pengurusan penyelesaian kredit ini, dapat juga karena inisiatif BUPLN sendiri, jadi tidak menunggu pelimpahan dari pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara saja. Pengurusan atas inisiatif sendiri tersebut atas dasar pemikiran, bahwa sifat pengurusan dan penagihan piutang tersebut. Setelah pengurusan kredit ditangan BUPLN, maka bukan lagi pemerintah (bank atau badan usaha milik negara) yang menjadi pihak yang berpiutang, melainkan negaralah yang menjadi pihak yang berpiutang, Sebagai akibat dari pola pemikiran tersebut, maka dalam menghadapi debitur, BUPLN bertindak sebagai penguasa yang melaksanakan wewenang yang bersifat hukum publik, oleh karena itu kedudukan debitur dan BUPLN tidak dalam posisi yang sejajar serta tidak bersifat hukum perdata.
2. Gugatan Perdata
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya, setiap kreditur dapat mengajukan gugatan perdata untuk memperoleh keputusan pengadilan. Apabila sudah ditetapkan keputusan pengadilan yang kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan tetapi debitur tetap tidak melunasi hutangnya, maka pelaksanaan keputusan tersebut dilaksanakan atas dasar perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatannya pada tingkat pertama. Atas perintah Ketua Pengadilan Negeri tersebut dilakukanlah penyitaan harta kekayaan debitur, untuk kemudian dilelang dengan perantaraan kantor lelang. Dari hasil pelelangan itu,kreditur memperoleh pelunasan hutangnya. Prosedur
ini memakan waktu yang relatif lama, oleh karena debitur yang dikalahkan biasanya mengulur waktu dengan mempergunakan upaya banding dan kasasi. Selain itu, bila tetap pengadilan memenangkan gugatan kreditur, terkadang eksekusinya belum tentu membawa hasil yang memuaskan. Dalam hal gugatan perdata bagi bank pemerintah selain bisa dilakukan dengan personal dari biro hukum bank yang bersangkutan, dimungkinkan melalui penggunaan jasa kejaksaan. Penggunaan jasa ini pada dasarnya terbatas hanya dapat digunakan oleh bank-bank pemerintah, tetapi bank swasta lain yang sebagian sahamnya dimiliki pemerintah dapat juga menggunakan jasa kejaksaan.
Kejaksaan dapat bertindak di bidang perdata dan tata usaha negara hanya saja dengan kuasa khusus untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Membela kepentingan negara inilah yang merupakan kekuatan dapatnya kejaksaan untuk membela kepentingan perusahaan negara atau perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki perusahaan negara. Peran kejaksaan dslam menangani kredit macet dari bank pemerintah adalah sebagai konsultan hukum atau pengacara pemerintah dalam hubungan kasus keperdataan. Dalam penggunaan jasa kejaksaan ini, bank tersebut tidak perlu meminta izin siapapun.
3. Arbitrase
Pada umumnya pada bagian akhir perjanjian kredit dapat dicantumkan suatu klausula yang menentukan bahwa apabila timbul sengketa sebagai akibat dari perjanjian tersebut para pihak akan memilih penyelesaian melalui arbitrase (perwasitan). Cara penyelesaian melalui arbitrase ini diperlukan oleh para pihak, karena cara penyelesaian melalui gugatan perdata di muka pengadilan sampai tercapainya putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap relatif akan memerlukan waktu yang lama.
Dalam klausula arbitrase tersebut biasanya ditetapkan cara penunjukan arbiter dan susunan tim arbiter yang akan memutuskan sengketa yang mungkin terjadi. Terbentuknya tim arbiter itu dimulai dengan masing-masing pihak menunjuk seorang arbiter dan sebagai ketua tim arbiter. Tim arbiter ini hanya berwenang memutuskan sengketa jika sebelumnya telah ada kesepakatan antara kedua belah pihak untuk tidak menyelesaikan sengketa mereka melalui pengadaian, melainkan melalui arbitrase yang dituangkan dalam suatu perjanjian tersendiri atau dalam klausula arbitrase. Tanpa adanya kesepakatan dimaksud lembaga arbitrase tidak sah, dan keputusannya tidak mempunyai kekuatan berlaku.
Pihak yang tidak mengakui keputusan arbitrase dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk membatalkan keputusan arbitrase dengan alasan tidak sahnya keputusan itu.
