DAFTAR PUSTAKA
Al-Raddad A M. 1995. Mass Production of Glomus mosseae Spores. Mycorrhiza 5: 229-231.
Anas, Iswandi. 1993. Pupuk Hayati (Biofertilizer). Bogor: Laboratorium Biologi Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bianciotto V, Palazzo D, Bonfante - Fasolo P. 1989. Germination Process and Hyphal Growth of a Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungus. Allionia 29: 17-24.
Bryla D R, Duniway J M. 1997. Effects of Mycorrhizal Infection on Drought Tolerance and Recovery in Safflower and Wheat. Plant and soil 197: 95-103.
Chakravarty, P dan M Chatapaul. 1988. Mycorrhizal and Control of Root Diseases. Abst. Publ. Eroupean Sump. on Mycor. Chechoslovakia. 51 p.
Corryanti. 2011. Jamur Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Tanaman Jati Bertumpangsari Tebu. 16 (1): 1-8. Jurnal Agrotropika.
Daniels B A, Trappe J M. 1980. Factors Affecting Spore Germination of the Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungus, Glomus Epigaeus. Mycologia. 72: 457-471.
Delvian. 2003. Studi Keanekaragaman dan Potensi Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Di Hutan Pantai. Disertasi Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Ernita. 1998. Tanggap Tanah Ultisol Tambunan A Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Akibat Pemberian Inokulan Rhizobia dan Mikroba Pelarut Fosfat serta Abu Tandan [Thesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara Medan, Program Pascasarjana.
Fakuara M Y. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaan dalam Praktek. PAU-IPB. Bogor.
Gianinazzi-Pearson V dan Gianinazzi S. 1983. The Physiology of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Roots. 71 : 192-209. Plant and Soil.
Hapsoh. 2003. Kompatibilitas MVA dan Beberapa Genotipe Kedelai Pada Berbagai Tingkat Cekaman Kekeringan Tanah Ultisol: Tanggap Morfofisiologi dan hasil [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hapsoh. 2008. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Budidaya Kedelai Di Lahan Kering. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Budidaya Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Medan.
Hardiatmi, Sri. 2008. Pemanfaatan Jasad Renik Mikoriza Untuk Memacu Pertumbuhan Tanaman Hutan. Jurnal Inovasi Pertanian Volume 7 Nomor 1 (110). Innofarm.
Harrison M J. 1997. The Arbuscular Mycorrhizal Symbiosis: an Underground Association. Trends in Plant Science (reviews) 2 (2): 54-60.
Herman. 2000. Peranan dan Prospek Pengembangan Komoditas Kakao dalam Perekonomian Regional Sulawesi Selatan. 16 (1) : 21-31. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Hetrick B A D, Bloom J. 1986. The Influence of Host Plant on Production and Colonization Ability of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Spores. Mycologia 78 (1): 32-36.
Jakobsen I. 1992. Phosporus Transport by External Hyphae of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizas. Di dalam: Read D J, Lewis D H, Fitter A H, Alexander I J. Mycorrhizas in Ecosystems. CAB International. UK. Halaman 48-54.
Kabirun S, Widada J. 1995. Response of Soybean Grown on Acid Soil to Inoculation of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Biotrop Spec Publ. 56: 139-142.
Mukhlis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan.
Morton J B, Benny G L. 1990. Revised Classification of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (Zygomicetes): a New Order, Glomales, Two New Suborders, Glomineae and Gigasporineae, and Two New Families, Acaulosporaceae and Gigasporaceae, with an Emendation of Glomaceae. Mycotaxon. 37: 471-491.
Nainggola dan Samah. 2004. Respon Tanaman Terhadap Pupuk Organik Kascing Oleh Cendawan Mikoriza Arbuskula. Volume 3 Nomor 2. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian.
Nusantara, Abimanyu Dipo. 2012. Bekerja Dengan Fungi Mikoriza Arbuskula. Seameo Biotrop. Bogor.
Ouimet, R, C Camire, dan Valentin Furland. 1996. Effect of Soil, K, Ca, and Mg Saturation and Endomycorrhization on Growth and Nutrient Uptake of Sugar Maple Seedlings. Plant and Soil 179 : 207-216.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2004. Panduan Lengkap Budi Daya Kakao. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Puspitasari, R. T. 2005. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula Di Hutan Pantai Ujung Genteng, Sukabumi - Jawa Barat. Tesis Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Sasli, Iwan. 1999. Tanggap Karakter Morfofisiologi Bibit Kakao Terhadap Cekaman Kekeringan dan Aplikasi Mikoriza Arbuskula. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sastrahidayat, I R. 1992. Pengaruh Pemberian Hayati (Endomikoriza) Pada Peningkatan Produktivitas Tanaman Kacang-Kacangan Pada Tanah Miskin Fosfor. Kerja Sama Badan Litbang Pertanian dan Unibraw. 41 p.
Sastrahidayat I R. 1995. Studi Rekayasa Teknologi Pupuk Hayati Mikoriza. Di dalam: Buku III Makalah Sidang-Sidang Bidang Ilmu dan Teknologi. Prosiding Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VI; Jakarta 11-15 Sept 1995. Jakarta: LIPI bekerja sama dengan Dirjen Dikti, Depdikbud dan Forum Organisasi Profesi Ilmiah. Halaman 101-128.
Schreiner R P, Bethlenfalvay G J. 1996. Mycorrhizae, Biocides, and Biocontrol. 4. Response of a Mixed Culture of Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Host Plant to Three Fungicides. Biol. Fertil. Soils. 23: 189-195.
Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikoriza Dalam Kehutanan. PAU IPB Bogor. 103 p.
Setiadi, Y. 1992. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.
Sieverding E. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical Agrosystem. Eschborn: Deutsche GTZ GmbH.
Smith S E dan Read D J. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press. New York.
Smith F A, Smith S E. 1996. Mutualism and Parasitism: Diversity in Function and Structure in the “Arbuscular” (VA) Mycorrhizal Symbiosis. Adv. Bot. Res. 22: 1- 43.
Steussy T F. 1992. The Systematics of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Relation to Current Approaches to Biological Classification. Mycorrhiza 1: 113-121.
Subashini H D, Natarajan K. 1997. Enzymes and Phytohormones in Some Ectomycorrhizal Fungi. Di dalam: Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and forest Ecosystems: Bogor. 26-30 Oktober 1997. Bogor: LIPI, Bogor Agriculture Institute, University of Adelaide. 11 halaman.
Van Nuffelen M, Schenck N C. 1983. Spore Germination, Penetration and Root Colonization of Six Species of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi on Soybean. Can. J. Bot. 62: 624-628.
Wenggi, D. 2010. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Yang Berasosiasi Dengan Kakao (Theobroma cacao L) Di Distrik Manokwari Barat dan Manokwari Utara. Universitas Negeri Papua. Papua.
Widada J, Kabirun S. 1997. Peranan Mikorisa Vesikular-Arbuskular dalam Pengelolaan Tanah Mineral Masam Tropika. Di dalam: Pros. Kongres Nasional VI HITI. Buku I. Halaman 589-595.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan Januari 2014 sampai Juni 2014 yang melalui
beberapa tahapan. Kegiatan dilakukan di tempat berbeda, pengambilan sampel
(eksplorasi) lapangan dilakukan di Kabupaten Serdang Bedagai (Lubuk Pakam -
Perbaungan) dan Kabupaten Dairi (Desa Adian Nangka, Kecamatan Lae Parira),
analisis tanah dilakukan di Laboratorium Riset dan Tenologi, pengambilan data
curah hujan dan temperatur dilakukan di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika Sampali - Medan, pembuatan kultur trapping dilakukan di Rumah Kaca
Fakultas Pertanian, serta pengamatan kolonisasi akar dan identifikasi spora FMA
dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah cangkul, sekop, sendok semen, garpu tanah,
sekop pasir, ayakan pasir, permanent marker, meteran, sprayer, saringan (710 µm,
250 µm, dan 53 µm), pinset, erlemenyer, gelas ukur, pipet tetes, spatula, tabung
sentrifuge, penggaris, cawan petri, cover glass, mikroskop binokuler, mikroskop
stereo, kamera digital, botol film, gunting, batang pengaduk, kalkulator, alat tulis,
preparat, dan timbangan. Bahan yang digunakan adalah plastik, kardus, goni,
kertas label, kertas milimeter, pot kultur terbuka (warna), tanah, akar, jagung,
merah) 1g/l, air, gula pasir 60%, tisu, pewarna Melzer’s, KOH 10%, HCl 2%,
Trypan Blue, dan buku panduan mikoriza.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada lahan kakao yang ada di Kabupaten
Serdang Bedagai dan Kabupaten Dairi. Kegiatan penelitian ini terdiri dari
beberapa tahapan kegiatan yang diawali dengan pengambilan sampel (eksplorasi)
lapangan, analisis tanah, analisis curah hujan dan temperatur, pembuatan kultur
trapping, pengamatan kolonisasi akar, dan identifikasi spora FMA. Diagram alir
dari kegiatan penelitian ini disajikan pada gambar berikut ini.
