• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula pada Lahan Kelapa Sawit Dataran Tinggi dan Dataran Rendah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula pada Lahan Kelapa Sawit Dataran Tinggi dan Dataran Rendah"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

KEBERADAAN DAN STATUS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA

PADA LAHAN KELAPA SAWIT

DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH

   

SKRIPSI

Oleh :

YEPTA JAYA SAHPUTRA BARUS

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KEBERADAAN DAN STATUS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA

PADA LAHAN KELAPA SAWIT

DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH

 

SKRIPSI

Oleh :

YEPTA JAYA SAHPUTRA BARUS

101201061/BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan pada Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula pada Lahan Kelapa Sawit Dataran Tinggi dan Dataran Rendah

Nama : Yepta Jaya S Barus

Nim : 101201061

Program Studi : Kehutanan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing

Dr. Deni Elfiati, S.P, M.P. Dr. Delvian, S.P, M.P Ketua Anggota

Mengetahui,

(4)

ABSTRACT

Yepta Jaya Sahputra Barus: Existence and Status of Arbuscular Mycorrhizal Fungi on Highland and Lowland Oil Palm Field. Supervisied by DENI ELFIATI and DELVIAN.

The goal of this research is to know the existence and the status of Arbuskular Mycorrhiza at Oil Palm ecosystems in highland and lowland. Soil sample has been taken from Adia Nangka Village, District of Lae Parira, Region of Dairi and Batang Terap Village, District of Perbaungan, Region of Serdang Bedagai. This research use soil separating method to obtain spores and root coloring method to find out root colonization. The trapping result with host of Zea mays obtained an average spore density on the highland is 938 spores/50 g soil, while the lowland obtained 128 spores/50 g soil. The result shows on the highland obtained 14 spores types of Glomus genus and 6 spores types of Acaulospora genus with up to 37% colonization percentage. Lowland obtained 7 spores types of Glomus genus and 3 spores types of Acaulospora genus with up to 25% colonization percentage.

(5)

ABSTRAK

Yepta Jaya Sahputra Barus: Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Kelapa Sawit di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah. Dibimbing oleh DENI ELFIATI dan DELVIAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan status FMA pada lahan kelapa sawit di dataran tinggi dan dataran rendah. Contoh tanah dan akar berasal dari desa Adia Nangka, Kec Lae Parira, Kab Dairi dan desa Batang Terap, Kec. Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini menggunakan metode tuang saring untuk mendapatkan spora dan metode pewarnaan untuk mengetahui kolonisasi akar. Hasil trapping dengan tanaman inang Zea mays diperoleh kepadatan spora rata-rata pada dataran tinggi adalah 938 spora/50 gr tanah, sementara pada dataran rendah diperoleh kepadatan spora rata-rata adalah 128 spora/50 gr tanah. Hasil penelitian pada dataran tinggi didapat 14 tipe spora genus Glomus dan 6 tipe spora Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 37%. Pada dataran rendah diperoleh 7 tipe spora genus Glomus dan 3 tipe spora dari genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 25%.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tiga Juhar, Kec. STM Hulu, Kab. Deli Serdang pada

8 Maret 1992 dari pasangan Ajartaki Barus dan Erni Br Ginting. Penulis

merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri

105403 Tiga Juhar lulus pada tahun 2004 dan melanjutkan pendidikan di SMP

Negeri 1 Kec STM Hulu hingga lulus tahun 2007. Kenudian penulis melanjutkan

Pendidikan di SMA Methodist-1 Medan dan lulus pada tahun 2010.

Pada tahun 2010 penulis mengikuti Ujian Masuk Bersama Perguruan

Tinggi Negeri (UMB-PTN) dan diterima di Program Studi Kehutanan, Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penulis memilih minat Budidaya Hutan.

Di masa perkuliahan penulis aktif dalam kepengurusan maupun kepanitiaan

dibeberapa organisasi kemahasiswaan seperti HIMAS USU, KorimUSU, dan

KMKS.

Dalam menyelesaikan kegiatan akademik, pada tahun 2012 penulis

mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan dan Pengelolaan hutan (P3H) di hutan

pendidikan Universitas Sumatera utara, Tahura Bukit Barisan di Tongkoh

Kabupaten Karo. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Taman

Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat pada tanggal 4 Februari sampai

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Keberadaan dan

Status Fungi Mikoriza Arbuskula pada Lahan Kelapa Sawit Dataran Tinggi dan

Dataran Rendah ” ini dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih

sebesar-besarnya kepada orang tua penulis yang selalu memberi dukungan, kasih sayang,

doa, dan seluruh tenaganya. Kepada Dr. Deni Elfiati, S.P, M.P dan Dr. Delvian, SP., M.P. selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing,

mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan

penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada semua rekan-rekan

mahasiswa di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian USU yang tak dapat

disebutkan satu persatu disini. Saudara-saudariku di HIMAS USU, Korim USU,

KMKS, Keluarga Besar KMBI. Para sahabat yang selalu memberi semangat,

dorongan, dan pengajaran kepada penulis.

Semoga penelitian ini akan memberi manfaat dan menyumbangkan

kemajuan bagi ilmu pengetahuan, khususnya bidang kehutanan.

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Faktor yang Mempengaruhi Kolonisasi dan Pemebentukan Spora FMA.... 6

Sebaran dan Ekologi Fungi Mikoriza ... ... 9

Persentase Kolonisasi Akar………... 19

(9)

DAFTAR TABEL

No Halaman 1. Hasil analisis tanah lahan kelapa sawit dataran tinggi

dan dataran rendah serta kriterianya menurut Penelitian

Tanah (1983) dalam Mukhlis (2007)………..………... 18 2. Data komponen Iklim pada kedua lokasi pengambilan sampel tanah... 19 3.Persentase kolonisasi akar kelapa sawit oleh FMA

pada dataran tinggi dan dataran rendah. ... ... 19 4. Kepadatan Spora FMA pada dataran tinggi dan

dataran rendah. ………..………... 21 5. Tipe dan karakteristik spora FMA pada lahan kelapa sawit

dataran tinggi... 21 6. Tipe dan karakteristik spora FMA pada lahan kelapa sawit

(10)

DAFTAR GAMBAR

(11)

ABSTRACT

Yepta Jaya Sahputra Barus: Existence and Status of Arbuscular Mycorrhizal Fungi on Highland and Lowland Oil Palm Field. Supervisied by DENI ELFIATI and DELVIAN.

The goal of this research is to know the existence and the status of Arbuskular Mycorrhiza at Oil Palm ecosystems in highland and lowland. Soil sample has been taken from Adia Nangka Village, District of Lae Parira, Region of Dairi and Batang Terap Village, District of Perbaungan, Region of Serdang Bedagai. This research use soil separating method to obtain spores and root coloring method to find out root colonization. The trapping result with host of Zea mays obtained an average spore density on the highland is 938 spores/50 g soil, while the lowland obtained 128 spores/50 g soil. The result shows on the highland obtained 14 spores types of Glomus genus and 6 spores types of Acaulospora genus with up to 37% colonization percentage. Lowland obtained 7 spores types of Glomus genus and 3 spores types of Acaulospora genus with up to 25% colonization percentage.

(12)

ABSTRAK

Yepta Jaya Sahputra Barus: Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Kelapa Sawit di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah. Dibimbing oleh DENI ELFIATI dan DELVIAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan status FMA pada lahan kelapa sawit di dataran tinggi dan dataran rendah. Contoh tanah dan akar berasal dari desa Adia Nangka, Kec Lae Parira, Kab Dairi dan desa Batang Terap, Kec. Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini menggunakan metode tuang saring untuk mendapatkan spora dan metode pewarnaan untuk mengetahui kolonisasi akar. Hasil trapping dengan tanaman inang Zea mays diperoleh kepadatan spora rata-rata pada dataran tinggi adalah 938 spora/50 gr tanah, sementara pada dataran rendah diperoleh kepadatan spora rata-rata adalah 128 spora/50 gr tanah. Hasil penelitian pada dataran tinggi didapat 14 tipe spora genus Glomus dan 6 tipe spora Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 37%. Pada dataran rendah diperoleh 7 tipe spora genus Glomus dan 3 tipe spora dari genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 25%.

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Organisme tanah sebagai komponen biotik di dalam tanah ada yang

bermanfaat dan ada pula keberadaannya mengganggu ataupun merugikan.