Sebenarnya terhadap keputusan arbitrase dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung, tetapi karena tujuan penyelesaian sengketa adalah agar cepat diperoleh keputusan, maka pada umunya dalam perjanjian atau kalusula arbitrase diperjanjikan bahwa kemungkinan minta banding ditiadakan tetapi lazim diperjanjikan bahwa keputusan arbitrase merupakan keputusan yang final. Manfaat penyelesaian melalui arbitrase ini adalah demi nama baik para pihak, sifat penyelesaian sengketa adalah tertutup (diusahakan agar tidak diketahui oleh umum), keputusannya cepat dan dapat memnuhi rasa keadilan para pihak. Tetapi ada kelemahan dari arbitrase yaitu tidak adanya kemungkinan untuk minta sita jaminan konservatoir seperti halnya pada gugatan perdata biasa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang yang telah dipaparkan oleh penulis di atas maka penulis menemukan permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan umum terhadap wanprestasi di Indonesia?
2. Apakah faktor penyebab terjadinya wanprestasi dalam perjanjian kredit?
3. Bagaimana tinjauan yuridis tindakan ingkar janji (wanprestasi) pada putusan nomor 38/pdt.g/2018/pn bnj
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam penyusunan skripsi ini yaitu : 1. Untuk mengetahui tinjauan umum terhadap wanprestasi di Indonesia
2. Untuk mengetahui yang menjadi faktor penyebab terjadinya wanprestasi dalam perjanjian kredit
3. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan yuridis tindakan ingkar janji (wanprestasi) pada putusan nomor 38/pdt.g/2018/pn bnj
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat secara teoritis, yakni berupa :
a) Mengetahui secara jelas mengenai wanprestasi dalam perjanjian kredit dan isi perjanjian kredit di PT. BPR Nusantara Bona Pasogit 22.
b) Menambah pengetahuan atau wawasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan wanprestasi dalam perjanjian kredit secara umum.
2. Manfaat secara praktis, yakni berupa :
Hasil dari penulisan ini diharapkan akan sangat berguna dalam memberikan jawaban terhadap masalah yang akan diteliti yaitu mengenai wanprestasi dalam perjanjian kredit serta penyelesaiannya untuk memberikan informasi dan gambaran kepada pembaca juga masyarakat serta memberi masukan kepada pemerintah serta pelaku usaha.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah normative yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan mengemukakan kasus yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang dikemukakan.
3. Sumber Data
Data yang kemudian diharapkan dapat diperoleh di tempat penelitian maupun di luar penelitian adalah :
a) Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh dari tangan pertama, dari sumber asalnya yang belum diolah dan diuraikan orang lain. Untuk memperoleh data primer peneliti melakukan analisis kasus putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
b) Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang diperoleh peneliti yang sebelumnya telah diolah orang lain. Untuk memperoleh data sekunder peneliti melakukan studi kepustakaan.
Studi kepustakaan adalah penelitian terhadap bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan ini, sebagai bahan referensi untuk menunjang keberhasilan penelitian. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan bahan hukum yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai bahan hukum sekunder. Bahan Hukum diklasifikasikan ke dalam tiga (3) golongan :7
1) Bahan hukum primer, terdiri dari bahan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum positif termasuk peraturan perundang-undangan dan website.
2) Bahan hukum sekunder atau sering dinamakan Secondary data yang antara lain mencakup di dalamnya:
a. Kepustakaan/buku literatur yang berhubungan dengan perbuatan melawan hukum.
b. Data tertulis yang lain berupa karya ilmiah para sarjana.
c. Referensi- referensi yang relevan dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, kamus umum dan lain sebagainya.
Bahan- bahan hukum sebagai kajian normative sebagian besar dapat diperoleh melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum.8
F. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan yang serupa mengenai Tinjauan Yuridis Tindakan Ingkar Janji (Wanprestasi) Pada Putusan Nomor 38/Pdt.G/2018/Pn Bnj
G. Tinjauan Pustaka
Dalam Pasal 1313 KUHPerdata “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap salah satu orang lain atau lebih”.
Syarat sah Syarat sah suatu perjanjian ada 4 (empat) dan diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata, yakni terdiri atas : Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.
7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:PT.
RajaGrafindo Persada, 2001 ), hal. 14.
8 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008), hal. 98.
