• Tidak ada hasil yang ditemukan

Titanium dioksida adalah salah satu material yang banyak diteliti karena sifatnya yang menarik.Meskipun telah ditemukan lebih dari 200 tahun yang lalu dan telah diteliti sejak 85 tahun yang lalu namun hingga kini penelitian tentang TiO2 masih aktif dantetap dikembangkan (Hoffmann et al., 1995). TiO2 ditemukan pertama kalinyapada tahun

1821, dan tahun 1916 telah dikomersialkan sebagai zat pewarna putih.Titanium oksida atau yang lebih sering disebut titania adalah keluarga (IV) oksidayang merupakan semikonduktor dengan celah terlarang 3,0 untuk rutil dan 3,2 eVuntuk fasa anatase (Hoffmann et al., 1995; Fujishimeet al., 2000). Secara kimiatitanium dioksida dituliskan dengan lambang TiO2. Senyawa ini biasa digunakansebagai pigmen pada cat tembok (Braun et al., 1992), tabir surya (Zallen dan Moret, 2006) pasta gigi (Yuan dan Chen, 2005) solar sel, sensor, perangkatmemori serta sebagai fotokatalis.

Titanium merupakan kristal yang berwarna putih dan juga salah satu logam berlimpah nomor empat di dunia setelah aluminium, besi, dan magnesium. Selain itu,titanium juga merupakan elemen berlimpah kesembilan (mencakup 0,63% pada kerak bumi) 0,6% mineral TiO2 yang utama adalah FeTiO3 (iliminite), CaTiO3(perovskite). Titanium memiliki indeks bias (n) yang sangat tinggi yaitu 2,4 dalambentuk bubuk dan 2,7 dalam bentuk lapisan tipis (Dongsun et al., 2007). Titanium jugatahan terhadap degradasi warna akibat sinar matahari dengan titik lebur 5˚C A Ti-46 sampai Ti-50 dengan Ti-48 yang paling banyak terdapat di alam (73,8%) (Merck, 2000).

Secara fisika titanium memiliki sifat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.2.Titanium memiliki massa jenis yang rendah, tahan karat, memilikibiokompabilitas yang tinggi dengan tubuh (Supriyanto dkk., 2007) sehingga dapat digunakan sebagai produk implan dalam tubuh.

5 Resistivitas ( 25 0C) 1012

6 Resistivitas ( 700 0C) 2.5x104

7 Konstanta dielektrik 1 MHz 85 Volt/mil

8 Ekpansi termal RT-1000 0C 9x10-6 K-1 9 Konduktivitas termal 25 0C 11.7 Wm K-1

Titanium adalah logam keras, berwarna keabu-abuan. Ia dapat dilarutkan dalam asam sulfat pekat yang panas dan dalam hidrogen flourida. Seperti timah, titanium tak larut dalam asam nitrat pekat karena terbentuknya asam titanat pada permukaan logam,yang melindungi sisa logam dari asam itu. Untuk reaksi titanium dioksida dapat dilakukan dengan kalium pirosulfat sebanyak 12-15 kali lipat berlebih dalam kurs dari porselen atau paltinum.( Vogel ,1979)

TiO2 + 2K2S2O7 Ti (SO4)2 + 2K2SO4 2.4 Luas Permukaan dan Porositas

Luas permukaan dan porositas merupakan karakteristik yang sangat penting pada berbagai material. Penentuan dari isoterm adsorpsi dan desorpsi merupakan variabel yang sangat penting untuk menentukan struktur pori dan metode BET digunakan untuk menentukan total luas permukaan (Brown, 2003).

Suatu padatan dapat dikatakan sebagai berpori apabila memiliki pori-pori berupa lubang, terusan (chanel) atau celah yang lebih dalam dari luasnya. Pori-pori memiliki tipe yang berbeda dan diklasifikasikan berdasarkan aliran zat yang masuk melalui pori seperti gambar 2.2. berikut.

