• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula pada Lahan Kakao Dataran Rendah dan Dataran Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula pada Lahan Kakao Dataran Rendah dan Dataran Tinggi"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Raddad A M. 1995. Mass Production of Glomus mosseae Spores. Mycorrhiza 5: 229-231.

Anas, Iswandi. 1993. Pupuk Hayati (Biofertilizer). Bogor: Laboratorium Biologi Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bianciotto V, Palazzo D, Bonfante - Fasolo P. 1989. Germination Process and Hyphal Growth of a Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungus. Allionia 29: 17-24.

Bryla D R, Duniway J M. 1997. Effects of Mycorrhizal Infection on Drought Tolerance and Recovery in Safflower and Wheat. Plant and soil 197: 95-103.

Chakravarty, P dan M Chatapaul. 1988. Mycorrhizal and Control of Root Diseases. Abst. Publ. Eroupean Sump. on Mycor. Chechoslovakia. 51 p.

Corryanti. 2011. Jamur Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Tanaman Jati Bertumpangsari Tebu. 16 (1): 1-8. Jurnal Agrotropika.

Daniels B A, Trappe J M. 1980. Factors Affecting Spore Germination of the Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungus, Glomus Epigaeus. Mycologia. 72: 457-471.

Delvian. 2003. Studi Keanekaragaman dan Potensi Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Di Hutan Pantai. Disertasi Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Ernita. 1998. Tanggap Tanah Ultisol Tambunan A Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Akibat Pemberian Inokulan Rhizobia dan Mikroba Pelarut Fosfat serta Abu Tandan [Thesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara Medan, Program Pascasarjana.

Fakuara M Y. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaan dalam Praktek. PAU-IPB. Bogor.

Gianinazzi-Pearson V dan Gianinazzi S. 1983. The Physiology of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Roots. 71 : 192-209. Plant and Soil.

(2)

Hapsoh. 2003. Kompatibilitas MVA dan Beberapa Genotipe Kedelai Pada Berbagai Tingkat Cekaman Kekeringan Tanah Ultisol: Tanggap Morfofisiologi dan hasil [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hapsoh. 2008. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Budidaya Kedelai Di Lahan Kering. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Budidaya Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Medan.

Hardiatmi, Sri. 2008. Pemanfaatan Jasad Renik Mikoriza Untuk Memacu Pertumbuhan Tanaman Hutan. Jurnal Inovasi Pertanian Volume 7 Nomor 1 (110). Innofarm.

Harrison M J. 1997. The Arbuscular Mycorrhizal Symbiosis: an Underground Association. Trends in Plant Science (reviews) 2 (2): 54-60.

Herman. 2000. Peranan dan Prospek Pengembangan Komoditas Kakao dalam Perekonomian Regional Sulawesi Selatan. 16 (1) : 21-31. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.

Hetrick B A D, Bloom J. 1986. The Influence of Host Plant on Production and Colonization Ability of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Spores. Mycologia 78 (1): 32-36.

Jakobsen I. 1992. Phosporus Transport by External Hyphae of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizas. Di dalam: Read D J, Lewis D H, Fitter A H, Alexander I J. Mycorrhizas in Ecosystems. CAB International. UK. Halaman 48-54.

Kabirun S, Widada J. 1995. Response of Soybean Grown on Acid Soil to Inoculation of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Biotrop Spec Publ. 56: 139-142.

Mukhlis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan.

Morton J B, Benny G L. 1990. Revised Classification of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (Zygomicetes): a New Order, Glomales, Two New Suborders, Glomineae and Gigasporineae, and Two New Families, Acaulosporaceae and Gigasporaceae, with an Emendation of Glomaceae. Mycotaxon. 37: 471-491.

Nainggola dan Samah. 2004. Respon Tanaman Terhadap Pupuk Organik Kascing Oleh Cendawan Mikoriza Arbuskula. Volume 3 Nomor 2. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian.

(3)

Nusantara, Abimanyu Dipo. 2012. Bekerja Dengan Fungi Mikoriza Arbuskula. Seameo Biotrop. Bogor.

Ouimet, R, C Camire, dan Valentin Furland. 1996. Effect of Soil, K, Ca, and Mg Saturation and Endomycorrhization on Growth and Nutrient Uptake of Sugar Maple Seedlings. Plant and Soil 179 : 207-216.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2004. Panduan Lengkap Budi Daya Kakao. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Puspitasari, R. T. 2005. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula Di Hutan Pantai Ujung Genteng, Sukabumi - Jawa Barat. Tesis Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Sasli, Iwan. 1999. Tanggap Karakter Morfofisiologi Bibit Kakao Terhadap Cekaman Kekeringan dan Aplikasi Mikoriza Arbuskula. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sastrahidayat, I R. 1992. Pengaruh Pemberian Hayati (Endomikoriza) Pada Peningkatan Produktivitas Tanaman Kacang-Kacangan Pada Tanah Miskin Fosfor. Kerja Sama Badan Litbang Pertanian dan Unibraw. 41 p.

Sastrahidayat I R. 1995. Studi Rekayasa Teknologi Pupuk Hayati Mikoriza. Di dalam: Buku III Makalah Sidang-Sidang Bidang Ilmu dan Teknologi. Prosiding Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VI; Jakarta 11-15 Sept 1995. Jakarta: LIPI bekerja sama dengan Dirjen Dikti, Depdikbud dan Forum Organisasi Profesi Ilmiah. Halaman 101-128.

Schreiner R P, Bethlenfalvay G J. 1996. Mycorrhizae, Biocides, and Biocontrol. 4. Response of a Mixed Culture of Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Host Plant to Three Fungicides. Biol. Fertil. Soils. 23: 189-195.

Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikoriza Dalam Kehutanan. PAU IPB Bogor. 103 p.

Setiadi, Y. 1992. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.

Sieverding E. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical Agrosystem. Eschborn: Deutsche GTZ GmbH.

(4)

Smith S E dan Read D J. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press. New York.

Smith F A, Smith S E. 1996. Mutualism and Parasitism: Diversity in Function and Structure in the “Arbuscular” (VA) Mycorrhizal Symbiosis. Adv. Bot. Res. 22: 1- 43.

Steussy T F. 1992. The Systematics of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Relation to Current Approaches to Biological Classification. Mycorrhiza 1: 113-121.

Subashini H D, Natarajan K. 1997. Enzymes and Phytohormones in Some Ectomycorrhizal Fungi. Di dalam: Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and forest Ecosystems: Bogor. 26-30 Oktober 1997. Bogor: LIPI, Bogor Agriculture Institute, University of Adelaide. 11 halaman.

Van Nuffelen M, Schenck N C. 1983. Spore Germination, Penetration and Root Colonization of Six Species of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi on Soybean. Can. J. Bot. 62: 624-628.

Wenggi, D. 2010. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Yang Berasosiasi Dengan Kakao (Theobroma cacao L) Di Distrik Manokwari Barat dan Manokwari Utara. Universitas Negeri Papua. Papua.

Widada J, Kabirun S. 1997. Peranan Mikorisa Vesikular-Arbuskular dalam Pengelolaan Tanah Mineral Masam Tropika. Di dalam: Pros. Kongres Nasional VI HITI. Buku I. Halaman 589-595.

(5)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan Januari 2014 sampai Juni 2014 yang melalui

beberapa tahapan. Kegiatan dilakukan di tempat berbeda, pengambilan sampel

(eksplorasi) lapangan dilakukan di Kabupaten Serdang Bedagai (Lubuk Pakam -

Perbaungan) dan Kabupaten Dairi (Desa Adian Nangka, Kecamatan Lae Parira),

analisis tanah dilakukan di Laboratorium Riset dan Tenologi, pengambilan data

curah hujan dan temperatur dilakukan di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan

Geofisika Sampali - Medan, pembuatan kultur trapping dilakukan di Rumah Kaca

Fakultas Pertanian, serta pengamatan kolonisasi akar dan identifikasi spora FMA

dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah cangkul, sekop, sendok semen, garpu tanah,

sekop pasir, ayakan pasir, permanent marker, meteran, sprayer, saringan (710 µm,

250 µm, dan 53 µm), pinset, erlemenyer, gelas ukur, pipet tetes, spatula, tabung

sentrifuge, penggaris, cawan petri, cover glass, mikroskop binokuler, mikroskop

stereo, kamera digital, botol film, gunting, batang pengaduk, kalkulator, alat tulis,

preparat, dan timbangan. Bahan yang digunakan adalah plastik, kardus, goni,

kertas label, kertas milimeter, pot kultur terbuka (warna), tanah, akar, jagung,

(6)

merah) 1g/l, air, gula pasir 60%, tisu, pewarna Melzer’s, KOH 10%, HCl 2%,

Trypan Blue, dan buku panduan mikoriza.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada lahan kakao yang ada di Kabupaten

Serdang Bedagai dan Kabupaten Dairi. Kegiatan penelitian ini terdiri dari

beberapa tahapan kegiatan yang diawali dengan pengambilan sampel (eksplorasi)

lapangan, analisis tanah, analisis curah hujan dan temperatur, pembuatan kultur

trapping, pengamatan kolonisasi akar, dan identifikasi spora FMA. Diagram alir

dari kegiatan penelitian ini disajikan pada gambar berikut ini.