Di dalam suatu perjanjian sering terjadi wanprestasi. Jika ada pihak yang tidak melakukan perjanjian, pihak itu dikatakan wanprestasi. Menurut pendapat M. Yahya dalam bukunya Segi-segi Hukum Perjanjian yang dimaksud dengan wanprestasi adalah
“Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya”. Kata “tidak tepat pada waktunya atau tidak layak” apabila dihubungkan dengan kewajiban merupakan melanggar hukum. Pihak debitur sebagian atau secara keseluruhan tidak menempati atau berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati bersama.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai isi penulisan skripsi, maka penulis membuat sistematika sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Di dalam bab ini berisi ; tentang pendahuluan, latar belakang permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan Umum terhadap Wanprestasi di Indonesia
Di dalam bab ini berisi ; tinjauan umum tentang perjanjian, tinjuan umum tentang wanprestasi, model-model wanprestasi dan doktrin pelaksanaan kontrak secara substansi, bank perkreditan rakyat.
Bab III : Faktor Penyebab terjadinya Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit Di dalam bab ini, berisi ; pengertian perjanjian kredit, fungsi perjanjian kredit, para pihak dalam perjanjian kredit, objek dalam perjanjian kredit, berakhirnya suatu perjanjian kredit, bank perkreditan rakyat.
Bab IV : Tinjauan Yuridis Tindakan Ingkar Janji (Wanprestasi) Pada Putusan Nomor 38/Pdt.G/2018/Pn Bnj
Di dalam bab ini, berisi ; gambaran umum kasus, pertimbangan majelis hakim yang berkaitan dengan wanprestasi pada putusan nomor
38/Pdt.G/2018/Pn Bnj, penerapan hukum tentang wanprestasi berdasarkan putusan nomor 38/Pdt.G/2018/Pn Bnj.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Di dalam Bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dari seluruh penulisan serta saran yang mudah-mudahan berguna bagi penulis dan pembaca
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI DI INDONESIA
A. Tinjauan umum tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.9 Perjanjian juga berhubungan kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi
Dalam KUHPerdata mengandung arti :
"Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap salah satu orang lain atau lebih" (Pasal 1313 Kitab Undang- undang Hukum Perdata).
Menurut Salim HS definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini terdapat kelemahan- kelemahan sebagai berikut :10
1) Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, 2) Tidak tampak asas konsensualisme, dan ;
3) Bersifat dualisme.
Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian.
Untuk memperjelas pengertian itu, maka harus dicari dalam doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah "Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum".11 Kata “perbuatan” yang terdapat dalam Pasal tersebut mencakup juga tanpa konsesus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan
9 Subekti, loc. cit.,
10 Salim HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 163.
11 Salim HS, Ibid., hlm. 164.
melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu consensus.
Abdulkadir Muhammad juga berpendapat bahwa defenisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut masih terdapat beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:12
a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat disimak dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata
“mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak berasal dari kedua pihak. Sedang maksud perjanjian itu adalah para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampaklah kekurangannya. Seharusnya pengertian perjanjian itu ditambah dengan rumusan “saling mengikatkan diri”.
b. Kata perbuatan mencakup juga kata kesepakatan (consensus)
Karena terdapat kelemahan-kelemahan dari defenisi Perjanjian pada Pasal 1313 KUHPerdata, maka muncullah doktrin untuk melengkapi arti perjanjian itu sendiri. Beberapa arti perjanjian menurut para ahli yaitu :
Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.13
Menurut Setiawan, “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.14
Menurut Prodjodikoro, “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk pelaksanaan janji itu”.15
Menurut Sudikno Mertokusumo, “Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.16
12 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 88.
13 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 23.
14 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung : Alumni, 1979), hal. 4.
15 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung :Bale,1986), hal. 9.
16 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty (Yogjakarta, 1988), hal. 96.
Menurut M. Yahya Harahap, “Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum harta kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikekuatan hak kepada suatu pihak untuk memperoleh suatu prestasi dan sekaligus mewajibkan para pihak lain untuk menunaikan prestasi”.17
Pengertian perjanjian menurut Handri Raharjo, “Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum”
2. Unsur-unsur Perikatan/Perjanjian
Berdasarkan beberapa pengertian perikatan/perjanjian tersebut, maka dapat ditarik unsur- unsur yang terkandung dalam perikatan, antara lain:
a. Hubungan Hukum
Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Didalam hubungan hukum, hubungan antara dua pihak yang didalamnya melekat hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya. Hubungan ini diatur dan memiliki akibat hukum tertentu.
