• Tidak ada hasil yang ditemukan

Itik merupakan salah satu jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae dan genus Anas. Ciri fisik yang dimiliki oleh itik lokal (Anas platyrhynchos) adalah bentuk tubuh yang langsing dengan langkah tegap, tinggi tubuh berkisar antara 45-50 cm dan digambarkan sebagai bentuk botol anggur, tubuh kecil dengan bobot tubuh dewasa rata-rata 1.200 gram untuk betina dan 1.400 gram untuk jantan, warna bulu totol-totol coklat dengan paruh dan kaki hitam (Rose, 1997).

Itik Mojosari x Alabio (MA) merupakan itik hasil persilangan antara itik Mojosari (Anas javanica) jantan dengan itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) betina. Persilangan timbal balik antara itik Mojosari dan Alabio akan memberikan manfaat jika dilihat secara menyeluruh dan bukan terhadap sifat-sifat tertentu saja (Yudityo, 2003). Keunggulan itik Mojosari Alabio menurut Balai Penelitian Ternak (2006) adalah umur pertama bertelur lebih awal, produktivitas telur lebih tinggi, konsistensi produksi lebih baik, pertumbuhan lebih cepat, anak jantan dapat dijadikan sebagai itik pedaging atau potong bila dibandingkan dengan anak itik Mojosari maupun Alabio.

Itik Mojosari memiliki bentuk tubuh seperti botol dan berjalan tegak serta ukuran tubuh relatif kecil. Warna bulu itik jantan maupun betina tidak berbeda, yaitu berwarna kemerah-merahan dengan variasi coklat, hitam dan putih, warna paruh dan kaki itik jantan lebih hitam daripada itik betina. Selanjutnya Hardjosworo dan Rukmiasih (2000) menyatakan bahwa itik Alabio jantan mempunyai karakteristik warna bulu totol-totol coklat, puncak kepala berwarna hitam, paruh berwarna jingga dengan bintik hitam diujung dan kaki berwarna jingga. Pada itik jantan, kepala bagian atas berwarna coklat gelap, ditemukan garis leher putih di depan, dada berwarna coklat keungu-unguan, badan berwarna kelabu pucat dan coklat muda, biru kehijau-hijauan mengkilap dan bulu ekor berwarna hitam.

Noor (1996) menyatakan, apabila ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga disilangkan, maka keturunannya cenderung menampilkan performa yang lebih baik dari rataan tetuanya, fenomena ini disebut heterosis. Persilangan akan

menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda, yang semula terdapat dalam dua bangsa ternak kedalam satu bangsa hasil silangan.

Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo dan Susanti (2000), bahwa produksi telur itik persilangan Mojosari Alabio (MA) lebih tinggi dari genotip lainnya menunjukkan fenomena efek heterosis. Fenomena lainnya, bahwa itik 1/2A1/2M dan 1/2M1/2A mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih cepat dibandingkan tetuanya pada pengamatan sampai umur delapan minggu.

Itik Jantan Pedaging

Ternak itik di Indonesia terutama ditujukan untuk produksi telur. Hal ini cukup beralasan karena selain kemampuan produksi yang cukup tinggi, harga telur juga relatif tinggi. Di lain pihak sebagai penghasil daging, itik kurang popular dan kurang disukai masyarakat. Hanya sebagian masyarakat saja yang telah biasa mengkonsumsi, yaitu masyarakat pedesaan, masyarakat Cina, masyarakat Kalimantan Selatan dan Bali (Setioko et al., 1985). Daging itik yang dikonsumsi umumnya berasal dari itik petelur afkir, itik petelur jantan dan itik Serati. Saat ini daging itik semakin popular di kalangan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari banyak warung makan tenda yang menyediakan daging itik goreng maupun itik bakar. Daging itik jantan muda yang dipasarkan saat ini diakui oleh konsumen tidak menimbulkan bau manis dan tidak banyak mengandung lemak dengan serat daging yang empuk (Setioko et al., 1985).

Proporsi itik jantan dan betina yang dihasilkan pada penetasan dalam keadaan seimbang, sedangkan harga anak itik jantan biasa sangat rendah dan belum banyak dimanfaatkan (Bintang dan Tangendjaya, 1996). Rendah harga DOD (Day Old Duck) atau itik umur satu hari pada itik jantan disebabkan bahwa secara umum pemeliharaan itik di Indonesia dimanfaatkan untuk menghasilkan telur, sehingga yang diseleksi hanya itik betina (Iskandar et al., 1993).