Gambar 1. Alur Prosedur Pengambilan Contoh Tanah dan Akar

Pembuatan Kultur Trapping

Pengamatan Contoh Tanah dan Akar

Kolonisasi CMA Pada Akar Tanaman Sampel Ekstraksi Spora

(7)

Pengambilan Contoh Tanah dan Akar

Pengambilan contoh tanah dan akar tanaman dilakukan pada satu petak

pada setiap tipe lahan kakao. Kegiatan pengambilan contoh tanah ini dilakukan

hanya 1 kali. Contoh tanah diambil pada daerah rizosfir atau pada kedalaman 0-20

cm. Berat tanah yang diambil setiap titik sebanyak 500 g. Setiap petak terdapat 5

titik seperti pada gambar. Sampel tanah setiap titik dalam 1 petak dikompositkan

sehingga homogen mewakili 1 petak. Selanjutnya diambil hanya 500 g tanah yang

komposit. Petak penelitian dibuat sesuai metode ICRAF (Ervayenri et al., 1999).

Pada setiap lahan dibuat 5 petak dengan ukuran 20 m x 20 m secara acak dengan

pusat tanaman induk. Sedangkan contoh akar tanaman diambil dengan cara

memotong akar-akar halus pada anakan kakao atau tanaman bawah agak tidak

mengganggu pertumbuhan tanaman. Akar yang diambil dengan diameter

berukuran 0,5-1,0 mm.

Gambar 2. Pengambilan Contoh Tanah dan Akar

Pembuatan Kultur Trapping

Teknik trapping yang digunakan mengikuti metoda Brundrett et al.

(8)

berupa campuran contoh tanah dan pasir. Teknik pengisian media tanam dalam

pot kultur adalah pot kultur diisi dengan pasir sampai setengah volume pot,

kemudian dimasukkan contoh tanah dan terakhir ditutup dengan pasir sehingga

media tanam tersusun atas pasir - contoh tanah - pasir. Benih yang digunakan

untuk ditanam sebagai inang adalah jagung (Zea mays).

Dari setiap contoh tanah dibuat 5 pot kultur. Di samping itu diberikan

penambahan terabuster guna merangsang pembentukan spora yang lebih baik.

Perlakuan terabuster diberikan dengan konsentrasi 1:250 sebanyak 20 ml tiap pot.

Frekuensi pemberian terabuster adalah 3x1 minggu selama satu bulan pertama dan

1x1 minggu selama 1 bulan kedua. Penambahan terabuster ini diharapkan

berpengaruh terhadap sporulasi cendawan mikoriza.

Pemeliharaan kultur meliputi kegiatan penyiraman, pemberian hara dan

pengendalian hama secara manual. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi

dan sore selama 8 minggu. Ketika umur jagung mencapai 8 minggu, penyiraman

dihentikan selama 2 minggu agar tanaman berada dalam keadaan stress

kekeringan. Proses pengeringan ini berlangsung secara perlahan sehingga dapat

merangsang pembentukan spora lebih banyak. Larutan hara yang digunakan

adalah Hyponex merah (25-5-20) dengan konsentrasi 1 g/l. Pemberian larutan

hara dilakuan setiap minggu sebanyak 20 ml tiap pot kultur. Pengendalian hama

secara manual dilakukan dengan cara membuat tatakan.

Pemanenan dilakukan setelah pembentukan spora-spora baru diasumsikan

cukup baik setelah dilakukan proses stressing pada kultur. Variabel yang diamati

adalah jumlah spora per 50 g media tanam dan jenis spora. Selanjutnya

(9)

Gambar 3. Komposisi Pot

Pengamatan Contoh Tanah dan Akar

1. Ekstraksi spora

Teknik yang digunakan dalam mengekstraksi spora FMA adalah teknik

tuang - saring dari Pacioni (1992) dan akan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi

dari Brundrett et al. (1996). Prosedur kerja teknik tuang - saring ini, pertama

adalah mencampurkan tanah sampel sebanyak 50 g dengan 200-300 ml air dan

diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur. Selanjutnya disaring dalam satu set

saringan dengan ukuran 710 µm, 250 µm, dan 53 µm secara berurutan dari atas ke

bawah. Dari saringan bagian atas disemprot dengan air kran untuk memudahkan

bahan saringan lolos. Kemudian saringan paling atas dilepas dan saringan kedua

kembali disemprot dengan air kran. Setelah saringan kedua dilepas sejumlah tanah

sisa yang tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan ke dalam tabung

sentrifuge.

Ekstraksi spora teknik tuang - saring ini kemudian diikuti dengan teknik

sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Hasil saringan dalam tabung sentrifuge

ditambahkan dengan gula pasir 60% yang diletakkan pada bagian bawah dari Pasir

Tanah

(10)

larutan tanah dengan menggunakan pipet. Tabung sentrifuge ditutup rapat dan

disentrifuse secara manual selama 3 menit serta didiamkan selama 1 hari.

Selanjutnya larutan supernatan tersebut dituang ke dalam saringan 53 µm, dicuci

dengan air mengalir (air kran) untuk menghilangkan glukosa. Endapan yang

tersisa dalam saringan di atas dituangkan ke dalam cawan petri dan kemudian

diamati di bawah mikroskop binokuler untuk penghitungan kepadatan spora dan

pembuatan praparat guna identifikasi spora FMA yang ada.

Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s yang

diletakan secara terpisah pada satu kaca preparat. Spora-spora FMA yang

diperoleh dari ekstraksi setelah dihitung jumlah diletakan dalam larutan Melzer’s

dan jenis spora FMA yang ada di larutan ini sama. Selanjutnya spora-spora

tersebut dipecahkan secara hati-hati dengan cara menekan kaca penutup preparat

menggunakan ujung pinset. Perubahan warna spora dalam larutan Melzer’s adalah

salah satu indikator untuk menentukan tipe spora yang ada.

2. Kolonisasi FMA Pada Akar Tanaman Sampel

Pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman contoh dilakukan melalui

teknik pewarnaan akar (staining). Metoda yang digunakan untuk pembersihan

dan pewarnaan akar sampel adalah metoda dari Kormanik dan McGraw (1982).

Langkah pertama adalah memilih akar-akar halus dengan diameter 0,5-2,0 mm

(Rajapakse dan Miller Jr., 1992) segar dan dicuci dengan air mengalir hingga

(11)

Akar sampel dimasukan ke dalam larutan KOH 10% dan dibiarkan selama

lebih kurang 24 jam sehingga akar akan berwarna putih atau pucat. Tujuannya

adalah untuk mengeluarkan semua isi sitoplasma dari sel akar sehingga akan

memudahkan pengamatan struktur infeksi FMA. Larutan KOH kemudian

dibuang dan akar contoh dicuci pada air mengalir selama 5-10 menit. Selanjutnya

akar contoh direndam dalam larutan HCl 2% dan diinapkan selama satu malam.

Larutan HCl 2% kemudian dibuang dengan mengalirkannya secara

perlahan-lahan. Selanjutnya akar sampel direndam dalam larutan Trypan Blue 0,05%.

Kemudian larutan Trypan Blue dibuang. Selanjutnya kegiatan pengamatan siap

dilakukan.

Penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metoda panjang

akar terkolonisasi (Giovannetti dan Mosse, 1980). Secara acak diambil

potong-potongan akar yang telah diwarnai dengan panjang ± 1 cm sebanyak 10 potong-potongan

akar dan disusun pada kaca preparat, untuk setiap tanaman sampel dibuat dua

preparat akar. Potongan-potongan akar pada kaca preparat diamati untuk setiap

bidang pandang. Bidang pandang yang menunjukan tanda-tanda kolonisasi

(terdapat hifa dan atau arbuskula dan atau vesikula) diberi tanda positif (+),

sedangkan yang tidak terdapat tanda-tanda kolonisasi diberi tanda negatif (-).