Hak dan kewajiban para pihak ini dapat dipertahankan dihadapan pengadilan.18 Kalau debitur tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela, dengan baik, dan sebagaimana mestinya, maka kreditur dapat meminta bantuan hukum agar ada tekanan kepada debitur supaya ia memenuhi kewajibannya.19
b. Dalam Lapangan Hukum Kekayaan
Hukum kekayaan (vermogensrecht) adalah ketentuan hukum yang berkaitan hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan kekayaan. Kekayaan ini adalah keseluruhan hak dan kewajiban orang. Hubungan para pihak dalam perikatan harus merupakan hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan. Hubungan hukum yang timbul dari perikatan berupa hak dan kewajiban itu harus memiliki nilairu uang atau setidaknya dapat dijabarkan dengan
17 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Alumni, 1966), hal. 6.
18 Ridwan khairandy, “Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian I)”. Diktat Kuliah.
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2012, hlm.5.
19 J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, Cetakan Ketiga (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 13.
sejumlah uang tertentu. Jadi, untuk menentukan apakah hubungan hukum itu berada dalam lapangan hukum kekayaan, tolak ukur yang digunakan adalah hubungan hukum tersebut harus dapat dinilai dengan sejumlah uang.20 Hal itu berarti, bila debitur wanprestasi, maka kreditur harus dapat mengemukakan adanya kerugian finansial, agar ia dapat menuntut debitur berdasarkan ketentuan-ketentuan Buku III KUHPerdata.21
c. Para Pihak
Para pihak didalam perikatan menjadi subjek perikatan. Subjek perikatan ada dua pihak, yakni debitur dan kreditur. Debitur adalah pihak yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi, sedangkan kreditur adalah pihak yang memiliki hak atas pemenuhan suatu prestasi dari debiturnya. Kreditur dikatakan mempunyai tagihan terhadap debiturnya, yakni tagihan atas prestasi dari debiturnya, yang objeknya tidak harus berupa sejumlah uang tertentu, tetapi bisa juga berupa kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, bahkan kalau ada kewajiban untuk memberikan sesuatu pun objeknya tidak harus berupa sejumlah uang.22 Pihak dalam perikatan tidak identik dengan orang. Dalam konteks hukum perdata orang dapat berarti makhluk pribadi (netuurlijkepersoon atau natural person) juga dapat mencakup badan hukum (rechtpersoon atau legal person). Seorang debitur atau kreditur dapat terdiri dari beberapa orang atau badan hukum, tetapi didalam perikatan tetap dua, yakni debitur dan kreditur.23
d. Prestasi
Prestasi merupakan objek perikatan. Prestasi sendiri merupakan suatu utang atau kewajiban yang harus dilaksanakan dalam suatu perikatan. Dalam Pasal 1234 KUHPerdata memberikan klasifikasi prestasi sebagai berikut :
1) Memberikan sesuatu 2) Melakukan sesuatu 3) Tidak berbuat sesuatu
Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata menjelaskan pengertian “memberikan sesuatu”, yaitu menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur atau sebaliknya.
Dalam perikatan yang objeknya “melakukan sesuatu”, debitur wajib melakukan perbuatan
20 Ridwan Khairandy, op. cit., hlm. 6.
21 J. Satrio, op. cit., hlm 15.
22 J. Satrio, op. cit., hlm 25.
23Ridwan Khairandy, op. cit., hlm 8.
tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya melakukan perbuatan membongkar tembok, mengosongkan rumah, dan membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan tersebut, debitur harus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan.
Dalam perikatan yang objeknya “tidak melakukan sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah disepakati dalam perikatan, misalnya tidak membuat tembok rumah yang tinggi sehingga menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila debitur melakukan pembuatan tembok yang berlawanan dengan perikatan ini, dia bertanggung jawab karena melanggar perjanjian dan harus membongkar tembok atau membayar ganti kerugian kepada tetangganya.24
3. Syarat Syah Perjanjian
Perjanjian merupakan salah satu sumber dari hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Untuk membuat suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Syarat sah suatu perjanjian ada 4 (empat) dan diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata, yakni terdiri atas :
a. Kesepakatan (Toesteming/ izin) Kedua Belah Pihak.
