• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5. Tipe dan Karakteristik Spora

Hasil ekstraksi dan identifikasi terhadap spora FMA dari tanah lahan kelapa sawit dataran tinggi ditemukan 2 genus spora FMA yaitu Acaulospora yang terdiri dari 6 tipe spora dan dan Glomus yang ditemukan terdiri dari 14 tipe spora. Tipe dan karakteristik spora FMA dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Tipe dan karakteristik spora FMA pada lahan kelapa sawit dataran tinggi. Tipe Spora Perbesaran Karakteristik

Acaulospora sp 1

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah kehitaman, dinding spora jelas dengan permukaan bercorak kulit jeruk.

Acaulospora sp 2

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah bata, dinding spora tebal dengan permukaan mirip kulit jeruk.

Acaulospora sp 3

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat, permukaan spora halus, memiliki corak bintik seperti kulit jeruk, dan tipis.

Acaulospora sp 4

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna hitam, dinding spora tebal dan dengan permukaan seperti kulit jeruk.

Acaulospora sp 5

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah bata, dinding spora tebal dengan permukaan seperti kulit jeruk.

Acaulospora sp 6

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna kuning keemasan, dinding spora tipis dengan permukaan seperti kulit jeruk.

Glomus sp 1

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah bata, dinding spora tebal dan dengan permukaan kasar.

Glomus sp 2

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna hitam, tidak memiliki corak. Dinding spora tebal dan memiliki Hyfal attchment.

Glomus sp 3

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat gelap, permukaan spora agak halus dengan dinding spora tebal, dan memiliki Hyfal attchment

Glomus sp 4

40x

Spora berbentuk bulat lonjong, berwarna merah gelap, dinding spora tebal dan dengan permukaan halus.

Glomus sp 5

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah gelap, dinding spora tebal dengan permukaan halus.

Glomus sp 6

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat kehitaman, dinding spora tebal dengan permukaan halus.

Glomus sp 7

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah bata, dinding spora tebal dengan permukaan halus.

Glomus sp 8

40x

Spora berbentuk bulat lonjong, berwarna merah bata terang, dinding spora tebal dengan permukaan berbintik.

Glomus sp 9

40x

Spora bulat lonjong, warna merah bata gelap, dinding spora tebal dengan permukaan halus.

Glomus sp 10

40x

Spora berbentuk bulat lonjong, berwarna kecoklatan, dinding spora transparan dengan permukaan halus dan memiliki Hyfal attchment.

Glomus sp 11

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat, dinding spora tipis dengan permukaan berbintik dan memiliki Hyfal attchment.

Glomus sp 12

40x

Spora berbentuk bulat lonjong, berwarna merah tua, dinding spora tebal dengan permukaan bertekstur.

Glomus sp 13

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna hitam, tidak memiliki corak. Dinding spora tebal dengan permukaan kasar

Glomus sp 14

40x

Spora berbentuk bulat telur, berwarna kuning keemasan tua, dinding spora tidak tebal dengan permukaan berbintik dan memiliki Hyfal attchment.

Hasil ekstraksi tanah lahan kelapa sawit dataran rendah terdapat 2 genus yaitu Acaulospora yang terdiri atas 3 tipe spora dan Glomus yang terdiri dari 7 tipe spora. Tipe dan karakteristik spora FMA dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Tipe dan karakteristik spora FMA pada lahan kelapa sawit dataran rendah. Tipe Spora FMA Perbesaran Karekteristik

Acaulospora sp 7

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna kuning keemasan, dinding spora terlihat transparan dengan permukaan bercorak mirip kulit jeruk.

Acaulospora sp 8

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah bata, dinding spora tidak tebal, permukaan bercorak mirip kulit jeruk.

Acaulospora sp 9

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna keemasan, dinding spora transparan dengan permukaan bercorak mirip kulit jeruk.

Glomus sp 15

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah bata, dinding spora tebal dan dengan permukaan kasar.

Glomus sp 2

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna hitam, tidak memiliki corak, inding spora tebal dan memiliki Hyfal attachment.