Derajat atau persentase kolonisasi akar dihitung dengan menggunakan rumus

sebagai berikut.

% kolonisasi akar = ∑ bidang pandang bertanda (+)

(12)

Variabel Pengamatan

Variabel pengamatan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu variabel

lingkungan dan variabel mikoriza. Variabel lingkungan meliputi kesuburan tanah

(analisa tanah lengkap), perkembangan tanaman inang, dan perubahan musim atau

komponen iklim. Komponen iklim yang diasumsikan mempunyai pengaruh paling

besar terhadap perubahan musim untuk daerah tropis adalah curah hujan. Tinggi

rendahnya curah hujan yang terjadi juga akan berpengaruh terhadap

perkembangan dan aktivitas FMA.

Variabel mikoriza yang akan diamati meliputi persentase kolonisasi akar

pada tanaman inang, kepadatan spora atau jumlah spora FMA tiap 50 g tanah, dan

jenis spora FMA yang ditemukan. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari

variabel pengamatan akan dilakukan analisis untuk melihat hubungan antara

variabel lingkungan dengan variabel mikoriza. Analisis ini dilakukan untuk

menjelaskan bagaimana dinamika sporulasi FMA dengan adanya perubahan

kondisi-kondisi lingkungan.

Variabel lainnya yang akan dimati terbagi atas variabel primer dan

variabel sekunder. Variabel primer berupa tanah antara lain pH, C Organik, dan P

tersedia. Variabel sekunder berupa iklim antara lain suhu dan curah hujan rata-rata

(13)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis yang dilakukan, diperoleh perbedaan pH, C Organik, dan P

tersedia atau sifat kimia tanah diantara kedua lokasi penelitian. Pada dataran

rendah pH lebih tinggi, yaitu 6,83 sedangkan pada dataran tinggi pH lebih rendah,

yaitu 5,61. Nilai C Organik di dataran rendah lebih rendah, yaitu 1,05%

sedangkan nilai C Organik di dataran tinggi lebih tinggi, yaitu 2,00%. Pada

dataran rendah P tersedia lebih tinggi, yaitu 23,25 sedangkan pada dataran tinggi

P tersedia lebih rendah, yaitu 4,34. Analisis tanah yang dilakukan memperoleh

hasil, yaitu nilai pH (H2O), C Organik (%), dan P tersedia (ppm) dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisis Tanah

Lapangan

Sifat kimia di dalam tanah sangat berhubungan dengan kesuburan tanah.

Menurut Corryanti (2011), status kesuburan lahan erat berkaitan dengan kondisi

(14)

tanaman, serta ditunjukkan dengan pertumbuhan tanaman yang baik. Kesuburan

tanah berpengaruh terhadap mikoriza.

Data iklim yang diperoleh, diketahui bahwa curah hujan pada Desember

2013 - Januari 2014 di dataran rendah memiliki rataan yang lebih tinggi adalah

207 mm sedangkan di dataran rendah memiliki rataan yang lebih rendah adalah

153 mm. Selanjutnya untuk temperatur pada Desember 2013 - Januari 2014 di

dataran rendah memiliki rataan yang lebih tinggi adalah 26,2˚C sedangkan di

dataran rendah memiliki rataan yang lebih rendah adalah 20,1˚C. Pengambilan

data curah hujan dan temperatur dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Curah Hujan dan Temperatur

Lokasi

Desember 2013 - Januari 2014 Curah Hujan

(mm)

Temperatur (˚ C)

Sei Rejo, Sergai 207 26,2

Sidikalang, Dairi 153 20,1

Selain faktor sifat kimia tanah, faktor lingkungan yang lain seperti curah

hujan dan temperatur dapat pula mempengaruhi perbedaan kolonisasi FMA pada

akar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan

Geofisika, diperoleh data curah hujan dan temperatur rata-rata bulanan dari kedua

lokasi pengambilan sampel memiliki perbedaan seperti dalam Tabel 2. Menurut

Setiadi (1989), pertumbuhan yang baik antara 20˚C - 30˚C. Temperatur pada

kedua lokasi memenuhi syarat pertumbuhan yang baik sehingga kolonisasi dapat

berlangsung.

Curah hujan yang berkaitan dengan keadaan atau kondisi air tanah juga

(15)

Delvian (2003), melakukan pengamatan terhadap fluktuasi kolonisasi FMA pada

akar beberapa jenis tanaman dalam 5 periode curah hujan yang berbeda, hasilnya

terjadi variasi kolonisasi FMA ditemukan baik dalam perbedaan tanaman inang

maupun perbedaan curah hujan. Jenis tanaman yang berbeda menunjukan respon

yang berbeda terhadap satu kondisi curah hujan tertentu. Kolonisasi FMA

cendrung naik dalam kondisi curah hujan yang lebih rendah seperti pada Tabel 2

yang menunjukan curah hujan di dataran tinggi lebih rendah dibandingkan dengan

di dataran rendah.

Rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran rendah lebih

rendah dari rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran tinggi, rataan

persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran rendah adalah 37,19% dan rataan

persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran tinggi adalah 70,04%.

Pengamatan yang dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan persentase

kolonisasi akar pada tanaman inang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Persentase Kolonisasi Akar Pada Tanaman Inang

Petak Lokasi Pengamatan

Dataran Rendah Dataran Tinggi

1 42,47 79,99

Pengamatan di laboratorium terhadap akar kakao yang diperoleh dari

(16)

lokasi ini mampu berasosiasi dengan FMA. Namun persentase kolonisasi yang

dijumpai relatif berbeda dari setiap lokasi pengambilan sampel.

Kolonisasi FMA dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, baik faktor

lingkungan maupun faktor mikoriza. Penyebaran FMA tidak pernah sama untuk

kondisi lapangan tertentu. Hal ini disebabkan sebagian besar oleh kesuburan tanah

yang berbeda-beda untuk setiap lokasi pegambilan sampel.

Persentase kolonisasi akar yang terkolonisasi FMA dari kedua tempat

(Tabel 3) menunjukan perbedaan persentase kolonisasi akar yang terjadi pada akar

kakao di kedua tempat. Rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran

rendah menurut Setiadi (1992) maka termasuk dalam kelas 3 atau sedang

sedangkan rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran tinggi

termasuk dalam kelas 4 atau tinggi. Berdasarkan golongan tersebut maka dapat

dilihat kisaran terhadap kolonisasi.

Sifat kimia tanah yang telah dianalisis menunjukan C organik di dataran

rendah termasuk rendah sama dengan C organik di dataran tinggi. Tinggi atau

rendah kandungan bahan organik pada tanah akan mempengaruhi FMA. Oleh

karena itu, kolonisasi FMA di dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan di

dataran rendah. Hal ini terjadi karena C organik di dataran rendah lebih rendah

dibandingkan dengan di dataran tinggi.

Berdasarkan hasil analisis kandungan P dalam tanah diketahui dapat

mempengaruhi kolonisasi FMA pada akar inang. Tanah yang mengandung unsur

P yang banyak atau sedikit akan mempengaruhi kolonisasi. Pada P tersedia yang

jumlahnya besar di dalam tanah maka persentase kolonisasi akar akan rendah

(17)

kolonisasi akar akan tinggi. Menurut Setiadi (1992) konsentrasi P yang tinggi di

dalam tanah menghambat kolonisasi FMA. Pernyataan di atas mendukung dengan

penelitian yang dilakukan.

Kolonisasi dipengaruhi oleh spesies FMA dan tanaman inang. Menurut

Smith dan Read (1997), persentase kolonisasi tergantung pada spesies FMA dan

tanaman inang, sering dihubungkan pertumbuhan akar dan kepekaan tanaman.

Spesies FMA dan tanaman inang yang saling menguntungkan akan menyebabkan

kolonisasi dapat berjalan dengan baik, keadaan tersebut dapat dilihat dari

pertumbuhan akar dan kepekaan tanaman.

Produksi spora dan kolonisasi akar pada tanaman inang saling

berhubungan sehingga mempengaruhi persentase. Menurut Hedrick dan Bloom

(1986), terdapat korelasi antara produksi spora dan kolonisasi akar antara spesies

tanaman untuk masing-masing FMA. Tinggi atau rendah dalam produksi spora

akan menyebabkan tinggi atau rendah dalam kolonisasi akar.