Syarat pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau consensus antara pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) BW. Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki dalam hal mendapatkan hak dan kewajiban yang sama secara timbal balik.
Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak yaitu dengan : 1. Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2. Bahasa yang sempurna secara lisan;
3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
24 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 239-240.
5. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.25
“Dalam perjanjian, terkadang kesepakatan telah terjadi, namun terdapat kemungkinan kesepakatan tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan, sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut. Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena kekhilafan atau kesesatan, paksaan, penipuan,dan penyalahgunaan keadaan.”26
b. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan
Kecakapan merupakan kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Jika seorang sebagai subjek hukum dianggap cakap berarti ia memilki hak dan kewajiban untuk bertindak dalam perbuatan hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-undang.
Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap melakukan perjanjian, jika orang tersebut belum berumur 21 Tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun.
Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros.
Dalam Pasal 1330 BW, ditegaskan sebagai orang yang belum dewasa, tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian :
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
Dari sudut dan rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian dan akan terikat dengan perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatan itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat perjanjian berarti mempertaruhkan kekayaannya,
25 Salim H.S, Hukum Kontrak, (Sinar Grafika: 2004), hlm. 33.
26 Pasal 1321, Pasal 1449 BW
maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya27 Berkenaan dengan huruf c dalam Pasal 1330 KUH Perdata, mengenai hak perempuan dalam hal yang ditetapkan dengan undang-undang sekarang ini, tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki-laki disamakan dalam hal membuat perjanjian, sedangkan untuk orang-orang yang dilarang oleh perjanjian, untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya berwenang membuat perjanjian tertentu.28
c. Adanya Objek Perjanjian (onderwerp der overeenkomst)
Objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Berdasarkan Pasal 1234 BW, prestasi terdiri dari perbuatan positif dan perbuatan negative.
Prestasi itu terdiri atas:
a) Menyerahkan sesuatu/ memberikan sesuatu;
b) Berbuat sesuatu; dan c) Tidak berbuat sesuatu
Menurut Ahmadi Miru29 ketiga pembagian prestasi tersebut bukanlah merupakan bahagian dari bentuk prestasi, melainkan cara melakukannya. Hal tersebut jelas dan logis, karena memberikan, berbuat dan tidak berbuat jelas-jelas adalah metode, teknik atau cara sehingga prestasi itu terwujud. Lebih tepatnya bentuk prestasi yakni berupa barang maupun jasa.
Sedangkan untuk suatu hal tertentu yang tidak berbuat sesuatu harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antar rumah yang bertetangga.”
d. Adanya causa yang halal (geoorloofde oorzaak)
27 Subekti, Op.Cit hlm. 18.
28 Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 Jo. SEMA No. 3 Tahun 1963
29 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004, hlm. 68
Dalam Pasal 1320 BW tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal) di dalam Pasal 1337 BW hanya ditegaskan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Menurut Subekti ;
“Undang-undang menghendaki untuk sahnya perjanjian harus ada oorzaak atau causa. Secara letterlijk, oorzaak atau causa berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu adalah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Jika ayat 3 dan 4 tidak dipenuhi maka perjanjian ini batal demi hukum.”30
Menurut Ahmadi Miru, istilah atau kata halal bukanlah lawan kata haram dalam Hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan. Selain kriteria yang disebutkan di atas, bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ketertiban umum; oleh Satrio menambahkan satu; yakni, bertentangan dengan nilai kepatutan. Bertentangan dengan Undang-Undang sering disamakan dengan istilah perbuatan melawan hukum. Bertentangan dengan undang-undang bukan hanya yang tertulis.
4. Asas- Asas Perjanjian
Beberapa asas perjanjian, antara lain : a. Asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang dari sistem Hukum Perdata, khususnya Hukum Perikatan yang diatur Buku III KUHPerdata. Bahkan menurut Rutten Hukum Perdata, khususnya hukum perjanjian, seluruhnya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.