Gambar 1. Alur Prosedur Pengambilan Contoh Tanah dan Akar
Pembuatan Kultur Trapping
Pengamatan Contoh Tanah dan Akar
Kolonisasi CMA Pada Akar Tanaman Sampel Ekstraksi Spora
Pengambilan Contoh Tanah dan Akar
Pengambilan contoh tanah dan akar tanaman dilakukan pada satu petak
pada setiap tipe lahan kakao. Kegiatan pengambilan contoh tanah ini dilakukan
hanya 1 kali. Contoh tanah diambil pada daerah rizosfir atau pada kedalaman 0-20
cm. Berat tanah yang diambil setiap titik sebanyak 500 g. Setiap petak terdapat 5
titik seperti pada gambar. Sampel tanah setiap titik dalam 1 petak dikompositkan
sehingga homogen mewakili 1 petak. Selanjutnya diambil hanya 500 g tanah yang
komposit. Petak penelitian dibuat sesuai metode ICRAF (Ervayenri et al., 1999).
Pada setiap lahan dibuat 5 petak dengan ukuran 20 m x 20 m secara acak dengan
pusat tanaman induk. Sedangkan contoh akar tanaman diambil dengan cara
memotong akar-akar halus pada anakan kakao atau tanaman bawah agak tidak
mengganggu pertumbuhan tanaman. Akar yang diambil dengan diameter
berukuran 0,5-1,0 mm.
Gambar 2. Pengambilan Contoh Tanah dan Akar
Pembuatan Kultur Trapping
Teknik trapping yang digunakan mengikuti metoda Brundrett et al.
berupa campuran contoh tanah dan pasir. Teknik pengisian media tanam dalam
pot kultur adalah pot kultur diisi dengan pasir sampai setengah volume pot,
kemudian dimasukkan contoh tanah dan terakhir ditutup dengan pasir sehingga
media tanam tersusun atas pasir - contoh tanah - pasir. Benih yang digunakan
untuk ditanam sebagai inang adalah jagung (Zea mays).
Dari setiap contoh tanah dibuat 5 pot kultur. Di samping itu diberikan
penambahan terabuster guna merangsang pembentukan spora yang lebih baik.
Perlakuan terabuster diberikan dengan konsentrasi 1:250 sebanyak 20 ml tiap pot.
Frekuensi pemberian terabuster adalah 3x1 minggu selama satu bulan pertama dan
1x1 minggu selama 1 bulan kedua. Penambahan terabuster ini diharapkan
berpengaruh terhadap sporulasi cendawan mikoriza.
Pemeliharaan kultur meliputi kegiatan penyiraman, pemberian hara dan
pengendalian hama secara manual. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi
dan sore selama 8 minggu. Ketika umur jagung mencapai 8 minggu, penyiraman
dihentikan selama 2 minggu agar tanaman berada dalam keadaan stress
kekeringan. Proses pengeringan ini berlangsung secara perlahan sehingga dapat
merangsang pembentukan spora lebih banyak. Larutan hara yang digunakan
adalah Hyponex merah (25-5-20) dengan konsentrasi 1 g/l. Pemberian larutan
hara dilakuan setiap minggu sebanyak 20 ml tiap pot kultur. Pengendalian hama
secara manual dilakukan dengan cara membuat tatakan.
Pemanenan dilakukan setelah pembentukan spora-spora baru diasumsikan
cukup baik setelah dilakukan proses stressing pada kultur. Variabel yang diamati
adalah jumlah spora per 50 g media tanam dan jenis spora. Selanjutnya
Gambar 3. Komposisi Pot
Pengamatan Contoh Tanah dan Akar
1. Ekstraksi spora
Teknik yang digunakan dalam mengekstraksi spora FMA adalah teknik
tuang - saring dari Pacioni (1992) dan akan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi
dari Brundrett et al. (1996). Prosedur kerja teknik tuang - saring ini, pertama
adalah mencampurkan tanah sampel sebanyak 50 g dengan 200-300 ml air dan
diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur. Selanjutnya disaring dalam satu set
saringan dengan ukuran 710 µm, 250 µm, dan 53 µm secara berurutan dari atas ke
bawah. Dari saringan bagian atas disemprot dengan air kran untuk memudahkan
bahan saringan lolos. Kemudian saringan paling atas dilepas dan saringan kedua
kembali disemprot dengan air kran. Setelah saringan kedua dilepas sejumlah tanah
sisa yang tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan ke dalam tabung
sentrifuge.
Ekstraksi spora teknik tuang - saring ini kemudian diikuti dengan teknik
sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Hasil saringan dalam tabung sentrifuge
ditambahkan dengan gula pasir 60% yang diletakkan pada bagian bawah dari Pasir
Tanah
larutan tanah dengan menggunakan pipet. Tabung sentrifuge ditutup rapat dan
disentrifuse secara manual selama 3 menit serta didiamkan selama 1 hari.
Selanjutnya larutan supernatan tersebut dituang ke dalam saringan 53 µm, dicuci
dengan air mengalir (air kran) untuk menghilangkan glukosa. Endapan yang
tersisa dalam saringan di atas dituangkan ke dalam cawan petri dan kemudian
diamati di bawah mikroskop binokuler untuk penghitungan kepadatan spora dan
pembuatan praparat guna identifikasi spora FMA yang ada.
Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s yang
diletakan secara terpisah pada satu kaca preparat. Spora-spora FMA yang
diperoleh dari ekstraksi setelah dihitung jumlah diletakan dalam larutan Melzer’s
dan jenis spora FMA yang ada di larutan ini sama. Selanjutnya spora-spora
tersebut dipecahkan secara hati-hati dengan cara menekan kaca penutup preparat
menggunakan ujung pinset. Perubahan warna spora dalam larutan Melzer’s adalah
salah satu indikator untuk menentukan tipe spora yang ada.
2. Kolonisasi FMA Pada Akar Tanaman Sampel
Pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman contoh dilakukan melalui
teknik pewarnaan akar (staining). Metoda yang digunakan untuk pembersihan
dan pewarnaan akar sampel adalah metoda dari Kormanik dan McGraw (1982).
Langkah pertama adalah memilih akar-akar halus dengan diameter 0,5-2,0 mm
(Rajapakse dan Miller Jr., 1992) segar dan dicuci dengan air mengalir hingga
Akar sampel dimasukan ke dalam larutan KOH 10% dan dibiarkan selama
lebih kurang 24 jam sehingga akar akan berwarna putih atau pucat. Tujuannya
adalah untuk mengeluarkan semua isi sitoplasma dari sel akar sehingga akan
memudahkan pengamatan struktur infeksi FMA. Larutan KOH kemudian
dibuang dan akar contoh dicuci pada air mengalir selama 5-10 menit. Selanjutnya
akar contoh direndam dalam larutan HCl 2% dan diinapkan selama satu malam.
Larutan HCl 2% kemudian dibuang dengan mengalirkannya secara
perlahan-lahan. Selanjutnya akar sampel direndam dalam larutan Trypan Blue 0,05%.
Kemudian larutan Trypan Blue dibuang. Selanjutnya kegiatan pengamatan siap
dilakukan.
Penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metoda panjang
akar terkolonisasi (Giovannetti dan Mosse, 1980). Secara acak diambil
potong-potongan akar yang telah diwarnai dengan panjang ± 1 cm sebanyak 10 potong-potongan
akar dan disusun pada kaca preparat, untuk setiap tanaman sampel dibuat dua
preparat akar. Potongan-potongan akar pada kaca preparat diamati untuk setiap
bidang pandang. Bidang pandang yang menunjukan tanda-tanda kolonisasi
(terdapat hifa dan atau arbuskula dan atau vesikula) diberi tanda positif (+),
sedangkan yang tidak terdapat tanda-tanda kolonisasi diberi tanda negatif (-).
