• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemimpin Bagi Orang Jawa

3.1. Jenis Kekuasaan dan Tipe Pemimpin

3.1.2. Tipe Pemimpin

Dalam banyak literature disebutkan bahwa, dalam masayarakat jawa terdapat beberapa tipe pemimpin dan juga bagaimana cara mereka mendapatklannya. Hal tersebut :

1. Tipe Karismatis

. Tipe Karismatis seperti ini memiliki kekuatan energy, daya tarik dan wibawa yang besar untuk mempengaruhi orang lain, sehingga pemimpin seperti ini mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal atau orang-orang kepercayaan yang dapat dipercayai sepenuhnya. Pemimpin seperti ini dianggap memiliki kekuatan gaib dan kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain, ia memperolehnya sebagai karunia Yang Mahakuasa. Orang-orang seperti ini memiliki daya tarik tersendiri, keberanian, dan teguh pada pendiriannya sendiri

Sejalan dengan Hal tersebut, Bapak Sarmuji 56 Thn mengungkapkan

Pemimpin kharismatik itu adalah Orang-orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa, udah gitu mereka punya kekuatan gaib yang mereka dapat dengan cara mendekatkan diri dengan Yang Mahakuasa. Yang jelas belum ada yang bisa menggantikan mereka sebagai pemimpin yang dinginkan wong cilik.

Pemimpin Karismatis memegang kekuasaan atas kepentingan bersama, beliau juga mengatakan bahwa pemimpin yang memiliki sifat karismatis adalah orang berjiwa besar dan mampu melindungi bawahannya. Pada tradisi Jawa, Pemimpin juga diartikan sebagai titisan dari sang pencipta yang diutus untuk membawa kebenaran.

Tipe pemimpin seperti ini sering disebut dengan jenis kepemimpinan yang kebapakan. Pemimpin ini mewariskan tahta kemimpinannya kepada anaknya atau saudaranya, pemimpin jenis ini menganggap bahwa bawahnnya sebagai orang yang belum dewasa dan ia beranggapan bahwa anaknya sebagai pewaris kepemimpinnanyalah yang harus dkembangkan. Pemimpin seperti ini tidak membarikan kesempatan kepada bawahannya untuk berkreasai dan berinisiatif selain itu juga memiliki sifat over protective (terlalu melindungi)

3. Tipe Otoriter

Disebut juga tipe kepemimpinan authoritarian. Dalam kepemimpinan ini, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota – anggota kelompoknya. Baginya memimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Batasan kekuasaan dari pemimpin otoriter hanya dibatasi oleh undang – undang. Bawahan hanya bersifat sebagai pembantu, kewajiban bawahan hanyalah mengikuti dan menjalankan perintah dan tidak boleh membantah atau mengajukan saran. Mereka harus patuh dan setia kepada pemimpin secara mutlak.

4. Tipe lesiser faire

Dalam tipe kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan kepemimpinannya, ia membiarkan bawahannya berbuat sekehendaknya. Keputusan berdasarkan keputusan anggota dan tidak ada dominasi dari pemimpin karena pemimpin sama sekali tidak memberikan control dan koreksi terhadap orang-orang yang dipimpinnya.

Tipe Pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang membangu kepemimpinannya dengan solidaritas rakyat. kepemimpinan populistis ini berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat tradisional. Selain itu pemimpin seperti ini juga kurang mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan dari negara luar. Kepemimpinan jenis ini mengutamakan penghidupan nasionalisme selain itu erat dikaitkan dengan modernitas tradisional.

6. Tipe Administratif atau Eksekutif

Kepemimpinan jenis ini ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas administrative secara efektif. Kepemimpinan jeis ini disisi oleh orang-orang yang terdiri dari para teknokrat, administrator, dan juga para ahli dibidang pembangunan. Kepemimpinan ini pula dapat membangun birokrasi dan menejemen pembangunan negara yang berorientasi pada modernitas pembangunan.

