• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan tentang Izin Usaha Pertambangan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjad

Dalam dokumen Monografi Penelitian Strategis 2013 (Halaman 82-85)

Kasus Tambang Kapur di Kabupaten Gresik dan Kabupaten Jember

B. Tinjauan tentang Izin Usaha Pertambangan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjad

landasan hukum dari hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian hak menguasai negara dengan demikian merupakan kewenangan yang dimiliki negara yang berisi wewenang, mengatur, merencanakan, mengelola/mengurus serta mengawasi pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah baik dalam hubungan antara perseorangan, masyarakat dan negara dengan tanah maupun hubungan antara perseorangan, masyarakat dan negara satu dengan lainnya yang berkaitan dengan tanah.

Wewenang penguasaan untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa dari otoritas tersebut dapat dipilah menjadi dua bagian yaitu : (1) jika meliputi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan maka instrumen hukum publik yang diberikan disebut “hak”; dan (2) jika hanya meliputi penggunaan dan pe- manfaatan saja, disebut dengan “ijin”.4 Dalam Sistem Hukum

Perdata Barat, pembagian tersebut sejalan dengan perbedaan hubungan hukum antara hak kebendaan dan hak perorangan yang kriteria pembedanya dapat dilihat dari hubungan hukum antara subyek dan obyek isi kewenangan, daya lekat hubungan hukum dengan hak lain.5 Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa “hak”

adalah hak kebendaan, sedangkan “ijin” adalah peorangan. Ijin dalam hal ini termasuk dalam hukum agraria.6

Dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional merupakan lembaga yang mempunyai otoritas mengatur tanah yaitu meliputi

4 Julius Sembiring, 2012, Tanah Negara. STPN Press.Hal 46 5 Ibid, hal 47.

6 Herman Sosangobeng, 2012, Filosoi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan Agraria. Yogyakarta,STPN Press.Hal 9.

penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan maka “hak atas tanah” diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional. Sedangkan Departemen ESDM mempunyai otoritas mengatur mineral, batu bara serta minyak dan gas bumi dan dapat memberikan “ijin” dalam bentuk ijin penggunaan dan pemanfaatan yang menurut UU No 11 Tahun 1967 berupa Kuasa Pertambangan dan menurut UU No 4 Tahun 2009 berupa Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Dalam hal ini ijin yang dikeluarkan oleh otoritas pertambangan masuk dalam ranah hukum publik (hukum administrasi negara), namun se- sungguh nya tidak melahirkan hak kebendaan atas sumber daya alam tersebut7. Dengan kata lain, ruang lingkup ijin tersebut hanya

mengandung kewenangan untuk menggunakan atau memanfaatkan saja dan tidak mengandung kewenangan untuk memiliki.

Setiap hak atas tanah memberikan kewenangan memakai suatu bidang tanah tertentu, untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Kewenangan memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan meng ambil manfaat dari suatu dari suatu bidang tanah tertentu yang dihaki. Dalam rangka memakai tanah mengandung kewajiban untuk memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya.8

Hak Pakai Atas Tanah Negara adalah Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Badan Pertanahan Nasional dan terjadi sejak keputusan pemberian Hak Pakai didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk

dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertiikat sebagai tanda

bukti haknya. Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun 9.

7 Ibid,hlm 47. 8 Pasal 15 UUPA 9 Ibid,hlm.116.

Pengertian Hukum Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan

Menurut keterangan dalam ensiklopedia Indonesia (dalam HS Salim, 2005:7) istilah hukum pertambangan merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu mining law. Hukum pertambangan adalah “hukum yang mengatur tentang penggalian atau per-

tambangan biji - biji dan mineral dalam tanah”. Deinisi lain dapat

kita baca dalam Blacklaw Dictionary. Minning Law adalah “the act of appropriating a mining claim (parcel of land containing precious metal in its soil or rock) according to certain established rule” (Blacklaw Dictionary, 2004:847). Artinya, hukum per- tambangan adalah ketentuan yang khusus yang mengatur hak menambang (bagian dari tanah yang mengandung logam berharga di dalam tanah atau bebatuan) menurut aturan-aturan yang telah

ditetapkan. Dari kedua deinisi diatas Salim HS menyempurnakan

pengertiannya dengan menyebutkan bahwa hukum per tambangan adalah:10

“Keseluruhan kaidah hukum yang mengatur kewenangan negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) dan mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang dan atau badan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian (tambang)”.