Dengan asas kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang dikenal dalam Perjanjian Tidak Bernama dan isinya menyimpang dari Perjanjian Bernama. Dilihat dari Pasal 1337 KUHPerdata, dapat ditafsirkan bahwa kebebasan untuk membuat perjanjian itu terdiri dari beberapa hal, yakni:
30 Subekti, Op.Cit., hlm. 21
1) Kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian 2) Bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa saja
3) Bebas untuk menentukan isi perjanjian yang dibuatnya 4) Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian
5) Kebebasan untuk menentukan terhadap hukum mana perjanjian itu akan tunduk b. Asas Konsensalisme
Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Kata konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Hal ini berarti bahwa pada asasnya suatu perjanjian timbul sejak saat tercapainya konsensus atau kesepakatan atau kehendak yang bebas antara para pihak yang melakukan perjanjian.
Asas konsensalisme ini tercermin dalam unsur pertama. Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan “sepakat mereka yang mengikatkan diri”, artinya dari asas ini menurut Subekti adalah “pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.31 Berdasarkan asas konsensualisme, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau consensus para pihak yang membuat kontrak.32
c. Asas Pacta Sunt Servanda (kekuatan mengikat hukum)
Ketentuan asas ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat dengan cara yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yang berarti mengikat para pihak dalam perjanjian, seperti undang-undang juga mengikat orang terhadap siapa undang-undang itu berlaku. Dengan adanya kehendak dari para pihak, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang- undang. Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi uga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.33
31 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 5.
32 Ridwan Khairandy, op. cit., hlm. 60.
33 Ibid., hlm. 61.
d. Asas Iktikad Baik (good faith)
Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik, seperti yang tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Kewajiban ini kemudian dilanjutkan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa kontrak tidak hanya mengikat terhadap apa yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga kepada segala sesuatu yang menurut sifat kontrak, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.
Berkaitan dengan kebiasaan Pasal 1374 KUHPerdata menyatakan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan kedalam kontrak meskipun tidak secara tegas diperjanjikan.34 Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu dan oleh kata-kata ketentuan-ketentuan perundang-undangan mengenai perjanjian itu, melainkan juga oleh iktikad baik.
Pengertian iktikad baik mempunyai dua arti, yaitu : 35
1) Iktikad baik subjektif, yaitu pengertian iktikad baik yang terletak dalam sikap batin seseorang.
2) Iktikad baik objetif, yaitu perjanjian yang dibuat itu mesti dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
e. Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat
34 Ibid., hlm. 94.
35 Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26459/3/Chapter%2011.pdf., Akses 4 Juni 2020
pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan: Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua Pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas.
5. Klasifikasi Perjanjian
Menurut Handri Raharjo, perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu:
a. Perjanjian menurut sumbernya:36
1. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, misalnya : Perkawinan;
2. Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan, adalah perjanjian yang berhubungan dengan peralihan hukum benda;
3. Perjanjian obligatoir, adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban;
4. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara;
5. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.
b. Perjanjian berdasarkan hak dan kewajiban para pihak, dibedakan menjadi :
1. Perjanjian timbal balik, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban kewajiban bagi keduanya, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan lainnya, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar
2. Perjanjian sepihak, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja, sedangkan pihak lain hanya hak saja, misalnya perjanjian hibah, perjanjian kuasa tanpa upah, penitipan barang cuma-cuma.37
36 Handri Rahardjo, op. cit., hlm. 59.
37 J. Satrio, op.cit., hlm. 42-43.
c. Perjanjian menurut keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi pada pihak yang lain, dibedakan menjadi:38
1. Perjanjian cuma-cuma, adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak, misalnya : perjanjian hibah;
2. Perjanjian atas beban, adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontraprestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu terdapat hubungan hukum, misalnya: Perjanjian jual beli, sewa-menyewa.
Selanjutnya perjanjian menurut namanya, dibedakan menjadi :
a. Perjanjian bernama (nominaat), adalah perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, misalnya: perjanjian yang terdapat dalam buku III Bab V- XVIII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perjanjian jual-beli, perjanjian tukar-menukar, dan lain-lain.
b. Perjanjian tidak bernama (innominaat), yaitu perjanjian yang tumbuh, timbul dan hidup dalam masyarakat karena berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diundangkan, misalnya: Perjanjian waralaba, dan lain-lain. Perjanjian menurut bentuknya, terbagi menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Perjanjian Lisan, terbagi 2 (dua) yaitu:
a) Perjanjian konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan;
b) Perjanjian riil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan barangya. Misalnya : perjanjian penitipan barang.