Derajat atau persentase kolonisasi akar dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut.
% kolonisasi akar = ∑ bidang pandang bertanda (+)
Variabel Pengamatan
Variabel pengamatan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu variabel
lingkungan dan variabel mikoriza. Variabel lingkungan meliputi kesuburan tanah
(analisa tanah lengkap), perkembangan tanaman inang, dan perubahan musim atau
komponen iklim. Komponen iklim yang diasumsikan mempunyai pengaruh paling
besar terhadap perubahan musim untuk daerah tropis adalah curah hujan. Tinggi
rendahnya curah hujan yang terjadi juga akan berpengaruh terhadap
perkembangan dan aktivitas FMA.
Variabel mikoriza yang akan diamati meliputi persentase kolonisasi akar
pada tanaman inang, kepadatan spora atau jumlah spora FMA tiap 50 g tanah, dan
jenis spora FMA yang ditemukan. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari
variabel pengamatan akan dilakukan analisis untuk melihat hubungan antara
variabel lingkungan dengan variabel mikoriza. Analisis ini dilakukan untuk
menjelaskan bagaimana dinamika sporulasi FMA dengan adanya perubahan
kondisi-kondisi lingkungan.
Variabel lainnya yang akan dimati terbagi atas variabel primer dan
variabel sekunder. Variabel primer berupa tanah antara lain pH, C Organik, dan P
tersedia. Variabel sekunder berupa iklim antara lain suhu dan curah hujan rata-rata
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis yang dilakukan, diperoleh perbedaan pH, C Organik, dan P
tersedia atau sifat kimia tanah diantara kedua lokasi penelitian. Pada dataran
rendah pH lebih tinggi, yaitu 6,83 sedangkan pada dataran tinggi pH lebih rendah,
yaitu 5,61. Nilai C Organik di dataran rendah lebih rendah, yaitu 1,05%
sedangkan nilai C Organik di dataran tinggi lebih tinggi, yaitu 2,00%. Pada
dataran rendah P tersedia lebih tinggi, yaitu 23,25 sedangkan pada dataran tinggi
P tersedia lebih rendah, yaitu 4,34. Analisis tanah yang dilakukan memperoleh
hasil, yaitu nilai pH (H2O), C Organik (%), dan P tersedia (ppm) dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisis Tanah
Lapangan
Sifat kimia di dalam tanah sangat berhubungan dengan kesuburan tanah.
Menurut Corryanti (2011), status kesuburan lahan erat berkaitan dengan kondisi
tanaman, serta ditunjukkan dengan pertumbuhan tanaman yang baik. Kesuburan
tanah berpengaruh terhadap mikoriza.
Data iklim yang diperoleh, diketahui bahwa curah hujan pada Desember
2013 - Januari 2014 di dataran rendah memiliki rataan yang lebih tinggi adalah
207 mm sedangkan di dataran rendah memiliki rataan yang lebih rendah adalah
153 mm. Selanjutnya untuk temperatur pada Desember 2013 - Januari 2014 di
dataran rendah memiliki rataan yang lebih tinggi adalah 26,2˚C sedangkan di
dataran rendah memiliki rataan yang lebih rendah adalah 20,1˚C. Pengambilan
data curah hujan dan temperatur dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Curah Hujan dan Temperatur
Lokasi
Desember 2013 - Januari 2014 Curah Hujan
(mm)
Temperatur (˚ C)
Sei Rejo, Sergai 207 26,2
Sidikalang, Dairi 153 20,1
Selain faktor sifat kimia tanah, faktor lingkungan yang lain seperti curah
hujan dan temperatur dapat pula mempengaruhi perbedaan kolonisasi FMA pada
akar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika, diperoleh data curah hujan dan temperatur rata-rata bulanan dari kedua
lokasi pengambilan sampel memiliki perbedaan seperti dalam Tabel 2. Menurut
Setiadi (1989), pertumbuhan yang baik antara 20˚C - 30˚C. Temperatur pada
kedua lokasi memenuhi syarat pertumbuhan yang baik sehingga kolonisasi dapat
berlangsung.
Curah hujan yang berkaitan dengan keadaan atau kondisi air tanah juga
Delvian (2003), melakukan pengamatan terhadap fluktuasi kolonisasi FMA pada
akar beberapa jenis tanaman dalam 5 periode curah hujan yang berbeda, hasilnya
terjadi variasi kolonisasi FMA ditemukan baik dalam perbedaan tanaman inang
maupun perbedaan curah hujan. Jenis tanaman yang berbeda menunjukan respon
yang berbeda terhadap satu kondisi curah hujan tertentu. Kolonisasi FMA
cendrung naik dalam kondisi curah hujan yang lebih rendah seperti pada Tabel 2
yang menunjukan curah hujan di dataran tinggi lebih rendah dibandingkan dengan
di dataran rendah.
Rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran rendah lebih
rendah dari rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran tinggi, rataan
persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran rendah adalah 37,19% dan rataan
persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran tinggi adalah 70,04%.
Pengamatan yang dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan persentase
kolonisasi akar pada tanaman inang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Persentase Kolonisasi Akar Pada Tanaman Inang
Petak Lokasi Pengamatan
Dataran Rendah Dataran Tinggi
1 42,47 79,99
Pengamatan di laboratorium terhadap akar kakao yang diperoleh dari
lokasi ini mampu berasosiasi dengan FMA. Namun persentase kolonisasi yang
dijumpai relatif berbeda dari setiap lokasi pengambilan sampel.
Kolonisasi FMA dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, baik faktor
lingkungan maupun faktor mikoriza. Penyebaran FMA tidak pernah sama untuk
kondisi lapangan tertentu. Hal ini disebabkan sebagian besar oleh kesuburan tanah
yang berbeda-beda untuk setiap lokasi pegambilan sampel.
Persentase kolonisasi akar yang terkolonisasi FMA dari kedua tempat
(Tabel 3) menunjukan perbedaan persentase kolonisasi akar yang terjadi pada akar
kakao di kedua tempat. Rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran
rendah menurut Setiadi (1992) maka termasuk dalam kelas 3 atau sedang
sedangkan rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran tinggi
termasuk dalam kelas 4 atau tinggi. Berdasarkan golongan tersebut maka dapat
dilihat kisaran terhadap kolonisasi.
Sifat kimia tanah yang telah dianalisis menunjukan C organik di dataran
rendah termasuk rendah sama dengan C organik di dataran tinggi. Tinggi atau
rendah kandungan bahan organik pada tanah akan mempengaruhi FMA. Oleh
karena itu, kolonisasi FMA di dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan di
dataran rendah. Hal ini terjadi karena C organik di dataran rendah lebih rendah
dibandingkan dengan di dataran tinggi.
Berdasarkan hasil analisis kandungan P dalam tanah diketahui dapat
mempengaruhi kolonisasi FMA pada akar inang. Tanah yang mengandung unsur
P yang banyak atau sedikit akan mempengaruhi kolonisasi. Pada P tersedia yang
jumlahnya besar di dalam tanah maka persentase kolonisasi akar akan rendah
kolonisasi akar akan tinggi. Menurut Setiadi (1992) konsentrasi P yang tinggi di
dalam tanah menghambat kolonisasi FMA. Pernyataan di atas mendukung dengan
penelitian yang dilakukan.
Kolonisasi dipengaruhi oleh spesies FMA dan tanaman inang. Menurut
Smith dan Read (1997), persentase kolonisasi tergantung pada spesies FMA dan
tanaman inang, sering dihubungkan pertumbuhan akar dan kepekaan tanaman.
Spesies FMA dan tanaman inang yang saling menguntungkan akan menyebabkan
kolonisasi dapat berjalan dengan baik, keadaan tersebut dapat dilihat dari
pertumbuhan akar dan kepekaan tanaman.