Sistem izin usaha pertambangan yang digunakan dalam UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini jelas berbeda dengan sistem kontrak yang terdapat dalam UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Hukum Pertambangan. Perbedaan sistem/rezim perijinan dan sistem/ rezim kontrak dapat dilihat pada tabel berikut:

10 Salim, HS, 2005, Hukum Pertambangan Indonesia, Raja Graindo Persada, Jakarta,Hlm. 8

Tabel 1

Perbandingan Sistem/Rezim Perizinan dan Sistem/Rezim Kontrak11

No Subyek Sistem/rezim Perijinan Sistem/rezim Kontrak

1 Hubungan

Hukum

Bersifat Publik, Instrumen dan administrasi

Bersifat Perdata

2 Penerapan

Hukum

Oleh Pemerintah Oleh Kedua Belah Pihak

3 Pilihan Hukum Tidak Berlaku Pilihan Hukum Berlaku Pilihan Hukum

4 Akibat Hukum Sepihak Kesepakatan Kedua

Belah Pihak 5 Penyelesaian Sengketa PTUN Arbitrase 6 Kepastian Hukum

Lebih terjamin Kesepakatan Kedua

Belah Pihak

7 Hak dan

Kewajiban

Hak dan Kewajiban Pemerintah Besar

Hak dan Kewajiban relatif Antar Pihak

8 Sumber Hukum Peraturan Perundangan Kontrak / Perjanjian itu

sendiri

Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Adapun sumber hukum tertulis hukum pertambangan di Indonesia yaitu12 Indische Mijn Wet (IMW); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Hubungan Pertambangan dengan Hak Atas Tanah

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 memberikan istilah Kuasa Pertambangan kepada badan/perseorangan untuk me- laksana kan usaha pertambangan.13 Apabila telah ada hak tanah atas

11 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Sinar Graika Offset, Hlm. 137 12 Salim,HS. Op.Cit.Hlm 17

13 Pasal 3 huruf i Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967

sebidang tanah yang bersangkutan dengan wilayah kuasa per- tambangan, maka kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlah nya ditentukan bersama antara pemegang kuasa per- tambangan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan.

Apabila telah diberikan kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang di atasnya tidak terdapat hak tanah dalam hal ini status hukumnya tanah Negara, maka atas sebidang tanah tersebut atau bagian-bagiannya tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.14 Undang-Undang ini secara tegas mengatur terhadap kuasa pertambangan di atas tanah Negara tidak diberikan hak atas tanah sebagai mana diatur Pasal 16 UUPA, bisa diberikan hak atas tanah di areal pertambangan tersebut asal ada persetujuan Menteri dalam hal ini adalah persetujuan Menteri.

Dalam Undang–Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Istilah kuasa pertambangan tidak muncul lagi dalam undang-undang ini, untuk melaksanakan usaha pertambangan dikeluarkan Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP.

Secara implisit pasal 134 ayat (1) menyatakan bahwa WIUP bukan merupakan Hak Atas Tanah, karena yang dikelola adalah dibawah permukaan tanah. Pemegang IUP hanya dapat melaksana- kan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah15. Jadi apabila tanah yang digunakan itu berstatus Hak Milik (HM), perusahaan penambangan harus memberikan ganti rugi yang layak kepada pemegang Hak Atas Tanah. Ganti rugi tidak hanya terhadap tanah-tanah yang bersangkutan tetapi juga terhadap benda-benda yang ada diatasnya seperti tanaman dan bangunan diatasnya.16 Pemegang IUP sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak yang dapat dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan atas 14 Pasal 27 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Pertambangan

15 Pasal 135 Undang-Undang No 4 Tahun 2009 16 HS Salim, op.cit.Hlm. 25

tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.17 Selanjutnya hak atas IUP, IPR atau IUPK ditegaskan bukan merupakan pemilikan hak atas tanah.18

Berbeda dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 yang secara tegas kepada penerima kuasa pertambangan tidak dapat diberi hak atas tanah kecuali dengan persetujuan Menteri, dalam Pasal 137 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 ini pemegang IUP atau IUPK yang telah menyelesaikan hak-hak atas bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas tanah. Kata dapat artinya tidak harus diberikan, dengan demikian hal ini perlu dikaji kembali akibat pemberian hak atas tanah kepada pemegang IUP atau IUPK.

Kegiatan usaha pertambangan berpotensi mengubah kondisi bentang alam bahkan cenderung merusak, sehingga diperlukan upaya pemulihan kembali atau reklamasi untuk menjamin pe- manfaatan bidang tanah di bekas kegiatan pertambangan agar bidang tanah dapat berfungsi kembali untuk sebesar-besar ke- makmuran rakyat.

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 mengatur apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang ber- sangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitar. Reklamasi diperjelas pelaksanaannya dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Selanjut nya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengatur selain pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan, wajib juga menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat pengajuan IUP atau IUPK. Pelaksanaan reklamasi dan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pasca- tambang. Peruntukan lahan pascatambang dicantumkan dalam per janjian penggunaan tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak atas tanah.

17 Pasal 136 Undang-Undang No 4 Tahun 2009 18 Pasal 138 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

C. Status Hukum Tanah di Areal Pertambangan

Dalam dokumen Monografi Penelitian Strategis 2013 (Halaman 82-85)