Glomus sp 16

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah gelap, dinding spora tebal dengan permukaan kasar.

Glomus sp 17

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat, dinding spora tebal dengan permukaan kasar.

Glomus sp 18

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna kuning keputihan, dinding spora tipis transparan dengan permukaan bercorak.

Glomus sp 13

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna hitam, dinding spora tebal dan tidak begitu jelas, permukaan kasar.

Glomus sp 19

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah tua, dinding spora tidak tebal dengan permukaan berbintik putih.

Pembahasan

Kolonisasi FMA pada akar dicirikan oleh adanya asosiasi antara FMA dengan akar yang membentuk struktur-struktur yang dihasilkan oleh FMA seperti hifa, vesikula, arbuskula maupun spora. Hifa adalah salah satu struktur dari FMA berbentuk benang-benang halus yang berfungsi sebagai penyerap unsur hara dari luar. Vesikula menurut Abbott dan Robson (1982), berbentuk globosa dan berasal dari menggelembungnya hifa internal dari FMA. Arbuskula adalah unit kolonisasi yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya dan menembus

dinding sel serta membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks (Hudson, 1986). Adanya satu atau lebih struktur FMA tersebut, maka dapat dikatakan terjadi kolonisasi oleh FMA.

Hasil pengamatan di laboratorium terhadap akar kelapa sawit yang diperoleh dari dataran tinggi dan dataran rendah menunjukkan bahwa tanaman kelapa sawit di kedua lokasi ini mampu berasosiasi dengan FMA. Namun, persentase kolonisasi yang dijumpai relatif beragam dari setiap lokasi pengambilan sampel.

Persentase kolonisasi akar yang terkolonisasi FMA dari kedua tempat (Tabel 3) menunjukkan perbedaan persentase kolonisi akar yang terjadi pada akar kelapa sawit di kedua tempat. Rataan kolonisasi akar menunjukkan bahwa akar kelapa sawit dataran tinggi memiliki persentase kolonisasi lebih tinggi yaitu 37% dibandingkan dengan akar kelapa sawit dari dataran rendah yaitu 25,4%. Berdasarkan kriteria persentase akar menurut Setiadi (1992) maka persentase kolonisasi FMA 37% pada akar kelapa sawit dataran tinggi termasuk dalam kategori sedang, sementara untuk akar kelapa sawit dataran rendah dengan persen kolonisasi sebesar 25,4% termasuk dalam kategori rendah.

Intensitas kolonisasi FMA dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, baik faktor lingkungan maupun faktor mikoriza itu sendiri. Penyebaran FMA tidak pernah merata untuk kondisi lapangan tertentu. Hal ini kemungkinan sebagian besar disebabkan oleh kesuburan tanah yang berbeda-beda untuk setiap lokasi pengambilan sampel.

Berdasarkan hasil analisa di laboratorium terhadap sifat kimia tanah menunjukkan adanya perbedaan sifat tanah dari kedua tempat pengambilan

sampel akar. Sifat kimia tanah diketahui sangat mempengaruhi kemampuan FMA berasosiasi dengan tanaman. Tanah lahan kelapa sawit dataran tinggi memiliki pH 5,14 artinya lebih rendah dari pH tanah lahan kelapa sawit dataran rendah yang tingkat kemasaman (pH) tanahnya mencapai 6,08. Menurut Setiadi (1989), perkembangan FMA yang optimal terjadi pada pH 3,9-5,9. Namun, perkecambahan masih memungkinkan untuk terjadi dalam kisaran pH yang masih memungkinkan untuk pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan hasil temuan di lapangan bahwa persentase kolonisasi FMA lebih tinggi ditemukan pada lahan di dataran tinggi yang memiliki kisaran pH yang lebih optimum dalam perkembangan FMA.