Produksi spora dan kolonisasi akar pada tanaman inang saling
berhubungan sehingga mempengaruhi persentase. Menurut Hedrick dan Bloom
(1986), terdapat korelasi antara produksi spora dan kolonisasi akar antara spesies
tanaman untuk masing-masing FMA. Tinggi atau rendah dalam produksi spora
akan menyebabkan tinggi atau rendah dalam kolonisasi akar.
Tanah pada lahan kakao di dataran rendah memiliki persentase kolonisasi
akar 37,19 dan di dataran tinggi memiliki persentase kolonisasi akar 70,04. Hasil
yang didapat tidak berbeda dengan penelitian Zebua (2008) mengenai CMA di
Hutan Pegunungan Sinabung, persentase kolonisasi akar akan rendah dengan
unsur P yang tinggi. Persentase kolonisasi akar pada ketinggian 1500 mdpl
sebesar 54,69% dan pada ketinggian 1900 mdpl sebesar 25,54%.
Struktur yang dibentuk FMA dengan mengkolonisasi akar kakao di kedua
tempat yang diamati adalah struktur vesikula dan hifa. Struktur FMA yang
Gambar 4. Akar Tanpa Kolonisasi FMA
Gambar 5. Vesikula dan Hifa Pada Akar
Kolonisasi FMA pada akar diawali dari pertumbuhan hifa oleh sumber
tertentu. Tahap ini disebut prekolonisasi dan merupakan tahapan kolonisasi FMA
yang pertama. Menurut Smith dan Read (1997), kolonisasi akar diawali dari
pertumbuhan hifa dari ketiga sumber inokulum (spora, hifa, atau potongan akar
terinfeksi FMA). Hifa ditemukan pada akar yang terkolonisasi FMA. Pengamatan
akar pada kakao di dataran rendah dan dataran tinggi sangat sering dijumpai hifa
pada akar yang menunjukan terjadi kolonisasi FMA.
Struktur FMA yang dijumpai pada akar kakao di dataran rendah dan
tidak dijumpai pada akar kakao di dataran rendah dan dataran tinggi yang telah
diamati.
Pada pengamatan dengan menggunakan mikroskop maka dapat terlihat
hifa, vesikula, dan arbuskula. Menurut Anas (1993), hifa yang ada di dalam sel
atau akar tanaman terdiri dari hifa yang tidak bercabang yang terletak di antara
sel, hifa intraseluler. Selain itu, terdapat hifa intraseluler yang bercabang secara
diktomi (arbuskular) atau yang membengkak menjadi bulat atau bulat memanjang
(vesikel) dan hifa mengering (hifa gelung). Pengertian di atas, menyatakan
perbedaan vesikula dan arbuskula.
Hasil ekstraksi spora dari 50 g tanah yang dilakukan menunjukan bahwa
rata-rata kepadatan spora dalam tanah pada lahan kakao di dataran rendah lebih
rendah dari rata-rata kepadatan spora dalam tanah pada lahan kakao di dataran
tinggi. Rata-rata kepadatan spora yang didapatkan dari dataran rendah adalah 39,6
(40) spora per 50 g sedangkan rata-rata kepadatan spora yang didapatkan dari
dataran tinggi adalah 458,2 (459) spora per 50 g. Pengamatan yang dilakukan di
laboratorium untuk mendapatkan kepadatan spora atau jumlah spora FMA tiap 50
g tanah dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kepadatan Spora Atau Jumlah Spora FMA Tiap 50 g Tanah
Petak Dataran Rendah Dataran Tinggi
Pemerangkapan pada dasarnya digunakan untuk meningkatkan jumlah
propagul FMA yang ada di dalam tanah yang diambil dari lapangan. Tahapan
tersebut perlu dilakukan, mengingat tidak semua FMA aktif pada periode waktu
yang sama.
Setelah melakukan pengamatan terhadap kolonisasi FMA pada akar,
dilakukan juga penghitungan kepadatan spora hasil pemerangkapan di rumah
kaca. Hasil pengamatan di laboratorium terhadap spora dari tanah hasil
pemerangkapan di rumah kaca menunjukan bahwa kepadatan spora berbeda pada
kedua lokasi (Tabel 4).
Tanah pada kakao di dataran rendah memiliki rata-rata kepadatan spora
yang diperoleh adalah 39,6 (40) spora per 50 g tanah dan di dataran tinggi
memiliki rata-rata kepadatan spora yang diperoleh adalah 458,2 (459) spora per
50 g tanah. Kepadatan spora yang berbeda ini tidak berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2005) yang melakukan
pemerangkapan FMA dari tanah berbagai salinitas di hutan pantai Ujung Genteng,
Sukabumi dengan Shorgum sp sebagai tanaman inang. Pada penelitian ini
diperoleh variasi kepadatan spora yang sangat beragam antara lain dibawah 10
spora per 50 g tanah sampai kepada diatas 700 spora per 50 g tanah.
Jenis spora yang ditemukan, jumlah Glomus di dataran rendah lebih
rendah dari jumlah Glomus di dataran tinggi. Jumlah Glomus di dataran rendah
adalah 6 jenis sedangkan jumlah Glomus di dataran tinggi adalah 18 jenis.
Acaulospora ditemukan dengan jumlah yang sama di dataran rendah dan dataran
tinggi, yaitu 1 jenis. Pengamatan yang dilakukan di laboratorium untuk
Tabel 5. Jenis Spora FMA Yang Ditemukan
Tipe Spora Dataran Rendah Dataran Tinggi Jumlah Spesies Jumlah Spesies
Glomus 6 18
Acaulospora 1 1
Berdasarkan hasil analisis terhadap sifat kimia tanah menunjukan adanya
perbedaan dari kedua tempat pengambilan sampel akar. Sifat kimia
mempengaruhi kemampuan FMA berasosiasi dengan inang. Menurut Sasli
(1999), Glomus berkembang dengan baik pada pH 5,5 sampai 6,5 dan
Acaulospora pada pH 5,0. Tipe spora tersebut akan berkembang dengan baik pada
pH tertentu tetapi pada pH dengan kisaran lebih rendah atau lebih tinggi, tipe
spora tersebut juga dapat ditemukan. Hal ini dapat dilihat pada kakao di dataran
rendah dengan pH 6,83 masih ditemukan Glomus dan Acaulospora sedangkan
pada kakao di dataran tinggi dengan pH 5,61 masih ditemukan Acaulospora.
Pada lahan kakao di dataran rendah dan dataran tinggi hanya ditemukan 2
jenis. Hasil ini berbeda dengan penelitian Wenggi (2010) mengenai FMA Yang
Berasosiasi Dengan Kakao Di Distrik Manokwari Barat dan Manokwari Utara.
Penelitian tersebut menemukan 5 jenis pada lahan yang diteliti.
Identifikasi terhadap spora FMA dari tanah pada lahan kakao di dataran
rendah ditemukan 2 genus spora FMA, yaitu Acaulospora yang terdiri dari 1 tipe
spora dan Glomus yang terdiri dari 6 tipe spora. Pada lahan kakao di dataran
Tabel 6. Tipe dan Keterangan Spora FMA Pada Lahan Kakao Di Dataran Rendah
Tipe Spora Gambar Keterangan
Acaulospora sp. 1
Spora memiliki dinding dalam, struktur dinding yang kompleks, dinding luar yang tebal, dan dinding dalam yang tipis serta berwarna merah.
Glomus sp. 1
Spora berbentuk bulat dan warna kuning kecokelatan.
Glomus sp. 2 Spora berbentuk bulat
dan warna kuning.
Glomus sp. 3 Spora berbentuk oval dan
warna kuning pucat.
Glomus sp. 4
Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora berbentuk silinder, dan
warna kuning kecokelatan.
Glomus sp. 5 Spora berbentuk oval dan
warna kuning kehitaman.
Glomus sp. 6
Identifikasi terhadap spora FMA dari tanah pada lahan kakao di dataran
tinggi ditemukan 2 genus spora FMA, yaitu Acaulospora yang terdiri dari 1 tipe
spora dan Glomus yang terdiri dari 18 tipe spora. Pada lahan kakao di dataran
tinggi terdapat beberapa jenis spora FMA yang ditemukan seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Tipe dan Keterangan Spora FMA Pada Lahan Kakao Di Dataran Tinggi
Tipe Spora Gambar Keterangan
Acaulospora sp. 1
Spora memiliki dinding dalam, struktur dinding yang kompleks, dinding luar yang tebal, dan dinding dalam yang tipis serta berwarna kuning.