Tanah pada lahan kakao di dataran rendah memiliki persentase kolonisasi

akar 37,19 dan di dataran tinggi memiliki persentase kolonisasi akar 70,04. Hasil

yang didapat tidak berbeda dengan penelitian Zebua (2008) mengenai CMA di

Hutan Pegunungan Sinabung, persentase kolonisasi akar akan rendah dengan

unsur P yang tinggi. Persentase kolonisasi akar pada ketinggian 1500 mdpl

sebesar 54,69% dan pada ketinggian 1900 mdpl sebesar 25,54%.

Struktur yang dibentuk FMA dengan mengkolonisasi akar kakao di kedua

tempat yang diamati adalah struktur vesikula dan hifa. Struktur FMA yang

(18)

Gambar 4. Akar Tanpa Kolonisasi FMA

Gambar 5. Vesikula dan Hifa Pada Akar

Kolonisasi FMA pada akar diawali dari pertumbuhan hifa oleh sumber

tertentu. Tahap ini disebut prekolonisasi dan merupakan tahapan kolonisasi FMA

yang pertama. Menurut Smith dan Read (1997), kolonisasi akar diawali dari

pertumbuhan hifa dari ketiga sumber inokulum (spora, hifa, atau potongan akar

terinfeksi FMA). Hifa ditemukan pada akar yang terkolonisasi FMA. Pengamatan

akar pada kakao di dataran rendah dan dataran tinggi sangat sering dijumpai hifa

pada akar yang menunjukan terjadi kolonisasi FMA.

Struktur FMA yang dijumpai pada akar kakao di dataran rendah dan

(19)

tidak dijumpai pada akar kakao di dataran rendah dan dataran tinggi yang telah

diamati.

Pada pengamatan dengan menggunakan mikroskop maka dapat terlihat

hifa, vesikula, dan arbuskula. Menurut Anas (1993), hifa yang ada di dalam sel

atau akar tanaman terdiri dari hifa yang tidak bercabang yang terletak di antara

sel, hifa intraseluler. Selain itu, terdapat hifa intraseluler yang bercabang secara

diktomi (arbuskular) atau yang membengkak menjadi bulat atau bulat memanjang

(vesikel) dan hifa mengering (hifa gelung). Pengertian di atas, menyatakan

perbedaan vesikula dan arbuskula.

Hasil ekstraksi spora dari 50 g tanah yang dilakukan menunjukan bahwa

rata-rata kepadatan spora dalam tanah pada lahan kakao di dataran rendah lebih

rendah dari rata-rata kepadatan spora dalam tanah pada lahan kakao di dataran

tinggi. Rata-rata kepadatan spora yang didapatkan dari dataran rendah adalah 39,6

(40) spora per 50 g sedangkan rata-rata kepadatan spora yang didapatkan dari

dataran tinggi adalah 458,2 (459) spora per 50 g. Pengamatan yang dilakukan di

laboratorium untuk mendapatkan kepadatan spora atau jumlah spora FMA tiap 50

g tanah dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kepadatan Spora Atau Jumlah Spora FMA Tiap 50 g Tanah

Petak Dataran Rendah Dataran Tinggi

(20)

Pemerangkapan pada dasarnya digunakan untuk meningkatkan jumlah

propagul FMA yang ada di dalam tanah yang diambil dari lapangan. Tahapan

tersebut perlu dilakukan, mengingat tidak semua FMA aktif pada periode waktu

yang sama.

Setelah melakukan pengamatan terhadap kolonisasi FMA pada akar,

dilakukan juga penghitungan kepadatan spora hasil pemerangkapan di rumah

kaca. Hasil pengamatan di laboratorium terhadap spora dari tanah hasil

pemerangkapan di rumah kaca menunjukan bahwa kepadatan spora berbeda pada

kedua lokasi (Tabel 4).

Tanah pada kakao di dataran rendah memiliki rata-rata kepadatan spora

yang diperoleh adalah 39,6 (40) spora per 50 g tanah dan di dataran tinggi

memiliki rata-rata kepadatan spora yang diperoleh adalah 458,2 (459) spora per

50 g tanah. Kepadatan spora yang berbeda ini tidak berbeda dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2005) yang melakukan

pemerangkapan FMA dari tanah berbagai salinitas di hutan pantai Ujung Genteng,

Sukabumi dengan Shorgum sp sebagai tanaman inang. Pada penelitian ini

diperoleh variasi kepadatan spora yang sangat beragam antara lain dibawah 10

spora per 50 g tanah sampai kepada diatas 700 spora per 50 g tanah.

Jenis spora yang ditemukan, jumlah Glomus di dataran rendah lebih

rendah dari jumlah Glomus di dataran tinggi. Jumlah Glomus di dataran rendah

adalah 6 jenis sedangkan jumlah Glomus di dataran tinggi adalah 18 jenis.

Acaulospora ditemukan dengan jumlah yang sama di dataran rendah dan dataran

tinggi, yaitu 1 jenis. Pengamatan yang dilakukan di laboratorium untuk

(21)

Tabel 5. Jenis Spora FMA Yang Ditemukan

Tipe Spora Dataran Rendah Dataran Tinggi Jumlah Spesies Jumlah Spesies

Glomus 6 18

Acaulospora 1 1

Berdasarkan hasil analisis terhadap sifat kimia tanah menunjukan adanya

perbedaan dari kedua tempat pengambilan sampel akar. Sifat kimia

mempengaruhi kemampuan FMA berasosiasi dengan inang. Menurut Sasli

(1999), Glomus berkembang dengan baik pada pH 5,5 sampai 6,5 dan

Acaulospora pada pH 5,0. Tipe spora tersebut akan berkembang dengan baik pada

pH tertentu tetapi pada pH dengan kisaran lebih rendah atau lebih tinggi, tipe

spora tersebut juga dapat ditemukan. Hal ini dapat dilihat pada kakao di dataran

rendah dengan pH 6,83 masih ditemukan Glomus dan Acaulospora sedangkan

pada kakao di dataran tinggi dengan pH 5,61 masih ditemukan Acaulospora.

Pada lahan kakao di dataran rendah dan dataran tinggi hanya ditemukan 2

jenis. Hasil ini berbeda dengan penelitian Wenggi (2010) mengenai FMA Yang

Berasosiasi Dengan Kakao Di Distrik Manokwari Barat dan Manokwari Utara.

Penelitian tersebut menemukan 5 jenis pada lahan yang diteliti.

Identifikasi terhadap spora FMA dari tanah pada lahan kakao di dataran

rendah ditemukan 2 genus spora FMA, yaitu Acaulospora yang terdiri dari 1 tipe

spora dan Glomus yang terdiri dari 6 tipe spora. Pada lahan kakao di dataran

(22)

Tabel 6. Tipe dan Keterangan Spora FMA Pada Lahan Kakao Di Dataran Rendah

Tipe Spora Gambar Keterangan

Acaulospora sp. 1

Spora memiliki dinding dalam, struktur dinding yang kompleks, dinding luar yang tebal, dan dinding dalam yang tipis serta berwarna merah.

Glomus sp. 1

Spora berbentuk bulat dan warna kuning kecokelatan.

Glomus sp. 2 Spora berbentuk bulat

dan warna kuning.

Glomus sp. 3 Spora berbentuk oval dan

warna kuning pucat.

Glomus sp. 4

Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora berbentuk silinder, dan

warna kuning kecokelatan.

Glomus sp. 5 Spora berbentuk oval dan

warna kuning kehitaman.

Glomus sp. 6

(23)

Identifikasi terhadap spora FMA dari tanah pada lahan kakao di dataran

tinggi ditemukan 2 genus spora FMA, yaitu Acaulospora yang terdiri dari 1 tipe

spora dan Glomus yang terdiri dari 18 tipe spora. Pada lahan kakao di dataran

tinggi terdapat beberapa jenis spora FMA yang ditemukan seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Tipe dan Keterangan Spora FMA Pada Lahan Kakao Di Dataran Tinggi

Tipe Spora Gambar Keterangan

Acaulospora sp. 1

Spora memiliki dinding dalam, struktur dinding yang kompleks, dinding luar yang tebal, dan dinding dalam yang tipis serta berwarna kuning.

Glomus sp. 7

Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora warna kuning pucat, dan dinding tebal.

Glomus sp. 9

Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel, warna kuning pucat, dan dinding tebal.

Glomus sp. 10 Spora berbentuk bulat

(24)

Glomus sp. 11

Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora kecokelatan, dan isi spora

berupa lipid butiran (granul) putih.

Glomus sp. 13

Spora bulat, tangkai hifa yang tetap menempel, hifa bercabang, dan warna kuning kehitaman.