7. Tipe demokratis

Kepemimpinan demokratis beroriantasi pada manusia, dan memberikan bimbingan yang efesien kepada para pengikutnya. Pemimpin ikut berbaur di tengah anggota – anggota kelompoknya. Hubungan pemimpin dengan anggota bukan sebagai majikan dengan bawahan, tetapi lebih seperti kakak dengan saudara – saudaranya. Dalam tindakan dan usaha – usahanya ia selalu berpangkal kepada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan dan kemampuan kelompok. Dalam melaksanalan tugasnya, pemimpin mau

menerima dan bahkan mengharapkan pendapat dan saran – saran dari kelompoknya.

Pemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu dan mau mendengarkan nasihar dan sugesti bawahan. Dalam setiap pembuatan rencana dan keputusan selalu meminta nasiha dan masukan dari para orang yang lebih ahli dan juga memberikan pekuang kepada bawahan/orang yang dipimpinnya untuk mengeluarkan pendapat.

3.2. Pemimpin Bagi Orang Jawa

Pemimpin adalah sebuah kata yangs sering didengar setiap hari, pemimpin juga merupakan sebuah tokoh induk baik dari sebuah rumah tangga, organisasi ataupun perkumpulan. Pemimpin juga merupakan symbol dari sebuah kepemimpinan, selain itu mereka juga merupakan orang yang dapat dipercaya dan memiliki kendali atas sebuah keputusan.

Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Rahman,

Pemimpin adalah sosok seseorang yang mampu membawa dan memimpin orang lain untuk kearah yang lebih baik, pemimpin tidak boleh sombong karena ia merupakan contoh sauri tauladan bagi oang lain.

Pemimpin dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebuah sosok yang menjadi contoh keteladanan bagi tiap individu-individu yang mempercayainya. Bagi orang jawa pemimpin disama artikan dengan sebuah tokoh yang sangat penting yang membimbing dan menjadi contoh mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pemimpin senantiasa mengadakan konsultasi dengan sejumlah orang, dengan

mengikuti gagasan dalam pepatah Jawa manunggaling kawulolan (masyarakat dan pemimpin adalah satu)24

a. Pemimpin didalam keluarga .

Dalam kehidupan sehari-hari, orang Jawa membagi pemimpin kedalam beberapa bagian seperti:

Orang Jawa yang memiliki sistem kekerabatan yang bilateral, tidak membedakan sebuah keputusan antara seorang ayah atau ibu. Hanya saja didalam sebuah rumah tangga seorang ayah menjadi pemimpin didalam rumah tangga untuk memimpin dan membimbing keluarganya.

System kekeluargaan orang Jawa berdasarkan prinsip bilateral, kedudukan seseorang dari segi hierarkinya dalam masyarakat bergantung kepada ukuran utama dalam masyarakat. Ukuran utama yang membedakan kedudukan seseorang itu adalah kedudukan dalam sebuah keluarga. Hierarki inilah yang menjadi penentu utama hubungan social dalam masyarakat (Siyo, 2008:91)

Seperti yang diungkakan Ibu Sumiarsih 40 thn, ia mengatakan bahwa :

Dialam keluarga kami segala keputusan diambil secara musyawarah, tetapi ayah dari anak-anak kami memiliki keputusan untuk menetukan baik buruknya keputusan yang kami sepakati. Saya dirumah hanya mengurus dan menjaga anak-anak, tidak ada perbedaan antara saya dan suami saya. Memang kami tidak sepenuhnya tau tetang adat dan budaya Jawa yang asli tapi kami masih mmegang prinsip sopan santun dan ramah tamah serta etika dalam bergaul dengan orang lain.

Ayah (orang tua laki-laki) adalah kepala bijaksana dan pelindung kokoh bagi istri dan anak-anaknya, ia menjamin penghidupan mereka dan menjadi

24

Bijlmer, Joep & Martin Reurink, Kepemimpinan Lokal di Lingkungan Masyarakat Jawa: Dari Ideologi ke Realitas.

dukungan kuat bagi mereka . dalam kenyataannya perana ibu sebenarnya lebih kuat. Ibu adalah pusat keluarga, pada umumnya memegang keuangan, cukup menentukan dalam pengambilan keputuasan-keputusan penting, misalnya keputusan mengenai pilihan sekolah, pekerjaan, dan pilihan suami atau sitri bagi anak-anaknya (Suseno 1996 : 170).