Glomus sp. 7
Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora warna kuning pucat, dan dinding tebal.
Glomus sp. 9
Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel, warna kuning pucat, dan dinding tebal.
Glomus sp. 10 Spora berbentuk bulat
Glomus sp. 11
Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora kecokelatan, dan isi spora
berupa lipid butiran (granul) putih.
Glomus sp. 13
Spora bulat, tangkai hifa yang tetap menempel, hifa bercabang, dan warna kuning kehitaman.
Glomus sp. 14
Spora berbentuk agak bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora berbentuk silinder, dan warna kuning pucat.
Glomus sp. 15 Spora berbentuk oval dan
Glomus sp. 17
Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora
Glomus sp. 2 Spora berbentuk bulat
dan warna kuning.
Glomus sp. 19
Spora berbentuk agak bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada tangkai hifa yang tetap menempel pada spora tangkai hifa yang tetap menempel, dan warna kuning pucat.
Glomus sp. 22
Spora berbentuk agak bulat, tangkai hifa yang tetap menempel, dan warna kuning.
luar yang tebal, dan dinding dalam yang tipis. Berdasarkan hasil pengamatan
terhadap tipe spora genus Acaulospora dari kedua lokasi pengamatan tidak
ditemukan tipe spora yang sama di kedua tempat. Masing-masing loasi
menunjukan tipe spora Acaulospora yang berbeda. Perbedaan tersebut terletak
pada warna di kedua spora. Spora di dataran rendah memiliki warna merah
sedangkan spora di dataran tinggi memiliki warna kuning.
Genus Glomus yang ditemukan dari kedua lokasi pengamatan umumnya
spora berbentuk bulat, agak bulat, dan oval. Spora FMA yang dijumpai berwarna
kuning, kuning kecokelatan, kuning pucat, kuning kehitaman, dan oranye.
Beberapa tipe spora genus Glomus ditemukan memiliki tangkai spora. Hasil
identifikasi terhadap tipe spora genus Glomus dari kedua lokasi pengamatan,
ditemukan 2 Glomus yang sama pada lahan kakao di dataran rendah dan dataran
tinggi. Tipe spora yang dapat dijumpai pada kedua tempat adalah Glomus sp. 1
yang memiliki ciri spora berbentuk bulat dan warna kuning kecokelatan serta
Glomus sp. 2 yang memiliki ciri spora berbentuk bulat dan warna kuning.
Karakteristik Glomus dan Acaulospora dibedakan dalam beberapa ciri-ciri.
Menurut Nusantara (2012), Glomus memiliki hifa yang relatif lurus, menjulur
sepanjang kortek akar sering kali membentuk percabangan tipe H yang
memungkinkan hifa tumbuh ke dua arah yang berbeda. Acaulospora, hifa pada
titik masuk (entry point) memiliki karakteristik bercabang-cabang. Hifa pada
kortek terluar biasanya memiliki percabangan yang lebih tidak teratur, lebih ikal,
atau keriting dibandingkan dengan hifa Glomus. Penjelasan di atas, menyatakan
Genus Acaulospora dan Glomus dalam penelitian ini belum bisa
diidentifikasi secara akurat nama spesies, karena dari seluruh jumlah spora yang
ditemukan hanya sedikit yang dapat diidentifikasi. Kondisi ini dikarenakan
banyak ditemukan spora-spora yang rusak dan kotor akibat belum terpisah dengan
tanah. Proses identifikasi spora juga terkendala oleh terbatasnya peralatan di
laboratorium dalam proses identifikasi sehingga penamaan spora belum dapat
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa terdapat keanekaragaman
FMA di dataran rendah dan dataran tinggi. Hasil yang diperoleh memberikan
kesimpulan sebagai berikut.
1. Keberadaan FMA pada lahan kakao di dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan
dengan FMA pada lahan kakao di dataran rendah.
2. Status kolonisasi pada akar kakao di dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan
dengan kolonisasi pada akar kakao di dataran rendah.
Saran
Hasil penelitian ini hanya mendapatkan data mengenai keanekaragaman
FMA pada tanaman inang kakao di satu musim pengamatan saja. Perlu dilakukan
TINJAUAN PUSTAKA
Kakao
Kakao (Theobroma cacao L.) termasuk salah satu komoditas perkebunan
yang dikembangkan untuk kepentingan ekspor dan untuk memenuhi kebutuhan
industri makanan dan minuman dalam negeri. Komoditas kakao memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan devisa negara setelah kelapa
sawit, karet, kelapa, dan kopi, meskipun produksi dan harga kakao di pasar dunia
selalu berfluktuasi (Herman, 2000).
Fungi Mikoriza Arbuskula
Mikoriza adalah suatu struktur yang dibentuk oleh akar tanaman dan
cendawan tertentu. Mikoriza merupakan suatu bentuk hubungan simbiose
mutualisme, antara fungi dengan perakaran tumbuhan tinggi. Istilah mikoriza
pertama kali digunakan oleh Robert Hartig pada tahun 1840, yang berasal dari
bahasa Latin "Myhes" yang berarti cendawan dan "Rhiza" yang berarti akar
(Hardiatmi, 2008).
Mikoriza dapat dikelompokan menjadi tiga golongan, yaitu;
Ektomikorhiza, Endomikoriza, dan Ektendomikoriza. Penggolongan tersebut
berdasarkan struktur tubuh buah dan cara infeksi terhadap tanaman
FMA (Fungi Mikoriza Arbuskular) adalah salah satu jasad renik tanah dari
kelompok jamur yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Jamur ini mempunyai
sejumlah pengaruh yang menguntungkan bagi tanaman yang bersimbiosis
dengannya. FMA mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman karena status hara
tanaman tersebut dapat ditingkatkan dan diperbaiki. Kemampuannya yang tinggi
dalam meningkatkan penyerapan air dan hara terutama P (Hapsoh, 2008).
Di dalam tanah mikoriza dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH,
suhu, Fe, Al, dan mikro organisme tanah. Glomus berkembang dengan baik pada
pH 5,5 sampai 6,5 dan Acaulospora pada pH 5,0 (Sasli, 1999).
Glomus memiliki hifa yang relatif lurus, menjulur sepanjang kortek akar
sering kali membentuk percabangan tipe H yang memungkinkan hifa tumbuh ke
dua arah yang berbeda. Acaulospora, hifa pada titik masuk (entry point) memiliki
karakteristik bercabang-cabang. Hifa pada kortek terluar biasanya memiliki
percabangan yang lebih tidak teratur, lebih ikal, atau keriting dibandingkan
dengan hifa Glomus (Nusantara, 2012).
Jenis mikoriza dapat dikelompokan menjadi tiga golongan berdasarkan
bentuk tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang, yaitu ektomikoriza,
endomikoriza, dan ektendomikoriza (Setiadi, 1989). Ada beberapa jenis mikoriza
yang dikenal, yaitu sheating, “vesikula - arbuskula”, “orchidaceous”,
“miscellaneous”, dan “pseudomikoriza”. “Sheating - Mycorrhiza disebut juga
sebagai ektomikoriza, sedangkan “vesikula - arbuskula”, “orchidaceous”, dan
“miscellaneous” digolongkan ke dalam endomikoriza. Pseudomikoriza atau
“jarring hartig” dan mantel jamur yang merupakan ciri khusus dari ektomikoriza
(Sastrahidayat, 1992).
Hifa yang ada di dalam sel atau akar tanaman terdiri dari hifa yang tidak
bercabang yang terletak di antara sel, hifa intraseluler. Selain itu, terdapat hifa
intraseluler yang bercabang secara diktomi (arbuskular) atau yang membengkak
menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa mengering (hifa gelung)
(Anas, 1993).
Syarat Tumbuh Kakao
1. Iklim
Iklim merupakan faktor yang meliputi curah hujan, suhu, kelembapan
udara, penyinaran matahari, dan kecepatan angin yang antar unsur tersebut
mempunyai hubungan yang rumit. Sebaran curah hujan lebih berpengaruh
terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah curah hujan yang tinggi.
Proses fisiologi tanaman kakao juga dipengaruhi oleh suhu udara. Kecepatan
angin juga menentukan keberhasilan usaha tani kakao (PPKKI, 2004).