Glomus sp. 14

Spora berbentuk agak bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora berbentuk silinder, dan warna kuning pucat.

Glomus sp. 15 Spora berbentuk oval dan

(25)

Glomus sp. 17

Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora

Glomus sp. 2 Spora berbentuk bulat

dan warna kuning.

Glomus sp. 19

Spora berbentuk agak bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada tangkai hifa yang tetap menempel pada spora tangkai hifa yang tetap menempel, dan warna kuning pucat.

Glomus sp. 22

Spora berbentuk agak bulat, tangkai hifa yang tetap menempel, dan warna kuning.

(26)

luar yang tebal, dan dinding dalam yang tipis. Berdasarkan hasil pengamatan

terhadap tipe spora genus Acaulospora dari kedua lokasi pengamatan tidak

ditemukan tipe spora yang sama di kedua tempat. Masing-masing loasi

menunjukan tipe spora Acaulospora yang berbeda. Perbedaan tersebut terletak

pada warna di kedua spora. Spora di dataran rendah memiliki warna merah

sedangkan spora di dataran tinggi memiliki warna kuning.

Genus Glomus yang ditemukan dari kedua lokasi pengamatan umumnya

spora berbentuk bulat, agak bulat, dan oval. Spora FMA yang dijumpai berwarna

kuning, kuning kecokelatan, kuning pucat, kuning kehitaman, dan oranye.

Beberapa tipe spora genus Glomus ditemukan memiliki tangkai spora. Hasil

identifikasi terhadap tipe spora genus Glomus dari kedua lokasi pengamatan,

ditemukan 2 Glomus yang sama pada lahan kakao di dataran rendah dan dataran

tinggi. Tipe spora yang dapat dijumpai pada kedua tempat adalah Glomus sp. 1

yang memiliki ciri spora berbentuk bulat dan warna kuning kecokelatan serta

Glomus sp. 2 yang memiliki ciri spora berbentuk bulat dan warna kuning.

Karakteristik Glomus dan Acaulospora dibedakan dalam beberapa ciri-ciri.

Menurut Nusantara (2012), Glomus memiliki hifa yang relatif lurus, menjulur

sepanjang kortek akar sering kali membentuk percabangan tipe H yang

memungkinkan hifa tumbuh ke dua arah yang berbeda. Acaulospora, hifa pada

titik masuk (entry point) memiliki karakteristik bercabang-cabang. Hifa pada

kortek terluar biasanya memiliki percabangan yang lebih tidak teratur, lebih ikal,

atau keriting dibandingkan dengan hifa Glomus. Penjelasan di atas, menyatakan

(27)

Genus Acaulospora dan Glomus dalam penelitian ini belum bisa

diidentifikasi secara akurat nama spesies, karena dari seluruh jumlah spora yang

ditemukan hanya sedikit yang dapat diidentifikasi. Kondisi ini dikarenakan

banyak ditemukan spora-spora yang rusak dan kotor akibat belum terpisah dengan

tanah. Proses identifikasi spora juga terkendala oleh terbatasnya peralatan di

laboratorium dalam proses identifikasi sehingga penamaan spora belum dapat

(28)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa terdapat keanekaragaman

FMA di dataran rendah dan dataran tinggi. Hasil yang diperoleh memberikan

kesimpulan sebagai berikut.

1. Keberadaan FMA pada lahan kakao di dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan

dengan FMA pada lahan kakao di dataran rendah.

2. Status kolonisasi pada akar kakao di dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan

dengan kolonisasi pada akar kakao di dataran rendah.

Saran

Hasil penelitian ini hanya mendapatkan data mengenai keanekaragaman

FMA pada tanaman inang kakao di satu musim pengamatan saja. Perlu dilakukan

(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Kakao

Kakao (Theobroma cacao L.) termasuk salah satu komoditas perkebunan

yang dikembangkan untuk kepentingan ekspor dan untuk memenuhi kebutuhan

industri makanan dan minuman dalam negeri. Komoditas kakao memberikan

kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan devisa negara setelah kelapa

sawit, karet, kelapa, dan kopi, meskipun produksi dan harga kakao di pasar dunia

selalu berfluktuasi (Herman, 2000).

Fungi Mikoriza Arbuskula

Mikoriza adalah suatu struktur yang dibentuk oleh akar tanaman dan

cendawan tertentu. Mikoriza merupakan suatu bentuk hubungan simbiose

mutualisme, antara fungi dengan perakaran tumbuhan tinggi. Istilah mikoriza

pertama kali digunakan oleh Robert Hartig pada tahun 1840, yang berasal dari

bahasa Latin "Myhes" yang berarti cendawan dan "Rhiza" yang berarti akar

(Hardiatmi, 2008).

Mikoriza dapat dikelompokan menjadi tiga golongan, yaitu;

Ektomikorhiza, Endomikoriza, dan Ektendomikoriza. Penggolongan tersebut

berdasarkan struktur tubuh buah dan cara infeksi terhadap tanaman

(30)

FMA (Fungi Mikoriza Arbuskular) adalah salah satu jasad renik tanah dari

kelompok jamur yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Jamur ini mempunyai

sejumlah pengaruh yang menguntungkan bagi tanaman yang bersimbiosis

dengannya. FMA mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman karena status hara

tanaman tersebut dapat ditingkatkan dan diperbaiki. Kemampuannya yang tinggi

dalam meningkatkan penyerapan air dan hara terutama P (Hapsoh, 2008).

Di dalam tanah mikoriza dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH,

suhu, Fe, Al, dan mikro organisme tanah. Glomus berkembang dengan baik pada

pH 5,5 sampai 6,5 dan Acaulospora pada pH 5,0 (Sasli, 1999).

Glomus memiliki hifa yang relatif lurus, menjulur sepanjang kortek akar

sering kali membentuk percabangan tipe H yang memungkinkan hifa tumbuh ke

dua arah yang berbeda. Acaulospora, hifa pada titik masuk (entry point) memiliki

karakteristik bercabang-cabang. Hifa pada kortek terluar biasanya memiliki

percabangan yang lebih tidak teratur, lebih ikal, atau keriting dibandingkan

dengan hifa Glomus (Nusantara, 2012).

Jenis mikoriza dapat dikelompokan menjadi tiga golongan berdasarkan

bentuk tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang, yaitu ektomikoriza,

endomikoriza, dan ektendomikoriza (Setiadi, 1989). Ada beberapa jenis mikoriza

yang dikenal, yaitu sheating, “vesikula - arbuskula”, “orchidaceous”,

“miscellaneous”, dan “pseudomikoriza”. “Sheating - Mycorrhiza disebut juga

sebagai ektomikoriza, sedangkan “vesikula - arbuskula”, “orchidaceous”, dan

“miscellaneous” digolongkan ke dalam endomikoriza. Pseudomikoriza atau

(31)

“jarring hartig” dan mantel jamur yang merupakan ciri khusus dari ektomikoriza

(Sastrahidayat, 1992).

Hifa yang ada di dalam sel atau akar tanaman terdiri dari hifa yang tidak

bercabang yang terletak di antara sel, hifa intraseluler. Selain itu, terdapat hifa

intraseluler yang bercabang secara diktomi (arbuskular) atau yang membengkak

menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa mengering (hifa gelung)

(Anas, 1993).

Syarat Tumbuh Kakao

1. Iklim

Iklim merupakan faktor yang meliputi curah hujan, suhu, kelembapan

udara, penyinaran matahari, dan kecepatan angin yang antar unsur tersebut

mempunyai hubungan yang rumit. Sebaran curah hujan lebih berpengaruh

terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah curah hujan yang tinggi.

Proses fisiologi tanaman kakao juga dipengaruhi oleh suhu udara. Kecepatan

angin juga menentukan keberhasilan usaha tani kakao (PPKKI, 2004).

2. Tanah

Sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman

adalah sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sifat kimia tanah meliputi kadar unsur

hara mikro dan makro dalam tanah, kejenuhan basa, kapasitas pertukaran kation,

pH atau keasaman tanah, dan kadar bahan organik relatif mudah diperbaiki

dengan teknologi yang ada. Sementara itu, sifat fisik tanah yang meliputi tekstur,

(32)

suatu unsur (konkresi) relatif sulit diperbaiki meskipun teknologi perbaikannya

telah ada. Sifat biologi tanah belum menjadi pertimbangan dalam melakukan

penilaian kesesuaian lahan, karena hubungannya belum banyak diketahui secara

pasti (PPKKI, 2004).

a. Sifat Kimia Tanah

Keasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral atau berkisar

5,6-6,8. Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu

di atas 3% (PPKKI, 2004).

b. Sifat Fisik Tanah

Jeluk mempan atau kedalaman tanah yang dapat dijangkau akar secara

aktif (effective depth) tidak identik dengan ketebalan solum tanah. Tekstur tanah

menunjukan perbandingan tertentu antara tiga fraksi tanah, yaitu pasir, debu, dan

lempung (PPKKI, 2004).