2. Perjanjian Tertulis, terbagi 2 (dua) yaitu :
a) Perjanjian standard atau baku, adalah perjanjian yang berbentuk tertulis berupa formulir yang isinya telah dibakukan terlebih dahulu secara sepihak oleh produsen tanpa mempertimbangkan kondisi konsumen;
b) Perjanjian formal, adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu, misalnya: perjanjian hibah harus dibuat dengan akta notaris.39
38 Handri Rahardjo, op. cit., hlm. 60.
39 Ibid., hlm. 63-64
Perjanjian yang bersifat istimewa, dibedakan menjadi :
1. Perjanjian liberatoir, adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya : pembebasan hutang (Pasal 1438 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata);
2. Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian di mana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka;
3. Perjanjian untung-untungan, misalnya : Perjanjian asuransi; Perjanjian publik, adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu bertindak sebagai penguasa.
Perjanjian menurut sifatnya, dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang utama, misalnya: Perjanjian Kredit Bank b. Perjanjian accesoir, yaitu perjanjian tambahan yang mengikuti perjanjian utama,
misalnya: pembebanan hak tangungan atau fidusia, gadai.
6. Tahap-tahap Perjanjian
Menurut Van Dunne ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru, yaitu:
a. Tahap pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;
b. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak;
c. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.
7. Penafsiran Perjanjian
Penafsiran Perjanjian Penafsiran perjanjian diatur di dalam pasal 1342 KUH Perdata sampai dengan pasal 1351 KUH Perdata. Penafsiran perjanjian merupakan salah satu metode penemuan hukum (cara untuk menemukan hukumnya). Penafsiran perjanjian diperlukan karena dalam sebuah perjanjian sering ditemui kata-kata yang tidak jelas atau perjanjian yang hanya mengatur mengenai pokok-pokok permasalahannya saja, sehingga diperlukan suatu
bentuk penafsiran untuk mengetahui maksud yang ingin dicapai oleh semua pihak dalam membuat perjanjian.40
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa isi perjanjian dibedakan menjadi dua macam, yaitu kata-katanya jelas dan kata-katanya tidak jelas, sehingga menimbulkan bermacam-macam penafsiran. Di dalam pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa apabila kata-kata dalam suatu perjanjian tidak jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Ini berarti bahwa para pihak haruslah melaksanakan isi perjanjian tersebut dengan itikad baik. Apabila kata-katanya tidak jelas, maka dapat dilakukan penafsiran terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang memperhatikan beberapa aspek berikut ini:41
a. Jika kata-kata yang terdapat dalam perjanjian memberikan berbagai penafsiran maka harus diselidiki maksud para pihak yang membuat perjanjian (pasal 1343 KUH Perdata).
b. Jika suatu janji memberikan berbagai penafsiran maka harus diselidiki pengertian yang memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksanakan (pasal 1344 KUH Perdata).
c. Jika kata-kata dalam perjanjian diberikan dua macam pengertian maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian (pasal 1345 KUH Perdata). Apabila terjadi keragu-raguan, maka harus ditafsirkan menurut kebiasaan dalam negeri atau di tempat dibuatnya perjanjian tersebut (pasal 1346 KUH Perdata).
d. Jika ada keragu-raguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang meminta diperjanjikan sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang mengikatkan dirinya untuk itu (pasal 1349 KUH Perdata).
Berdasarkan hal tersebut, penafsiran perjanjian dalam hukum kontrak memiliki tempat yang sangat penting untuk diperhatikan.Adapun cara penafsiran perjanjian menurut Ahmadi Miru adalah sebagai berikut:42
a. Penafsiran atas rumusan perjanjian tersebut disesuaikan dengan maksud para pihak, jadi walaupun kalimat dalam perjanjian tersebut dirumuskan tidak begitu jelasm namun
40 Handri Raharjo, op. cit., hlm. 59
41 Salim H.S, Hukum Kontrak & Teori Penyusunan Kontrak , (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 44-45.
42 Ahmadi Miru,, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2017), hlm 70- 74.
maksud dari para pihak ketika merumuskan perjanjian yang dijadikan landasan dalam penafsiran kontrak tersebut.
b. Penafsiran perjanjian tersebut diarahkan kepada kemungkinan dapat terlaksananya perjanjian tersebut. Jadi kalau suatu perjanjian bermakna ganda, maka harus ditafsirkan kea rah bagaimana perjanjian itu dapat terlaksana daripada kalau ditafsirkan kepada kemungkinan penafsiran lainnya yang menyebabkan kontrak tersebut tidak dapat dilaksanakan.