2. Tanah
Sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman
adalah sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sifat kimia tanah meliputi kadar unsur
hara mikro dan makro dalam tanah, kejenuhan basa, kapasitas pertukaran kation,
pH atau keasaman tanah, dan kadar bahan organik relatif mudah diperbaiki
dengan teknologi yang ada. Sementara itu, sifat fisik tanah yang meliputi tekstur,
suatu unsur (konkresi) relatif sulit diperbaiki meskipun teknologi perbaikannya
telah ada. Sifat biologi tanah belum menjadi pertimbangan dalam melakukan
penilaian kesesuaian lahan, karena hubungannya belum banyak diketahui secara
pasti (PPKKI, 2004).
a. Sifat Kimia Tanah
Keasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral atau berkisar
5,6-6,8. Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu
di atas 3% (PPKKI, 2004).
b. Sifat Fisik Tanah
Jeluk mempan atau kedalaman tanah yang dapat dijangkau akar secara
aktif (effective depth) tidak identik dengan ketebalan solum tanah. Tekstur tanah
menunjukan perbandingan tertentu antara tiga fraksi tanah, yaitu pasir, debu, dan
lempung (PPKKI, 2004).
3. Timbulan
Faktor ini meliputi elevasi, topografi, dan tinggi tempat. Kakao tumbuh
baik pada lahan datar atau kemiringan tanah kurang dari 15%. Suhu udara
idealnya sekitar 28˚C, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah tingkat
kesesuaiannya. Faktor timbulan yang berpengaruh adalah lereng, ini berkaitan
dengan tingkat kesuburan, manajemen pemeliharaan, dan pemanenan
Faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan FMA
1. Spesies FMA dan Tanaman Inang
Persentase kolonisasi tergantung pada spesies FMA dan tanaman inang,
sering dihubungkan pertumbuhan akar dan kepekaan tanaman
(Smith dan Read, 1997). Terdapat korelasi antara produksi spora dan kolonisasi
akar antara spesies tanaman untuk masing-masing FMA
(Hedrick dan Bloom, 1986).
2. Suhu, Kelembaban, dan pH Tanah
Persentase kolonisasi meningkat pada 30˚ C, tetapi beberapa kombinasi
cendawan - tanaman berkembang secara normal pada 35˚ C atau lebih
(Bowen 1987, diacu dalam Smith & Read 1997). Kedelai yang diinokulasi FMA
dapat membentuk kolonisasi sebesar 61% pada pH 5,6 dan meningkat menjadi
75% pada pH 6,4 (Nurlaeny et al., 1996).
3. Cahaya
Radiasi rendah, hari pendek dan fotosintesis yang rendah, mengurangi
penyebaran akar yang bermikoriza (Gianinazzi - Pearson dan Gianinazzi, 1983).
Beberapa laporan mengungkapkan kolonisasi berkurang pada cahaya rendah
dalam hubungannya dengan suplai karbohidrat (Smith dan Read, 1997).
4. Ketersediaan Hara
Ada interaksi antara N dan P dalam pertumbuhan tanaman dan
pengaruhnya terhadap kolonisasi, yakni P lebih tersedia pada tanaman cukup N
dibandingkan dengan tanaman yang kekurangan N (Smith dan Read, 1997).
menghambat kolonisasi. Penambahan sedikit fosfat akan meningkatkan kolonisasi
(Simanungkalit, 1997).
5. Pestisida
Pestisida meliputi methyl bromida, khloropikrin, dan berbagai macam
racun fungi menurunkan kolonisasi FMA di lapangan (Fakuara, 1988). Aplikasi
fungisida seperti Benomyl, PCNB, dan Captan menurunkan persentase kolonisasi
akar oleh FMA bila dibandingkan dengan tanpa fungisida
(Schreiner dan Bethlenfalvay, 1996).
Peranan FMA
Status kesuburan lahan erat berkaitan dengan kondisi mikrobia tanah yang
berlimpah, memiliki fungsi simbiosis dengan perakaran tanaman, serta
ditunjukkan dengan pertumbuhan tanaman yang baik (Corryanti, 2011).
Proses infeksi dimulai dari pembentukan appresorium yaitu struktur yang
berupa penebalan masa hifa yang kemudian menyempit seperti tanduk.
Appresorium membantu hifa menembus ruang sel epidemis melalui permukaan
akar, atau rambut-rambut akar dengan cara mekanis dan enzimatis. Hifa yang
telah masuk ke lapisan korteks kemudian menyebar di dalam dan diantara sel-sel
korteks, hifa ini akan membentuk benang-benang bercabang yang mengelompok
disebut arbuskula yang berfungsi sebagai jembatan transfer unsur hara, antara
cendawan dengan tanaman inang. Arbuskula merupakan hifa bercabang halus
yang dapat meningkatkan luas permukaan akar, dua hingga tiga kali. Pada sistem
disekitar daerah perakaran dan berfungsi sebagai alat pengabsorbsi unsur hara.
Hifa yang terletak diluar ini dapat membantu memperluas daerah penyerapan hara
oleh akar tanaman (Hardiatmi, 2008).
Sejumlah percobaan telah membuktikan hubungan saling menguntungkan,
yaitu adanya cendawan mikoriza sangat meningkatkan efisiensi penyerapan
mineral dari tanah. Mikoriza juga bisa memberikan kekebalan bagi tumbuhan
inang. Mikoriza ini menjadi pelindung fisik yang kuat, sehingga perakaran sulit
ditembus penyakit (patogen), sebab jamur ini mampu membuat bahan antibotik
untuk melawan penyakit. Cendawan mikoriza bisa membentuk hormon seperti
auxin, citokinin, dan giberalin yang berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan
tanaman (Hardiatmi, 2008).
Mikoriza menyebabkan terjadinya peningkatan ketahanan tumbuhan
terhadap infeksi patogen dan parasit akar. Hal ini dikarenakan terdapatnya
penghalang mekanis berupa mantel jamur yang dapat menghambat penetrasi
patogen dan adanya kemampuan beberapa jamur mikoriza untuk memproduksi
antibiotik. Mikoriza juga dapat merangsang inang untuk membentuk
senyawa-senyawa penghambat dan meningkatkan persaingan kebutuhan hidup di rizosfer
(Chakravarty dan Chatapaul, 1988).
Hubungan FMA Dengan Kakao
FMA adalah salah satu jasad renik tanah dari kelompok jamur yang
bersimbiosis dengan akar tanaman. Jamur ini mempunyai sejumlah pengaruh yang
FMA banyak mendapat perhatian karena kemampuannya berasosiasi
membentuk simbiosis mutualistik dengan hampir 80% spesies tanaman
(Steussy, 1992). Menurut beberapa peneliti (Daniels dan Trappe, 1980; Van
Nuffelen dan Schenck, 1983; Bianciotto et al., 1989; Al Raddad, 1995; Kabirun
dan Widada, 1995; Nurlaeny et al., 1996; Simanungkalit, 1997; Hapsoh, 2003),
kompatibilitas FMA dengan tanaman inang sangat bervariasi bergantung pada
spesies FMA, spesies tanaman inang dan kondisi lingkungannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian mikoriza dapat
meningkatkan pertumbuhan bibit kakao yang lebih baik dibanding bibit tanpa
mikoriza. Ini terlihat dari tingginya nilai rata-rata untuk hampir semua peubah
yang diamati dibanding bibit yang tidak bermikoriza. Tinggi bibit di akhir
penelitian meningkat sampai 133% terhadap kontrol yang justru terdapat pada
tanaman dengan tingkat kekeringan 70% air tersedia. Ini menunjukkan bahwa
bibit yang bermikoriza sebenarnya tidak terlalu bemasalah pada kondisi
kekeringan oleh karena adanya hifa ekstemal cendawan mikoriza yang masih
dapat menyerap air dari pori-pori tanah. Bobot kering bibit yang bermikoriza juga
menunjukkan adanya perbedaan nyata dibanding kontrol. Pada akhir penelitian,
bibit bermikoriza meningkatkan bobot kering tajuk dan akar masing-masing
Tahapan Kolonisasi FMA
1. Prekolonisasi
Kolonisasi akar diawali dari pertumbuhan hifa dari ketiga sumber
inokulum (spora, hifa, atau potongan akar terinfeksi FMA). Rangsangan
prekolonisasi disebabkan oleh adanya flavonoid hasil eksudat akar
(Smith dan Read, 1997).