3. Timbulan

Faktor ini meliputi elevasi, topografi, dan tinggi tempat. Kakao tumbuh

baik pada lahan datar atau kemiringan tanah kurang dari 15%. Suhu udara

idealnya sekitar 28˚C, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah tingkat

kesesuaiannya. Faktor timbulan yang berpengaruh adalah lereng, ini berkaitan

dengan tingkat kesuburan, manajemen pemeliharaan, dan pemanenan

(33)

Faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan FMA

1. Spesies FMA dan Tanaman Inang

Persentase kolonisasi tergantung pada spesies FMA dan tanaman inang,

sering dihubungkan pertumbuhan akar dan kepekaan tanaman

(Smith dan Read, 1997). Terdapat korelasi antara produksi spora dan kolonisasi

akar antara spesies tanaman untuk masing-masing FMA

(Hedrick dan Bloom, 1986).

2. Suhu, Kelembaban, dan pH Tanah

Persentase kolonisasi meningkat pada 30˚ C, tetapi beberapa kombinasi

cendawan - tanaman berkembang secara normal pada 35˚ C atau lebih

(Bowen 1987, diacu dalam Smith & Read 1997). Kedelai yang diinokulasi FMA

dapat membentuk kolonisasi sebesar 61% pada pH 5,6 dan meningkat menjadi

75% pada pH 6,4 (Nurlaeny et al., 1996).

3. Cahaya

Radiasi rendah, hari pendek dan fotosintesis yang rendah, mengurangi

penyebaran akar yang bermikoriza (Gianinazzi - Pearson dan Gianinazzi, 1983).

Beberapa laporan mengungkapkan kolonisasi berkurang pada cahaya rendah

dalam hubungannya dengan suplai karbohidrat (Smith dan Read, 1997).

4. Ketersediaan Hara

Ada interaksi antara N dan P dalam pertumbuhan tanaman dan

pengaruhnya terhadap kolonisasi, yakni P lebih tersedia pada tanaman cukup N

dibandingkan dengan tanaman yang kekurangan N (Smith dan Read, 1997).

(34)

menghambat kolonisasi. Penambahan sedikit fosfat akan meningkatkan kolonisasi

(Simanungkalit, 1997).

5. Pestisida

Pestisida meliputi methyl bromida, khloropikrin, dan berbagai macam

racun fungi menurunkan kolonisasi FMA di lapangan (Fakuara, 1988). Aplikasi

fungisida seperti Benomyl, PCNB, dan Captan menurunkan persentase kolonisasi

akar oleh FMA bila dibandingkan dengan tanpa fungisida

(Schreiner dan Bethlenfalvay, 1996).

Peranan FMA

Status kesuburan lahan erat berkaitan dengan kondisi mikrobia tanah yang

berlimpah, memiliki fungsi simbiosis dengan perakaran tanaman, serta

ditunjukkan dengan pertumbuhan tanaman yang baik (Corryanti, 2011).

Proses infeksi dimulai dari pembentukan appresorium yaitu struktur yang

berupa penebalan masa hifa yang kemudian menyempit seperti tanduk.

Appresorium membantu hifa menembus ruang sel epidemis melalui permukaan

akar, atau rambut-rambut akar dengan cara mekanis dan enzimatis. Hifa yang

telah masuk ke lapisan korteks kemudian menyebar di dalam dan diantara sel-sel

korteks, hifa ini akan membentuk benang-benang bercabang yang mengelompok

disebut arbuskula yang berfungsi sebagai jembatan transfer unsur hara, antara

cendawan dengan tanaman inang. Arbuskula merupakan hifa bercabang halus

yang dapat meningkatkan luas permukaan akar, dua hingga tiga kali. Pada sistem

(35)

disekitar daerah perakaran dan berfungsi sebagai alat pengabsorbsi unsur hara.

Hifa yang terletak diluar ini dapat membantu memperluas daerah penyerapan hara

oleh akar tanaman (Hardiatmi, 2008).

Sejumlah percobaan telah membuktikan hubungan saling menguntungkan,

yaitu adanya cendawan mikoriza sangat meningkatkan efisiensi penyerapan

mineral dari tanah. Mikoriza juga bisa memberikan kekebalan bagi tumbuhan

inang. Mikoriza ini menjadi pelindung fisik yang kuat, sehingga perakaran sulit

ditembus penyakit (patogen), sebab jamur ini mampu membuat bahan antibotik

untuk melawan penyakit. Cendawan mikoriza bisa membentuk hormon seperti

auxin, citokinin, dan giberalin yang berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan

tanaman (Hardiatmi, 2008).

Mikoriza menyebabkan terjadinya peningkatan ketahanan tumbuhan

terhadap infeksi patogen dan parasit akar. Hal ini dikarenakan terdapatnya

penghalang mekanis berupa mantel jamur yang dapat menghambat penetrasi

patogen dan adanya kemampuan beberapa jamur mikoriza untuk memproduksi

antibiotik. Mikoriza juga dapat merangsang inang untuk membentuk

senyawa-senyawa penghambat dan meningkatkan persaingan kebutuhan hidup di rizosfer

(Chakravarty dan Chatapaul, 1988).

Hubungan FMA Dengan Kakao

FMA adalah salah satu jasad renik tanah dari kelompok jamur yang

bersimbiosis dengan akar tanaman. Jamur ini mempunyai sejumlah pengaruh yang

(36)

FMA banyak mendapat perhatian karena kemampuannya berasosiasi

membentuk simbiosis mutualistik dengan hampir 80% spesies tanaman

(Steussy, 1992). Menurut beberapa peneliti (Daniels dan Trappe, 1980; Van

Nuffelen dan Schenck, 1983; Bianciotto et al., 1989; Al Raddad, 1995; Kabirun

dan Widada, 1995; Nurlaeny et al., 1996; Simanungkalit, 1997; Hapsoh, 2003),

kompatibilitas FMA dengan tanaman inang sangat bervariasi bergantung pada

spesies FMA, spesies tanaman inang dan kondisi lingkungannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian mikoriza dapat

meningkatkan pertumbuhan bibit kakao yang lebih baik dibanding bibit tanpa

mikoriza. Ini terlihat dari tingginya nilai rata-rata untuk hampir semua peubah

yang diamati dibanding bibit yang tidak bermikoriza. Tinggi bibit di akhir

penelitian meningkat sampai 133% terhadap kontrol yang justru terdapat pada

tanaman dengan tingkat kekeringan 70% air tersedia. Ini menunjukkan bahwa

bibit yang bermikoriza sebenarnya tidak terlalu bemasalah pada kondisi

kekeringan oleh karena adanya hifa ekstemal cendawan mikoriza yang masih

dapat menyerap air dari pori-pori tanah. Bobot kering bibit yang bermikoriza juga

menunjukkan adanya perbedaan nyata dibanding kontrol. Pada akhir penelitian,

bibit bermikoriza meningkatkan bobot kering tajuk dan akar masing-masing

(37)

Tahapan Kolonisasi FMA

1. Prekolonisasi

Kolonisasi akar diawali dari pertumbuhan hifa dari ketiga sumber

inokulum (spora, hifa, atau potongan akar terinfeksi FMA). Rangsangan

prekolonisasi disebabkan oleh adanya flavonoid hasil eksudat akar

(Smith dan Read, 1997).

2. Kontak dan Penembusan

Kontak hifa dengan akar diikuti oleh pelekatan dan setelah sekitar 2-3 hari,

pembentukan apresorium yang membengkak. Penembusan dinding sel-sel

tumbuhan selalu terjadi dengan pengecilan diameter hifa membentuk ujung yang

agak runcing, diikuti dengan ekspansi hifa memasuki lumen sel

(Smith dan Smith, 1996; Smith dan Read, 1997).