Organisme tanah yang menguntungkan yaitu yang terlibat dalam proses

dekomposisi bahan organik dan pengikat/penyedia unsur hara. Organisme tanah

yang merugikan adalah organsime yang memanfaatkan tanaman hidup, baik

sebagai sumber pangan atau sebagai inangnya, yang disebut sebagai hama atau

penyakit tanaman maupun sebagai kompetitor dalam penyerapan hara dalam

tanah. Keduanya bermanfaat pada penyediaan hara tersedia bagi tanaman serta

sebagai pemangsa parasit (Hanafiah, 2005).

Salah satu contoh dari organisme tanah yang menguntungkan adalah

mikoriza. Keberadaan mikoriza mampu memberi manfaat bagi tanah dan tanaman

di atasnya. Fungi mikoriza merupakan fungi obligat, dimana kelangsungan hidup

sporanya berasosiasi dengan akar tanaman. Asosiasi akar dengan mikoriza dibagi

menjadi dua berdasarkan pertumbuhan hifanya, yaitu ektomikoriza dan

endomikoriza. Ektomikoriza adalah asosiasi antara fungi dan akar tanaman

dimana fungi pelindung melakukan penetrasi pada lapisan-lapisan dinding sel

hanya pada bagian luarnya, sedangkan fungi endomikoriza yaitu hifa fungi

melakukan penetrasi hingga ke bagian dalam sel-sel inangnya

(Yulipriyanto, 2010).

Peranan mikoriza secara spesifik dalam membantu tanaman antara lain

dalam memperbaiki nutrisi tanaman dengan meningkatkan penyerapan posfat,

(14)

Keberadaan mikoriza sangat bermanfaat dalam penyerapan air dan unsur hara

terutama posfor (Smith dan Read, 1997). Akar bermikoriza ternyata juga

meningkatkan penyerapan seng dan sulfur dari dalam tanah lebih cepat dari pada

tanaman tidak bermikoriza.

Faktor lingkungan dan faktor biotik diketahui sangat mempengaruhi

produksi spora, derajat kolonisasinya terhadap akar tanaman, maupun banyaknya

kolonisasi mikoriza yang terjadi pada suatu lahan. Safir dan Duniway (1988)

menyatakan bahwa sebaran mikoriza dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain

jenis dan struktur tanah, unsur hara P dan N dalam tanah, air, pH, dan suhu tanah.

Banyak studi yang menunjukkan bahwa perkembangan FMA dipengaruhi

oleh musim atau bersifat musiman. Gay et al. (1982) mempelajari pengaruh

musim terhadap kolonisasi FMA pada Abroniaumbellata dan

Camissoniacalifornica. Hasilnya menunjukkan kolonisasi FMA berkurang

selama atau sesudah periode pembungaan, yaitu antara April – Juni untuk

Abroniaumbellata dan Mei – Nopember untuk Camissoniacalifornica.

Setiap lahan memiliki sifat yang spesifik dan ditumbuhi oleh keragaman

jenis tanaman yang berbeda, sehingga FMA lokal yang ditemukan akan berbeda

juga. Keberadaan dan pemanfaatan hasil simbiosis FMA dengan tanaman sudah

banyak dipelajari, namun penelitian yang dilakukan untuk mengetahui keberadaan

dan status FMA pada suatu lahan terkait perbedaan lingkungan masih sedikit.

Sementara semakin kita memerlukan peranan FMA untuk meningkatkan

produktivitas lahan semakin perlu kita harus mempelajari ekologi FMA dan

faktor-faktor yang mempengaruhi kolonisasi dan sporulasinya (Delvian, 2006).

(15)

mengenai keberadaan dan status FMA berkaitan dengan perbedaan ekologi tempat

tumbuh.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari keberadaan dan status

FMA berkaitan dengan perbedaan ketinggian tempat tumbuh. Diduga adanya

perbedaan ekologi tempat tumbuh akan mempengaruhi keberadaan dan status

FMA pada tanah.

Hipotesis

Keberadaan dan status FMA berbeda antara dataran tinggi dan dataran rendah.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan:

1. Memberi informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

keberadaan dan status FMA di dalam tanah.

2. Memberi informasi mengenai keberadaan dan status FMA pada berbagai

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Fungi Mikoriza Arbuskula

Mikoriza adalah simbiosis mutualistik, hubungan antara fungi dan akar

tanaman. Beberapa fungi membentuk mantel yang melindungi akar,

kadang-kadang berambut, berwarna keputihan. Akar-akar tanaman mengantarkan

bahan-bahan ke fungi (sebagian sebagai eksudat-oksidat), dan fungi membantu

meneruskan nutrisi-nutrisi dan air ke akar tanaman. Hifa fungi keluar dari

perakaran tanaman hingga mencapai tanah dan membantu menyerap beberapa

unsur hara tertentu untuk selanjutnya ditransmisikan ke tanaman, terutama

hara-hara yang tidak mobil seperti posfat(P), seng(Zn), tembaga(Cu), dan

molibdat(Mo) (Yulipriyanto, 2010).

FMA merupakan asosiasi simbiotik yang terbentuk antara spesies tanaman

dalam skala luas termasuk angiosperm, gymnosperm, pteridophyta, dan beberapa

bryophyte, dan skala fungi terbatas termasuk dalam ordo tunggal, Glomales.

Simbiosis terjadi dalam akar tanaman dimana fungi mengkolonisasi apoplast dan

sel korteks untuk memperoleh karbon dalam tanaman.

Kontribusi FMA pada peristiwa simbiosis sangat kompleks, tetapi aspek

utama meliputi transfer nutrient mineral, khususnya posfat dari tanah ke tanaman.

Perkembangan asosiasi yang sangat cocok ini memerlukan koordinasi molekuler

dan differensiasi selular dari kedua simbion untuk membentuk suatu sistem

dimana transfer nutrient terjadi dua arah (Delvian, 2006).

Spora FMA dalam tanah dapat saja berkecambah secara spontan jika

lingkungannya mendukung akan tetapi hifa akan sangat terbatas pertumbuhannya

(17)

maka hifa akan membentuk percabangan yang banyak dan ini menjadi penanda

dimulainya fase awal simbiosis atau dikenal dengan fase presimbiotik

(Giovannetti et al. 1993).

Tanaman yang ketergantungan akan unsur fosfat tinggi akan cenderung

berasosiasi dengan mikoriza. Cahaya dan temperatur merupakan unsur iklim yang

sangat mempengaruhi proses kolonisasi mikoriza arbuskula. Temperatur optimum

bagi perkembangan spora Gigaspora spp. adalah 34oC, sedang untuk Glomus spp.

adalah 20oC. Sedangkan faktor tanah yang berpengaruh adalah keasaman tanah

(pH) dan kandungan unsur hara terutama P dan N. Menurut Hudson (1986),

kandungan unsur hara di dalam tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan

mikoriza arbuskula.

Peranan FMA dalam Ekosistem

Manfaat mikoriza dalam ekosistem sangat penting, yaitu berperan dalam

siklus hara, memperbaiki struktur tanah dan menyalurkan karbohidrat dari akar

tanaman ke organisme tanah yang lain (Brundrett et al. 1996). Mikoriza dapat

membebaskan P yang tidak tersedia bagi tanaman, misalnya dalam batuan fosfat,

menjadi tersedia bagi tanaman. Mikoriza mengeluarkan enzim fosfatase dan asam

asam organik, khususnya oxalat, yang dapat membantu membebaskan fosfat.

Peran ini sangat penting mengingat sebagian besar tanah-tanah di

Indonesia bersifat asam, dimana fosfat diikat oleh Al dan Fe. Pada tanah-tanah

kapur, fosfat diikat oleh Ca sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Disamping

membebaskan fosfat yang tidak tersedia, hifa mikoriza juga mengkonservasi

unsur hara agar tidak hilang dari ekosistem. Manfaat mikoriza secara langsung

(18)

membentuk tubuh buah yang mudah dikenali. Tubuh buah dari fungi

ektomikoriza ini dapat dijadikan sebagai bahan pangan (Scleroderma

sinnamariense yang bersimbiosis dengan melinjo), bahan obat, untuk keindahan

(tubuh buah fungi ektomikoriza beraneka bentuk, ukuran dan warna).