Hasil analisa laboratorium menunjukkan bahwa pada tanah lahan kelapa sawit dataran tinggi mengandung C organik 1,50% yang termasuk dalam kriteria rendah dan tanah lahan kelapa sawit dataran rendah mengandung C organik 0,75% yang termasuk dalam kriteria sangat rendah. FMA sangat dominan berada pada lapisan bahan organik tanah, oleh karena itu rendahnya kandungan bahan organik pada tanah akan mempengaruhi keberadaan dan perkembanagan FMA. Harley et al (1976) menyatakan bahwa 95% FMA aktif terdapat pada lapisan humus dan kayu-kayu yang busuk.

Kandungan P dalam tanah diketahui dapat mempengaruhi variasi kolonisasi FMA pada akar tanaman. Hasil analisa tanah terhadap P tersedia dalam tanah menunjukkan bahwa pada tanah lahan kelapa sawit dataran tinggi P tersedia yang ditemukan adalah 4,34 ppm yang termasuk dalam kriteria rendah, berbeda dengan kandungan P tersedia yang ditemukan pada tanah lahan kelapa sawit dataran rendah yang termasuk dalam kriteria sedang yaitu 16,54 ppm. Tanah

yang mengandung unsur P yang banyak sering dihubungkan dengan menurunnya kolonisasi FMA. Pembentukan simbiosis FMA mencapai maksimum jika kadar P dalam tanah tidak lebih besar dari 50 mg kg-1 (50 ppm) (Ishii, 2004). Menurut Setiadi et al (1992) konsentrasi P yang tinggi di dalam tanah menghambat kolonisasi FMA.

Selain faktor sifat tanah, faktor lingkungan seperti curah hujan dan suhu dapat pula mempengaruhi variasi kolonisasi FMA pada akar. Berdasarkan data yang diperoleh dari BMKG Kelas 1 Sampali Medan, diperoleh data curah hujan dan suhu rata-rata bulanan dari kedua lokasi pengambilan sampel yang disajikan dalam tabel 2. Setiadi (1989) menyatakan bahwa suhu optimum bagi pertumbuhan cendawan pembentuk mikoriza beragam menurut jenis dan strain. Pertumbuhan yang baik antara 20oC-30oC. Artinya, kedua lokasi pengambilan sampel memiliki suhu yang optimum untuk FMA dapat mengkolonisasi akar tanaman.

Curah hujan yang berkaitan dengan status air tanah juga merupakan faktor yang mempengaruhi kolonisasi FMA pada akar. Curah hujan rata-rata di dataran tinggi dari bulan desember 2013 sampai januari 2014 lebih rendah yaitu 153 mm dibandingkan dengan curah hujan rata-rata dari bulan desember 2013 sampai januari 2014 di dataran rendah yang mencapai 207 mm. Delvian (2003) melakukan pengamatan terhadap fluktuasi kolonisasi FMA pada akar beberapa jenis tanaman dalam 5 periode curah hujan yang berbeda, hasilnya terjadi variasi kolonisasi FMA ditemukan baik dalam perbedaan tanaman inang maupun perbedaan curah hujan. Beberapa jenis tanaman menunjukkan respon yang berbeda dari tanaman lain terhadap satu kondisi curah hujan tertentu. Namun demikian, kolonisasi FMA cendrung naik dalam kondisi curah hujan yang lebih

rendah. Oehl et al (2009) menyatakan bahwa tidak semua FMA aktif pada periode waktu yang sama. Sebagian FMA jumlahnya melimpah pada musim hujan, sebagian lainnya pada waktu musim kemarau, dan sebagian lainnya pada sepanjang tahun.

Selain faktor-faktor di luar FMA, menurut Gunawan (1993), persentase kolonisasi pada akar dan produksi spora oleh FMA dipengaruhi oleh spesies FMA itu sendiri, lingkungan dan tanaman inangnya, sehingga baik jumlah spora maupun persentase kolonisasi akar tidak dipengaruhi oleh satu faktor saja, melainkan akumulasi dari berbagai faktor yang dapat mempengaruhinya.