3. Perkembangan Kolonisasi

Setelah pembentukan apresorium dan penembusan sel-sel epidermis dan

eksodermis, percabangan hifa ke dalam korteks bagian tengah dan dalam akar

(dalam mikoriza tipe Arum), tumbuh memanjang di ruang-ruang interseluler

membentuk koloni. Koloni ini disebut ’kolonisasi’ untuk menggambarkan asosiasi

mutualistik fungi - tumbuhan (Smith dan Smith, 1996; Smith dan Read, 1997).

4. Pergantian Arbuskula

Meskipun hifa fungi menembus dinding sel korteks akar, membran

plasmanya tidak dirusak (ditembus) tetapi berkembang mengelilingi bentuk

arbuskula, menghasilkan bentuk kompartemen apoplastik baru disebut

(38)

oleh membran masing-masing yaitu matriks bidang kontak yang tipis dari

tumbuhan dan dinding sel fungi yang tipis, dengan lebar kompartemen bidang

kontak antara 80-100 nm (Harrison, 1997).

5. Pertumbuhan Hifa Eksternal dan Produksi Spora

Sekali fungi berkembang di dalam akar dan tumbuh subur di dalam tanah,

hifa eksternal merupakan sumber inokulum penting untuk kelanjutan kolonisasi

sistem perakaran yang sama. Percabangan hifa yang halus ini sebagai bentuk

adaptasi untuk mengeksplorasi pori-pori tanah dan juga selalu berasosiasi dengan

bahan organik tanah, di mana mineralisasi hara terjadi (Smith dan Read, 1997).

Manfaat FMA

1. Meningkatkan Serapan Hara dan Air

FMA mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman karena status hara

tanaman tersebut dapat ditingkatkan dan diperbaiki. Kemampuannya yang tinggi

dalam meningkatkan penyerapan air dan hara terutama P (Jakobsen, 1992; Smith

dan Read, 1997; Bryla dan Duniway, 1997; Hapsoh, 2003). Dijelaskan Sieverding

(1991) bahwa FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan

memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan

mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air.

2. Pelindung Biologi Bagi Patogen Akar

Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksi

patogen akar. Dari penelitian Sastrahidayat (1995) dilaporkan bahwa mikoriza

(39)

pada tanaman tomat dengan rata-rata sekitar 47,44% dan penyelamatan produksi

sebesar 148,26%.

3. Meningkatkan Produksi Hormon Auksin

Selain itu fungi mikoriza dapat meningkatkan produksi hormon seperti

auksin, sitokinin. Auksin dapat berfungsi meningkatkan elastisitas dinding sel dan

mencegah atau memperlambat proses penuaan akar, dengan demikian fungsi akar

sebagai penyerap unsur hara dan air diperpanjang

(Subashini dan Natarajan, 1997; Hapsoh, 2003).

4. Meningkatkan Produksi Tanaman

Selain fungsi yang telah disebutkan FMA dapat meningkatkan hasil

tanaman pada tanah mineral masam tropika (Widada dan Kabirun, 1997).

Peningkatan hasil juga dilaporkan pada berbagai jenis tanaman antara lain pada

jagung (93,0%), kedelai (56,2%), padi gogo (25,0%), kacang tanah (23,8%), cabai

(22,0%), bawang merah (62,0%), dan semangka (77,0%) (Sastrahidayat 1995),

(40)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Organisme tanah di dalam tanah ada yang bermanfaat dan ada pula

mengganggu atau merugikan. Organisme yang bermanfaat, yaitu organisme

tersebut terlibat dalam proses dekomposisi dan pengikat atau penyedia unsur hara.

Organisme yang mengganggu atau merugikat, yaitu organisme tersebut

memanfaatkan organisme lain seperti sebagai sumber makanan.

Salah satu contoh dari organisme yang bermanfaat adalah mikoriza.

Mikoriza adalah salah satu cendawan yang mampu bersimbiosis dengan perakaran

tanaman tingkat tinggi yang ditandai dengan Arbuskula. Simbiosis merupakan

sifat yang menguntungkan bagi tanaman itu sendiri maupun tanaman inang untuk

mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan kualitas serta daya hidup bibit

tanaman pada tanah defisit unsur hara. Oleh karena itu mikoriza memegang

peranan penting dalam meningkatkan produktifitas lahan bermasalah

(Nainggola dan Samah, 2004).

Manfaat yang ditimbulkan dari mikoriza adalah meningkatkan

kemampuan tanaman dalam mendapatkan hara. Mikoriza memberi manfaat pada

pertumbuhan dan hasil tanaman dengan cara meningkatkan kemampuan tanaman

untuk mendapatkan hara yang ada dalam tanah, yaitu dengan meningkatnya

penyerapan unsur hara terutama P, dan juga meningkatkan penyerapan unsur hara

(41)

penyerapan juga terjadi untuk unsur-unsur hara seperti Zn, Cu, S, B, dan Mo

(Ouimet, 1996).

Di alam keberadaan dan status fungi mikoriza arbuskula tidak dapat

diketahui secara pasti. Fungi mikoriza arbuskula dengan jumlah tertentu di alam,

diketahui dapat berpengaruh pada jenis tanaman yang dijadikan sebagai inang.

Kondisi serta keadaan dari lahan yang menjadi faktor utama dari perbedaan

pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Persentase kolonisasi akar oleh FMA

akan mempengaruhi tanaman inang.

FMA di dalam tanah memiliki peran dalam membantu pertumbuhan

tanaman. Namun belum diketahui besar perbedaan keberadaan dan status FMA

yang disebabkan oleh ekologi tempat tumbuh. Tanaman yang tumbuh di tempat

berbeda maka pertumbuhannya berbeda juga. Perbedaan tersebut disebabkan oleh

keterkaitan tanah, organisme, dan tanaman. Hubungan dalam hal tersebut yang

akan dilihat melalui pengamatan. Kakao merupakan jenis tanaman yang dapat

tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi. Tanaman ini banyak ditanam

dikarenakan memiliki banyak manfaat dalam pengolahannya. Kakao (Theobroma

cacao L.) adalah tanaman yang sering dimanfaatkan dalam kegiatan agroforestri

dan perkebunan oleh pemilik lahan.

Ada sekitar 150 spesies FMA yang telah dideskripsi berdasarkan

morfologi spora (Morton dan Benny, 1990) meskipun deskripsi awal dalam

beberapa hal tidak memuaskan dan revisinya sangat diperlukan

(Smith dan Read, 1997). Banyaknya spesies FMA menunjukan bahwa FMA pada

setiap lahan berbeda-beda, seperti perbedaan FMA di dataran rendah dan dataran

(42)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan dan status FMA

berkaitan dengan perbedaan ekologi tempat tumbuh. Hal ini akan dapat

mengetahui keberadaan dan status FMA di dataran rendah dan dataran tinggi.

Kegunaan Penelitian

Hasil yang akan didapat dari penelitian ini akan dapat mengetahui

mengenai keberadaan dan status FMA. Melalui perbedaan ekologi tempat tumbuh

maka dapat diketahui perbedaan dari FMA.

Hipotesis Penelitian

Informasi tentang dinamika sporulasi FMA di daerah tropis masih sangat

kurang. Diduga adanya perbedaan ekologi tempat tumbuh akan mempengaruhi

(43)

ABSTRACT

Rahmat Saputra : Existence and Status of Arbuscular Mycorrhizal Fungi on

Lowland and Highland Cocoa Field.

The goal of this research is to know the existence and the status of Arbuskular Mycorrhiza at Cocoa ecosystems in lowland andhighland. Soil sample has been taken from Adian Nangka Village, District of Lae Parira, Region of Dairi and Lubuk Pakam - Perbaungan, Region of Serdang Bedagai. This research use soil separating method to obtain spores and root coloring method to find out root colonization. The trapping result with host of Zea mays obtained an average spore density on the lowland is 39,6 (40) spores / 50 g soil, while the highland obtained 458,2 (459) spores / 50 g soil. The result shows on the lowland obtained 6 spores types of Glomus genus and 1 spores type of Acaulospora genus with up to 37,19% colonization percentage. Highland obtained 18 spores types of Glomus genus and 1 spores type of Acaulospora genus with up to 70,04% colonization percentage.

(44)

ABSTRAK

Rahmat Saputra : Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Kakao di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan status FMA pada lahan kakao di dataran rendah dan dataran tinggi. Contoh tanah dan akar berasal dari Desa Adian Nangka, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi dan Lubuk Pakam -Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini menggunakan metode tuang saring untuk mendapatkan spora dan metode pewarnaan untuk mengetahui kolonisasi akar. Hasil trapping dengan tanaman inang Zea mays diperoleh kepadatan spora rata-rata pada dataran rendah adalah 39,6 (40) spora / 50 g tanah, sementara pada dataran tinggi diperoleh kepadatan spora rata-rata adalah 458,2 (459) spora / 50 g tanah. Hasil penelitian pada dataran rendah didapat 6 tipe spora genus Glomus dan 1 tipe spora genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 37,19%. Pada dataran tinggi diperoleh 18 tipe spora genus Glomus dan 1 tipe spora genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 70,04%.