Itik petelur jantan yang tidak dipakai sebagai bibit berpotensi untuk dijadikan sumber daging. Hasil penelitian Bintang et al. (1999) pada itik jantan yang diberi pakan bungkil inti sawit yang difermentasi maupun tidak difermentasi pada level 0%, 5%, 10% dan 15% sampai itik umur delapan minggu, menghasilkan itik dengan bobot badan akhir antara 1.081,64-1.140,63 gram, dengan persentase karkas antara

68,50%-76,76%. Anggraeni (1999) menyarankan agar itik pedaging baik dipotong tidak lebih dari umur 12 minggu, agar diperoleh daging itik yang bertekstur empuk.

Bobot hidup 1,3 kg dapat dicapai pada pemeliharaan itik jantan selama delapan minggu dengan kandungan protein kasar 17% dan energi metabolis 2.900 kkal/kg (Bintang dan Tangendjaya, 1996). Bila dibandingkan dengan unggas lain itik memiliki toleransi terhadap penyakit yang lebih baik terutama tetelo atau ND (Newcastle disease) serta infeksi kelenjar bursa fabrisius (gumboro) sehingga tidak begitu memerlukan vaksin dalam pemeliharaan. Potensi lain dari itik adalah kemampuannya mencerna serat kasar yang cukup tinggi. Sebagian besar serat kasar akan dicerna di dalam sekum, yaitu sekum itik berkembang lebih besar dibanding unggas lain (Murtidjo, 1988).

Ransum Itik

Itik merupakan unggas air yang membutuhkan air lebih banyak dibanding ayam, disamping untuk konsumsi juga untuk berenang dan untuk membasahi bulu-bulu (Lesson et al., 1982). Persyaratan gizi untuk itik petelur lokal dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persyaratan Gizi Itik Petelur Lokal

Umur Itik

Zat Gizi 0-4 (mg) 4-8 (mg) 8-16 (mg) >16 (mg)

Energi metabolis (kkal/kg) 2900-3000 2900-3000 2800 2800

Protein (%) 20 18-16 15 20

Serat kasar (%) 5 5 6 8

Ca (%) 0,9-1,2 0,9-1,2 0,9-1,2 3,5-4

P (%) 0,7-0,9 0,7-0,9 0,7-0,9 0,7-0,9

Sumber: Hardjosworo dan Rukmiasih (1999)

Ransum itik umum diberikan dalam bentuk basah (pasta), akan tetapi jika tidak segera habis, ransum akan menjadi masam, sehingga tidak disukai oleh itik, bahkan dapat membahayakan kesehatan itik itu sendiri (Sakti, 1996).

Ransum pasta adalah bentuk ransum yang as fed-nya basah atau ransum kering yang harus dicampur dengan air terlebih dahulu. Ransum pasta memang cocok dengan bentuk paruh itik, karena dalam habitat unggas air umumnya

berbentuk basah, sehingga memudahkan itik dalam menelan ransum dan mengurangi kemungkinan ransum yang tercecer (Titus and Fritz, 1971).

Silase dan Proses Pembuatannya

Silase merupakan makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi dengan kandungan uap air yang tinggi. Ensilase adalah proses silase, sedangkan tempat pembuatan silase dinamakan silo. Sejarah dimulai silase ditemukan sejak tahun 1500-2000 sebelum masehi (Sapienza dan Bolsen, 1993).

Ada dua cara dalam pembuatan silase yaitu secara kimiawi yang dilakukan dengan menambahkan asam sebagai pengawet seperti asam klorida, asam sitrat dan asam fosfat. Penambahan asam tersebut diperlukan agar pH silase dapat turun dengan segera (sekitar 4,2), sehingga keadaan ini akan menghambat proses respirasi, proteolisis dan mencegah bakteri Clostridia aktif (Waldo, 1978). Cara yang kedua adalah secara biologis yaitu dengan cara memfermentasi bahan tersebut sampai terbentuk asam sehingga menurunkan pH silase (Waldo, 1978).

Selama ensilase, akan mengalami proses fermentasi asam, sehingga bakteri memproduksi asam asetat, asam laktat dan asam butirat dari gula yang terdapat di dalam bahan baku. Hasil akhir berupa penurunan pH, yang mencegah pertumbuhan mikroba pembusuk yang mayoritas tidak toleran terhadap asam (Woolford, 1984). Menurut Bolsen (1985) proses ensilase merupakan salah satu cara untuk meminimumkan kehilangan nutrien dan perubahan nilai nutrisi suatu bahan pakan. Proses tersebut dipengaruhi oleh faktor biologi (karakteristik tanaman, mikroflora epipytic) dan teknik (kondisi penyimpanan).