Struktur FMA yang dijumpai pada akar kelapa sawit dari dataran tinggi dan dataran rendah yang telah diwarnai dan diamati adalah hifa (Gambar 3) dan vesikula (Gambar 2). Struktur FMA berupa arbuskula tidak dijumpai pada akar di lahan perkebunan kelapa sawit di dataran tinggi dan dataran rendah. Hal ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian aplikasi FMA terhadap bibit kelapa sawit yang dilakukan Widiastuti dan Goenadi (2000) yang menemukan bahwa pada perakaran kelapa sawit dijumpai organ FMA seperti hifa internal, hifa eksternal, arbuskula, dan vesikula namun struktur arbuskula sangat jarang dijumpai.

Sieverding (1991) menyatakan bahwa vesikula pada umumnya dibentuk setelah arbuskula. Struktur arbuskula akan sukar untuk dijumpai karena keberadaan arbuskula pada akar relatif sangat singkat, yaitu berkisar 1-3 hari saja. Kemungkinan lain, struktur arbuskula tidak dapat ditemukan karena akar yang diambil terlalu muda sehingga struktur arbuskula belum terbentuk atau akar sudah terlalu tua sehingga arbuskula telah lisis. Kemungkinan struktur vesikula FMA

tidak ditemukan juga karena sampel akar yang diambil belum dapat mewakili keseluruhan akar inang yang terkolonisasi oleh FMA.

Selain pengamatan terhadap kolonisai FMA pada akar dilakukan juga penghitungan kepadatan spora hasil pemerangkapan di rumah kaca. Hasil pengamatan di laboratorium terhadap spora dari tanah hasil pemerangkapan di rumah kaca menunjukkan bahwa kepadatan spora bervariasi terhadap lokasi yang dijadikan sumber tanah pemerangkapan (Tabel 4). Hasil penghitungan kepadatan spora menunjukkan kepadatan spora hasil pemerangkapan sangat tinggi.

Pada tanah asal lahan kelapa sawit dataran rendah rata-rata kepadatan spora yang diperoleh adalah 128 spora/50 gram tanah, sementara pada tanah lahan kelapa sawit dataran tinggi kepadatan spora adalah 938 spora/50 gram tanah. Kepadatan spora yang bervariasi ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2005) yang melakukan pemerangkapan FMA dari tanah berbagai salinitas di hutan pantai Ujung Genteng Sukabumi dengan Shorgum sp sebagai tanaman inang. Pada penelitian ini diperoleh variasi kepadatan spora yang sangat beragam antara lain dibawah 10 spora/50 gram tanah sampai kepada kerapatan diatas 700 spora/50 gram tanah.

Kultur pemerangkapan pada dasarnya digunakan untuk menstimulasi sporulasi atau meningkatkan jumlah propagul FMA yang ada di dalam tanah yang diambil dari lapangan. Hal itu perlu dilakukan, mengingat tidak semua FMA aktif pada periode waktu yang sama. Sebagian FMA jumlahnya melimpah pada musim hujan, sebagian lainnya pada sepanjang tahun (Oehl et al, 2009). Tingginya kepadatan spora hasil pemerangkapan ini dikarenakan perlakuan pada

pemerangkapan yang diberikan berpengaruh positif terhadap perkecambahan dan perkembangan FMA.

Penyebaran genus FMA dari pengamatan terhadap hasil pemerangkapan mempunyai variasi sebaran genus yang sama di kedua tempat pengambilan sampel tanah. Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa tipe spora yang ditemukan adalah genus Glomus dan Acaulospora. Pada tanah lahan kelapa sawit dataran tinggi ditemukan 6 tipe spora dari genus Acaulospora dan 14 tipe spora dari genus Glomus (Tabel 5). Sementara pada lahan kelapa sawit dataran rendah ditemukan 3 tipe spora genus Acaulospora dan 7 tipe spora dari genus Glomus (Tabel 6). Sebaran genus FMA yang dijumpai pada lahan kelapa sawit kedua tempat tidak berbeda jauh dengan hasil temuan Sibarani (2011) yang mengidentifikasi tipe spora FMA pada lahan kelapa sawit ekosistem lahan gambut desa Telaga Suka, Kecamatan Panai Tengah Kabupaten Labuhan Batu yang juga hanya menemukan 2 genus FMA yaitu Acaulospora dan Glomus.