(45)

KEBERADAAN DAN STATUS FUNGI

MIKORIZA ARBUSKULA PADA LAHAN KAKAO

DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI

SKRIPSI

Disusun Oleh:

RAHMAT SAPUTRA 101201068

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(46)

KEBERADAAN DAN STATUS FUNGI

MIKORIZA ARBUSKULA PADA LAHAN KAKAO

DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI

SKRIPSI

Disusun Oleh:

RAHMAT SAPUTRA 101201068/BUDIDAYA HUTAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(47)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula pada Lahan Kakao Dataran Rendah dan Dataran Tinggi

Nama : Rahmat Saputra

NIM : 101201068

Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh,

Komisi Pembimbing

Dr. Delvian, S.P, M.P Ketua

Dr. Deni Elfiati, S.P, M.P Anggota

Mengetahui,

(48)

ABSTRACT

Rahmat Saputra : Existence and Status of Arbuscular Mycorrhizal Fungi on

Lowland and Highland Cocoa Field.

The goal of this research is to know the existence and the status of Arbuskular Mycorrhiza at Cocoa ecosystems in lowland andhighland. Soil sample has been taken from Adian Nangka Village, District of Lae Parira, Region of Dairi and Lubuk Pakam - Perbaungan, Region of Serdang Bedagai. This research use soil separating method to obtain spores and root coloring method to find out root colonization. The trapping result with host of Zea mays obtained an average spore density on the lowland is 39,6 (40) spores / 50 g soil, while the highland obtained 458,2 (459) spores / 50 g soil. The result shows on the lowland obtained 6 spores types of Glomus genus and 1 spores type of Acaulospora genus with up to 37,19% colonization percentage. Highland obtained 18 spores types of Glomus genus and 1 spores type of Acaulospora genus with up to 70,04% colonization percentage.

(49)

ABSTRAK

Rahmat Saputra : Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Kakao di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan status FMA pada lahan kakao di dataran rendah dan dataran tinggi. Contoh tanah dan akar berasal dari Desa Adian Nangka, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi dan Lubuk Pakam -Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini menggunakan metode tuang saring untuk mendapatkan spora dan metode pewarnaan untuk mengetahui kolonisasi akar. Hasil trapping dengan tanaman inang Zea mays diperoleh kepadatan spora rata-rata pada dataran rendah adalah 39,6 (40) spora / 50 g tanah, sementara pada dataran tinggi diperoleh kepadatan spora rata-rata adalah 458,2 (459) spora / 50 g tanah. Hasil penelitian pada dataran rendah didapat 6 tipe spora genus Glomus dan 1 tipe spora genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 37,19%. Pada dataran tinggi diperoleh 18 tipe spora genus Glomus dan 1 tipe spora genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 70,04%.

(50)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada 27 Mei 1992 dari pasangan Teddy

Rostiadi dan Khairani. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri

Melong 3 Cimahi Selatan lulus pada tahun 2004 dan melanjutkan pendidikan

Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Banda Aceh lulus tahun

2007. Kenudian penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)

di SMA Negeri 11 Banda Aceh lulus pada tahun 2010.

Pada tahun 2010 penulis mengikuti Ujian Masuk Bersama Perguruan

Tinggi Negeri (UMB-PTN) dan diterima di Program Studi Kehutanan, Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penulis memilih minat Budidaya Hutan.

Di masa perkuliahan penulis aktif dalam kepengurusan maupun kepanitiaan

dibeberapa organisasi kemahasiswaan seperti Badan Kemakmuran Musholla

Baytul Asyjaar, Rain Forest, dan Inkubator Sains.

Dalam menyelesaikan kegiatan akademik, pada tahun 2012 penulis mengikuti

kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) di hutan pendidikan

Universitas Sumatera Utara, Taman Hutan Raya Bukit Barisan di Tongkoh,

Kabupaten Karo. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Perhutani,

(51)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik

dan tepat waktu. Melalui kekuasaan-Nya penulis dapat melakukan semua ini

dengan sangat baik beserta penyelesaian target dalam hasil yang dapat dicapai

sebelumnya.

Judul dari penelitian ini adalah “Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza

Arbuskula Pada Lahan Kakao Di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi”, sesuai

dengan susunan dari tema penelitian secara runtun. Penelitian yang disusun

sebagai salah satu syarat dalam kelulusan di Program Studi Kehutanan, Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih dengan rasa hormat kepada dosen

pembimbing Dr. Delvian, S.P, M.P dan Dr. Deni Elfiati, S.P, M.P serta kepada

teman-teman sekelas. Hal ini dikarenakan telah membantu dan membimbing

penulis dalam pelaksanaan hingga terwujudnya penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna, baik dari segi

teknik penyusunan maupun dari segi materi dan pembahasan. Oleh sebab itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi penyempurnaan

penelitian ini.

Medan, 20 Juli 2014

(52)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI………... ii

DAFTAR TABEL………. iii

DAFTAR GAMBAR……..……….. iv

DAFTAR LAMPIRAN……… v

PENDAHULUAN………... 1

Latar Belakang………... 1

Tujuan Penelitian…...………. 3

Kegunaan Penelitian………... 3

Hipotesis Penelitian……… 3

TINJAUAN PUSTAKA………... 4

Kakao………...……….…….. 4

Fungi Mikoriza Arbuskula……….…… 4

Syarat Tumbuh Kakao……… 6

Faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan FMA………. 8

Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula………...…… 9

Hubungan Fungi Mikoriza Arbuskula Dengan Kakao………..……. 10

Tahapan Kolonisasi FMA……….. 12

Manfaat FMA………. 13

METODE PENELITIAN...……..……….. 15

Waktu dan Tempat……….………... 15

Bahan dan Alat………... 15

Prosedur Penelitian……….……… 16

HASIL DAN PEMBAHASAN………..……….. 23

Hasil……….... 23

Pembahasan……….... 23

KESIMPULAN DAN SARAN…………....……… 38

Kesimpulan....………. 38

Saran………... 38

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(53)

DAFTAR TABEL

1. Hasil Analisis Tanah……….. 23

2. Hasil Analisis Curah Hujan dan Temperatur………. 24

3. Persentase Kolonisasi Akar Pada Tanaman Inang………. 25

4. Kepadatan Spora Atau Jumlah Spora FMA Tiap 50 g Tanah……… 29

5. Jenis Spora FMA Yang Ditemukan……… 31

6. Tipe dan Keterangan Spora FMA Di Dataran Rendah ………..…… 32

(54)

DAFTAR GAMBAR

1. Alur Prosedur….………..……….. 16

2. Pengambilan Contoh Tanah dan Akar….………..………. 17

3. Komposisi Pot………...………. 19

4. Akar Tanpa Kolonisasi FMA……….……… 28

(55)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pengambilan Sampel……….. 43

2. Kultur Traping………...………. 43

3. Pengamatan Di Laboratorium………...………. 44

4. Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Tanah………...………… 44

5. Kriteria pH Tanah………...……… 44

Gambar

Gambar 1. Alur Prosedur
Gambar 2. Pengambilan Contoh Tanah dan Akar
Tabel 1. Hasil Analisis Tanah
Tabel 2. Data Curah Hujan dan Temperatur
+6

Referensi

Dokumen terkait

Under the said letter, BOC informed the employees of BBMB about the transfer of business of BBMB to BOC with effect from 30 September 1999 and in view of that, BOC was offering

Demikian Addendum Dokumen Pengadaan ini dibuat dengan sebenarnya dan penuh rasa tanggung jawab dan Addendum ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen pengadaan. Pokja

[r]

[r]

14 Saya sangat tidak harapkan organisasi ini melakukan perubahan strategi struktur sebab sudah cukup baik. SS S N TS

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem akuntansi belanja adalah organisasi dokumen, catatan dan laporan yang dibuat untuk melaksanakan kegiatan

Untuk mendukung proses pengambilan keputusan konsumen menjadi optimal (pilihan tepat sesuai dengan kriteria yang diinginkan), maka dibuat suatu model

Bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang paling urgent adalah dalam tahap penyusunan standar pelayanan publik (SPP). SPP merupakan standar