Keanekaragaman fungi juga dapat dijadikan indikator kualitas lingkungan

(Brundrett et al. 1996).

Faktor yang Mempengaruhi Kolonisasi dan Pembentukan Spora FMA

Keberadaan dan kolonisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan,

faktor-faktor tersebut antara lain:

1.Cahaya dan Fotoperiodesitas

Intensitas cahaya dan panjang hari yang lama akan memperbaiki

kolonisasi dan produksi spora pada Pueraria javanica, jagung dan lain-lain

(Graham et al. 1987). Meningkatnya kolonisasi FMA adalah akibat meningkatnya

proses fotosintesis yang berakibat pada meningkatnya konsentrasi karbohindrat di

dalam akar atau meningkatnya senyawa-senyawa eksudat. Untuk

memaksimumkan produksi inokulum FMA perlu memaksimumkan fotosintesis

inang dan cahaya.

Adanya naungan yang berlebihan terutama untuk tanaman yang senang

cahaya dapat mengurangi kolonisasi akar dan produksi spora, selain itu respon

tanaman terhadap fungi mikoriza akan berkurang. Hal ini disebabkan adanya

hambatan pertumbuhan dan perkembangan internal hifa dalam akar yang

(19)

2. Suhu

Suhu berpengaruh terhadap kolonisasi yakni pada perkembangan spora,

penetrasi hifa pada sel akar dan perkembangan pada korteks akar, selain itu suhu

juga berpengaruh pada ketahanan dan simbiosis. Semakin tinggi suhu semakin

besar terbentuknya kolonisasi dan meningkatnya produksi spora. Schenk dan

Schroder (1974) menyatakan bahwa suhu terbaik untuk perkembangan arbuskula

yakni pada suhu 30oC tetapi untuk koloni miselia terbaik berada pada suhu 28–

34oC, sedangkan perkembangan bagi vesikula pada suhu 35oC.

3. Kandungan air tanah

Kandungan air tanah dapat berpengaruh baik secara langsung atau tidak

langsung terhadap kolonisasi dan pertumbuhan fungi mikoriza. Pengaruh secara

langsung tanaman bermikoriza dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas

serapan air. Sedangkan pengaruh tidak langsung karena adanya miselia eksternal

menyebabkan fungi mikoriza efektif dalam mengagregasi butir-butir tanah,

kemampuan tanah menyerap air meningkat. Penjenuhan air tanah yang lama

berpotensi mengurangi pertumbuhan dan kolonisasi fungi mikoriza karena kondisi

yang anaerob. Daniels dan Trappe (1980) menggunakan Glomus epigaeum

dikecambahkan pada lempung berdebu pada berbagai kandungan air. Glomus

epigaeum ternyata berkecambah paling baik pada kandungan air di antara

kapasitas lapang dan kandungan air jenuh.

4. Kemasaman Tanah

Fungi mikoriza pada umumnya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah.

Meskipun demikian adaptasi masing-masing spesies fungi mikoriza terhadap pH

(20)

perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman

(Maas dan Nieman, 1978).

Perkembangan fungi mikoriza pada pH optimum berbeda-beda tergantung

pada adaptasi fungi mikoriza terhadap lingkungan. Aktivitas enzim yang

berperan dalam perkecambahan spora fungi mikoriza dapat dipengaruhi oleh pH.

Misalnya Glomus mosseae biasanya pada tanah alkali dapat berkecambah dengan

baik pada air atau pada soil extract agar pada pH 6-9. Spora Gigaspora

coralloidea dan Gigaspora heterogama dari jenis yang lebih tahan asam dapat

berkecambah dengan baik pada pH 4-6. Glomus epigaeum perkecambahannya

lebih baik pada pH 6-8.

5.Bahan organik

Bahan organik merupakan salah satu komponen dalam tanah yang penting

disamping air dan udara. Jumlah spora FMA berhubungan erat dengan kandungan

bahan organik dalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah

yang mengandung bahan organik 1-2% sedangkan pada tanah-tanah berbahan

organik kurang dari 0,5% kandungan spora sangat rendah (Pujiyanto, 2001).

6. Logam berat dan unsur lain

Adanya logam berat dalam larutan tanah dapat mempengaruhi

perkembangan mikoriza. Beberapa spesies mikoriza arbuskula diketahui mampu

beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies

mikoriza peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain

diketahui pula strain-strain fungi mikoriza tertentu toleran terhadap kandungan

(21)

Sebaran dan Ekologi Fungi Mikoriza

Sebaran dan ekologi mikoriza arbuskula terdapat pada hampir pada semua

jenis tanaman. Mikoriza berasosiasi pada akar tanaman angiosperma,

pterydophyta, bryophyta dan beberapa Gymnospermae. Hanya terdapat beberapa

saja tumbuhan yang tidak bermikoriza terutama tumbuhan yang hanya

membentuk Ektomikoriza misalnya Pinnaceae (Imas et al, 1989).

Meyer (1973) dalam Setiadi (1989) menambahkan mikoriza arbuskula ini

mempunyai penyebaran yang luas, meliputi hutan hujan rapat, padang pasir, semi

gurun dan jarang ditemukan dalam hutan temperate areal yang amat basah

(didominasi oleh Ektomikoriza). Perbedaan lokasi, ekosistem, dan rizosfer

ternyata menunjukan keanekaragaman spesies dan populasi fungi mikoriza,

misalnya yang didominasi oleh fraksi lempung berdebu merupakan tanah yang

baik bagi perkembangan Glomus (Baon dan Widiastuti, 1997), begitu juga dengan

tanah mangrove yang bercirikan tanah berlumpur dan cenderung liat hanya

Glomus sp. yang dapat hidup, sedangkan tanah yang berpasir genus Acaulospora

dan Gigaspora ditemukan dalam jumlah yang tinggi.

Kelapa Sawit Sebagai Inang FMA

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack) diketahui berasal dari

kawasan Afrika utara, tepatnya di Nigeria (Fauzi, et al, 2002). Menurut

Sastrowardoyo (2004) tanaman kelapa sawit dapat diklasifikasikan dalam:

Kingdom: Spermatophyta

Subdevisi: Angiospermae

Kelas: Monocotyledonae

(22)

Familli: Palmaceae

Genus: Elaeis

Species: Elaeis guineensis jack

Tanaman kelapa sawit tumbuh optimal pada ketinggian tempat 0-100

mdpl. Pertumbuhan dan produksi terbaik kelapa sawit diperoleh pada lahan

dengan ketinggian 0-100 mdpl. Kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis

tanah, tetapi pertumbuhan optimal akan tercapai jika jenis tanahnya sesuai dengan

syarat tumbuh kelapa sawit. Sifat fisika dan kimia tanah yang harus dipenuhi

untuk pertumbuhan kelapa sawit secara optimal diantaranya harus memiliki

ketebalan tanah lebih dari 57 cm dan tidak berbatu agar perkembangan akar tidak

terganggu, tekstur ringan dan terbaik (memiliki pasir 20%-60%, debu 10%-40%,

dan liat 20%-50%), drainase baik dan permukaan air tanah cukup dalam, dan

kemasaman (pH) tanah 4,0-6,0 dan pH optimal 5,0-5,5.

Curah hujan optimal rata-rata tahunan untuk kelapa sawit berkisar

2000-2500 mm pertahun. Distribusi hujan idealnya merata sepanjang tahun tanpa bulan

kering yang berkepanjangan. Lama penyinaran matahari yang dibutuhkan kelapa

sawit minimum 1600 jam/tahun dan optimum sekitar 6-7 jam/hari. Kelembaban

udara yang optimum untuk pertumbuhan kelapa sawit sekitar 80%

(Sastrowardoyo, 2004).

Tanaman kelapa sawit memerlukan temperatur udara yang optimal sekitar

24-280C untuk tumbuh dengan baik. Namun, tanaman masih dapat tumbuh pada

suhu terendah 180C dan tertinggi 32 0C. Tanaman kelapa sawit cenderung tahan

angin, namun sebaiknya kecepatan angin rata-rata tidak melebihi 40 km/jam.