Gambar 2.2. Perbedaan jenis pori (Schubert and Husing, 2006) Tipe pori umumnya diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu:

A. Pori yang terisolasi dari pori yang lain disebut closed-pores (a)

B. Pori yang terbuka kepermukaan luar dari padatan, yang dipengaruhi sifat makroskopik padatan dan tidak aktif dalam reaksi kimia disebut open-pores yang terdiri dari: bentuk botol tinta (ink-bottle) (b), bentuksilinder terbuka (c), bentuk (funnel atau slitshaped) (d), pori terbuka pada kedua ujung (through pores) (e), silinder tertutup (silinder blind)(f) dan porositas yang kasar (roughness) pada permukaan luar (g)(Schubert and Husing, 2006)

Dalam karakterisasi pori sering digunakan istilah seperti yang terdapat pada tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.3 Istilah yang digunakan dalam karakterisasi pori padatan

Istilah Keterangan

Densitas True density Densitas dari material tidak termasuk pori dan kekosongan interpartikel (densitas dari jaringan padatan)

Apparent density

Densitas dari material tertutup dan pori yang tidak dapat dilalui

Bulk density Densitas material termasuk pori dan kekosongan interpartikel (massa per total volume, dengan volume = fase padatan + pori tertutup + pori terbuka)

Volume pori Vp Volume pori

Ukuran pori Biasanya disebut lebar pori (diameter);

jarak dari dua dinding yang berlawanan Porositas Perbandingan dari volume total pori Vp

dengan volume yang terlihat (apparent volume) V dari partikel atau serbuk

Luas Permukaan Area yang tercapai pada permukaan padatan per satuan unit material

Luas pori atau diameter pori didefenisikan sebagai diameter untuk pori silinder dan jarak antara dinding pori yang berlawanan dalam pori bentuk celah. Luas pori diklasifikasikan oleh International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) terbagi tiga (Gates, 1992):

1. Mikropori, diameter lebih kecil dari 2 nm (d < 2 nm)

2. Mesopori, diameter antara 2 sampai 50 nm (2 nm < d < 50 nm) 3. Makropori, diameter lebih besar dari 50 nm (d > 50 nm)

Untuk menjelaskan pori padatan secara kualitatif dan kuantitatif diperlukan informasi tentang porositas, densitas, luas permukaan spesifik atau ukuran pori dan distribusi ukuran pori pada padatan berpori. Nilai hasil pengukurannya sangat ditentukan oleh metode yang digunakan, biasanya metode hanya dapat mendeteksi pori yang terbuka. Metode yang digunakan berupa adsorpsi molekul ke dalam celah. Hasil yang diperoleh tergantung pada ukuran molekul yang dilewatkan pada permukaan pori.

Misalnya untuk nilai luas permukaan akan lebih kecil jika digunakan molekul yang besar, sebaliknya nilai luas permukaan akan semakin besar jika digunakan molekul yang lebih kecil. Berikut ini skema adsorbsi gas pada permukaan menggunakan ukuran molekul yang berbeda (Schubert and Husing,2006).

Gamabr 2.3. Skema Adsorbsi gas pada permukaan pori material dengan perbedaan ukran moleku gas (Schubert and Husing,2006).

Menurut International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC), terdapat enam klasifikasi isotherm adsorbsi seperti yang diperlihatkan gambar 2.4. Isotherm Tipe I merupakan karakteristik material mikropori (d < 2 nm). Material yang tidak berpori dan makropori (d > 50 nm) diklasifikasikan sebagai isotherm Tipe II dan Tipe III dengan

interaksi antara adsorbat dan adsorben yang kuat. Untuk material mesopori ( 2 nm < d <

50 nm) diklasifikasikan sebagai isotherm Tipe IV dan Tipe V dimana terdapat pembentukan multilayer dari kurva adsorbsi dan desorbsi sedangkan Tipe VI merupakan karakteristik padatan dua dimensi yang sangat homogen seperti grafit (Kanellopoulos, N. 2011).

Gambar 2.4. Klasifikasi Isotherm Adsorbsi menurut International Union Of Pure and Applied Chemistry (IUPAC)

Silika berpori merupakan variasi dari bentuk silika amorf. Material berbahan silika banyak diteliti karena memiliki struktur variasi yang luas. Struktur variasi ini dapat diatur melalui reaksi hidrolisis dan kondensasi, stabilitas termal yang tinggi pada jaringan amorf dan memiliki kekuatan grafting pada senyawa organik. Silika berpori dibuat dengan mengasamkan larutan silikat basa berair dan diperoleh gel silika pori.

Material padatannya diperoleh dengan proses sol-gel dalam larutan yang dikeringkan pada temperatur rendah dimana terjadi penekanan gel menjadi xerogel.