Proses ensilase pada dasarnya serupa dengan proses fermentasi di dalam rumen (anaerob). Perbedaannya antara lain adalah bahwa dalam silase hanya sekelompok /group bakteri (diharapkan bakteri pembentuk asam laktat) yang aktif dalam prosesnya, sedangkan proses di dalam rumen melibatkan lebih banyak mikroorganisme dan beraneka ragam (Parakkasi, 1995).

Asam yang dibentuk selama ensilase antara lain asam laktat, asam asetat dan asam butirat. Disamping itu dibentuk pula beberapa senyawa seperti etanol, CO2, nitrit dan panas (Ensminger, 1971). Pada pembuatan silase dengan penambahan bahan pengawet terutama yang banyak mengandung karbohidrat, berfungsi sebagai

perangsang berlangsung fermentasi dan juga sebagai sumber energi bagi bakteri. Pada kondisi yang baik, antara lain ketersediaan bahan yang mengandung karbohidrat tinggi, bakteri asam laktat dapat berkembang biak dengan cepat.

Prinsip pembuatan silase adalah mengusahakan dan mempercepat keadaan anaerob didalam silo sehingga terbentuk asam organik yang mempercepat penurunan pH sekitar empat (McCullough, 1978). Pada pH sekitar empat, diharapkan mikroorganisme pembusuk tidak aktif, sehingga silase dapat tahan lama. Ensminger (1971) menyatakan bahwa tercapainya pH antara 3,5-4,0 merupakan kunci menuju terbentuk silase yang baik, karena akan mencegah pertumbuhan bakteri penyebab kebusukan (Clostridia). Morrison (1957) menyatakan bahwa apabila kadar air lebih dari 75%, maka silase yang terbentuk terlalu asam dan tidak akan disukai ternak, sedangkan apabila kadar air kurang dari 65%, maka bahan baku sukar dipadatkan dan kondisi anaerob sulit dicapai. Disarankan kandungan bahan kering bahan baku dalam kisaran 20%-25% (Woolford, 1984).

Pembuatan silase dengan bahan baku yang memiliki kadar air cukup tinggi akan memiliki laju fermentasi yang lebih cepat. Sapienza dan Bolsen (1993) menyatakan bahwa untuk fermentasi normal dengan kadar air 55%-60% maka fermentasi aktif akan berkisar antara 1-5 minggu.

Woolford (1998) menyatakan bahwa proses ensilase menghendaki cepat terbentuknya asam laktat, oleh karena itu perlu usaha yaitu dengan memanipulasi mikroorganisme pembentuk asam laktat yaitu dengan menambahkan bahan aditif. McDonald et al. (1991) menyatakan bahwa aditif silase dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu aditif stimulan dan aditif penghambat mikroorganisme. Aditif stimulan akan membantu proses fermentasi dan pertumbuhan bakteri asam laktat lebih cepat sehingga dapat memproduksi asam laktat lebih cepat juga, sehingga kondisi asam cepat tercapai; sedangkan aditif penghambat mikroorganisme digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk seperti clostridia sehingga pakan dapat awet. Aditif tersebut dapat berupa bakteri asam laktat, molases, dan asam.

Menurut McCullough (1978), beberapa kriteria agar suatu bakteri dapat digunakan sebagai inokulan silase antara lain dapat tumbuh dengan cepat dan mampu berkompetisi serta mendominasi mikroorganisme yang lain, bersifat

homofermentatif, toleran terhadap asam dan dapat menurunkan pH dengan cepat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa silase yang baik bila memenuhi kriteria antara lain: pH maksimal 4,2; asam laktat 1,5%-2,5%; asam asetat 0,5%-0,8%; butirat < 0,1% dan N-Amonia dari total N 5-8%. Kandungan N-Amonia pada silase merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan pengawetan dengan ensilase, dengan kandungan 8%-10% dari total N sebagai amonia (Wilkins, 1988).

Keberadaan bakteri asam laktat dalam silase dapat berfungsi sebagai probiotik yang memberikan kontribusi dalam menjaga keseimbangan mikrobial usus (Gauthier, 2002), karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, mampu memperbaiki kondisi saluran pencernaan dengan menekan reaksi pembentukan racun dan metabolit yang bersifat karsinogenik, merangsang reaksi enzim yang dapat menetralisir senyawa beracun yang tertelan atau dihasilkan di dalam saluran pencernaan, merangsang produksi enzim yang digunakan untuk mencerna pakan dan memproduksi vitamin serta zat-zat yang tidak terpenuhi dalam pakan (Seifert dan Gessler, 1997) Selain itu bahwa silase menghasilkan asam organik, menurut Gauthier (2002) asam organik memiliki antibakterial yang kuat sehingga dapat menekan bakteri patogen dalam saluran pencernaan.