(23)

Tanaman kelapa sawit memiliki respon yang sangat baik terhadap kondisi

lingkungan dan perlakuan yang diberikan. Kondisi iklim dan tanah merupakan

faktor utama yang menentukan produktivitasnya, disamping pemberian faktor lain

seperti pemberian organisme seperti mikoriza (Lubis, 1992).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Widiastuti dan Goenadi (2000)

ditemukan bahwa pada perakaran kelapa sawit dijumpai beberapa organ FMA

seperti hifa internal, hifa eksternal, arbuskula, dan vesicular. Organ yang paling

jarang dijumpai adalah arbuskula. Hal ini menunjukkan bahwa FMA dapat

mengkolonisasi akar kelapa sawit dan selanjutnya membentuk organ-organ secara

(24)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juli 2014. Kegiatan

penelitian terdiri dari beberapa tahapan kegiatan yang diawali dengan

pengambilan sampel (eksplorasi) lapangan yang dilakukan di dataran tinggi lahan

kelapa sawit di desa Adia Nangka, Kec. Lae Parira, Kabupaten Dairi dan dataran

rendah di lahan kelapa sawit desa Batang Terap, Kec. Perbaungan, Kabupaten

Serdang Bedagai. Pembuatan kultur trapping di Rumah Kaca Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara. Analisis tanah di Laboratorium Riset dan Teknologi

Fakultas Pertanian, dan pengamatan kolonisasi akar dan identifikasi spora FMA di

Laboratorium Biologi Tanah, Program Studi Agrekoteknologi, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah dan akar

kelapa sawit (Elaeis guineensis jack) . Pasir sungai sebagi campuran media tanam,

terrabuster guna merangsang pembentukan spora, hyponex merah sebagai sumber

hara tanaman, dan jagung (Zea mays) sebagai inang pada perlakuan

pemerangkapan. Untuk ekstraksi dan identifikasi spora mikoriza digunakan bahan

berupa larutan glukosa 60%, dan larutan Melzer’s sebagai bahan pewarna spora.

Larutan trypan blue untuk bahan proses pewarnaan akar (staining). Larutan KOH

10% untuk mengeluarkan cairan sitoplasma dalam akar, sehingga akar pucat dan

sebagai pengawet. Larutan HCl 2% untuk mempermudah masuknya trypan blue

(25)

Alat yang digunakan dalam untuk pengambilan contoh tanah dan akar

tanaman antara lain GPS, meteran, tali plastik, cangkul, kantong plastik, spidol,

dan kertas label. Alat untuk pengamatan di laboratorium adalah saringan 200 mm,

710 μm, 250 μm, dan 53 μm, tabung sentrifuse, cawan petri, pipet tetes,

mikroskop binokuler, mikroskop stereo, kaca preparat, dan kaca penutup. Alat

yang digunakan untuk pemerangkapan di rumah kaca berupa pot (aqua cup), dan

sprayer.

Prosedur Penelitian

1. Pengambilan Contoh Tanah dan Akar

Pengambilan contoh tanah dan akar tanaman dilakukan pada lima titik

dalam satu petak ukur. Petak ukur berukuran 20 x 20 m sebanyak 5 petak dalam

satu lahan. Contoh tanah diambil pada daerah rizosfir atau pada kedalaman 0

sampai 20 cm. Berat tanah yang diambil dari setiap titik dalam satu petak adalah

sebanyak 500 gram secara komposit. Sedangkan contoh akar tanaman diambil

dengan cara memotong akar-akar halus dari anakan dan tumbuhan bawah pada

petak contoh.

2. Analisis Tanah

Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan analisa awal

terhadap kondisi tanah meliputi pH tanah, C-organik, dan P-tersedia untuk

mengetahui sifat tanah.

3. Pembuatan Kultur Trapping.

Teknik trapping yang digunakan mengikuti metoda Brundrett et al.

(1994) dengan menggunakan pot kultur terbuka. Media tanam yang digunakan

(26)

dalam pot kultur adalah pot kultur diisi dengan pasir sungai sampai sepertiga

volume pot, kemudian dimasukkan contoh tanah dan terakhir ditutup dengan pasir

sungai sehingga media tanam tersusun atas pasir sungai-contoh tanah-pasir

sungai. Selanjutnya bibit jagung (Zea mays) ditaruh pada lubang tanam yang

sudah diisi dengan pasir sungai, tanah kemudian ditutupi lagi dengan pasir sungai.

Dari setiap contoh tanah dibuat 5 pot kultur. Disamping itu diberikan

penambahan terrabuster guna merangsang pembentukan spora yang lebih baik.

Perlakuan terrabuster diberikan dengan konsentrasi 0,4% (1:250) sebanyak 20 ml

tiap pot. Frekuensi pemberian terrabuster adalah 3 x 1 minggu selama satu bulan

pertama dan 1 x 1 minggu selama 1 bulan kedua. Penambahan terrabuster ini

diharapkan berpengaruh terhadap pembentukan spora fungi mikoriza.

Setelah kultur berumur 8 minggu kegiatan penyiraman dihentikan dengan

tujuan menkondisikan kultur pada keadaan stress kekeringan. Proses pengeringan

ini berlangsung secara perlahan sehingga dapat merangsang pembentukan spora

lebih banyak. Periode pengeringan ini akan berlangsung selama lebih kurang 2

minggu

Pemeliharaan kultur meliputi kegiatan penyiraman, pemberian hara dan

pengendalian hama secara manual. Larutan hara yang digunakan adalah Hyponex

merah (25-5-20) dengan konsentrasi 1 g/l. Pemberian larutan hara dilakuan setiap

minggu sebanyak 20 ml tiap pot kultur.

Pemanenan dilakukan setelah pembentukan spora-spora baru diasumsikan

sudah cukup baik setelah dilakukan stressing selama 2 minggu terhadap tanaman

(27)

jumlah spora per 50 g media tanam dan jenis spora. Selanjutnya spora-spora yang

diperoleh dari kultur ini akan diidentifikasi jenisnya.

4. Pengamatan Contoh Tanah dan Akar

a. Ekstraksi Spora

Teknik yang digunakan dalam mengekstraksi spora FMA adalah teknik

tuang – saring dari Pacioni (1992) dan akan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi

dari Brundrett et al. (1996). Prosedur kerja teknik tuang – saring ini, pertama

adalah mencampurkan tanah sampel sebanyak 50 g dengan 200–300 ml air dan

diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur. Selanjutnya disaring dalam satu set

saringan dengan ukuran 200 mm, 710 μm, 250 μm, dan 53 μm secara berurutan

dari atas ke bawah. Dari saringan bagian atas disemprot dengan air kran untuk

memudahkan bahan saringan lolos. Kemudian saringan paling atas dilepas dan

saringan kedua kembali disemprot dengan air kran. Setelah saringan kedua

dilepas sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan

ke dalam tabung sentrifuse.

Ekstraksi spora teknik tuang – saring ini kemudian diikuti dengan teknik

sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Hasil saringan dalam tabung sentrifuse

ditambahkan dengan glukosa 60% yang diletakkan pada bagian bawah dari

larutan tanah dengan menggunakan pipet. Tabung sentrifuse ditutup rapat dan

disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. Selanjutnya larutan

supernatan tersebut dituang ke dalam saringan 53 µm, dicuci dengan air mengalir

(air kran) untuk menghilangkan glukosa. Endapan yang tersisa dalam saringan di

(28)

binokuler untuk penghitungan kepadatan spora dan pembuatan preparat guna

identifikasi spora FMA yang ada.

Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s.

Spora-spora FMA yang diperoleh dari ekstraksi setelah dihitung jumlah diletakkan

dalam larutan Melzer’s. Selanjutnya spora-spora tersebut dipecahkan secara

hati-hati dengan cara menekan kaca penutup preparat menggunakan ujung lidi.

Perubahan warna spora dalam larutan Melzer’s adalah salah satu indikator untuk

menentukan tipe spora yang ada.

b. Kolonisasi FMA pada Akar Tanaman Sampel

Pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman contoh dilakukan melalui

teknik pewarnaan akar (staining). Metoda yang digunakan untuk pembersihan

dan pewarnaan akar sampel adalah metoda dari Kormanik dan McGraw (1982).

Langkah pertama adalah memilih akar-akar halus dengan diameter 0,5-2,0 mm

(Rajapakse dan Miller Jr., 1992) segar dan dicuci dengan air mengalir hingga

bersih.

Akar sampel dimasukkan ke dalam larutan KOH 10% dan dibiarkan

selama lebih kurang 24 jam sehingga akar akan berwarna putih atau pucat.