c. Penafsiran perjanjian tersebut kearah yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
d. Penafsiran perjanjian diarahkan kepada kebiasaan setempat. Jadi kalau suatu kalimat yang tidak jelas bahkan tidak diatur secara tegas, harus ditafsirkan sesuai dengan kebiasaan setempat.
e. Penafsiran diarahkan pada hal-hal yang selamanya dicantumkan dalam perjanjian, walaupun hal itu tidak secara tegas diperjanjikan.
f. Penafsiran diarahkan kepada suatu kesatuan perjanjian atau setiap klausul perjanjian harus ditafsirkan dalam rangka kontrak seluruhnya. Maksudnya, dalam suatu perjanjian tidak dapat dibagi-bagi cara penafsiran antara satu kata dengan kata lainnya, melainkan harus ditafsirkan secara keseluruhan dalam suatu keutuhan perjanjian.
g. Penafsiran diarahkan kepada kerugian bagi orang yang meminta ditetapkannya suatu hak dan atas keuntungan orang yang mengikatkan dirinya. Maksudnya, kalau dalam perjanjian itu terdapat keragu-raguan tentang maksud perjanjian, perjanjian itu diarahkan untuk mengurangi hak pihak yang satu yang berarti pula mengurangi kewajiban pihak lainnya.
h. Penafsiran diarahkan untuk membatasi suatu kontrak hanya terhadap hal yang nyata- nyata dimaksudkan oleh para pihak pada waktu membuat perjanjian, walaupun kata-kata dalam perjanjian tersebut cakupannya lebih luas dari maksud para pihak tersebut.
B. Tinjauan umum tentang Wanprestasi 1) Pengertian Wanprestasi
Pengertian wanprestasi belum mendapatkan keseragaman, masih terdapat bermacam- macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah yang hendak dipergunakan. Adanya bermacam-macam istilah wanprestasi menurut beberapa sarjana yang telah mempergunakan istilah wanprestasi dan memberi pendapat tentang pengertian wanprestasi tersebut.
Pengertian wanprestasi menurut Hukum Perdata berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagai mana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Pelaksanaan perjanjian, dapat terjadi wanprestasi yang berarti tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan bersama dalam perjanjian.
Wanprestasi ialah keadaan dimana salah satu pihak tidak melakukan kewajiban, terlambat atau tidak sempurna melakukan kewajibannya. Keadaan cidera janji berbeda dengan keadaan di luar kekuasaan atau kemampuan dari pihak yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Kemungkinan dapat atau tidak dapat diatasi keadaan di luar kuasa/kemampuan harus diberitahukan dengan segera kepada pihak lainnya dan bahwa telah dicoba untuk mengatasi keadaan tersebut sebatas masuk akal sehingga tidak dapat digolongkan pada cidera janji.
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi di dalam hukum perjanjian, berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaan janji untuk wanprestasi. Menurut Salim berpendapat bahwa wanprestasi adalah tidak mengetahui atau lalai melaksanakan kewajiban (prestasi) sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena :
(1) Kesengajaan;
(2) Kelalaian;
(3) Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).
Akan tetapi berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya suatu unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibat umumnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu. Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure, yang umumnya membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau untuk selama- lamanya).
Disamping itu, apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam kontrak, maka pada umumnya (dengan beberapa pengecualian) tidak dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak atau dalam undang-undang, maka wanprestasinya si debitur resmi terjadi setelah debitur dinyatakan lalai oleh kreditur (ingebrehstelling) yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai”
oleh pihak kreditur.
Stelsel dengan akta lalai ini adalah khas dari negara-negara yang tunduk kepada Civil Law seperti Prancis, Jerman, Belanda dan karenanya juga Indonesia. Sementara di negara- negara yang berlaku sistem Common Law, seperti Inggris dan Amerika Serikat, pada prinsipnya tidak memberlakukan stelsel akta lalai ini. Dalam praktek akta lalai ini sering disebut dengan Somasi.
2) Akibat Hukum Wanprestasi
Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum. Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibatakibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.43
43 Dermina Dsalimunthe, Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perspektif Kitab Undang Undang Hukum Perdata (BW). Jurnal Al-Maqasid Volume 3 Nomor 1 Edisi Januari – Juni 2017, hal. 13