Dalam kehidupan sehari-hari, pemimpin dialam keluarga Jawa dipimpin oleh seorang ayah, sementara Ibu melindungi anak-anaknya sama seperti ibu-ibi lainnya, namun terdapat kecenderungan bahwa ibu Jawa over protective terhadap putra-putrinya dan sedapat mungkin melindungi anak-anaknya dari pengalaman pengalaman buruk.

Menurut Niels Mulder, kata kunci untuk memahami demokrasi pancasila dan hak asasi manusia tidak terletak dalam pengertian kesetaraan tetapi didalam ide kekeluargaan. Dalam fungsinya sebagai suatu keluarga, dapat ditarik suatu argumen bahwa pada dasarnya, demokrasi pancasila yang dianut bangsa Indonesia itu menaungi suatu asas yaitu kekeluargaan. Kekeluargaan yang berarti keharmonisan antar individu, kerukunan antar individu, dan persatuan dan kesatuan bangsa. Dan oleh karena adanya kesatuan itulah tujuan dapat dicapai.

Lebih lanjut, Niels Mulder menyamakan pemahaman bahwa apa yang baik untuk semua adalah baik untuk seseorang. Bangsa dipandang sebagai sebuah keluarga, atau paling tidak dipimpin oleh prinsip kehidupan keluarga. Kepentingan bersamanya merupakan kepentingan pribadi yang sama-sama dimiliki yang harus dilindungi dari anggota yang bukan keluarga, dan dari mereka yang tidak berprilaku menurut ketentuan keluarga. Dan tugas seorang

pemimpin harus memiliki kualitas sebagai penunjuk jalan, atau pengasuh yang mendorong, memimpin dan membimbing mereka yang harus dididik. Dengan kata lain, seorang pemimpin adalah seorang bapak dan pelindung yang dapat dipercaya yang harus dihormati dan diteladani, yang prilaku dan keinginannya merupakan perintah dan menaruh perhatian pada anak buahnya (pengikutnya). Sehingga dapat diikatkannya menjadi satu dalam ikatan keluarga.

b. Pemimpin didalam masyarakat

Sosok pemimpin menurut Keeler (1985) adalah dapat memenuhi citra ideal sebagai sosok teladan, seorang pemimpin yang berjiwa kuat, memikat dan penuh dengan sifat baik. Efektifitas kekuasaan diukur dengan kemampuan untuk menyembunyikan instrument kepemimpinan. Memolesnya, dan bukan memperlihatkan bahwa kekuasaanlah yang menjadikannya pemimpin. Budaya jawa tidak dapat dibatasi hanya pada ide tentang kekuasaan, dan ide tentang kekuasaan tidak dapat dibatasi hanya pada masalah tentang sosok teladan. “Budaya jawa adalah sekumpulan ide, norma, keyakinan dan nilai yang sangat beragam sehingga tidak mungkin dapat dilukiskan sebagai ‘keseluruhan yang padu’ sebaliknya, perhatian kita hendaknya dipusatkan pada distribusi dan reproduksi dari pengetahuan yang demikian beragam pada masyarakat”-Eldar Braken (Ponco Reko, wordpress.com)

Itu artinya, masyarakat jawa dalam kepemimpinannya bukan hanya soal untuk memadukan berbagai aspek dalam kepemimpinan, tetapi lebih jauh lagi fokus kepemimpinan itu berada pada pola pikir masyarakat. Sejauh

ini dapat disimpulkan, kepemimpinan itu erat hubungannya dengan bagaimana pola prilaku masyarakat dalam menjalani hidup. Artinya, kepemimpinan bukan suatu yang mutlak yang dapat disimpulkan begitu saja. Karena kepemimpinan itu sendiri memiliki berbagai acuan yang menyokongnya. Sehingga dalam penentuannya, konteks kepemimpinan harus lebih difokuskan terlebih dahulu. Sebab, moral, pola pikir dan prilaku masyarakat dapat lebih mempengaruhi proses kepemimpinan itu sendiri.

Dokumen terkait