Larutan KOH kemudian dibuang dan akar contoh dicuci pada air mengalir selama

5-10 menit. Selanjutnya akar contoh direndam dalam larutan HCl 2% dan

dibiarkan selama satu malam. Larutan HCl 2% kemudian dibuang dengan

mengalirkannya secara perlahan-lahan. Selanjutnya akar sampel direndam dalam

larutan Trypan blue 0,05%. Kemudian larutan Trypan blue dibuang dan diganti

dengan larutan lacto glycerol untuk proses destaining (pengurangan warna).

(29)

Penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metoda panjang

akar terkolonisasi (Giovannetti dan Mosse, 1980). Secara acak diambil

potong-potongan akar yang telah diwarnai dengan panjang ± 1 cm sebanyak 10 potong-potongan

akar dan disusun pada kaca preparat, untuk setiap tanaman sampel dibuat dua

preparat akar. Potongan-potongan akar pada kaca preparat diamati untuk setiap

bidang pandang. Bidang pandang yang menunjukkan tanda-tanda kolonisasi

(terdapat hifa dan atau arbuskula dan atau vesikula) diberi tanda positif (+),

sedangkan yang tidak terdapat tanda-tanda kolonisasi diberi tanda negatif (-).

Derajat/persentase kolonisasi akar dihitung dengan menggunakan rumus:

% ∑ %

Variabel Pengamatan

Variabel pengamatan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu variabel

lingkungan dan variabel mikoriza. Variabel lingkungan meliputi (1) kesuburan

tanah (pH, C-organik, P-tersedia), dan (2) komponen iklim (suhu dan curah hujan

rata-rata bulanan). Komponen iklim yang diasumsikan mempunyai pengaruh

paling besar terhadap perubahan musim untuk daerah tropis adalah curah hujan.

Variabel mikoriza yang akan diamati meliputi (1) persentase kolonisasi akar pada

tanaman inang, (2) kepadatan spora atau jumlah spora FMA tiap gram tanah dan

(3) jenis spora FMA yang ditemukan.

Berdasarkan data-data yang diperoleh dari variabel pengamatan dilakukan

analisis untuk melihat hubungan antara variabel lingkungan dengan variabel

mikoriza. Analisis ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana perbedaan

keberadaan dan status FMA dengan adanya perubahan kondisi-kondisi

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Analisis Sifat Kimia Tanah

Sampel tanah yang diambil dari lapangan berasal dari kedalaman 0 – 20

cm. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan ditemukan perbedaan sifat kimia

tanah diantara kedua lokasi penelitian. Persentase C Organik pada dataran tinggi

lebih besar yaitu 1,50 % dibanding dengan kandungan C Organik pada dataran

rendah yang hanya mencapai 0,75%. Lahan dataran rendah memiliki pH H2O

lebih tinggi yaitu 6,50 dibandingkan dengan pH H2O pada lahan dataran tinggi

yaitu 5,12. Kandungan P tersedia pada dataran rendah lebih tinggi yaitu 16,54

ppm dibandingkan dengan P tersedia pada dataran tinggi yang hanya mencapai

4,34 ppm. Hasil analisis sampel tanah yang diamati dapat dlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis tanah lahan kelapa sawit dataran tinggi dan dataran rendah serta kriterianya menurut Penelitian Tanah (1983) dalam Mukhlis (2007)

Lokasi Pengamatan pH H2O C-Organik (%) P tersedia (ppm)

Komponen iklim yang diamati dan dijadikan parameter dari lokasi

penelitian adalah data curah hujan dan suhu rata-rata bulanan. Berdasarkan data

iklim yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi kelas I Sampali Medan, diketahui

bahwa curah hujan rata-rata pada dataran tinggi dari bulan desember 2013 sampai

januari 2014 adalah 153 mm sementara curah hujan rata-rata dari bulan desember

(31)

dataran tinggi pada bulan desember 2013 sampai januari 2014 adalah 20,10C

sementara suhu rata-rata dataran rendah pada bulan desember 2013 sampai januari

2014 adalah 26,20C. Data iklim di kedua lokasi dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Data komponen Iklim pada kedua lokasi pengambilan sampel tanah

Lokasi Pengamatan Curah hujan rata-rata (mm) Suhu rata-rata (0C)

Dataran tinggi 153 mm 20,1

Dataran rendah 207 mm 26,2

3. Persentase kolonisasi akar

Dilihat dari rataan persentase kolonisasi akar kelapa sawit pada kedua

tempat didapatkan persentase kolonisasi tertiggi adalah pada akar dari dataran

tinggi yang rata-rata kolonisasinya mencapai 37%, sedangkan persentase terendah

adalah kolonisasi akar yang berasal dari dataran rendah yang rata-rata

kolonisasinya hanya mencapai 25,4%. Rata-rata persentase kolonisasi FMA pada

akar kelapa sawit (Elaeis guineensis jack) di dua tempat dapat dilihat pada table 3

berikut.

Tabel 3. Persentase kolonisasi akar kelapa sawit oleh FMA pada dataran tinggi dan dataran rendah.

Struktur yang dibentuk FMA dengan mengkolonisasi akar kelapa sawit

(Elaeis guineensis jack) di kedua tempat yang diamati adalah struktur vesikula

(32)

Gambar 1. Akar tanpa kolonisasi FMA

Gambar 2. Vesikula FMA pada akar

Gambar 3. Hifa FMA pada akar

4. Kepadatan Spora Hasil Pemerangkapan di Rumah Kaca

Hasil ekstraksi spora dari 50 gram tanah yang dilakukan menunjukkan

bahwa rata-rata kepadatan spora dalam tanah lahan kelapa sawit dataran tinggi

lebih tinggi dari pada tanah yang berasal dari lahan kelapa sawit dataran rendah.

Rata-rata kepadatan spora yang didapatkan dari dataran tinggi adalah 938

spora/50. Hasil ekstraksi tanah lahan kelapa sawit dataran rendah, rata-rata

kepadatan sporanya hanya mencapai 128 spora/50 gram tanah. Rata-rata

(33)

Tabel 4. Kepadatan Spora FMA pada dataran tinggi dan dataran rendah.

5. Tipe dan Karakteristik Spora

Hasil ekstraksi dan identifikasi terhadap spora FMA dari tanah lahan

kelapa sawit dataran tinggi ditemukan 2 genus spora FMA yaitu Acaulospora

yang terdiri dari 6 tipe spora dan dan Glomus yang ditemukan terdiri dari 14 tipe

spora. Tipe dan karakteristik spora FMA dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Tipe dan karakteristik spora FMA pada lahan kelapa sawit dataran tinggi. Tipe Spora Perbesaran Karakteristik

Acaulospora sp 1

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah kehitaman, dinding spora jelas dengan permukaan bercorak kulit merah bata, dinding spora tebal dengan permukaan mirip kulit jeruk.

Acaulospora sp 3

40x

(34)

Acaulospora sp 4

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna hitam, dinding spora tebal dan dengan permukaan seperti kulit jeruk.

Acaulospora sp 5

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah bata, dinding spora tebal dengan permukaan seperti kulit jeruk.

Acaulospora sp 6

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna kuning keemasan, dinding spora tipis dengan permukaan seperti kulit jeruk.

Glomus sp 1

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah bata, dinding spora tebal dan dengan permukaan kasar.

Glomus sp 2

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna hitam, tidak memiliki corak. Dinding spora tebal dan memiliki Hyfal attchment.

Glomus sp 3

40x

(35)

Glomus sp 4

40x

Spora berbentuk bulat lonjong, berwarna merah gelap, dinding spora tebal dan dengan permukaan halus.

Glomus sp 5

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah gelap, dinding spora tebal dengan permukaan halus. merah bata, dinding spora tebal dengan permukaan halus.

Glomus sp 8

40x

Spora berbentuk bulat lonjong, berwarna merah bata terang, dinding spora tebal dengan permukaan berbintik.

Glomus sp 9

40x

(36)

Glomus sp 10 dan memiliki Hyfal attchment.

Glomus sp 11

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat, dinding spora tipis dengan permukaan berbintik dan memiliki berwarna merah tua, dinding spora tebal dengan permukaan bertekstur.

Glomus sp 13

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna hitam, tidak memiliki corak. Dinding spora tebal dengan permukaan kasar

Glomus sp 14

40x

Spora berbentuk bulat telur, berwarna kuning keemasan tua, dinding spora tidak tebal dengan permukaan berbintik dan memiliki Hyfal attchment.