Pertambahan Bobot Badan

Kemampuan ternak untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam ransum menjadi daging ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Anggorodi (1985) mendefinisikan pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan seperti otot, tulang, jantung dan semua jaringan tubuh lainnya.

Menurut Wahju (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah bangsa, tipe itik, jenis kelamin, energi metabolis, kandungan protein dan suhu lingkungan. Respon pertumbuhan ditentukan oleh beberapa faktor yaitu kesehatan, pakan dan manajemen pemeliharaan (Rose, 1997). Rose (1997) menyebutkan empat komponen utama pertumbuhan yaitu: (1) peningkatan berat otot yang terdiri dari protein dan air; (2) peningkatan ukuran tulang; (3) peningkatan

lemak tubuh total pada jaringan lemak; (4) peningkatan ukuran bulu, kulit dan organ dalam. Hasil penelitian Sinurat et al. (2000) yang melaporkan bahwa pertambahan bobot badan itik jantan lokal pada umur satu minggu sampai dengan umur delapan minggu yang diberi fermentasi lumpur sawit sampai level 15% adalah sebesar 127,75 gram/ekor/minggu.

Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum sangat mempengaruhi pertumbuhan itik. Wahju (1985)

menyatakan bahwa konsumsi ransum unggas dipengaruhi oleh kesehatan, bentuk ransum, imbangan zat-zat makanan, kecepatan pertumbuhan atau produksi telur dan stress.

Menurut Williamson dan Payne (1993) bahwa penting untuk dapat memperkirakan rata-rata konsumsi ransum dengan maksud dapat mengatur anggaran dan membeli ransum. Pencatatan konsumsi ransum oleh pemelihara unggas dapat juga menunjukkan perubahan-perubahan dalam hal kesehatan dan produktivitas kelompok unggas.

Menurut Hardjosworo et al. (1980) konsumsi ransum itik Tegal adalah

139,11 gram per ekor/hari, sedangkan Ulupi (1990) melaporkan kisaran konsumsi ransum itik antara 128,40-162,03 gram.

Suharno dan Amri (1996) menyatakan bahwa itik masa produksi membutuhkan ransum dengan kandungan energi metabolis 2.700 kkal/kg, protein kasar 16%-18%, kalsium 2,90%-3,25% dan fosfor 0,47%. Konsumsi ransum akan menurun dengan menurunnya kadar protein ransum. Murtidjo (1988) menyatakan bahwa batas maksimal konsumsi serat kasar dalam ransum itik petelur adalah 9%. Hasil penelitian Sinurat et al. (1996) konsumsi ransum sebesar 7.444 g/ekor dengan pemberian ransum yang mengandung energi metabolis sebesar 2.700 kkal/kg dan kandungan protein 18,2% mulai umur satu hari sampai umur sembilan minggu pada itik lokal jantan yang sedang tumbuh. Penelitian lain yang dilaporkan oleh Iskandar et al. (2001) diperoleh rataan konsumsi ransum sebesar 7.500 g/ekor pada pemeliharaan umur dua sampai sepuluh minggu dengan pemberian ransum yang mengandung protein kasar sebesar 23,1% dan energi metabolis 2.625 kkal/kg. Konsumsi ransum pada itik jantan pada umur satu minggu sampai delapan minggu yang sedang tumbuh dengan pemberian fermentasi lumpur sawit sampai level 15%

adalah 970 gram/ekor/minggu. Assa (1995) melaporkan rataan konsumsi ransum itik Tegal yang diberi singkong fermentasi yaitu sebesar 917 gram/ekor/minggu.

Konversi Ransum

Anggorodi (1979) menyatakan bahwa konversi ransum merupakan salah satu indikator teknis penggunaan ransum oleh ternak. Semakin rendah nilai konversi ransum maka semakin efisien penggunaan ransum. Konversi ransum merupakan cara untuk mengukur efisiensi penggunaan ransum yaitu merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan atau jumlah bobot telur) dalam kurun waktu yang sama. North (1972), konversi semakin baik apabila konsumsi ransum semakin sedikit untuk menghasilkan satu kilogram telur.