2. Kontak dan Penembusan
Kontak hifa dengan akar diikuti oleh pelekatan dan setelah sekitar 2-3 hari,
pembentukan apresorium yang membengkak. Penembusan dinding sel-sel
tumbuhan selalu terjadi dengan pengecilan diameter hifa membentuk ujung yang
agak runcing, diikuti dengan ekspansi hifa memasuki lumen sel
(Smith dan Smith, 1996; Smith dan Read, 1997).
3. Perkembangan Kolonisasi
Setelah pembentukan apresorium dan penembusan sel-sel epidermis dan
eksodermis, percabangan hifa ke dalam korteks bagian tengah dan dalam akar
(dalam mikoriza tipe Arum), tumbuh memanjang di ruang-ruang interseluler
membentuk koloni. Koloni ini disebut ’kolonisasi’ untuk menggambarkan asosiasi
mutualistik fungi - tumbuhan (Smith dan Smith, 1996; Smith dan Read, 1997).
4. Pergantian Arbuskula
Meskipun hifa fungi menembus dinding sel korteks akar, membran
plasmanya tidak dirusak (ditembus) tetapi berkembang mengelilingi bentuk
arbuskula, menghasilkan bentuk kompartemen apoplastik baru disebut
oleh membran masing-masing yaitu matriks bidang kontak yang tipis dari
tumbuhan dan dinding sel fungi yang tipis, dengan lebar kompartemen bidang
kontak antara 80-100 nm (Harrison, 1997).
5. Pertumbuhan Hifa Eksternal dan Produksi Spora
Sekali fungi berkembang di dalam akar dan tumbuh subur di dalam tanah,
hifa eksternal merupakan sumber inokulum penting untuk kelanjutan kolonisasi
sistem perakaran yang sama. Percabangan hifa yang halus ini sebagai bentuk
adaptasi untuk mengeksplorasi pori-pori tanah dan juga selalu berasosiasi dengan
bahan organik tanah, di mana mineralisasi hara terjadi (Smith dan Read, 1997).
Manfaat FMA
1. Meningkatkan Serapan Hara dan Air
FMA mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman karena status hara
tanaman tersebut dapat ditingkatkan dan diperbaiki. Kemampuannya yang tinggi
dalam meningkatkan penyerapan air dan hara terutama P (Jakobsen, 1992; Smith
dan Read, 1997; Bryla dan Duniway, 1997; Hapsoh, 2003). Dijelaskan Sieverding
(1991) bahwa FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan
memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan
mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air.
2. Pelindung Biologi Bagi Patogen Akar
Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksi
patogen akar. Dari penelitian Sastrahidayat (1995) dilaporkan bahwa mikoriza
pada tanaman tomat dengan rata-rata sekitar 47,44% dan penyelamatan produksi
sebesar 148,26%.
3. Meningkatkan Produksi Hormon Auksin
Selain itu fungi mikoriza dapat meningkatkan produksi hormon seperti
auksin, sitokinin. Auksin dapat berfungsi meningkatkan elastisitas dinding sel dan
mencegah atau memperlambat proses penuaan akar, dengan demikian fungsi akar
sebagai penyerap unsur hara dan air diperpanjang
(Subashini dan Natarajan, 1997; Hapsoh, 2003).
4. Meningkatkan Produksi Tanaman
Selain fungsi yang telah disebutkan FMA dapat meningkatkan hasil
tanaman pada tanah mineral masam tropika (Widada dan Kabirun, 1997).
Peningkatan hasil juga dilaporkan pada berbagai jenis tanaman antara lain pada
jagung (93,0%), kedelai (56,2%), padi gogo (25,0%), kacang tanah (23,8%), cabai
(22,0%), bawang merah (62,0%), dan semangka (77,0%) (Sastrahidayat 1995),
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Organisme tanah di dalam tanah ada yang bermanfaat dan ada pula
mengganggu atau merugikan. Organisme yang bermanfaat, yaitu organisme
tersebut terlibat dalam proses dekomposisi dan pengikat atau penyedia unsur hara.
Organisme yang mengganggu atau merugikat, yaitu organisme tersebut
memanfaatkan organisme lain seperti sebagai sumber makanan.
Salah satu contoh dari organisme yang bermanfaat adalah mikoriza.
Mikoriza adalah salah satu cendawan yang mampu bersimbiosis dengan perakaran
tanaman tingkat tinggi yang ditandai dengan Arbuskula. Simbiosis merupakan
sifat yang menguntungkan bagi tanaman itu sendiri maupun tanaman inang untuk
mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan kualitas serta daya hidup bibit
tanaman pada tanah defisit unsur hara. Oleh karena itu mikoriza memegang
peranan penting dalam meningkatkan produktifitas lahan bermasalah
(Nainggola dan Samah, 2004).
Manfaat yang ditimbulkan dari mikoriza adalah meningkatkan
kemampuan tanaman dalam mendapatkan hara. Mikoriza memberi manfaat pada
pertumbuhan dan hasil tanaman dengan cara meningkatkan kemampuan tanaman
untuk mendapatkan hara yang ada dalam tanah, yaitu dengan meningkatnya
penyerapan unsur hara terutama P, dan juga meningkatkan penyerapan unsur hara
penyerapan juga terjadi untuk unsur-unsur hara seperti Zn, Cu, S, B, dan Mo
(Ouimet, 1996).
Di alam keberadaan dan status fungi mikoriza arbuskula tidak dapat
diketahui secara pasti. Fungi mikoriza arbuskula dengan jumlah tertentu di alam,
diketahui dapat berpengaruh pada jenis tanaman yang dijadikan sebagai inang.
Kondisi serta keadaan dari lahan yang menjadi faktor utama dari perbedaan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Persentase kolonisasi akar oleh FMA
akan mempengaruhi tanaman inang.
FMA di dalam tanah memiliki peran dalam membantu pertumbuhan
tanaman. Namun belum diketahui besar perbedaan keberadaan dan status FMA
yang disebabkan oleh ekologi tempat tumbuh. Tanaman yang tumbuh di tempat
berbeda maka pertumbuhannya berbeda juga. Perbedaan tersebut disebabkan oleh
keterkaitan tanah, organisme, dan tanaman. Hubungan dalam hal tersebut yang
akan dilihat melalui pengamatan. Kakao merupakan jenis tanaman yang dapat
tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi. Tanaman ini banyak ditanam
dikarenakan memiliki banyak manfaat dalam pengolahannya. Kakao (Theobroma
cacao L.) adalah tanaman yang sering dimanfaatkan dalam kegiatan agroforestri
dan perkebunan oleh pemilik lahan.
Ada sekitar 150 spesies FMA yang telah dideskripsi berdasarkan
morfologi spora (Morton dan Benny, 1990) meskipun deskripsi awal dalam
beberapa hal tidak memuaskan dan revisinya sangat diperlukan
(Smith dan Read, 1997). Banyaknya spesies FMA menunjukan bahwa FMA pada
setiap lahan berbeda-beda, seperti perbedaan FMA di dataran rendah dan dataran
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan dan status FMA
berkaitan dengan perbedaan ekologi tempat tumbuh. Hal ini akan dapat
mengetahui keberadaan dan status FMA di dataran rendah dan dataran tinggi.
Kegunaan Penelitian
Hasil yang akan didapat dari penelitian ini akan dapat mengetahui
mengenai keberadaan dan status FMA. Melalui perbedaan ekologi tempat tumbuh
maka dapat diketahui perbedaan dari FMA.
Hipotesis Penelitian
Informasi tentang dinamika sporulasi FMA di daerah tropis masih sangat
kurang. Diduga adanya perbedaan ekologi tempat tumbuh akan mempengaruhi
ABSTRACT
Rahmat Saputra : Existence and Status of Arbuscular Mycorrhizal Fungi on
Lowland and Highland Cocoa Field.