Hasil ekstraksi tanah lahan kelapa sawit dataran rendah terdapat 2 genus

yaitu Acaulospora yang terdiri atas 3 tipe spora dan Glomus yang terdiri dari 7

(37)

Tabel 6. Tipe dan karakteristik spora FMA pada lahan kelapa sawit dataran rendah. Tipe Spora FMA Perbesaran Karekteristik

Acaulospora sp 7 merah bata, dinding spora tidak tebal, permukaan bercorak mirip kulit merah bata, dinding spora tebal dan dengan permukaan kasar.

Glomus sp 2

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna hitam, tidak memiliki corak, inding spora tebal dan memiliki Hyfal attachment.

Glomus sp 16

40x

(38)

Glomus sp 17

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat, dinding spora tebal dengan permukaan kasar.

Glomus sp 18

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna kuning keputihan, dinding spora tipis transparan dengan permukaan bercorak.

Glomus sp 13

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna hitam, dinding spora tebal dan tidak begitu jelas, permukaan kasar.

Glomus sp 19

40x

Spora berbentuk bulat, berwarna merah tua, dinding spora tidak tebal dengan permukaan berbintik putih.

Pembahasan

Kolonisasi FMA pada akar dicirikan oleh adanya asosiasi antara FMA

dengan akar yang membentuk struktur-struktur yang dihasilkan oleh FMA seperti

hifa, vesikula, arbuskula maupun spora. Hifa adalah salah satu struktur dari FMA

berbentuk benang-benang halus yang berfungsi sebagai penyerap unsur hara dari

luar. Vesikula menurut Abbott dan Robson (1982), berbentuk globosa dan berasal

dari menggelembungnya hifa internal dari FMA. Arbuskula adalah unit kolonisasi

(39)

dinding sel serta membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks

(Hudson, 1986). Adanya satu atau lebih struktur FMA tersebut, maka dapat

dikatakan terjadi kolonisasi oleh FMA.

Hasil pengamatan di laboratorium terhadap akar kelapa sawit yang

diperoleh dari dataran tinggi dan dataran rendah menunjukkan bahwa tanaman

kelapa sawit di kedua lokasi ini mampu berasosiasi dengan FMA. Namun,

persentase kolonisasi yang dijumpai relatif beragam dari setiap lokasi

pengambilan sampel.

Persentase kolonisasi akar yang terkolonisasi FMA dari kedua tempat

(Tabel 3) menunjukkan perbedaan persentase kolonisi akar yang terjadi pada akar

kelapa sawit di kedua tempat. Rataan kolonisasi akar menunjukkan bahwa akar

kelapa sawit dataran tinggi memiliki persentase kolonisasi lebih tinggi yaitu 37%

dibandingkan dengan akar kelapa sawit dari dataran rendah yaitu 25,4%.

Berdasarkan kriteria persentase akar menurut Setiadi (1992) maka persentase

kolonisasi FMA 37% pada akar kelapa sawit dataran tinggi termasuk dalam

kategori sedang, sementara untuk akar kelapa sawit dataran rendah dengan persen

kolonisasi sebesar 25,4% termasuk dalam kategori rendah.

Intensitas kolonisasi FMA dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, baik

faktor lingkungan maupun faktor mikoriza itu sendiri. Penyebaran FMA tidak

pernah merata untuk kondisi lapangan tertentu. Hal ini kemungkinan sebagian

besar disebabkan oleh kesuburan tanah yang berbeda-beda untuk setiap lokasi

pengambilan sampel.

Berdasarkan hasil analisa di laboratorium terhadap sifat kimia tanah

(40)

sampel akar. Sifat kimia tanah diketahui sangat mempengaruhi kemampuan FMA

berasosiasi dengan tanaman. Tanah lahan kelapa sawit dataran tinggi memiliki

pH 5,14 artinya lebih rendah dari pH tanah lahan kelapa sawit dataran rendah

yang tingkat kemasaman (pH) tanahnya mencapai 6,08. Menurut Setiadi (1989),

perkembangan FMA yang optimal terjadi pada pH 3,9-5,9. Namun,

perkecambahan masih memungkinkan untuk terjadi dalam kisaran pH yang masih

memungkinkan untuk pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan hasil temuan di

lapangan bahwa persentase kolonisasi FMA lebih tinggi ditemukan pada lahan di

dataran tinggi yang memiliki kisaran pH yang lebih optimum dalam

perkembangan FMA.

Hasil analisa laboratorium menunjukkan bahwa pada tanah lahan kelapa

sawit dataran tinggi mengandung C organik 1,50% yang termasuk dalam kriteria

rendah dan tanah lahan kelapa sawit dataran rendah mengandung C organik

0,75% yang termasuk dalam kriteria sangat rendah. FMA sangat dominan berada

pada lapisan bahan organik tanah, oleh karena itu rendahnya kandungan bahan

organik pada tanah akan mempengaruhi keberadaan dan perkembanagan FMA.

Harley et al (1976) menyatakan bahwa 95% FMA aktif terdapat pada lapisan

humus dan kayu-kayu yang busuk.

Kandungan P dalam tanah diketahui dapat mempengaruhi variasi

kolonisasi FMA pada akar tanaman. Hasil analisa tanah terhadap P tersedia dalam

tanah menunjukkan bahwa pada tanah lahan kelapa sawit dataran tinggi P

tersedia yang ditemukan adalah 4,34 ppm yang termasuk dalam kriteria rendah,

berbeda dengan kandungan P tersedia yang ditemukan pada tanah lahan kelapa

(41)

yang mengandung unsur P yang banyak sering dihubungkan dengan menurunnya

kolonisasi FMA. Pembentukan simbiosis FMA mencapai maksimum jika kadar P

dalam tanah tidak lebih besar dari 50 mg kg-1 (50 ppm) (Ishii, 2004). Menurut

Setiadi et al (1992) konsentrasi P yang tinggi di dalam tanah menghambat

kolonisasi FMA.

Selain faktor sifat tanah, faktor lingkungan seperti curah hujan dan suhu

dapat pula mempengaruhi variasi kolonisasi FMA pada akar. Berdasarkan data

yang diperoleh dari BMKG Kelas 1 Sampali Medan, diperoleh data curah hujan

dan suhu rata-rata bulanan dari kedua lokasi pengambilan sampel yang disajikan

dalam tabel 2. Setiadi (1989) menyatakan bahwa suhu optimum bagi pertumbuhan

cendawan pembentuk mikoriza beragam menurut jenis dan strain. Pertumbuhan

yang baik antara 20oC-30oC. Artinya, kedua lokasi pengambilan sampel memiliki

suhu yang optimum untuk FMA dapat mengkolonisasi akar tanaman.

Curah hujan yang berkaitan dengan status air tanah juga merupakan faktor

yang mempengaruhi kolonisasi FMA pada akar. Curah hujan rata-rata di dataran

tinggi dari bulan desember 2013 sampai januari 2014 lebih rendah yaitu 153 mm

dibandingkan dengan curah hujan rata-rata dari bulan desember 2013 sampai

januari 2014 di dataran rendah yang mencapai 207 mm. Delvian (2003)

melakukan pengamatan terhadap fluktuasi kolonisasi FMA pada akar beberapa

jenis tanaman dalam 5 periode curah hujan yang berbeda, hasilnya terjadi variasi

kolonisasi FMA ditemukan baik dalam perbedaan tanaman inang maupun

perbedaan curah hujan. Beberapa jenis tanaman menunjukkan respon yang

berbeda dari tanaman lain terhadap satu kondisi curah hujan tertentu. Namun

(42)

rendah. Oehl et al (2009) menyatakan bahwa tidak semua FMA aktif pada periode

waktu yang sama. Sebagian FMA jumlahnya melimpah pada musim hujan,

sebagian lainnya pada waktu musim kemarau, dan sebagian lainnya pada

sepanjang tahun.

Selain faktor-faktor di luar FMA, menurut Gunawan (1993), persentase

kolonisasi pada akar dan produksi spora oleh FMA dipengaruhi oleh spesies FMA

itu sendiri, lingkungan dan tanaman inangnya, sehingga baik jumlah spora

maupun persentase kolonisasi akar tidak dipengaruhi oleh satu faktor saja,

melainkan akumulasi dari berbagai faktor yang dapat mempengaruhinya.