Sarengat (1989) menyatakan bahwa pada itik lokal berumur 7 bulan yang dipelihara secara intensif, rata-rata angka konversi ransum yang terbaik adalah itik Mojosari (4,08) kemudian diikuti itik Magelang (5,71), itik Tegal (5,72) dan yang terjelek itik Bali (8,28).

Konversi ransum hasil penelitian Sinurat et al. (1996) dengan pemberian ransum yang mengandung energi metabolis 2.700 kkal/kg dan kandungan protein 18,2% mulai umur satu hari sampai umur sembilan minggu pada itik lokal jantan yang sedang tumbuh sebesar 6,33. Sedangkan konversi ransum yang diperoleh pada penelitian Iskandar et al. (2001) pada pemeliharaan mulai umur dua sampai sepuluh minggu dengan pemberian ransum berbentuk pasta dengan kandungan protein kasar sebesar 23,1% dan energi metabolis 2.625 kkal/kg adalah 6,59. Selanjutnya Ketaren dan Prasetyo (1999) memperoleh konversi ransum sebesar 3,43 pada itik Mojosari Alabio yang sedang tumbuh dengan pemberian ransum dalam bentuk pellet pada umur 5-8 minggu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Iskandar et al. (2001) diperoleh konversi ransum sebesar 6,59 pada itik Mojosari Alabio jantan yang sedang tumbuh dengan pemberian pakan dalam bentuk pasta. Ketaren et al (1999) menyebutkan bahwa buruknya konversi pakan itik disebabkan oleh perilaku makan itik termasuk kebiasaan itik yang segera mencari air minum setelah makan. Pakan umumnya terbuang pada saat itik tersebut pindah dari tempat pakan ke tempat minum maupun juga terlarut di dalam wadah air minum.

Ransum yang efisien diperoleh bila ransum mengandung perbandingan energi yang tepat terhadap zat-zat makanan lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan atau hasil akhir yang diinginkan (Anggorodi, 1985). Selanjutnya disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah suhu lingkungan, laju perjalanan ransum melalui alat pencernaan, bentuk fisik ransum, produksi telur, kandungan nutrisi, bobot badan, komposisi kimia ransum dan laju perjalanan ransum dalam organ pencernaan.

Konsumsi Air Minum

Air merupakan senyawa penting dalam kehidupan. Dua pertiga bagian dari tubuh ternak adalah air dengan berbagai peranan untuk kehidupan (Parakkasi, 1995). Menurut Scott et al. (1982), air mempunyai fungsi sebagai (1) zat dasar dari darah, cairan intraseluler dan interseluler yang bekerja aktif dalam transportasi zat-zat makanan, metabolit dan hasil sisa ke dan dari semua sel-sel dalam tubuh (2) penting dalam mengukur suhu tubuh (3) membantu mempertahankan homeostasis dengan ikut dalam reaksi dan perubahan fisiologis yang mengontrol pH, tekanan osmosis, konsentrasi elektrolit.

Jumlah kebutuhan air untuk unggas secara umum termasuk itik diperkirakan sebanyak dua kali dari kebutuhan pakan/ekor/hari (Esmail, 1996). Ada banyak faktor yang mempengaruhi konsumsi air minum pada ternak antara lain adalah tingkat garam natrium dan kalium dalam ransum, enzim-enzim, bau ransum, makanan tambahan pelengkap, temperatur air, penyakit, jenis bahan makanan, kelembaban angin, komposisi pakan, bentuk pakan, umur ternak, produksi telur, jenis kelamin dan jenis tempat air minum (Wahju, 1992, Parakkasi, 1995).

Mortalitas

Mortalitas merupakan tolak ukur atau indikator kematian yang diukur dengan persentase. Persentase merupakan perbandingan antara jumlah semua ternak yang mati dengan jumlah total ternak yang dipelihara dikalikan 100%. Mortalitas merupakan faktor penting dan harus diperhatikan dalam usaha pengembangan peternakan (Amrullah, 2004).

Angka mortalitas besar hubungannya dengan program vaksinasi dan kejelian mendeteksi penyakit secara dini. Untuk menekan tingkat kematian perlu dilakukan

usaha-uasaha pencegahan dan pemberantasan penyakit. Program pencegahan penyakit erat hubungannya dengan sanitasi, vaksinasi dan program pengobatan pada umur tertentu ketika gejala sakit pada ternak mulai tampak (Amrullah, 2004). Pemberian pakan dan air minum dalam jumlah cukup kuantitas dan kualitas merupakan salah satu langkah yang tepat untuk mempertahankan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Amrullah, 2004).

METODE

Dokumen terkait