Genus Acaulospora yang ditemukan dari kedua lokasi pengamatan umumnya berbentuk bulat berwarna kemerahan, cokelat, putih, sampai pada warna hitam. Spora jelas menampakkan dinding sel yang berjumlah lebih dari satu lapis, dan memiliki bintik-bintik atau permukaan mirip kulit jeruk. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tipe spora Acaulospora dari kedua lokasi pengamatan tidak ditemukan tipe spora yang sama-sama dapat dijumpai di kedua tempat. Masing-masing lokasi menunjukkan tipe spora Acaulospora yang berbeda.

Menurut Hall (1984) spora Acoulospora merupakan spora tunggal di dalam sporokarp, spora melekat secara lateral pada hifa yang ujungnya menggelembung dengan ukuran yang hampir sama dengan spora, bentuk spora

globos, subglobos, ellips atau fusiform melebar. Spora Acaulospora yang ditemukan memiliki bentuk bulat lonjong dan memiliki dinding spora yang relatif tebal. Proses perkembangan Acaulospora berawal dari ujung hifa (subtending hyphae) yang membesar seperti spora yang disebut hyphal terminus. Di antara hyphal terminus dan subtending hypae akan muncul bulatan kecil yang semakin lama semakin membesar dan terbentuk spora.

Spora Glomus yang ditemukan dari kedua tempat pada umumnya berbentuk bulat sempurna, bulat telur sampai bulat lonjong dengan ukuran yang bervariasi. Spora FMA yang dijumpai berwarna kemerahan, cokelat, kuning, putih, sampai kehitaman dengan dinding tebal sampai transparan, dan permukaan halus sampai kasar. Beberapa tipe spora Glomus ditemukan memiliki tangkai spora (Hyfal attcment). Berdasarkan hasil identifikasi terhadap tipe spora Glomus dari kedua tempat, ditemukan bahwa pada lahan kelapa sawit dataran tinggi dan lahan kelapa sawit dataran rendah terdapat dua tipe spora yang sama-sama dapat dijumpai di kedua tempat. Tipe spora yang dapat sama-sama dijumpai di kedua tempat adalah tipe spora Glomus sp 2 yang memiliki ciri bentuk bulat, berwarna hitam, tidak memiliki corak, dinding spora tebal dan memiliki tangkai spora (Hyfal attcment), dan yang kedua adalah tipe spora Glomus sp 13 dengan spora berbentuk bulat, berwarna hitam, dinding spora tebal yang tidak begitu jelas, dan permukaan kasar.

Proses perkembangan spora genus Glomus sp adalah dari ujung hifa yang membesar sampai ukuran maksimal dan terbentuk spora. Karena sporanya berasal dari perkembangan hifa maka disebut chlamydospora, kadang hifa bercabang-cabang dan tiap bercabang-cabang terbentuk chlamydospora dan membentuk sporocarp.

Pada saat dewasa spora dipisahkan dari hifa pelekat oleh sebuah sekat, spora bentuk globos, subglobos, ovoid ataupun obovoid (Puspitasari, 2012). Menurut Smith dan Read (1997) spora genus Glomus dapat ditemukan dalam bentuk tunggal atau agregat lepas, sporokarp tidak seperti pada Sclerocystis dan sporokarp terdiri dari spora dengan dinding lateral yang saling melekat satu sama lainnya

Sebaran genus Acaulospora dan Glomus dalam penelitian ini belum bisa diidentifikasi secara akurat tentang penyebaran dan nama spesiesnya, karena dari seluruh jumlah spora yang ditemukan hanya sedikit yang dapat diidentifikasi. Kondisi ini dikarenakan banyak ditemukan spora-spora yang rusak dan kotor belum terpisah dengan tanah. Proses identifikasi spora juga terkendala oleh terbatasnya peralatan di laboratorium dalam proses identifikasi sehingga penamaan spora belum dapat mencapai penamaan spesies.

Dokumen terkait