Struktur FMA yang dijumpai pada akar kelapa sawit dari dataran tinggi

dan dataran rendah yang telah diwarnai dan diamati adalah hifa (Gambar 3) dan

vesikula (Gambar 2). Struktur FMA berupa arbuskula tidak dijumpai pada akar di

lahan perkebunan kelapa sawit di dataran tinggi dan dataran rendah. Hal ini tidak

berbeda jauh dengan hasil penelitian aplikasi FMA terhadap bibit kelapa sawit

yang dilakukan Widiastuti dan Goenadi (2000) yang menemukan bahwa pada

perakaran kelapa sawit dijumpai organ FMA seperti hifa internal, hifa eksternal,

arbuskula, dan vesikula namun struktur arbuskula sangat jarang dijumpai.

Sieverding (1991) menyatakan bahwa vesikula pada umumnya dibentuk

setelah arbuskula. Struktur arbuskula akan sukar untuk dijumpai karena

keberadaan arbuskula pada akar relatif sangat singkat, yaitu berkisar 1-3 hari saja.

Kemungkinan lain, struktur arbuskula tidak dapat ditemukan karena akar yang

diambil terlalu muda sehingga struktur arbuskula belum terbentuk atau akar sudah

(43)

tidak ditemukan juga karena sampel akar yang diambil belum dapat mewakili

keseluruhan akar inang yang terkolonisasi oleh FMA.

Selain pengamatan terhadap kolonisai FMA pada akar dilakukan juga

penghitungan kepadatan spora hasil pemerangkapan di rumah kaca. Hasil

pengamatan di laboratorium terhadap spora dari tanah hasil pemerangkapan di

rumah kaca menunjukkan bahwa kepadatan spora bervariasi terhadap lokasi yang

dijadikan sumber tanah pemerangkapan (Tabel 4). Hasil penghitungan kepadatan

spora menunjukkan kepadatan spora hasil pemerangkapan sangat tinggi.

Pada tanah asal lahan kelapa sawit dataran rendah rata-rata kepadatan

spora yang diperoleh adalah 128 spora/50 gram tanah, sementara pada tanah lahan

kelapa sawit dataran tinggi kepadatan spora adalah 938 spora/50 gram tanah.

Kepadatan spora yang bervariasi ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Puspitasari (2005) yang melakukan pemerangkapan FMA

dari tanah berbagai salinitas di hutan pantai Ujung Genteng Sukabumi dengan

Shorgum sp sebagai tanaman inang. Pada penelitian ini diperoleh variasi

kepadatan spora yang sangat beragam antara lain dibawah 10 spora/50 gram tanah

sampai kepada kerapatan diatas 700 spora/50 gram tanah.

Kultur pemerangkapan pada dasarnya digunakan untuk menstimulasi

sporulasi atau meningkatkan jumlah propagul FMA yang ada di dalam tanah yang

diambil dari lapangan. Hal itu perlu dilakukan, mengingat tidak semua FMA aktif

pada periode waktu yang sama. Sebagian FMA jumlahnya melimpah pada musim

hujan, sebagian lainnya pada sepanjang tahun (Oehl et al, 2009). Tingginya

(44)

pemerangkapan yang diberikan berpengaruh positif terhadap perkecambahan dan

perkembangan FMA.

Penyebaran genus FMA dari pengamatan terhadap hasil pemerangkapan

mempunyai variasi sebaran genus yang sama di kedua tempat pengambilan

sampel tanah. Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa tipe spora yang

ditemukan adalah genus Glomus dan Acaulospora. Pada tanah lahan kelapa sawit

dataran tinggi ditemukan 6 tipe spora dari genus Acaulospora dan 14 tipe spora

dari genus Glomus (Tabel 5). Sementara pada lahan kelapa sawit dataran rendah

ditemukan 3 tipe spora genus Acaulospora dan 7 tipe spora dari genus Glomus

(Tabel 6). Sebaran genus FMA yang dijumpai pada lahan kelapa sawit kedua

tempat tidak berbeda jauh dengan hasil temuan Sibarani (2011) yang

mengidentifikasi tipe spora FMA pada lahan kelapa sawit ekosistem lahan gambut

desa Telaga Suka, Kecamatan Panai Tengah Kabupaten Labuhan Batu yang juga

hanya menemukan 2 genus FMA yaitu Acaulospora dan Glomus.

Genus Acaulospora yang ditemukan dari kedua lokasi pengamatan

umumnya berbentuk bulat berwarna kemerahan, cokelat, putih, sampai pada

warna hitam. Spora jelas menampakkan dinding sel yang berjumlah lebih dari satu

lapis, dan memiliki bintik-bintik atau permukaan mirip kulit jeruk. Berdasarkan

hasil pengamatan terhadap tipe spora Acaulospora dari kedua lokasi pengamatan

tidak ditemukan tipe spora yang sama-sama dapat dijumpai di kedua tempat.

Masing-masing lokasi menunjukkan tipe spora Acaulospora yang berbeda.

Menurut Hall (1984) spora Acoulospora merupakan spora tunggal di

dalam sporokarp, spora melekat secara lateral pada hifa yang ujungnya

(45)

globos, subglobos, ellips atau fusiform melebar. Spora Acaulospora yang

ditemukan memiliki bentuk bulat lonjong dan memiliki dinding spora yang relatif

tebal. Proses perkembangan Acaulospora berawal dari ujung hifa (subtending

hyphae) yang membesar seperti spora yang disebut hyphal terminus. Di antara

hyphal terminus dan subtending hypae akan muncul bulatan kecil yang semakin

lama semakin membesar dan terbentuk spora.

Spora Glomus yang ditemukan dari kedua tempat pada umumnya

berbentuk bulat sempurna, bulat telur sampai bulat lonjong dengan ukuran yang

bervariasi. Spora FMA yang dijumpai berwarna kemerahan, cokelat, kuning,

putih, sampai kehitaman dengan dinding tebal sampai transparan, dan permukaan

halus sampai kasar. Beberapa tipe spora Glomus ditemukan memiliki tangkai

spora (Hyfal attcment). Berdasarkan hasil identifikasi terhadap tipe spora Glomus

dari kedua tempat, ditemukan bahwa pada lahan kelapa sawit dataran tinggi dan

lahan kelapa sawit dataran rendah terdapat dua tipe spora yang sama-sama dapat

dijumpai di kedua tempat. Tipe spora yang dapat sama-sama dijumpai di kedua

tempat adalah tipe spora Glomus sp 2 yang memiliki ciri bentuk bulat, berwarna

hitam, tidak memiliki corak, dinding spora tebal dan memiliki tangkai spora

(Hyfal attcment), dan yang kedua adalah tipe spora Glomus sp 13 dengan spora

berbentuk bulat, berwarna hitam, dinding spora tebal yang tidak begitu jelas, dan

permukaan kasar.

Proses perkembangan spora genus Glomus sp adalah dari ujung hifa yang

membesar sampai ukuran maksimal dan terbentuk spora. Karena sporanya berasal

dari perkembangan hifa maka disebut chlamydospora, kadang hifa

(46)

Pada saat dewasa spora dipisahkan dari hifa pelekat oleh sebuah sekat, spora

bentuk globos, subglobos, ovoid ataupun obovoid (Puspitasari, 2012). Menurut

Smith dan Read (1997) spora genus Glomus dapat ditemukan dalam bentuk

tunggal atau agregat lepas, sporokarp tidak seperti pada Sclerocystis dan

sporokarp terdiri dari spora dengan dinding lateral yang saling melekat satu sama

lainnya

Sebaran genus Acaulospora dan Glomus dalam penelitian ini belum bisa

diidentifikasi secara akurat tentang penyebaran dan nama spesiesnya, karena dari

seluruh jumlah spora yang ditemukan hanya sedikit yang dapat diidentifikasi.

Kondisi ini dikarenakan banyak ditemukan spora-spora yang rusak dan kotor

belum terpisah dengan tanah. Proses identifikasi spora juga terkendala oleh

terbatasnya peralatan di laboratorium dalam proses identifikasi sehingga

(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Sebaran keberadaan FMA lebih tinggi pada lahan kelapa sawit dataran tinggi

dibandingkan dengan lahan kelapa sawit dataran rendah.