The goal of this research is to know the existence and the status of Arbuskular Mycorrhiza at Cocoa ecosystems in lowland andhighland. Soil sample has been taken from Adian Nangka Village, District of Lae Parira, Region of Dairi and Lubuk Pakam - Perbaungan, Region of Serdang Bedagai. This research use soil separating method to obtain spores and root coloring method to find out root colonization. The trapping result with host of Zea mays obtained an average spore density on the lowland is 39,6 (40) spores / 50 g soil, while the highland obtained 458,2 (459) spores / 50 g soil. The result shows on the lowland obtained 6 spores types of Glomus genus and 1 spores type of Acaulospora genus with up to 37,19% colonization percentage. Highland obtained 18 spores types of Glomus genus and 1 spores type of Acaulospora genus with up to 70,04% colonization percentage.
ABSTRAK
Rahmat Saputra : Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Kakao di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan status FMA pada lahan kakao di dataran rendah dan dataran tinggi. Contoh tanah dan akar berasal dari Desa Adian Nangka, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi dan Lubuk Pakam -Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini menggunakan metode tuang saring untuk mendapatkan spora dan metode pewarnaan untuk mengetahui kolonisasi akar. Hasil trapping dengan tanaman inang Zea mays diperoleh kepadatan spora rata-rata pada dataran rendah adalah 39,6 (40) spora / 50 g tanah, sementara pada dataran tinggi diperoleh kepadatan spora rata-rata adalah 458,2 (459) spora / 50 g tanah. Hasil penelitian pada dataran rendah didapat 6 tipe spora genus Glomus dan 1 tipe spora genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 37,19%. Pada dataran tinggi diperoleh 18 tipe spora genus Glomus dan 1 tipe spora genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 70,04%.
KEBERADAAN DAN STATUS FUNGI
MIKORIZA ARBUSKULA PADA LAHAN KAKAO
DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI
SKRIPSI
Disusun Oleh:
RAHMAT SAPUTRA 101201068
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
KEBERADAAN DAN STATUS FUNGI
MIKORIZA ARBUSKULA PADA LAHAN KAKAO
DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI
SKRIPSI
Disusun Oleh:
RAHMAT SAPUTRA 101201068/BUDIDAYA HUTAN
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula pada Lahan Kakao Dataran Rendah dan Dataran Tinggi
Nama : Rahmat Saputra
NIM : 101201068
Program Studi : Kehutanan
Disetujui Oleh,
Komisi Pembimbing
Dr. Delvian, S.P, M.P Ketua
Dr. Deni Elfiati, S.P, M.P Anggota
Mengetahui,
ABSTRACT
Rahmat Saputra : Existence and Status of Arbuscular Mycorrhizal Fungi on
Lowland and Highland Cocoa Field.
The goal of this research is to know the existence and the status of Arbuskular Mycorrhiza at Cocoa ecosystems in lowland andhighland. Soil sample has been taken from Adian Nangka Village, District of Lae Parira, Region of Dairi and Lubuk Pakam - Perbaungan, Region of Serdang Bedagai. This research use soil separating method to obtain spores and root coloring method to find out root colonization. The trapping result with host of Zea mays obtained an average spore density on the lowland is 39,6 (40) spores / 50 g soil, while the highland obtained 458,2 (459) spores / 50 g soil. The result shows on the lowland obtained 6 spores types of Glomus genus and 1 spores type of Acaulospora genus with up to 37,19% colonization percentage. Highland obtained 18 spores types of Glomus genus and 1 spores type of Acaulospora genus with up to 70,04% colonization percentage.
ABSTRAK
Rahmat Saputra : Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Kakao di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan status FMA pada lahan kakao di dataran rendah dan dataran tinggi. Contoh tanah dan akar berasal dari Desa Adian Nangka, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi dan Lubuk Pakam -Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini menggunakan metode tuang saring untuk mendapatkan spora dan metode pewarnaan untuk mengetahui kolonisasi akar. Hasil trapping dengan tanaman inang Zea mays diperoleh kepadatan spora rata-rata pada dataran rendah adalah 39,6 (40) spora / 50 g tanah, sementara pada dataran tinggi diperoleh kepadatan spora rata-rata adalah 458,2 (459) spora / 50 g tanah. Hasil penelitian pada dataran rendah didapat 6 tipe spora genus Glomus dan 1 tipe spora genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 37,19%. Pada dataran tinggi diperoleh 18 tipe spora genus Glomus dan 1 tipe spora genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 70,04%.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada 27 Mei 1992 dari pasangan Teddy
Rostiadi dan Khairani. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri
Melong 3 Cimahi Selatan lulus pada tahun 2004 dan melanjutkan pendidikan
Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Banda Aceh lulus tahun
2007. Kenudian penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)
di SMA Negeri 11 Banda Aceh lulus pada tahun 2010.
Pada tahun 2010 penulis mengikuti Ujian Masuk Bersama Perguruan
Tinggi Negeri (UMB-PTN) dan diterima di Program Studi Kehutanan, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penulis memilih minat Budidaya Hutan.
Di masa perkuliahan penulis aktif dalam kepengurusan maupun kepanitiaan
dibeberapa organisasi kemahasiswaan seperti Badan Kemakmuran Musholla
Baytul Asyjaar, Rain Forest, dan Inkubator Sains.
Dalam menyelesaikan kegiatan akademik, pada tahun 2012 penulis mengikuti
kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) di hutan pendidikan
Universitas Sumatera Utara, Taman Hutan Raya Bukit Barisan di Tongkoh,
Kabupaten Karo. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Perhutani,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik
dan tepat waktu. Melalui kekuasaan-Nya penulis dapat melakukan semua ini
dengan sangat baik beserta penyelesaian target dalam hasil yang dapat dicapai
sebelumnya.
Judul dari penelitian ini adalah “Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza
Arbuskula Pada Lahan Kakao Di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi”, sesuai
dengan susunan dari tema penelitian secara runtun. Penelitian yang disusun
sebagai salah satu syarat dalam kelulusan di Program Studi Kehutanan, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih dengan rasa hormat kepada dosen
pembimbing Dr. Delvian, S.P, M.P dan Dr. Deni Elfiati, S.P, M.P serta kepada
teman-teman sekelas. Hal ini dikarenakan telah membantu dan membimbing
penulis dalam pelaksanaan hingga terwujudnya penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna, baik dari segi
teknik penyusunan maupun dari segi materi dan pembahasan. Oleh sebab itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi penyempurnaan
penelitian ini.
Medan, 20 Juli 2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……….. i
DAFTAR ISI………... ii
DAFTAR TABEL………. iii
DAFTAR GAMBAR……..……….. iv
DAFTAR LAMPIRAN……… v
PENDAHULUAN………... 1
Latar Belakang………... 1
Tujuan Penelitian…...………. 3
Kegunaan Penelitian………... 3
Hipotesis Penelitian……… 3
TINJAUAN PUSTAKA………... 4
Kakao………...……….…….. 4
Fungi Mikoriza Arbuskula……….…… 4
Syarat Tumbuh Kakao……… 6
Faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan FMA………. 8
Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula………...…… 9
Hubungan Fungi Mikoriza Arbuskula Dengan Kakao………..……. 10
Tahapan Kolonisasi FMA……….. 12
Manfaat FMA………. 13
METODE PENELITIAN...……..……….. 15
Waktu dan Tempat……….………... 15
Bahan dan Alat………... 15
Prosedur Penelitian……….……… 16
HASIL DAN PEMBAHASAN………..……….. 23
Hasil……….... 23
Pembahasan……….... 23
KESIMPULAN DAN SARAN…………....……… 38
Kesimpulan....………. 38
Saran………... 38
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
1. Hasil Analisis Tanah……….. 23
2. Hasil Analisis Curah Hujan dan Temperatur………. 24
3. Persentase Kolonisasi Akar Pada Tanaman Inang………. 25
4. Kepadatan Spora Atau Jumlah Spora FMA Tiap 50 g Tanah……… 29
5. Jenis Spora FMA Yang Ditemukan……… 31
6. Tipe dan Keterangan Spora FMA Di Dataran Rendah ………..…… 32
DAFTAR GAMBAR
1. Alur Prosedur….………..……….. 16
2. Pengambilan Contoh Tanah dan Akar….………..………. 17
3. Komposisi Pot………...………. 19
4. Akar Tanpa Kolonisasi FMA……….……… 28
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pengambilan Sampel……….. 43
2. Kultur Traping………...………. 43
3. Pengamatan Di Laboratorium………...………. 44
4. Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Tanah………...………… 44
5. Kriteria pH Tanah………...……… 44