Parameter yang dapat mengkarakterisasi pori adalah luas permukaan spesifik (S) dengan satuan [m2/g], volume mikropori (WMP) dengan satuan [cm3/g], Volume pori (W) merupakan jumlah volume mikropori dan mesopori adsorben dalam [cm3/g] dan Pores Size Distribution (PSD) yang merupakan suatu grafik dari Vp/Dp versus Dp

dimana Vp adalah akumulasi pori hingga luas pori Dp diukur [cc-STP/GA]. Unit cc-STP menunjukkan jumlah pengukuran adsorbat dalam centimeter kubik pada STP yakni

pada temperatur standar dan tekanan standar masing-masing 273,15K dan tekanan 76 Torr (1.011325 x 105 Pa) (Schubert and Husing, 2006).

2.5 Metode Penentuan Luas Permukaan dan Mikroporositas 2.5.1. Metode Adsorpsi Brunauer-Emmet-Teller (BET)

Teori BET adsorpsi multilayer untuk menentukan luas permukaan (S) dikembangkan oleh Brunauer, Emmet dan Teller. Proses adsorpsi digambarkan sebagai proses lapisan dengan lapisan (Layer-by-layer), permukaan secara keseluruhan dianggap homogen, medan adsorpsi sama dalam setiap tempat permukaan. Proses adsorpsi dianggap tidak bergerak (setiap molekul yang diadsorbsi pada sisi dasar adsorbsi pada permukaan).

Lapisan pertama molekul yang diadsorbsi memiliki energi interaksi dengan medan adsorbs (Ea0) dan interaksi vertikal antara molekul setelah lapisan pertama (EL0) sama terhadap panas liqufaksi adsorbat dan molekul yang diadsorb tidak berinteraksi secara menyamping. Model adsorbsi BET digambarkan sebagai berikut (Roque-Malherbe, 2007).

Untuk menerapkan persamaan isotherm BET terhadap data adsorpsi yang diperoleh digunakan persamaan linier berikut:

C merupakan parameter yang dapat ditentukan dengan cara berikut:

Dengan A adalah konstanta, E1 merupakan panas yang diserap lapisan pertama dan El adalah panas kondensasi dari gas.

Untuk area yang dilewati setiap molekul dalam monolayer dianggap sempurna, dimana untuk nitrogen (N2) = 0,162 nm2 pada 77K dan argon (Ar) = 0,138 nm2 pada 87K (Kanellopoulos, N. 2011).

Metode BET tidak tepat untuk perhitungan mikropori, karena ketika metode ini diterapkan pada adsorben mikro maka akan terjadi penyerapan pada tekanan yang relatif rendah sehingga memungkinkan volume monolayer yang dihitung lebih dari satu lapisan terserap. Jika nilai ini diubah menjadi luas permukaan BET maka nilai yang dihasilkan akan lebih besar dari nilai yang sebenarnya. Meskipun metode BET tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya, namum metode ini yang lebih umum digunakan untuk analisa isotherm adsorbsi.

Ini disebabkan metode BET relatif sederhana dan dianggap memberikan kapasitas adsorpsi yang baik dari adsorben yang digunakan (Kanellopoulos, N. 2011).

2.5.2. Metode Barret-Joyner-Halenda (BJH)

Metode BJH digunakan untuk menentukan distribusi ukuran pori (PSD) merupakan grafik yang menyatakan Vp/Dp versus Dp, dimana Vp adalah akumulasi volume pori dan Dp merupakan luas pori diukur dalam [cc-STP/g.Å) dan cc-STP menunjukkan jumlah adsorbat dalam centimeter kubik pada STP berlangsung pada temperatur standar (273,15 K) dan tekanan standar (760 Torr atau 1.01325 x 105 Pa). Volume pori (W) adalah jumlah volume mikropori dan mesopori adsorben dalam [cm3/g] (Roque-Malherbe,2007).

Tekanan relatif awal proses desorpsi dalam metode Barret-Joyner-Halenda (BJH) berlangsung pada range 0,9< P/Po < 0,95 dan semua pori telah diisi fluida adsorbat. Pada tahap pertama (j=1) dalam proses desorpsi hanya melibatkan pemindahan kondensasi kapiler. Tahap berikutnya melibatkan pemindahan kondensat

dari inti pori dan penipisan multilayer dalam pori yang lebih besar misalnya pori telah siap dikosongkan dari kondesat.

Distribusi ukuran pori Barret-Joyner-Halenda (BJH-PSD) dapat dihitung menggunakan persamaan berikut ini.

Vpn : volume pori pada berbagai tekanan relatif rp : jari-jari pori

rk : jari-jari inti

V : perubahan volume pada berbagai tekanan relatif

t : ketebalan lapisan yang diserap

Ac : area terbuka pori yang kosong (Roque-Malherbe, 2007).

Dokumen terkait