2. Rataan kolonisasi akar kelapa sawit di dataran tinggi lebih tinggi

dibandingkan dengan rataan kolonisasi akar kelapa sawit di dataran rendah

Saran

Hasil penelitian ini hanya mendapatkan data keanekaragaman FMA dan

statusnya pada tanaman inang kelapa sawit pada satu musim pengamatan saja,

maka perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui potensi FMA yang

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Abbott, L.K. dan Robson, A.D. 1991. The Effect of Mycorrizha on Plant Growth. CRC Press, Inc., Boca Raton. Florida.

Bagyaraj, D. J. 1984. Biological interaksi With VA Michorrizal fungi; Powell CL dan Bagyraj DJ. (Eds). Vesicular-arbuscular Micorriza. CRC Press. Inc. Boca Raton. Florida.

Baon, J. B. dan Widiastuti A 1997. Spore Production of VA Mycorrhizal Fungus, Acaulospora tuberculata, As Affected By Host Species Dan Nutrients Source. Procedings of International Conference on Mycorrhizal in Sustainable Tropical Agriculture dan Forest Ecosystems. Bogor.

Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grave dan N. Malajezuk. 1996. Working with Mycorrihiza in Forestry dan Agriculture. Australian Centre for InternationalAgricultural Research (ACIAR). Carbera.

Daniels, B. A. H. dan Trappe JM 1980 Factors affecting spora germination of the VAM fungus, Glomus epigaeus. Mycology.

Delvian, 2003. Studi Keanekaragaman dan Potensi Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai. Disertasi Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Delvian. 2006. Peranan Ekologi dan Agronomi Cendawan mikoriza. USU Repositoty. Medan.

Delvian. 2006. Dinamaika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula. USU Repository. Medan.

Fauzi, Y, et al. 2002. Kelapa Sawit: Budidaya Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan pemasaran. Penebar Swadaya. Jakarta.

Gay Pe, Grubb P. J. dan Hudson H. J. 1982. Why are someplants more mycorrizal than others An ecological enquiri. Di dalam: Read DJ, Lewis DH, Fitter AH, dan Alexdaner IJ(Eds). Mycorrizas in ecosystems. C. A. B. International.

Graham, W. H. A. Van der As, AJ. Van der Plants-Nitterik RA. Samson dan J.A.Stalpers.1987. CBS Course of Mycology.Centraalbureau voor Schimmelcultures,Baam-Delft.

(49)

Giovanneti, M., Avio L, Sbrana C, Citernesi AS dan Logi C. 1993. Differential hypha morphogenesis in arbucular mycorrhizal fungi during pre-infetion stages. New Phytol.

Gunawan AW. 1993. Mikoriza Arbuskula. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hall IR. 1984. Taxonomy of VA mycorrhizal fungi. In: VA mycorrhizal (ed.) C.L. Powell dan D.J. Bagyaraj. CRC. Press. Boca Raton Florida USA.

Hanafiah, et al. 2003. Biologi Tanah. Ekologi dan Makrobiologi tanah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Harley JL. 1969. The Biology of Mycorrhiza. Second Edition. Leonard Hill. London.

Hudson, H. J. 1986. Fungal Biology. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Imas. T. R. S. Hadioetomo, AW, Gunawan. dan Setiadi Y. 1989. Mikrobiologi Tanah. Jilid II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat jendral Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.

Ishii, T. 2004. Vasicular Arbuscular (VA) Mycorrizae. http://www.bio.kpu.ac.jp/pomlab /VANinf.html. (diakses pada Juni 2014)

Janouskova, M; Pavlikova D; Vosatka M. 2006. Potensial contribution of arbuscular mycorrhiza to cadmium immobili sation in soil. Chemosphere.

Kormanik P. P. dan McGraw AC. 1982. Quantification of VA mycorrhizae in plant root. Di Dalam : N.C.Schenk (Ed.) Methods dan principles of mycorrhizae research. The American Phytop.

Lubis, A. U. 1992. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Mariha. Bdanar Kuala.

Maas, E. V. dan R. H. Nieman. 1978. Physiology of plant tolerance to salinity. Dalam G. A. Jung (Ed). Crop tolerance to suboptimal ldan conditions. ASA Spec. Pub.

Mosse, B. 1981. Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal. Research of Tropical Agroculture. Research Bulletin Hawaii Institute of Tropical Agriculture dan Human Resources. Hawaii.

(50)

Oehl, F., Sieverding E, Inechen K, Mader P, Wiemken A, Boller T. 2009. Districh sporulation synamics of mycorrhizal fungal communities from different agroecosystem in long-term microcosms. Agric Ecosyst Environm 134

Pujiyanto. 2001. Pemanfatan Jasad Mikro, Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Puspitasari, D., Kristanti I P., Anton M. 2012. Eksplorasi Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM) Indigenous pada Lahan Jagung di Desa Torjun, Sampang Madura. Jurnal Sain dan Seni ITS Vol 1.

Puspitasari, R. T. 2005. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula di hutan pantai Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat. Tesis Program pasca Sarjana IPB. Bogor.

Safir, G. R. dan J. M. Duniway. 1988. “Evaluation of plant response to colonizayion by vesicular-arbuscular mychorrhizal fungi”. Environmental variables. The American Phytopathological. USA.

Sastrowardoyo, S. 2004. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia pustaka. Jakarta

Schenck, N. C. dan Schroder VN 1974. Temperature response of endogone micorrhiza on soybean roots. Mycologia.

Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor.

Setiadi Y. 1992. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.

Setiadi, Y. 2001. Peranan mikoriza arbuskula dalam reboisasi lahan kritis di Indonesia. Makalah seminar penggunaan CMA dalam sistem pertanian organik dan rehabilitas lahan. Bandung.

Sibarani, Danrianus S. 2011. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di Padad Tegakan Karet dan Tegakan Sawit di Ekosistem Lahan Gambut. Skripsi Program Studi Kehutanan USU. Medan.

Sieverding, E. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrizha Management in Tropical Agrosystem. Deutche Gessellsschaft fur Tecnosche Zusmmenourheit (GTZ) Gmbh. Federal Republic Germany.

(51)

Widiastuti dan D. H. Goenadi. 2000. Prospek Penggunaan Cendawan Mikoriza Arbuskula Untuk Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit. Posiding seminar Nasional mikoriza 1. Pusat penelitidanan Pengembangan hutan dan Konservasi Alam, Badan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

Yayasan Ekosistem Leuser. 2013. Petunjuk Praktis Budidaya Kelapa Sawit Ramah Lingkungan Untuk Petani Kecil. Universitas Syah Kuala. Aceh.

(52)

Lampiran 1. Pengambilan Sampel Tanah dan Akar

(53)

Lampiran 3. Pengamatan di Laboratorium

Gambar

Tabel 1. Hasil analisis tanah lahan kelapa sawit dataran tinggi dan dataran rendah serta kriterianya menurut Penelitian Tanah (1983) dalam Mukhlis (2007)
Tabel 2. Data komponen Iklim pada kedua lokasi pengambilan sampel tanah
Tabel 4. Kepadatan Spora FMA pada dataran tinggi dan dataran rendah.
Tabel 6. Tipe dan karakteristik spora FMA pada lahan kelapa sawit dataran rendah.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan spora, persentase kolonisasi, dan tipe fungi mikoriza arbuskula pada areal tanaman kelapa sawit PTPN III Kebun Batang Toru

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kepadatan spora fungi mikoriza arbuskula, persentase kolonisasi akar, dan tipe spora pada perkebunan kopi.. Sampel tanah dan

Glomus adalah genus yang memiliki keberagaman jenis tertinggi dari yang lain, beberapa ciri khas dari genus ini yaitu spora terbentuk secara tunggal ataupun berpasangan dua

Hasil penelitian status dan keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada tanah bekas letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo memiliki 2 genus spora yaitu, Acalauspora 3

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kepadatan spora fungi mikoriza arbuskula, persentase kolonisasi akar, dan tipe spora pada perkebunan kopi.. Sampel tanah dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kepadatan spora fungi mikoriza arbuskula, persentase kolonisasi akar, dan tipe spora pada perkebunan kopi.. Sampel tanah dan

Spora berbentuk bulat lonjong, berwarna coklat kekuningan, dinding spora tebal, dengan permukaan kasar... Glomus

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan spora, persentase kolonisasi, dan tipe fungi mikoriza arbuskula pada areal tanaman kelapa sawit PTPN III Kebun Batang Toru